Selasa, 25 Desember 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,
Pernahkah kita berpikir, pantaskah apa yang kita perebutkan?

                Pada suatu pagi, ada sebuah acara jalan sehat. Dan seperti biasa, suatu acara begini pasti ada yang namanya door prize. Bahkan, mungkin bukan kesehatan yang ingin dicari, tapi hadiahnya. Lalu ketika tiket door prize akan dibagikan (sesuai tabiat orang kita) orang-orang mulai berebut. Melupakan budaya antri dan bergegas dorong sana dorong sini. Begitu takut tak kebagian, dan akhirnya semua hanya kebagian rasa sakit akibat dorong-dorongan itu. Katanya sih seru berebut seperti itu.


                Sekarang mari kita tinjau di tempat yang lain, pada waktu yang berbeda pula. Sebuah masjid dekat kosanku, pada saat paling ramai orang-orang mau sholat ke masjid(baca: sholat jum’at). Sudah tidak seramai jalan sehat, waktu adzan sudah berkumandang orang mah santai-santai aja. Bahkan, beberapa orang(terkadang termasuk aku -,-) baru berangkat setelah adzan dikumandangkan. Sudah begitu, ketika sampai di masjid mayoritas lebih memilih duduk di belakang. Menutupi jalan. Sungguh aneh, yang datang belakangan malah dapat tempat di depan.


                Ternyata keanehan tak berhenti di situ. Ketika iqomah  dilaksanakan, berdiri pun ogah-ogahan. Lalu-hey!! Terlihat barisan shaff di depan masih kosong satu. Tapi bukannya dulu-duluan mengisi, orang-orang malah saling mempersilahkan orang di sebelahnya untuk maju.


                Sekarang mari kita bandingkan kedua kisah di atas. Yang pertama, orang-orang begitu semangat untuk berebut, berlomba-lomba. Yang kedua, orang-orang justru saling mempersilahkan. Padahal, yang pertama belum tentu jelas hasilnya sedangkan yang kedua sudah jelas pahalanya.

                “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan terjadinya. Siapakah yang lebih benar perkataannya dari Allah?” (an-Nisa’, 4 : 88 )

                 Contoh ironi yang lain adalah pada sebuah kisah yang diceritakan mentorku. Ketika seorang anak akan berangkat sekolah sementara hujan begitu deras, orang tua akan melakukan segalanya agar si anak dapat sampai sekolah dengan selamat. Jaket tebal dan diantar dengan berpayung sampai di gerbang sekolah. Bahkan, anak akan dibujuk hingga dipaksa jika ia tak mau berangkat sekolah.

                Namun, ketika waktu maghrib tiba dan hujan tinggal rintik-rintik orang tua justru jadi “penggoda” dengan bilang,”Sudahlah nak, sholat di rumh saja. Daripada kamu kehujanan lalu besok sakit gak bisa masuk sekolah. PR-mu banyak kan nak? Sini Bapak bantu ngerjain.” Duh, kalau begini apa bukan ironi namanya? Bagaimana seorang anak bias menjadi seorang muslim yang bangga dengan islamnya jika dari kecil tidak diajarkan semangat perjungan demi keislamannya? Hari ini orang islam banyak tapi tidak terasa kehebatannya. Islam sedang terpuruk.

Dari sahabat Tsauban radhiallahu’anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam,

"Hampir saja bangsa-bangsa berkumpul menyerang kalian sebagaimana mereka berkumpul untuk menyantap makanan di nampan. Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena sedikitnya jumlah kami pada saat itu?” Beliau menjawab, “Bahkan pada saat itu jumlah kalian banyak, tetapi kalian seperti buih, buih di atas lautan. Sungguh Allah benar-benar akan mencabut rasa takut pada hati musuh kalian dan sungguh Allah benar-benar akan menghujamkan pada hati kalian rasa wahn.” Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta kepada dunia dan takut mati”.


(Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunannya pada bab Fi Tada’al Umam alal Islam juz XI halaman 371 hadis nomor 3745. Dalam Musnadnya, Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dalam bab Wa min Haditsi Tsauban radhiallahu’anhu juz 45 halaman 378 hadis nomor 21363. Hadits ini adalah hadis shahih, marfu dari Rasulullah saw.)



                Itu baru hal-hal kecil. Bagaimana dengan hal besar semacam da’wah wal jihad??????!!!!! Adakah yang berlomba-lomba untuk melakukannya? Padahal, jika kita mau membuka Al-Qur’an akan kita dapati ayat berikut:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (Al Qashash, 28 : 77)

                Ayat di atas tentu sudah familiar di telinga kita. Sebuah ayat yang begitu jelas dan gamblang, mudah untuk dipahami namun sulit pada aplikasi. Dan inilah yang akan melahirkan suatu ironi. Termasuk pada diri ini.

                Betapa sebenarnya kita telah terbalik dalam bersikap. Sebuah perjalanan panjang nan abadi terbentang di depan mata-negeri akhirat-namun kita malah seadanya dalam mempersiapkannya. Sedangkan dunia-sebuah permainan yang menipu-justru kita mati-matian mencarinya. Bukan berarti aku menganjurkan untuk hidup seperti rahib yang melupakan dunia. Bukan!

                Yang ingin aku sampaikan, terutama pada diri ini adalah untuk bersikap lebih  adil. Yaitu mencari akhirat dengan maksimal dengan tetap tidak melupakan bagian kita di dunia. Sekali lagi, sekedar tidak melupakan bagian kita di dunia.

                Mari kawan, kita baca sekali lagi ayat tersebut. Dan mari kita hentikan ironi ini. Sedikit demi sedikit. Dimulai dari diri kita terlebih dahulu. Oh ya, aku ingat sebuah syair yang menarik:


                " Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmuseolah-olah kau akan mati besok."

0 komentar:

Posting Komentar