Kamis, 05 September 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , , ,


              
  Beberapa hari yang lalu saya membaca blog seseorang mengenai salah satu emosi manusia. Cinta(lagi)? Bukan. Iri? Yaaah, mendekati. Marah? Yap, betul sekali! Di blog beliau tersebut beliau berkata tentang bagaimana mengatur marah, dan kini saya ingin bercerita tentang marah dari perpektif yang agak berbeda.

                Sebenarnya marah itu apa sih? Saya jawab,”Salah satu bentuk emosi.” Emosi yang seperti apa? Saya jawab,”Menurut  KBBI online:

marah 1 /ma·rah / a sangat tidak senang (krn dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb); berang; gusar: aku -- mendengar ucapannya yg kasar itu; bangkit (naik -- , timbul -- ), ki menjadi marah;”

                Nah, sekarang sudah tahu kan definisi marah? Lalu apa yang akan saya ceritakan hari ini tentangnya?


                Begini kawan, sebelumnya saya ingin bercerita sedikit. Katakanlah hari ini kita mengikuti rapat dari suatu hal. Ditetapkan bahwa rapat itu akan dimulai pada pukul 17.00 WIB(Waktu Indonesia Bandung :P). Karena sudah paham urgensi rapat ini yang akan membahas suatu kegiatan esok hari dan mengerti bahwa orang Indonesia itu suka ngaret, jadilah kita mengoptimasi hal tersebut. Optimasinya adalah kita berangkat dari rumah pukul 17.00 WIB. Dengan harapan kita sampai di sana 10 menit telat namun tidak terlalu malu untuk minta maaf karena telat atau bahkan bisa datang lima menit lebih awal karena orang-orang pada ngaret 15 menit. See? Engineering optimization is everywhere!

                Namun semua ternyata tak seindah harapan, dan mimpi pun enggan menjadi kenyataan(apa coba  -_-). Ketika kita datang, baru satu dua orang yang datang dari target (katakanlah) 20 orang. Ditunggu sampai shalat maghrib, baru 5 orang. Ditunggu sampai shalat isya’, baru 10 orang. Dan akhirnya rapat dimulai pada pukul  19.30 dengan jumlah peserta rapat 11 orang. Benar-benar setengah n plus satu! Serta rapat juga ngaret sekitar 2,5 jam. Lalu teringat belum ngerjain PR buat besok pagi, cucian yang numpuk, belum makan malam padahal tadi lupa masak nasi, dan dompet sudah berisi sarang laba-laba bagai rumah kosong. Apa yang akan kita pikirkan?  Marah-marah ke peserta rapat lain? Memberi wejangan saat itu juga dan berkhotbah tentang pentingnya on-time? Atau langsung memulai rapat?

                Cerita lain, yang ini kisah nyata. Kejadian ini terjadi ketika saya masih imut-imut di Sekolah Menengah Atas dan terjadi pada  suatu pagi. Saat itu, saya sedang cepat-cepat untuk mengerjakan tugas di rumah teman dan karena masih pagi(lupa hari apa, kayaknya pas hari libur) jalanan pun sepi. Dengan motor bersilinder 150 cc saya, saya melaju di sekitaran 90-100 km/jam. Eh, tak tahunya ada mobil putar balik dan tanpa babibu langsung aja nyelonong. Terjadilah klakson panjang dari saya dan pas simpangan saya ngeliatin itu sopirnya—dengan wajah menantang sambil membuka helm.

Sial! Di depan lampu jadi merah. Dan mobil itu pun berhenti di belakang saya sambil buka kaca jendela dan marah-marah ngajak berantem. Ada bapak-bapak di samping saya mencoba melerai namun itu orang di mobil malah makin menjadi-jadi. Saya ceritakan dengan singkat sama bapaknya dan disuruhnya saya diam saja. Beh, gak bisa gitu dong!!! Saya waktu itu udah ikut silat lagi haha. Berantem sih hayuk aja. Tapi saya tetep disuruh bapaknya buat minta maaf dan melanjutkan perjalanan. Ternyata sekarang saya menyadari bahwa bapak tersebut sangat bijaksana. Pertama, jika saya berantem urusan saya jadi gak beres-beres, telat ngerjain tugas, gak konsen waktu ngerjain tugas, dan sangat mungkin badan jadi sakit. Yang kedua, saya melihat gantungan di mobil tersebut merupakan gantungan dari lembaga pendidikan akademi(bukan akmil, yang satunya kalo gak salah :P) dan saya yakin urusan bakal panjang jika bermasalah dengan pihak-pihak yang suka masang benda begituan.
               
                Nah, dari cerita yang pertama dapat kita tebak-tebak hasilnya. Jika kita memilih marah, maka akan terjadi saling menyalahkan di antara peserta rapat sehingga waktu rapat molor lagi dan mungkin saja rapat malah tidak bisa berjalan. Suasana jadi tidak kondusif dan hanya bikin lelah hati. Padahal kegiatan tinggal esok hari dan kita malah membuang-buang waktu yang harusnya bisa buat ngerjain PR, nyuci baju, masak nasi, dan—kalau yang dompet saya bingung hehehe. Atau jika kita memilih opsi kedua, yakni berkhotbah tentang wajibnya on time. Pertama, kita seharusnya malu karena kita pun sebenarnya telat 10 menit dari jadwal dan khotbah pada saat seperti itu hampir mustahil untuk didengar orang. Selain itu waktu rapat akan ngaret lagi. Dan yang terakhir, langsung mulai rapat saya kira sudah kita pahami konsekuensinya.

                Demikianlah, betapa sering marah sebenarnya merugikan kita jika marah tersebut hanya pengejawantahan dari emosi kita, hanya menuruti nafsu saja. Bahkan Allah Berfirman bahwa marah bisa menyebabkan kematian.

                Beginilah kamu! Kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukaimu, dan kamu beriman kepada semua kitab. Apabila mereka berjumpa kamu, mereka berkata, “Kami beriman,” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari karena marah dan benci kepadamu. Katakanlah, “Matilah kamu karena kemarahanmu itu!” Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.(QS. Ali Imran: 119)

                Atau Rasul pun pernah bersabda:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).

                Dalam syarah hadits ini disebutkan marah(karena nafsu semata) sangat dekat dengan kejahatan, dan kelemahan. Ya, KELEMAHAN. Kalau anak mesin bilang,”Cuma bisa segitu?! Lemah kalian!!”(abaikan).

                Jika yang dekat dengan kejahatan dan keburukan tentu akal kita gampang mencernanya, namun dekat kelemahan? Bukankah sering kita lihat orang yang marah itu seolah kuat dan tanpa rasa takut? Ya, itu benar. Namun kita juga sering mendengar pepatah,”Keberanian dan kebodohan itu hanya dipisahkan satu garis tipis”. Dan definisi kuat di sini bukan sekedar kuat fisik, karena Rasul pernah bersabda bahwa orang yang kuat itu bukanlah yang hebat bergulatnya namun yang mampu mengendalikan diri ketika marah.

                Saya kemarin ngobrol dengan seorang pelatih silat mengomentari tentang tawuran antar perguruan silat yang kerap terjadi di suatu daerah. Saya berpikir, tawurannya orang awam saja sudah seram begitu, lha ini tawurannya pesilat. Yang mati banyak dong, wong teknik silat itu mematikan semua. Dengan tersenyum beliau berkata dalam bahasa jawa yang artinya,”Oh, enggak begitu bos. Pernah berantem di luar bukan di gelanggang atau di tempat latihan? Juga bukan sparring dengan beladiri lain? Berantem karena benar-benar emosi?”

                “Pernah Mas,” jawab saya.

                “Setelah ikut silat atau sebelum ikut silat?” tanyanya lagi.

                “Sebelum Mas, abis ikut silat malah males berantem saya hehe,” kata saya. Dan jawaban beliau mengejutkan.

                “Sesekali cobain lah, kamu bakal tau waktu itu emosi sudah di ubun-ubun refleksmu jadi kacau, teknikmu terlupa, dan kamu bakal berantem ngawur saja. Kalau sparring sama beladiri lain kan kamu sadar itu sparring, tidak ingin melukai “berlebihan” dan tanpa emosi. Begitu bos, makanya perguruan silat yang tawuran itu ya berbeda dengan pertarungan di tempat latihan atau gelanggang yang full bisa keluar tekniknya,” katanya panjang lebar dan kupikir benar juga.

                Jadi ini mungkin bisa menjawab. Karena marah dekat dengan tertutupnya akal dan perhitungan matang. Tertutupnya akal sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan sangat sungguh dekat sekali dengan kelemahan. Dan itu secara silogisme artinya marah sangat dekat dengan kelemahan.

                Terakhir, saya jadi teringat kata dosen proses manufaktur saya, Dr. Sri Raharno ST, MT. Beliau pernah berkata:

                Material itu kalau dipanaskan menjadi berkurang kekuatannya. Jadi kalau Anda sedang menghadapi orang yang lebih kuat daripada Anda caranya gampang: bikin saja dia marah.

            Anak teknik pasti sudah sangat familiar mengenai hubungan temperature material dengan kekuatannya. Contoh paling mudah adalah saat kita melihat empu menempa baja pasti dipanasin dulu. Kenapa? Biar empuk bukan?

                Jadi orang yang marah karena emosi semata itu: LEMAH!!!!   

0 komentar:

Posting Komentar