Aku melihat banyak benda itu, terserak di sepanjang
perjalanan kita. Namun kau mengacuhkannya. Kau tak ambil sedikit pandang pun
padanya. Lalu kuambil satu, dan kutunjukkan padamu. Entah kenapa, aku melihat
binar di mata coklat beningmu yang aneh itu. Selaksa aku melihat pagi yang
kurindukan setiap harinya, namun seringkali kandas karena kalah dengan godaan
kasur setelah beribadah. Aku, selalu menemukan ganti pagi di matamu.
Kau ambil benda itu dari tanganku, kau perhatikan dengan
seksama. Padahal, tak ada beda antara yang kuambilkan dengan yang terserak di
jalanan. Kau pandangi lekat, dengan senyum janggal yang tak pernah kujumpai
selama ini, selain darimu. Suatu senyum yang dulunya sempat kukira seringai. Kau berganti
menatapku, dan seperti biasanya, aku terpana—jerawatmu bertambah satu. “Apa
ini?”, tanyamu. “Buah pinus,” kataku singkat. Menjawab pertanyaan, mengingat
kau yang jarang bertanya. Aku, selalu menemukan harapan di setiap tanyamu.
Aku pun mulai membual, dari urusan getah pinus yang
gampang terbakar hingga aroma buah pinus yang seperti mangga. Padahal aku hanya
mengais sedikit ingatan ketika pernah membaca mengenai suatu gunung di
wikipedia, lalu ada kata “pohon pinus” yang merupakan link ke artikel terkait. Juga
sedikit ingatan saat aku menonton acara “Jejak Petualang: Survival”. Kau pun
seperti biasanya, mendengarkanku dengan seksama. Tidak bertanya, tidak
memotong, pun juga tidak mengacuhkan. Hanya diam dan memperhatikan, selalu
sukses membuatku salah tingkah. Apalagi saat itu, kita belum sedekat ini. Jalan
kita bahkan lebih berkabut daripada Segara Anak di sore hari ketika dilihat
dari Plawangan Sembalun. Aku, selalu menemukan misteri pada setiap diammu.
Kau simpan buah itu, meski aku pun lupa pernah sengaja memberikannya
padamu. Hingga kau ingatkan aku. Hingga kau tunjukkan padaku bahwa kau
menyimpannya. Entah apa yang kurasakan. Geli kah? Lucu kah? Atau justru “jatuh”,
karena kau masih menyimpan sesuatu yang aku lupa pernah memberikannya (secara
sengaja)? Aku, selalu terkesan dengan tindakanmu yang tak biasa.
Lalu aku pun berpikir. Aku pun merenung. Di antara sekian
banyak buah pinus yang terserak, kau memilih menyimpan buah pinus yang kuambil
dengan tanganku. Mungkin, aku telah menitipkan doa, janji, dan harapan akan
masa depan pada buah pinus itu.
Catatan dari seseorang yang pernah, telah, dan akan terus mengagumimu.
Hingga Allah Menurunkan keputusannya akan kita.
0 komentar:
Posting Komentar