Senin, 01 Juni 2015

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,

FYI, jaman saya, kami boleh memilih
6 jurusan di 2 Universitas
(@3 jurusan)




                Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri, kepada kawan-kawanku yang sebentar lagi akan menuju dunia real di luar kampus, juga pada adik-adikku yang baru akan kuliah maupun yang telah “terjebak” di kampus (Gajah) ini. Akan terdiri dari beberapa bahasan yang masing berjudul  “Jalan Saya Menuju Kampus Gajah Duduk”, “Pengalaman-Pengalaman Awal di Tanah Rantau Pertama”, “Kuliah, Steady”, dan “Renungan Sekarang”.

                Dan inilah cerita pertama saya;

                Waktu kecil, setiap dari kita tentu memiliki cita-cita, kan? Ada yang ingin jadi dokter, presiden, menteri (gak tahu menteri apa), bahkan sampai ingin jadi artis yang kerjaannya nyanyi sambil joget-joget tak jelas di TV. Nah, saya pun dulu memiliki cita-cita yang tak kalah absurdnya; Ultraman, Power Ranger, Pemilik Digimon, dan semakin besar mengerucut jadi lebih jelas: Tentara dan Insinyur. Entahlah, sepertinya semakin besar kita semakin sering membuat revisi dan kompromi ya :)


                Nah, dari dua cita-cita paling masuk akal saya itu, tentara lah yang jadi tujuan utama. Setiap hari, saya bangun pagi, lari, push up, dan terus melakukan latihan fisik. Pun dengan prestasi akademik, saya berusaha untuk tak tertinggal jauh dengan kawan-kawan. Saya pun cukup senang bisa diterima di Kelas Olimpiade SMA 3 Semarang (dulu masih RSBI, sekarang SBI dicabut hiks) dan berkesempatan untuk mengambil spesialisasi di bidang matematika. Yah meski selama 2 tahun di situ saya lebih sering sebagai penggembira. Sering malah main counter strike kalau sedang pembinaan hahaha.

                Dan memang sejak dulu pelajaran yang paling tidak saya sukai adalah biologi, seni tari, dan Bahasa Jepang. Ya, begitulah. Singkat cerita sampailah kami di UN, terus tiba masa-masa paling damai anak SMA; pelajaran kosong setiap hari sembari menanti kelulusan.

Hingga saat pendaftaran Akademi Militer dibuka. Dan saya mendaftar. Lewat beberapa tes, seperti dapat diduga: SAYA GAGAL LOLOS. Saya, tentu galau dong. Dalam salah satu kondisi paling nadir hidup saya tersebut, ada perasaan bahwa apa yang saya lakukan selama ini sia-sia. Latihan fisik saya, pola hidup sehat saya, riset segala jenis senjata,  ya kalian mengerti lah bagaimana rasanya gagal. Kalau pernah lihat nonton “You Are An Apple Of My Eyes” (maaf kalau judulnya salah), ya seperti itulah. Sudah menghabiskan waktu, investasi emosi, dan lainnya, eh dia malah nikah sama orang lain (untung orang lainnya bukan sahabatnya haha). Maka saya putuskan, saya berhenti latihan fisik. Saya berangkat ke sekolah dengan senyum palsu, saya berdoa kepada Tuhan mempertanyakan keputusan-Nya, saya ogah-ogahan membantu kerja Bapak saya (cerita tentang ini lain kali), saya bahkan sampai sudah ga peduli sama gebetan yang saya dekati—bodo amat dia cuek. Namun lewat 4 hari, saya sadar, badan saya telah kecanduan dengan latihan setiap pagi itu. Apa boleh buat, daripada stress, saya pun kembali jalani rutinitas itu—sampai sekarang.

Lalu, bukaan Perguruan Tinggi di mulai. Saya, tambah galau dong.

Karena, di saat kawan-kawan sudah ribet-ribet cari info jurusan, perguruan tinggi, info beasiswa, les privat untuk tes tulis, saya malah berkutat memperhatikan ada tidaknya varises di kaki saya. “Aduh, mau masuk mana nih? Undip? Ah, terlalu dekat. Ga seru. UGM? Jogja, masih terlalu Jawa. UI? Mahal. ITB? Mahal, tapi menarik. Sulit, bodo amat, kepalang tanggung. Masih di Pulau Jawa? Emang aku bisa Bahasa Sunda?”

Nah, jadilah pada SNMPTN Undangan saya pilih dua jurusan, semuanya di ITB. Bayangan saya, saya sangat tertarik dengan alat-alat militer. Saya tertarik dengan fisika dan matematika. Sungguh, saat itu—waktu masih tolol—di pikiran saya, kampus yang bisa mengalahkan gengsi Akmil hanya 4: Undip, UGM, UI, dan ITB. Bapak sudah menyarankan ambil sekolah kedinasan lain, tapi dasar saya keras kepala,”Akmil atau tidak sama sekali. Yang lain saya takut KKN-nya lebih kenceng (maaf, ini pikiran saya waktu SMA dulu).”

“Yaudah, Undip saja yang dekat. Yang lain gimana biaya hidup dan biaya kuliahnya?”

“Bapak saja dulu merantau dari Boyolali ke Semarang, masa iya saya sekarang jadi lebih kerdil dari Bapak? Jadi anak cemen yang tak pernah keluar dari rumahnya di usia 18 tahun? Nggak Pak, nanti pasti ada jalan. Jika memang sudah tidak mampu, saya akan pulang. Setidaknya biar saya mencoba dulu. Kirimi saja semampu Bapak. Kalau memang nggak mampu, nanti saya juga bisa cari sendiri (saya lupa ucap Insyaa Allah saat itu).” Dan perdebatan semalaman itu keluar dengan saya sebagai pemenang. Mungkin Bapak sadar, sifat keras kepala dan gengsian juga menurun ke anaknya hehehe.

Dan gelar yang bisa menyaingi pangkat militer di pikiran saya hanya 2: Dokter atau Insinyur. Lain-lain itu, saya tidak paham. Karena nilai biologi dan kimia saya jongkok, “terpaksa” pilihan saya hanya teknik.

Sadar bahwa saya ketinggalan, maka saya mendekati teman-teman saya yang les dan minta belajar bareng. Mulai beli buku-buku latihan soal. Hingga akhirnya dalam suatu sujud saya, seolah diangkat kekhawatiran dan penyesalan dari hati saya. Saya ingat, itu 1 hari menjelang pengumuman SNMPTN Undangan. Besoknya, saya ke warnet. Saya buka situsnya, dan Allahu akbar! Saya memukul tembok warnet; SAYA DITERIMA DI FTMD ITB. Senang dong? Lebih dari itu, saya bersyukur. Satu langkah lebih dekat menjadi laki-laki sejati telah terlewati: Tiket Merantau! Saya printscreen, lalu saya print. Sampai rumah Ibu bertanya,

“Gimana Mas Heri?”

“Nih lihat sendiri, asem,” muka sok sedih hehe.

                Ibu pun membuka, dan jadi anti klimaks. Karena saya printscreen, jadinya keliatan tab lain yang sedang buka FB seorang cewek. Tuhan, kenapa jadi memalukan begini urusannya -____-

                Di SMA, esok harinya semakin ramai. Ada yang datang dengan wajah ceria (misal saya), dan ada pula yang tertekuk sembari memberi ucapan selamat pada temannya. Dan saya, dapat satu kegiatan satu lagi; ikut belajar bareng sama Mbak Gusti dan Dinda, karena mereka mau berjuang lagi via tulis—dipikirnya saya pinter apa ya haha. Mereka sudah ikut les sih, tapi entah kenapa mau-maunya ngajak saya yang cetek ini buat bantuin mereka (Nantinya ini sangat membantu, karena part time job saya adalah guru les di Semester 6). Saya ingat bahwa jika datang pasti dapat cemilan yang enak-enak. Juga kesempatan belajar Bahasa Inggris, karena Mbak Gusti ini pernah pertukaran pelajar ke AS selama setahun. Jadi ya, saya pragmatis. Saya tidak melakukan ini dengan cuma-cuma hehehe.

                Sebenarnya dapat dikatakan langkah saya relative ringan. Tak harus ikut tes tulis. Tapi, jalan terjal itu adalah ketika saya harus berjuang dari kelas X. Bahkan bisa dibilang, dalam sistem pendidikan di Indonesia, perjuangan itu telah ada sejak SD. Ya, SMP mana yang kau masuki, itu menentukan langkahmu selanjutnya. Pilihan sekolah seolah menjadi vonis akan masa depanmu. Saya sih tidak ambil pusing dengan hal ini, yang penting Bapak dan Ibu saya bisa menceritakan sedikit kebaikan tentang saya pada para tetangga jika ditanya tentang anaknya. Saya hanya ingin membanggakan mereka, dan itulah kebahagiaan hakiki saya. Apalagi yang bisa saya berikan selain ketidak-pusingan mereka akan pendidikan anaknya. Sudah cukup mereka pusing cari penghidupan di situasi di mana kita terjebak dalam banyak syubhat ini—riba di mana-mana. Kalau tak mau mati dicekik inflasi, terpaksa cari pinjaman modal ke para bankir.

Mau kita bilang ini tidak adil, memang. Tapi inilah realita kehidupan di negeri ini; semua adalah tentang seleksi dan seleksi :(

                Kembali ke cerita saya tadi, saya hanya ingin berkata;

“Untuk kalian—juga pengingat bagi saya—Tuhan itu lebih tahu dari kita. Lebih tahu apa yang terbaik. Jalannya, adalah sebaik-baiknya jalan. Kewajiban kita hanyalah mempersiapkan diri kita sebaik-baiknya, dengan segala persiapan yang bisa kita persiapkan dan nanti Tuhan yang akan menunjukkan jalan-Nya. Mungkin kita tak mengerti apa baiknya jalan itu. Namun percaya saja, inilah yang terbaik. Setidaknya, kita bisa menjalani jalan itu dengan hati yang lebih ringan. Dan satu lagi, belajarlah untuk mengerti apa itu riba.”

0 komentar:

Posting Komentar