Jumat, 18 Oktober 2019

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,
Image result for broken heart



Assalamu’alaikum.

               Ini adalah tulisan saya sejak, yah, mungkin setahun yang lalu. Tulisan kali ini mungkin akan terasa sedikit serius, tidak seperti biasanya yang penuh candaan. Dan saya akan memulai kisah ini dengan cerita seorang pria paripurna. Manusia paling baik yang pernah menginjakkan kaki di dunia ini. Seorang ayah yang tanpa cela: Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.

                Ibrahim, putra beliau, saat itu berusia antara 16-18 bulan. Apabila beliau selesai menerima para utusan, mengurus masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada Allah serta hak kewajiban seluruh keluarganya, beliau selalu melihat Ibrahim dan mengawasi pertumbuhannya.


Namun, masa hidup Ibrahim tak berlangsung lama. Hingga pada saat Ibrahim mendekati ajal, Nabi yang sudah tua harus dipapah oleh Abdurrahman bin Auf menuju rumah putranya terbaring.

Dari rumah duka, jenazah dibawa ke liang lahat dengan memakai ranjang kecil. Nabi meratakan tanah yang mengubur anaknya itu dengan tangannya sendiri. Nabi kemudian menitikkan air mata sambil meletakkan sebuah tanda di atas makam. “Tanda ini sebenarnya tidak membawa dampak baik atau buruk. Tapi ia akan menyejukkan dan menyenangkan hati orang yang masih hidup.”

Bersamaan dengan kematian Ibrahim, kebetulan terjadi pula gerhana matahari. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat. Mereka menganggap gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Hal ini terdengar oleh Nabi.
Kemudian beliau menemui kaum Muslimin dan menegaskan terjadinya gerhana matahari bukan karena kematian Ibrahim.


Nafa dan Farah

          Tentu kawan-kawan semua sudah familiar dengan kisah di atas. Saya pun demikian. Hanya saja, saat itu perasaan saya tidak seperti sekarang. Saat saya sudah merasakan kehilangan dua orang putri kembar saya.

                Hari itu, 25 Agustus 2019, tidak pernah saya merasakan kehilangan sebesar itu. Terakhir kali saya merasakan kehilangan sangat mendalam adalah pada Tahun 2011 ketika seorang syaikh yang sangat saya cintai meninggalkan dunia ini. Hari itu, saya merasakan kesedihan mendalam yang bahkan saking sedihnya, saya sudah tidak bisa merasa sedih lagi. Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama? Saat sedemikian sedihnya, sedemikian kehilangan, hingga sempat berpikir, ”Oh, ini beneran terjadi ya?”

                Kedua putri kembar saya, yang di nisan mereka kini terukir nama “Nafa” dan “Farah”, memang sempat menemani kami di dunia. Namun, seperti sabda Kanjeng Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam saat memeluk putranya untuk terakhir kali, ”Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah." Allah ternyata Lebih Mencintai mereka sehingga amanah itu kembali kepada Sang Pemilik. Sekejap saja mereka membersamai kami di dunia fana ini. Semoga saat nanti kami mati, kami bisa membersamai mereka selamanya.

                Malam itu juga, mereka kami kuburkan. Saya tidak sekuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang mampu memangku bahkan mengantar ke liang lahat sendiri. Saya saat itu sudah sedemikian kebas, hingga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Urusan jinayah saya percayakan kepada keluarga istri, saya hanya ikut menyolatkan dan mengantar ke kubur. Bahkan sekedar meletakkan mereka untuk terakhir kali ke liang lahat, saya pun tidak bisa. Tidak sadar lagi tepatnya. Saya bagaikan komputer yang sedang dalam proses instal ulang. Kosong. Hanya mengikut saja.

Kekuatan Rasulullah

                Saya pun bisa membayangkan kesedihan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Dan saya juga bisa membayangkan betapa kuatnya beliau. Yaitu saat beliau masih sadar akan tanggung jawabnya sebagai pembawa risalah tauhid.

                "Matahari dan bulan adalah tanda kebesaran Allah, yang tidak ada hubungannya dengan kematian atau hidup seseorang. Kalau kalian melihat hal itu, maka berlindunglah kepada Allah dengan dzikir dan doa," sabda beliau kala itu.

          Lihatlah teman-teman, betapa agungnya kalimat ini. Jika kalimat ini diucapkan saat yang meninggal seorang raja atau presiden, maka itu tidak lebih dari kalimat dakwah yang datar. Namun jika kalimat ini diucapkan waktu ‘kematian atau hidup seseorang’ itu adalah anak kalian sendiri, demi Allah, ini hampir tidak masuk akal. Saya, jangankan memikirkan kondisi umat, pada saat itu sekedar memikirkan kondisi saya pun sudah tidak jelas lagi. Bahkan urusan istri yang masih harus dirawat pasca kelahiran prematur itu pun, saya sudah tidak dapat berpikir lagi. Teringat, iya. Namun setelah ini harus apa, saya tidak tahu. Hal ini berlangsung hingga hari berganti.

Yang Paling Dibutuhkan

            Yang namanya kabar duka, maka akan datang ucapan belasungkawa. Dan memang benar, saat kondisi seperti ini, adalah hal yang paling menjengkelkan untuk mendengar ucapan belasungkawa yang diiringi nasehat bahwa saya harus ini dan itu. Saat dalam kesedihan yang membuat hati kebas, ternyata yang paling berharga adalah kehadiran. Kehadiran dalam diam, tanpa banyak tanya, tanpa banyak nasehat. Namun ada satu kalimat yang lebih terasa menyejukkan daripada, “Kamu yang sabar ya.”

                "Her, awakmu sing kuat!” sambil merengkuh pundak saya.


Para Suami Bajingan

          Dari begitu banyak belasungkawa dan nasehat, justru ada satu yang begitu terngiang bahkan sampai sekarang.

"Her, kamu jangan nyalahin intan”, kalimat nasehat itu meluncur via WA.

Saat saya membaca pesan itu, saya tersentak tak percaya. Nasehat macam apa ini?! Macam mana pula saya akan menyalahkan istri yang telah dan sedang bertaruh nyawa untuk anak-anak saya?

Tetapi, sekarang saya ingat. Memang pada kenyataannya ada suami yang menyalahkan istri saat kehilangan anaknya. Padahal hal ini tidak ada kesalahan istri sama sekali, bahkan mereka telah berusaha mati-matian (dan ini seringkali dalam artinya yang paling harafiah) demi anaknya. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya. Dan saat saya teringat akan hal ini, maka yang terpikir hanyalah,

“Mereka adalah para suami bajingan!”


Rasa Cinta Pun Berubah
         
Sampai sekarang memang belum ada yang bertanya sih. Tapi jika ada yang bertanya,”Bagaimana sekarang cintamu pada Intan? Apakah berubah?”

Tentu saja berubah bung! Cinta saya padanya sudah tidak seperti saat sebelum takdir tersebut mengantarkan kedua putri kembar saya ke jannah. Saya sudah tidak bisa mencintai Intan sebesar cinta saya yang dulu.

Karena saya mencintainya tiga kali lipat lebih besar lagi. Saya titipkan cinta saya untuk Nafa dan Farah kepada seorang wanita yang telah melahirkan mereka. Yang telah membuat saya menjadi ayah. Menyempurnakan harga diri saya sebagai seorang laki-laki:

Bekerja, Menikah, dan Menjadi Ayah.

5 komentar:

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus
  2. Istri adalah wanita terbaik setelah ibu kandung kita. Itu juga yang saya alami selama ini.

    BalasHapus