Sabtu, 26 Oktober 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Wah, memang minggu yang keren bung. Sampai-sampai sekali lagi blog ini terbengkalai. Minggu di mana kami setiap hari ujian(malam) dan praktikum terus menerus. Dan jika jurusan lain ada yang sudah habis minggu depan, maka kami adalah salah satu yang pertempurannya belum selesai. Memang, praktikum metrology industry sudah selesai tapi menghadang 2 praktikum yang tak kalah serunya: rekayasa material dan proses manufaktur.

                Eh, udah ah curhat tentang kecupuan manajemen waktunya. Sekarang waktunya mendongeng hehehe.

                Selama 3 semester selepas Tahap Paling Bahagia(TPB), selama itu pula saya berkesempatan untuk sekelas dengan mahasiswa dari luar negeri. Merasakan bagaimana kuliah dengan orang yang tak sebahasa dengan saya(Padahal selama ini juga selalu kuliah dengan orang non-jawa haha). Semester 3 dan 4, saya sekelas dengan orang dari Korea Selatan. Ada beberapa hal yang dapat saya korek darinya.

Wajib Militer

                Sudah tahu kan kalau Korea Utara dan Korea Selatan sampai sekarang masih dalam status perang? Belum? Man, ngapain aja kalian selama ini?  Jangan cuma ngefans sama sinetronnya aja dong hahaha.

                Ya, sampai sekarang Korut dan Korsel masih berperang, karena perang Korea pada tahun 1953 hanya diakhiri dengan gencatan senjata alih-alih perjanjian damai. Garis demarkasi yang membagi dua Korea sekarang merupakan salah satu daerah dengan aktivitas militer terpadat.


Dan karena itu, kawanku ini yang namanya—nama koreanya susah—Eddy ini harus ikut menjalani wajib militer. Hal ini menjadikan dia baru bisa kuliah pada usia sekitar 24 tahun, dan ketika di sini yang artinya itu tahun kedua baginya maka dia pun berusia 25 tahun. Sungguh jauh dengan kami-kami yang masih imut di akhir 19 atau di awal 20 tahun.

Namun satu hal yang bisa kulihat, entah ini baik atau buruk, dia tidak terlihat lebih dewasa atau tua dibanding kami-kami ini. Kemungkinan pertama, sulitnya kondisi di sini membentuk mahasiswa Indonesia lebih cepat dewasa daripada di sana yang lebih nyaman meskipun dalam kondisi perang(benar-benar perang, bukan “perang”). Yang kedua, memang dia hanya salah satu anomaly saja.

Beban Kuliah

Kemudian, orang-orang bilang bahwa kualitas pendidikan kita kalah dengan luar negeri. Kalau untuk tingkat SD sampai dengan SMA, mungkin iya. Namun saya garis bawahi, kalahnya bukan berarti materi sekolahan kita lebih ringan dari luar negeri, bukan. Namun karena justru LEBIH BERAT dibanding luar negeri. Soalnya saya pernah dapat info dari beberapa kawan dan dosen yang pernah sekolah atau kuliah di luar, justru sampai SD mereka masih belajar yang ringan-ringan saja. Tidak seperti kita yang waktu SD dihambat pertumbuhannya karena disuruh bawa tas yang isinya buku-buku sampah seberat 3 Kg.

Namun jika melihat pada skala universitas, dari yang saya tahu beban materinya relative sama. Atau malah kita lebih berat karena bebannya sama namun fasilitas di bawah mereka. Sehingga bisa saya bilang kita tak kalah dari luar negeri jika menyangkut pendidikan di perguruan tinggi. bahkan dengan demikian saya berani bilang mahasiswa kita bisa saja lebih pintar dari mahasiswa luar negeri. Misal saja nih, ada mata kuliah yang bukunya sama dengan yang dipakai di luar, bahasa bukunya bahasa Inggris, kuliahnya juga pakai bahasa Inggris, waktu ujian juga pakai bahasa Inggris, tetap saja dia tidak lulus padahal kami seangkatan hampir lulus 100%. Entahlah, apa gara-gara dia Non-Himpunan ya? hahahaha…

Bahasa Inggris, ini nih yang saya aneh. Kita tahu orang-orang Asia Timur—terutama Jepang—sangat bangga akan bahasanya. Katanya, sangat sedikit orang Jepang yang bisa Bahasa Inggris. Tapi, kok mereka maju? Dan jujur saja, kawan saya yang dari Korsel ini—bukan bermaksud sombong—bahasa Inggrisnya saya pikir masih di bawah rata-rata dari kami. Berarti?


Malaysia dan Kamboja

                Nah, untuk semester 5 ini saya juga kedapatan 3 kawan dari luar pula. Dua dari Malaysia dan satu dari Kamboja—yang ini mengambil program S2. Ada yang lucu bagaimana interaksi pertama saya dengan salah satu kawan dari Malaysia yang bernama Fitri.

                Waktu itu saya sedang euphoria dengan kelengkapan skuadron Sukhoi TNI AU yang genap menjadi 16 pesawat. Dan karena hal itu, mulailah saya mendongeng dengan kawan-kawan saya tentang kesiapan TNI untuk mengawal, ehem, Ambalat(kami berbincang di belakang Fitri). Seru sekali, apalagi waktu mengomentari kapal selam tetangga yang tak bisa menyelam. Saya berani ngobrol dengan suara cukup keras karena kami gunakan bahasa jawa, jadi saya harap orang Malaysia tak tahu banyak kalau saya sedang mendongeng tentang scenario perang antara dua bangsa yang serumpun ini :v

                Hingga setelah cerita selesai, dia menoleh ke belakang dan bertanya—atau saya yang bertanya? Lupa saya—sesuatu. Setelah itu dia berkata,”Kalian wong jowo jugo?”

                “Lho, do you understand javanesse?” tanya saya dengan grammar ngawur.

                “Ya, Because my Mom come from java, I think central java,” katanya.

                “Jawa tengah? Kamu orang jawa to?

                “Iya, makanya sedikit-sedikit paham bahasa jawa(saya lupa dia ngomong apa, karena sumpah, bahasa Malaysia itu susah diingat),”

                Dalam pikiran saya,”Asem, jangan-jangan dia tau kalau tadi ane lagi mikirin scenario buat bikin Dwikora jilid dua nih -_-“

Pakaian Kuliah

                Entahlah, ini di kampus saya saja atau umum di kampus lain. Di kampus saya, sangat mudah menjumpai mahasiswa yang kuliah hanya memakai kaos oblong. Bahkan terkadang ada yang tidak bersepatu(Tapi di jurusan saya mulai dikerasin, kalo ketahuan tidak pakai sepatu waktu kuliah akan disuruh pulang. Bahkan ada dosen yang tak segan-segan memberi nilai E). Kalo sepenglihatan saya, yang paling rapi adalah mahasiswa yang dari Kamboja.

                Mungkin karena dia S2 atau bukan, dia selalu memakai baju yang seragam tiap kuliah. Sepatu pantofel, celana kain warna hitam, dan kemeja lengan panjang warna putih. Selalu begitu, tanpa jaket, tanpa atribut lain. Sopan sekali.

                Kini kita melihat yang dari Malaysia. Selalu bersepatu, celana kain kadang jeans, dan kaos berkerah. Selalu begitu, tanpa jaket juga. Lebih kurang rapi jika dibanding yang dari kamboja.

                Kini, kita bergeser ke teman sebelah saya. Kita mulai dari sepatunya, yang jumlah robekannya lebih banyak dari kancing baju mahasiswa yang dari Kamboja dengan bagian belakang terlihat bekas diinjak. Kemudian kaos oblong warna merah dengan jaket tersampir di pinggir bangku. Celananya, celana panjang dengan lubang ventilasi di lutut. Man, beda banget kan?

                Tentu pembaca bertanya bagaimana pakaian penulis kan? Karena hari itu hari Jum’at, saya jadi cukup rapi. Celana jeans, sepatu kets, dan kemeja adalah yang saya pakai hehe. kalo hari lain, bolehlah pakai kaos dengan jaket hahaha.

Beban Kuliah

                Saya kurang tahu dengan kondisi kuliah di Kamboja, karena jarang ngobrol dengan kawan yang dari Kamboja. Sehingga saya akan membahas perbedaan di Malaysai dan di sini(ITB). Karena kemarin saya sudah sempat ngobrol dengan mahasiswa dari Malaysia yang bernama Taufik. Tentu, sok-sok an pakai bahasa Inggris. Oh ya, setelah saya pikir-pikir bahasa Inggris orang Malaysia tak hanya lebih baik dari orang Indonesia, tapi juga dibanding orang Korsel maupun Kamboja.

                Ketika itu saya bertanya berapa sks yang dia ambil. Dia menjawab,”13 saja, terlalu berat apalagi kalau lebih. Kalau Anda sendiri?” Saya pun menjawab berapa sks yang saya ambil. Dia cukup terkejut dengan jumlah yang saya ambil, karena di Malaysia rata-rata mahasiswa mengambil 16-19 sks. Sekarang, gantian saya yang kaget,”Lho, kalau gitu biar jadi bachelor perlu berapa tahun?”

                “4 years, sama kan dengan di sini?”

                “Iya, lalu syarat biar lulus perlu ambil berapa sks?”

                “132 sks, memang di sini berapa?”

                “144 sks,” saya sempat mau bilang 160 sks kalo teringat cerita jaman sebelum 2000-an hahaha.
                Memang, jumlah sks mereka lebih sedikit. Namun, mata kuliah yang 3 sks maka waktu tatap muka seminggu adalah sekitar 4 jam. Jadi, sampai di sini saya pikir masih sama-lah dengan di Malaysia.

                Namun saya kaget ketika saya bertanya berat mana kuliah di sini dengan di negara asalnya, tanpa ragu dia bilang berat di sini. Kenapa? Karena di sini mahasiswa dituntut belajar sendiri. Tidak bisa HANYA mengandalkan kuliah di kelas. Berbeda dengan di negara asalnya di mana mahasiswa tak perlu punya textbook, mereka akan langsung diberi semacam diktat buatan dosen mereka yang telah merangkum isi buku pegangan. Jadi dia cukup aneh melihat kami yang suka menenteng buku setebal bantal ke mana-mana, apalagi jika musim ujian tiba.

                Selain itu, katanya di sana soal ujian itu sangat mirip soal di PR atau di kelas. Man, kalau di sini jangankan soal ujian, soal PR aja sudah beda banget dengan contoh soal yang di bahas di kelas. Sehingga seolah mau tak mau mahasiswa harus bermesraan dengan buku pegangan yang setebal bantal itu.

Sistem Penilaian

                Ada yang menarik dalam sistem penilaian. Di Malaysia sana, di universitasnya, range indeks adalah A, A-, B+, B, B-, dst sampai E. Dengan konversi angka berupa 4(A), 3.67(A-), 3.33(B+), 3(B), 2,67(B-) dst sampai 0(E). Saya jawab, itu berbeda bung. Kalau di sini indeksnya adalah A(4), AB(3.5), B(3), BC(2.5) dst sampai E(0).

                Kemudian katanya lagi, untuk mata kuliah yang sudah diambil namun nilainya masih jelek boleh diambil lagi semester depannya. Lalu saya tanggapi, di sini juga begitu dengan istilah “mencuci” nilai. Namun yang membedakan adalah jika di sana maka nilai yang terbaiklah yang diambil sedangkan di sini nilai terakhirlah yang dipakai.

                Jadi, jika Anda dapat B- namun belum puas lalu semester depan diambil lagi dan ternyata malah mendapat, maka nilai Anda di transkrip tetaplah B-. Kalau di sini—kisah nyata ini—ada senior yang sudah ambil termo 1. Eh, dia dapat C. lalu waktu SP karena nganggur, dia coba-coba mencucinya dan malah dapat E. Terpaksa, setahun kemudian dia ambil lagi itu termo 1 bareng saya. Dan, dapat E lagi. Kemarin, diambil lagi dan menurut kabar yang saya dapat dapat D. Entahlah, kita doakan saja dia cepat move on dari termo 1, aamiin.

                Dan yang unik, jika di sana S1 itu disebutnya Sarjana Muda. Kalau mau disebut Sarjana perlu ambil S2 dulu. Hmm, kayaknya itu dulu deh dongeng buat hari ini. Nanti kalau ada info lagi biar saya up date.

4 komentar:

  1. Nah, Aku komen nih buat meramaikan. Asik banget kayaknya sekampus sama orang luar, bisa nambah pengalaman sampai nulis disini ya her hahaha~

    Oh ya, FYI aja soal pakaian di Ekonomi UNDIP kayaknya lebih ketat daripada tempatmu, disini kaos oblong ada beberapa dosen yang nggak ngebolehin terutama buat cowok dan cewek yang nggak berjilbab itu keliatan gak sopan banget kalau gak diembel-embelin dengan jaket atau cardigan, kalau sepatu jelas sih, kayaknya kalau kakinya gak sakit gak ada yang ke kampus pakai sendal -_-
    Masalah nilai, kalau disini buat SP pun yang diambil nilai terbaik, bukan nilai terakhir, tapi aku nggak tau sih kalau ngulang sistemnya gimana.

    Jangan dianggurin blognya, aku yakin fansmu di luar sana menunggu post mu :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya buat bisa meningkatkan kemampuan bahasa inggris saya yang ngaco ini hha.

      Ya, soal pakaian emang ini kampus saya akuin kalah dengan kampus lain. Dan tentu saya respek sama UNDIP yang ada aturan tak tertulis buat wanita lebih tertutup. Karena sumpah, meski bandung dingin saya heran dengan wanita2nya. Mereka strong sekali, sampai saya berpikir apa mungkin kulit mereka memiliki tahanan termal yang jauh lebih tinggi dari saya hahaha.

      Tentang nilai, no coment deh hehe karena ada kelebihan dan kekurangannya kok hehehe.

      NB: kalo di sini saya jadi formal banget yak :p

      Hapus
  2. Saya SMA sampai kelas 10 di indonesia, lalu selesai sma dan kuliah teknik di kanada.

    SMA di kanada, sangat sangat mudah sekali.

    Kuliah di kanada, susah, jauh lebih susah daripada indonesia dengan alasan sebagai berikut.

    Di indonesia, kalian harus ambil kelas kelas tidak berguna dan tidak ada hubungannya sama jurusan kalian seperti Pancasila, inggris, olah raga. Di kanada, semua kelas yang harus kami ambil bersifat sangat teknikal. Kamipun juga diharuskan untuk mengambil semua kelas dari fakultas lain di tahun pertamanya.
    Saya sudah lihat kurikulium beberapa universitas indonesia di bidang teknik elektro
    Tahun pertama mereka hanya ambil computer science, calculus, electronic, pancasila inggris
    Sedangkan di Kanada kami harus ambil itu semua kecuali pancasila, dan kita harus ambil sastra inggris, termodinamika, statiks, kelas kelas teknik sipil dan mesin. Semua murid tahun pertama diwajibkan ambil semua courses, tidak seperti di indonesia lulus sma langsung masuk ke fakultas pilihan, di Kanada kami harus bersaing tahun pertama untuk masuk ke fakultas pilihan kami.
    Masuk ke kedokteran saja anda butuh gelar sarjana, lalu kuliah kedokteran 4 tahun dan GPA requirementnya at least harus 3.8/4, tidak seperti dokter2 di indonesia yang lulus sma langsung kuliah kedokteran.

    Kita banyak sekali praktik, dan teori kita susah susah. Kenapa susah? Sebab disini banyak mahasiswa dari indonesia, Cina, India, dan negara lainnnya seperti jerman, dan rusia. Sehingga kita bisa berpendapat bahwa mereka punya background education yang kira2 standardnya bervariasi. Nah disini saja semua orang pada fail banyak kelas. Di indonesia, kalian semua kuliah, ambil kelas lulus semua, coba kalau kalian kuliah di kanada, bisa pass coursesnya tidak? :)

    Semester terakhir kalian thesis doang. Kita di Canada ga ada yang namanya thesis. Kalau kamu ambil kelas seperti international relations, atau german literature in 1940s, itu di setiap kelas harus tulis thesis, banyak halamannya. jadi bayangkan kalian tulis 1 thesis, dan kami tulis banyak thesis.

    As a result, most canadians actually know how to write structured and organised essays. sedangkan orang indonesia jarang yang tahu cara menulis essay, semuanya ancur.

    BalasHapus
  3. Saya pernah kerja sama orang indonesia yang baru lulus teknik selama beberapa bulan. Dia kuliah 4 tahun tapi dia ga ngerti apa2, alasannya ga punya pengalaman. Gw udah ngerti ini semua karena gw udah kerjakan semua tugas gw di tempat universitas gw. Bener bener ga belajar apa2 dia di tempat dia kuliah. Jangan sok mengejek orang korea, kalau kalian pikir mahasiswa korea tidak sepintar mahasiswa indonesia, kenapa yang bikin samsung, kia dan produk prduk lainnya korea? bukan indonesia?

    Walaupun buku kalian bahasa inggris, test bahasa inggris, mungkin pertanyaan kalian lebih simpel dan lebih mudah.

    Tentang bahasa inggris, bahasa inggris kalian itu ga bagus sama sekali. Emang bahasa inggris orang korea hancur, tapi apakah kalian kuliah jurusan bahasa inggris? selain itu bahasa korea itu struktur bahasanya jauh lebih berbeda dibandingan dengan bahasa indonesia ke inggris.
    Inggris dan indonesia, subjek baru objek, korea pakainya objek dan subjek.
    Kalau bahasa internasional ini adalah mandarin ataupun jepang, orang korea pasti bisa bahasa itu lebih baik daripada kalian. Saya sendiri fasih 4 bahasa, termasuk jerman dan mandarin.

    Semua orang di indonesia kliah 4 tahun, semua lulus 4 tahun. Bahkan teman saya ada yang bilang banyak banget yang cum laude. Dan hampir semua mahasiswa di indonesia adalah orang indonesia
    Di kanada, banyak yang berhenti kuliah, ganti fakultas jurusan ini karena terlalu susah, lulus 5 tahun, GPA pas pas an. Dan mahasiswa disini ada orang arab, indonesia, malaysia, europeans, chinese, africans, etc.

    Standard kalian sulit dipercaya.

    Saya sudah pernah lihat contoh soal ujian dan buku buku catatan yang dipakai mahasiswa indonesia untuk belajar teknik elektro, dan menurut saya, itu semua ga ada apa2nya. Semua pertanyaannya straight forward, di kanada gelar sarjana kalian tidak dianggap, kecuali kalau kalian lulusan ITB dan Universitas Indonesia, which is very unlikely for a small minded person like you.

    Gua kuliah teknik mati2an dan gua ga rela sama sekali kalau kalian berani berkata bahwa standard universitas kita disini sama saja. Temen gua lulusan SMUK 1 penabur, IPA, nilai 70an, kuliah 5 tahun baru lulus tanpa ganti jurusan.

    Pertanyaan terakhir, kalau universitas di indonesia bagus2, kenapa banyak orang indonesia yang kuliah di malaysia, cina, australia, singapura, dan bukan sebaliknya?

    BalasHapus