Sudah sebulan lebih saya tidak
menulis sesuatu selain sajak. Maaf, rasanya sedang mencapai titik jenuh untuk
mengelola blog ini. ya, bahkan sudah ada pikiran untuk rehat setidaknya satu
tahun. Namun, rencana ini beruntung ‘digagalkan’ oleh pengalaman kemarin:
Tiktok Gunung Guntur. Here the story…
Pendakian
ini, boleh dibilang adalah pendakian pertama saya dalam 4 bulan terakhir.
Terhitung sejak perjumpaan saya dengan Matahari Pagi di Puncak Rinjani. Dan
bahkan keputusan saya ikut adalah H-1, tanpa persiapan sebetulnya (jangan
ditiru) serta sekedar pelarian dari TA (maaf ya Pak Dosbing hahaha). Dan Gunung
Guntur ini memberikan saya pelajaran berharga.
Cerita bermula dengan
berkumpulnya 8 Swasta (Mahasiswa Tingkat Akhir) Teknik Mesin ITB berdasarkan janji
yang dituliskan di Grup Line Laskar Pendaki HMM: Candra (Laptop), Tian, Nain,
Madun, Ali, Jeki, dan Robi. Keren sekali, delapan lelaki yang bertekad untuk
mendaki. Dan ada 2 orang (yang ngakunya) baru mendaki sekali ini: Tian dan
Candra. Setelah saling tunggu dan ribet debat apakah pakai jeans atau training,
maka berangkatlah kami. 8 orang pria di dalam satu mobil Honda CR-V milik Tian.
Formasi 2-4-2, dan entah bagaimana safety
factornya hahaha.
Berangkat
Di dalam mobil Tian |
Perjalanan
Bandung-Garut ditempuh dari pukul 21.00-22.30 WIB. Sepanjang perjalanan hujan,
dan cerita-cerita khas lelaki usia 20 tahunan berterbangan di dalam kabin
mobil; mulai urusan cewek, dosen, TA, cewek, ‘ehem’, TA lagi, dan boker
(serius, ini yang mendominasi). Mulai cerita tentang ada yang boker ketika
tidak bisa membedakan kentut dengan alarm waktu nonton tv, hingga panggilan
alam yang tak tertahankan ketika sebagian WC di ITB tutup akibat tanggal merah.
Ya, anak mesin emang pintar merangkai cerita jorok hahaha.
Kami pun sampai di penghabisan
jalan raya dan menepikan mobil di depan sebuah pom bensin, Madun ingin makan
katanya. Akhirnya hanya saya, Robi, dan Madun yang makan. Yang lain mengaku
sudah makan, dan ini akan menjadi masalah nantinya buat nain. Selesai makan,
datanglah bapak-bapak yang sambil gosok-gosok akik mengaku keamanan di situ dan
meminta uang parkir 40 ribu. Buset, untung ada Nain yang ‘medhok’ Bahasa
Sundanya dan mampu nego secara fantastis: jadi goceng doang hahaha.
Mendaki
Kami
pun sampai di Pos Pendaftaran pada pukul 00.00 WIB. Dengan hujan yang semakin
reda, kami pun optimis dapat memulai pendakian ini secara ceria. Akhirnya
diputuskan untuk tidur hingga pukul 01.30 WIB. Dan tidur nyenyak di dalam
masjid pun dimulai.
Tidur duluuu |
Kemudian, saat bangun
titik-titik air pun jatuh dari langit dengan cukup deras. Lalu saya pun
teringat suatu pepatah:
“Ada
beberapa air jatuh yang tidak seharusnya kau abaikan arti di baliknya: air yang
jatuh dari langit, air yang jatuh dari mata, dan air yang jatuh dari atap.”
Well, abaikan haha. Yah, intinya karena
hujan tersebut semangat kami pun mengendur. Bahkan terpikir untuk lanjut tidur
dan foto-foto perjalanan cukup crop saja
dari foto-foto yang ada di google. Untunglah, semangat itu kembali dan kami pun
mulai bersiap-siap untuk pendakian.
Pendakian dimuali pukul 02.15
WIB. Jalan diawali dengan jalanan berbatu yang merupakan jalur truk penambangan
pasir dan batu. Kami sebenarnya dibekali peta oleh pengelola, namun karena
beliau menjelaskan dengan Bahasa Sunda sedangkan yang diberi penjelasan sambil
melihat peta hanya saya dan madun, terjadilah kebodohan ini. kami, mengandalkan
insting saja dalam mencari jalan. Di tengah perjalanan, Madun sempat ragu dan
bertanya ke saya (yang juga sotoy), dan akhirnya kami pun masuk ke Hutan.
Intinya, ada 2 jalur. 1 lewat hutan dan satunya lewat jalan penambangan. Kami
diberi tahu untuk tidak masuk jalur hutan karena rawan longsor, eh malah masuk
karena dikira disuruh masuk hutan -_________________-
Jalur sendiri saya rasakan di
awal-awal mirip dengan gunung-gunung lain di Jawa Barat. Basah, rimbun, dan
lembek tanahnya. Apalagi kami berjalan di tengah hujan. Beberapa kali kami
mesti berhenti, untuk memastikan kebenaran jalur. Madun, satu-satunya anggota
tim yang pernah ke sini sebelumnya, tetap diam saja. tapi saya tahu, dia tidak
tahu jalur ini haha. Untunglah, setelah beberapa saat kami bertemu sungai dan
warung, dan Madun sudah tahu jalurnya dari sini.
Setelah itu jalur berupa batuan
yang relative tegak, dan kelincahan sangat dibutuhkan di sini. Apalagi hujan
membuatnya semakin licin. Setelah beberapa saat, sampailah kami di Pos
Volunteer. Di sana tertulis “Bagi yang akan mendirikan camp, silahkan melapor”.
Kami, yang tiktok, lewat aja udah hahaha. Namun, belum jauh dari situ, si Nain
terduduk. Sebelumnya dia sudah berhenti-berhenti sih, bahkan sempat pamit mau
muntah (yaelah…). Masuk angin. Dan saat terduduk itulah, ada sekira 20an menit
kami istirahat. Saya, yang egois tak terlalu ambil pusing. Dengan bersandar
pada tas daypack si Candra (saya naik kemarin tidak bawa tas, cuma seplastik
baju ganti yang saya titipkan di dayack Madun), menarik ponco hingga menutupi
muka, tertidurlah saya. Saya pikir, jika
bantuan saya dibutuhkan saya juga akan dipanggil. Ini suatu pemikiran yang
logis dan pragmatis bukan? Namun, orang-orang lebih suka menyebutnya egois :9
“Rasanya gimana In?” tanya
Madun. “Muter-muter”, jawabnya. Oleh karenanya diputuskan bahwa Nain tak bisa
meneruskan pendakian jika begini, dan bersama Robi diantar ke Pos Volunteer
untuk makan dan istirahat. Jempol dah emang buat Robi, sang pendaki sejati!
Kami, melanjutkan pendakian.
Beberapa saat kemudian,
sampailah kami di trek yang berkerikil. Mirip-mirip dengan trek ke Puncak
Rinjani (dan Semeru, katanya), namun ini masih ada rumputnya dan lebih luas.
Tapi, mungkin karena hujan dan gradiennya yang besar, betis berasa mau pecah
(meminjam kata-kata Tian). Buset dah emang, waktu pendakian yang diperkirakan 3
jam, molor menjadi 4,8 jam. Kami bahkan harus sholat shubuh di lereng, dan
sujud sebisanya.
Puncak
Puncak 1 dicapai ketika jam
tangan menunjukkan sekitar pukul 07.00 WIB. Jeki menjadi anggota tim pertama
yang menginjak puncak 1, disusul saya 3 menit kemudian, Ali dan Tian 15 menit
kemudian, dan Madun serta Candra 30 menit kemudian. Badan pun basah oleh
keringat dan air hujan. Semalaman mendaki gunung dalam hujan, suatu pengalaman
yang membahagiakan dan tak terlupakan.
Setelah masak-masak (gobs, gak
ada yang bawa piring. Indomie saya pun ketinggalan di warung), ganti baju,
foto-foto, kami pun melanjutkan ke puncak 2 dan 3. Nah, tepat saat kami akan
berfoto dengan papan penunjuk puncak (antri sob buat bisa dapet plangnya), Nain
dan Robi datang seperti orang gila. Buseeeet, ngebut si Nain abis makan. Ceria
sekali mukanya, berbeda dengan Robi yang kusut masai hahaha. Yah, orang-orang
pun berfoto. Sambil membawa tulisan buat “eneng” masing-masing. Saya? Malah
memotret pohon unyu ini:
Lalu yang ini dari Gopro keren:
Turun
Bagian
terberat (buat saya) pun tiba: TURUN. Pukul 10.00 WIB kami mulai turun. Saya
pun meminjam tracking pole si Nain dan izin untuk turun duluan,”Udeh, percaya
dah. Lu pade bakalan nyusul gue”, kata saya. Semua pun memaklumi fobia saya
akan ketinggian, apalagi mengingat kecuraman gunung ini. Namun untungnya kabut
turun, dan pemandangan jelek tentang ketinggian pun tak nampak. Saya pun bisa
turun dengan ceria. Bahkan, cerita turun kami bagaikan film “5 cm”, karena ada
batu sebesar kepalan tangan yang menggelinding. Satu bahkan melewati sisi badan
Jeki, tipis sekali! Saya, Jeki, dan Tian yang turun duluan harus sangat
berhati-hati.
Tak berapa lama, sampailah kami
di bagian jalan yang kerikilnya dalam. Pada jalan inilah kami seperti main ski,
apalagi dengan tracking pole di tangan. Ceria sekali pokoknya hahaha. Di tambah
kabut, saya pun ngebut! Singkat cerita, sampailah kami di bawah. Namun kali ini
kami tidak melewati jalur hutan. Kami lewat jalur penambangan. Pukul 14.00 WIB
kami sampai di Pos Pendaftaran. Beuh man, capek sekali.
“Inilah
tiktok gunung terberat saya.”
-HIW,
21 tahun-
Pulang
Selepas
ashar, kami pun pulang. Karena di Nagrek macet dan Tian mengantuk, Madun lah
yang nyetir sampai kampus. Jam 19.00 WIB kami sampai lagi di kampus tercinta:
Institut Teknologi Bandung. Tanpa kurang suatu apapun. Paling sedikit luka
lecet di sana sini hehehe. Beuh, emang man, gokil ini Gunung Guntur. 2249 mdpl
tingginya, tapi betis hampir pecah. Kalo kata anak muda jaman sekarang,
PECAAAAAAAH!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar