Di dunia ini,
seringkali hal yang ada terbagi dalam tiga kelompok besar. Jika bukan ektrim
kanan atau kiri, maka akan ada hal yang di tengah. Mungkin inilah konsekuensi
logis dari kurva yang sering disebut dengan distribusi normal. Mulai dari
urusan rasa masakan hingga aqidah, ternyata begini adanya. Untuk masakan jika
bukan enak banget, tentu ada lawannya di mana rasanya seperti ban dalam. Dan di
tengahnya adalah rasa yang biasa saja, yang pas lah. Untuk aqidah, selain
murjiah (pakai alif ya, bukan ‘ain) dan seteru abadinya khawarij, tentulah ada
mereka yang di atas jalan yang lurus, di atas manhaj salaf, berada dalam
timbangan wasath: Ahlu sunnah wal jama’ah.
Namun sebenarnya bukan
dua hal di atas yang akan saya bahas di sini. Saya sedang ingin membicarakan—eh,
menuliskan ding—sesuatu yang lebih berat dari sekedar dengan rasa seperti ban
dalam namun lebih ringan daripada pembahasan mengenai aqidah. Yaitu sesuatu
yang sering terjadi pada diri kita: Usaha, Doa, dan Takdir.
Ekstrim Pertama
Pernah
mendengar orang yang berkata bahwa hidup ini cukup jalani saja? Mengesankan
bahwa kita tak perlu melakukan apapun?
“Lah, naik motor mah santai aja.
Kebut-kebutan oke kok, toh kalau takdirnya mati mereka yang penuh armor dan
berhati-hati juga bakal dipeluk truk .”
“Orang pintar kalah dengan orang
rajin, tapi orang rajin akan kalah dengan orang yang beruntung. Mau sepintar
dan serajin apapun jika waktu ujian Finite
Element Method salah dikit dalam penentuan sudut juga bakal salah total
kok.”
“Jodoh gak usah dicari, santai
saja. Nanti juga datang sendiri kok.”
“Jalani hidup gak usah ngoyo.
Mengalir saja seperti air, nanti malah stress lho. Selow broooo….”
Kalimat-kalimat
di atas memang tidak salah, namun jika Anda berkata bahwa tak ada kecacatan
logika padanya itu pun juga salah. Saya katakana tidak salah, karena benar
bahwa takdir kita sudah diketahui. Mau gimana akhirnya, mau sama siapa
jodohnya, mau makan apa habis ini, semua sudah tertulis dan diketahui. Namun
masalahnya, bukan kita yang mengetahui. Yang mengetahui adalah Allah. Bahkan
Rasul dan Jibril pun tak tahu tentang takdir.
Disebutkan dalam
Shahihul Bukhari dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Tak seorang pun dari kamu kecuali telah tertulis tempatnya di surga
atau tempatnya di neraka” Kemudian (sahabat) bertanya : “Ya Rasulullah, apakah
kita tidak menyerah saja” (Dalam suatu riwayat disebutkan :’Apakah kita tidak
menyerah saja pada catatan kita dan meninggalkan amal). Beliau menjawab :
“Jangan, beramallah, setiap orang dipermudah (menuju takdirnya)”. (Dalam suatu
riwayat disebutkan : “Beramallah, karena setiap orang dipermudah menuju sesuatu
yang telah diciptakan untuknya”). Orang yang termasuk ahli kebahagian, maka dia
dipermudah menuju perbuatan ahli kebahagiaan. Adapun orang yang termasuk ahli
celaka, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli celaka”. Kemudian beliau
membaca ayat : “Adapun orang yang memberi dan bertaqwa dan membenarkan
kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju kemudahan. Adapun orang yang
bakhil dan menumpuk kekayaan dan mebohongkan kebaikan, maka Aku akan
mempermudahnya menuju kesulitan”.
Dari
hadits di atas kita dapat mengerti bahwa perilaku menjalani hidup mengalir
seperti air pada batas-batas yang ekstrim akan membuat seseorang menjadi
pasifis. Memang dia tidak akan stress dengan apa yang mungkin terjadi, namun
akan sangat sulit untuk mencapai kemajuan.
Ekstrim Kedua
Nah, jika yang
sebelumnya mengenai orang-orang yang terlalu woles maka sekarang saya ingin
mengomentari mereka yang terlalu aktifis (lawannya pasifis, bukan yang artinya
mahaiswa sering rapat lho). Para aktifis (bukan aktivis) ini memandang bahwa
hidup ini HANYALAH tentang sebab akibat. Bahwa jika saya berinvestasi sekian
maka akan terjadi yang demikian. Jika saya belajar maka saya akan dapat nilai
bagus. Pokoknya dia menganggap hidup ini bagaikan persamaan yang linear dengan
hanya satu variable.
Padahal
dia lupa, bahwa dunia ini merupakan kumpulan
variable yang mendekati tak hingga. Ditambah lagi dengan sesuatu yang lebih
besar dari itu: Tuhan. Sayangnya orang-orang tipe ini biasanya seorang yang
atheis, sehingga meskipun dia menyadari bahwa ada banyak sekali variable di
dunia ini namun dia tidak mengetahui asal dari semua kemungkinan: Tuhan. Atau
jika pun dia seorang theis, ada sikap dalam dirinya yang terlalu deterministic.
Yang berpikir bahwa dunia HANYA mengenai sebab akibat. Hal ini dikarenakan dia
kurang memahami tentang hakikat tawakkal. Orang-orang inilah yang seringkali
dihujat oleh manusia-manusia jenis Ekstrim Pertama sebagai orang-orang tidak
woles. Dan ini menurut saya: BENAR!
Resiko
terbesar dari sikap jenis ini adalah sulitnya berbahagia dan mood swing yang menakutkan. Jika
berhasil maka dia terlalu bangga dan bahagia, sedangkan jika gagal dia akan
menjadi sangat sedih. Padahal yang pernah saya dengar dari Sang Manusia
Terbaik, urusan jadi bahagia itu simple:
“Bersyukur
jika mendapat nikmat,
dan
bersabar jika mendapat musibah.”
Hidupnya akan penuh dengan
stress. Jadi memang benar untuk orang-orang ini kita haruslah berkata, ”Santai
aja kenapa bro. Seloooooowwwww…” :P
Yang Pertengahan
Orang-orang
jenis ini berangkat dari keyakinan seperti layaknya hadits di atas. Dia sadar
tetntang hokum sebab akibat, dengan ketentuan yang bersyarat: Allah
Menghendakinya.
Saya pernah mendapatkan
pelajaran enting dari pembimbing lapangan saya saat Kerja Praktek di PT. Pindad
(Persero), Ir. Hardi Sutanto M.T,. Beliau berkata,
“Kita
bekerja maksimal itu bukan agar mendapatkan hasil yang maksimal. Bukan, jangan
berniat seperti itu. Namun kita bekerja maksimal itu agar bisa mendapat lebih
banyak pilihan.”
Jadi logikanya memang benar bahwa ada yang tak
perlu berusaha keras mengejar IP setinggi mungkin, mengasah skill secara
maksimal, membuka jaringan sana-sini namun dia dapat lebih sukses daripada yang
sudah melakukan itu semua. Contohnya ada orang-orang yang tak lulus kuliah eh
malah jadi CEO. Namun, sekarang mari kita pikirkan: Berapa persen mereka
dibandingkan populasi total? Saya jamin, tidak banyak! Mereka adalah
orang-orang yang memang mendapat keberuntungan yang sangat langka. Sangat
sangat sangat langka. Lalu, apakah bisa disebut laki-laki—atau malah
manusia?—sejati seseorang yang hanya mengandalkan keberuntungan?
“Keberuntungan
adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.”
Tetapi salah juga jika kita
berpikir bahwa IP tinggi, skill mumpuni, jaringan luas, sikap baik,
kehati-hatian PASTI akan membuat
kita sukses. Tidak, sekali lagi TIDAK! Segala
persiapan dan usaha tersebut hanyalah agar kita mendapatkan pilihan dan
kesempatan yang lebih luas. Misalnya, dengan IP yang tinggi kita akan lebih
mungkin untuk melamar pekerjaan di lebih banyak perusahaan. Dengan kualitas
diri yang tinggi dan kedewasaan sejati tentunya lebih banyak ‘akhwat’ yang bisa
masuk radar. #eh, abaikan :v
Ingat, sekali lagi ini mengenai
memperbanyak pilihan dan kemungkinan keberhasilan, bukan keberhasilan itu
sendiri. Karena hasil itu merupakan urusan Tuhan, sedangkan kita hanya
berkewajiban membuka sebanyak mungkin kemungkinan keberhasilan dengan usaha
maksimal—dan TENTUNYA: DOA. Jadi jika nantinya kita sudah berusaha maksimal
namun masih tetap gagal, seharusnya kita bersyukur karena setidaknya telah
diberi kesempatan untuk belajar. Karena logikanya kan begini:
“Sudah
berusaha maksimal saja masih gagal, apalagi jika hanya pasrah dan bermalasan
dengan berkedok kalimat sakti tawakkal?”
Bukan malah
berpikir, ”An*ir, rugi gue usaha susah-susah. Kalah sama dia tuh yang gak usaha
tapi lebih sukses. Besok-besok gak usah aja ah!”
Salah satu dosen saya, Dr. Ir.
Waya Suweca pernah berkata seperti ini:
“Orang
yang lebih rajin dan berhati-hati itu mempunyai kemungkinan tidak mengalami
kesialan lebih besar daripada mereka yang hidunya ngawur dan tidak disiplin.”
Jadi, mari menjadi golongan
pertengahan. Yang memaknai bahwa usaha dan doa adalah untuk menambah kemungkinan berhasil semata, bukan
sebuah jaminan kepastian akan
terhindar dari kesialan. IP tinggi tidak menjamin kesuksesan, apalagi yang IP-nya tidak tinggi?
Setuju? Tidak setuju? Silahkan komentar jika tidak setuju, dan share jika setuju.
Setuju? Tidak setuju? Silahkan komentar jika tidak setuju, dan share jika setuju.
menjadi orang yg beruntung lebih menyenagkan daripada menjadi orang yg pintar , tapi kalah sama orang yg beruntung
BalasHapusmenjadi orang yg beruntung lebih menyenagkan daripada menjadi orang yg pintar , tapi kalah sama orang yg beruntung
BalasHapusTerima kasih untuk pencerahannya, sekarang saya sedang dalam keadaan seperti itu. Dimana saya sudah berdoa dan usaha mati2an tapi hasilnya tetap nihil, sekarang saya hanya menunggu apa sebenarnya yang direncanakan Allah SWT untuk saya.
BalasHapusKemarin sy tes CPNS, score 431 peringkat 11 di provinsi sy TDK lolos, sedangkan di provinsi lain dgn formasi dan jabatan sama dengan nilai di bawah 400 banyak yg lolos, yasudah bukan rejeki ..hehe
BalasHapusTulisan anda bagus, " berusaha maksimal agar memiliki banyak pilihan, dan kemungkinan tidak tertimpa kemalangan".