Sebuah ucapan dari para orang-orang tak beradab :v |
Kemarin, kata Facebook saya
ulang tahun. Sebenarnya saya sudah tahu sih bahwa dulu saya dilahirkan pada
hari Kamis, 27 Mei 1993 silam. Weton saya (katanya) Kamis Legi—pantesan saya
manis hehehe. Kenapa kata Facebook? Karena kebanyakan orang-orang tahu ultah
orang lain itu dari facebook hehehe.
Tapi mari kita menyimpang
sedikit. Mari kita bahas tentang kata “Ulang Tahun” dulu. Apakah kawan-kawan
melihat keanehan di sana? Tidak? Ya? Oke, yang bilang ‘ya’, saya tanya
lagi,”Apa anehnya?” Yap, betul.
Dari namanya saja Ulang Tahun,
harusnya sampai nilai-Aspek-Lingkungan-saya-dari-C-jadi-A-tanpa-mengulang hal
tersebut tak akan terjadi. Kecuali Anda adalah Gandalf yang mengalami 3 zaman
di Bumi Tengah. Dari Zaman Pendaratan Isildur sampai Penobatan Aragorn. Mana mungkin saya yang lahir pada Tahun 1993
akan mengalami tahun 1993 lagi? Aneh.
Padahal dalam Bahasa Inggris,
sudah benar lho. Yaitu birthday, yang
secara literal akan berarti hari kelahiran. Jadi yang diperingati itu harinya
(bukan tanggalnya sih, berarti harusnya tiap minggu diperingati hahaha), bukan
tahunnya. Bener kan? Aneh-aneh emang kita itu ya kawan hahaha.
Baik, kembali ke topic awal yang
ingin saya tulis. Ya, tentang ulang tahun saya:
Kemarin cukup banyak yang
mengucap, bahkan lebih banyak dari yang saya antisipasi. Namun yang pasti, 3
orang terdekat dalam hidup saya—Bapak, Mamak, dan Finna—tidak mengucapnya.
Karena memang hal seperti ini tak menjadi tradisi dalam keluarga saya.
Semuanya mengucapkan selamat.
Selamat ulang tahun, dengan doa-doanya yang sungguh kreatif. Alhamdulillah,
didoakan yang baik-baik, padahal mungkin saya sendiri jarang sekali mendoakan
mereka secara personal. Terimakasih pula atas pemberian yang berupa benda (bagi
yang memberikan), bahkan pemberian tersebut sangatlah bermanfaat (bisa buat sidang TA ntar, aamiin). Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih yang
limit menuju tak hingga dan semoga doa-doa tersebut kembali kepada kalian
bahkan dilipatgandakan.
Namun, saya kemudian memikirkan
suatu hal. Pantaskah saya gembira atas perhatian kawan-kawan? Tentu! Jika atas
berkurangnya jatah umur saya ini? Harusnya tidak. Ya, harusnya tidak.
Bayangkan, sepanjang ini hidup saya—22x365+5 hari tersebut, apa yang telah saya
lakukan? Atau lebih mudahnya begini, sejak saya sebagai mahasiswa dari tahun
2011 sampai sekarang, apa saja karya saya? Sekedar IPK yang cukup untuk men(y)enangkan
orang tua? Sekedar kumis dan jenggot yang mulai bertumbuh? Sekedar kebanggaan
atas kebebasan finansial untuk diri sendiri? Atau hanya berkutat pada
pertumbuhan kekuatan fisik semata, tanpa ada perubahan dalam kedewasaan dan
pengertian akan diri?
Ya Allah, sepertinya saya dulu
pernah muhasabah begini. Waktu itu banyak sekali resolusi yang ingin saya
capai, banyak sekali yang ingin saya perbaiki, banyak sekali yang ingin saya
berikan pada dunia. Tapi sekarang, jangankan pada dunia, pada TA pun saya berat
memberikannya yang terbaik. Lebih dari itu, saya merasa bertambahnya usia
sebanding dengan pertambahan maksiat saya dalam fungsi kuadratik, sedangkan
amalan ibadah saya hanya merupakan fungsi linear. Jika bukan karena ampunan
Allah yang memiliki koefisien lebih besar daripada fungsi maksiat saya, maka
entah bagaimana saya sanggup menghadap-Nya kelak.
Tidakkah kita (subjek ‘saya’
saya ganti dengan ‘kita’, khususnya yang segender dengan saya, karena saya
ingin berbagi) pernah berpikir, betapa semakin sering kita menduakan-Nya
setelah kita makin diberi kematangan akal? Segala fasilitas dunia yang
dipinjamkan pada kita, justru kita pakai untuk menjadi bebal pada seruan Tuhan?
Jika dulu saat kecil kita riang gembira diajak Bapak ke masjid, betapa sering
kita sekarang mengeluh dengan adanya panggilan adzan ketika sedang mengerjakan
suatu hal?
Jika dulu kita termaafkan karena
memang belum mengerti, apakah hujjah kita sekarang? Jika dulu kita menduakan
Tuhan semata karena ketidakmengertian, maka kita sekarang sengaja
menduakan-Nya. Jika dulu hati kita begitu bersih sehingga yang berkhianat hanya
pikiran dan paling-paling diisi permen dan mainan, sekarang bahkan hati kita
pun mengkhianati Tuhannya dengan mencintai yang tak layak secara berlebihan:
harta, IPK, bahkan yang paling aneh; gender sebelah yang bukan siapa-siapa kita.
Dulu kita begitu jujur, apa yang
di hati kita maka itu pula yang diucapkan oleh mulut. Apa yang kita kerjakan
terudzur oleh ketidakmengertian. Kini setelah dewasa, kebanyakan manusia
semakin manipulative. Kebanyakan manusia semakin munafik. Kebanyakan manusia
tetap melakukan yang salah, padahal ia tahu bahwa itu adalah kesalahan dan kegoblokan.
Kebanyakan manusia semakin takut perbuatannya diketahui orang lain. Dan semakin
dewasa, kita semakin takut menatap masa depan; yang artinya kita semakin tidak
tawakkal.
Dulu saat kecil, apakah pernah
kita khawatir dalam menjalani hari esok? Setiap pagi, kita menjemput suatu
janji akan keceriaan dan Kemurahan Tuhan untuk hari itu. Kita tidur lebih
nyenyak, bahkan meski siang tadi bergulat dengan kawan di atas gundukan pasir
akibat rebutan kelereng. Kini, bahkan kita masih merengut dan tidur dalam marah
oleh tindakan pengendara motor di jalanan tadi sore—yang tidak kita kenal dan
dia tidak salah-salah amat. Dulu kita selalu yakin bahwa Tuhan telah menyiapkan
yang terbaik untuk kita—kita hanya perlu menjemputnya dengan ikhtiar. Seperti
mencari ikan di sungai, kalau dapat senang, tidak dapat juga ceria. Kini,
bahkan banyak kawan yang mulai ribut cari pasangan, padahal ya belum mampu
berpasangan. Takut nggak kebagian apa -__-“
Dulu kita begitu sering
tersenyum, dan menyebut-nyebut kebaikan yang kita dapat. Sekarang, hanya
keluhan dan curhatan sampah dari para lelaki yang telah melupakan kode etik
laki-laki yang cukup penting; jangan kebanyakan curhat!
Ya, itulah yang saya pikir
kawan. Betapa bertambahnya usia saya, belum ada pekerjaan yang pantas disandingkan
dengan para pendahulu saya. Jangankan para tokoh pahlawan islam dari generasi
salaf, dibandingkan dengan Bapak saya sendiri pun saya merasa lebih cupu. Saya
tidak merasakan bahwa kebijaksanaan saya lebih besar daripada yang dimilikinya
dulu saat seusia saya. Padahal fasilitas yang saya miliki jauh lebih mumpuni
dari beliau. Bahkan beliau mengetik skripsinya tentang telaah pemikiran
“Masyarakat Islami Oleh Sayyid Qutthub” pakai mesin ketik, dan sudah beristri.
Man!
Namun sekali lagi, bukan berarti
saya tidak bersyukur. Rasa bersyukur terbesar saya adalah saya diizinkan dengan
mudah mengenal jalan kehidupan ini: Islam. Andaikan saya lahir di keluarga yang
beragama lain, saya ragu memiliki tempat curhat sebaik kesendirian saya dengan
Pencipta. Saya ragu akan memiliki tujuan hidup jauh melampaui kemungkinan saya
hidup. Saya ragu memiliki pikiran bahwa hidup tidak melulu tentang
senang-senang. Saya ragu memiliki suatu prinsip yang secara teori sudah final
dan itu menjadikan saya memiliki panduan dalam memilih: Ambil atau Tinggalkan.
Ya,
sesimpel itu. Tak perlu kajian ini itu, tak perlu memikirkan perasaan secara
parsial, tak perlu bingung apa kata orang, semua simple, Islam telah
mempertimbangkan semuanya. Yang kita butuhkan hanyalah upgrade pengertian kita akan Islam. Karena orang yang mengenal
dirinya, pasti akan mengenal Tuhannya.
Ah, jadi melebar ke mana-mana
cincong saya ini. Biarlah, anggap saja saya lagi curhat ehehehe.
Sekali lagi, terimakasih atas
doa-doa dan pemberiannya. Namun satu ralat saya, sebaiknya jangan pakai kata
‘selamat’ tapi ‘semangat’, karena berkurangnya jatah hidup adalah suatu yang
perlu dijadikan peringatan :)
NB:
Pasukan Line :v |
0 komentar:
Posting Komentar