Sabtu, 09 Maret 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under :

                Aku terhenyak  dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh ini. Tersandar pada tembok yang berdebu, dengan sisinya yang terasa kasar. Namun kekasarannya yang menggores punggung ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang ada dalam kecamuk pikiranku.

                Kini  aku ambruk, terduduk sambil memegangi benda seberat empat setengah kilogram yang ada di tanganku. Ia begitu sulit kupegang karena telapak tanganku licin oleh keringat-yang semakin deras. Ah, kerongkongan ini begitu kering dan dadaku sungguh sesak. Terasa bagaikan hati menyesak ke tenggorokan. Sekali lagi, aku cemas. Aku takut. Aku …

                Lalu tiba-tiba saja berkelabatan bermacam-macam pikiran buruk di kepalaku. Ku geleng-gelengkan, hingga keringat pun berjatuhan di tanah berdebu sekitarku. Aku demikian merinding, hingga terasa bagian dalam dan luar menjadi geli-atau gatal-yang semu. Ku buang semua pikiran buruk itu, aku hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan air mata yang hampir menetes. Kemudian, sebuah kenangan muncul. Kenangan yang tak kuasa ku usir. Meski di luar sana begitu riuh.

***

                “Eh Mas Rahman udah pulang, kirain gak jadi pulang hari ini. Dari tadi pagi Ibu tunggu lho. Macet ya tadi?” Kata Ibuku dengan muka sumringah.

                “Iya Bu, kayaknya perlu pembatasan jumlah kendaraan deh. Biar mahasiswa yang pulang  kampung gak harus capek-capek di bus.” Jawabku sambil mencium tangan beliau. Setelah itu aku letakkan tasku di kamar, lalu ke kamar mandi. Dan tahukah kau? Saat keluar telah terhidang segelas teh hangat dan pisang  goreng. Baru kuminum seteguk dan hendak mencomot satu buah pisang  goreng kedua, adzan maghrib telah berkumandang. Bergegas aku letakkan, dan berjalan ke masjid. Dan Ibu pun tersenyum melihatnya, melihat anaknya masih cukup nggenah agamanya meski kini tak diawasi lagi.
***
                Terdengar berbagai macam teriakan di belakang dinding yang kusandari. Riuh sekali, dan sekali lagi lamunanku pun buyar. Tatapan mata seorang sahabat di depanku membuatku mengerti, bahwa sekarang adalah waktunya diam. Hanya diam, mematung di tempat…
***
                “Assalamu’alaykum,” Kataku mengawali pembicaraan di telepon.
                “Wa’alaykumsalam, ada apa Mas?” Kata Ibu terdengar bahagia saat kuhubungi.
                “Bu, saya ingin bicara. Penting, dan mungkin ini akan merubah seluruh jalan hidup yang telah Ibu harapkan pada saya. Namun, semua ini lahir dari sebuah kebutuhan Bu. Tetapi pendapat Ibu tetap merupakan yang akan saya laksanakan.” Kataku mengawali. Lalu aku pun mulai bercerita semuanya, semua rencanaku. Dan di seberang sana, kudengar Ibu menangis sesenggukan namun beliau tidak memotongku sedikitpun. Lalu aku pun bertanya,” Jadi bagaimana menurut Ibu?”
                “Ibu tahu kamu sudah besar dan telah tahu yang baik dengan yang buruk. Semoga apa yang kamu harapkan dikabulkan oleh Allah nak,” jawab Ibuku.

                “Terimakasih Ibu, lalu bagaimana pendapat Bapak tentang ini?”
                “Beliau tadi ikut mendengarkan perkataanmu, tapi sepertinya Bapakmu belum terlalu yakin dengan langkah yang akan kau ambil Nak. Tapi, bagaimanapun Bapakmu tahu bahwa pilihanmu tepat. Bapakmu hanya kaget hal itu akan secepat ini. Tak apa, biar nanti Ibu yang bicara. Dan pada adikmu juga.” Jawab Ibu panjang lebar.

                Dan ternyata ada sms masuk, bahwa ada transferan uang yang cukup besar. Alhamdulillah, bisa dijadikan modal dan bekal…

                Lalu teringat saat-saat menyenangkan bersama para sahabat. Makan bersama, ke masjid bersama, ngaji bersama. Namun dari mereka, hanya beberapa yang menyertaiku hingga saat ini. Banyak dari mereka yang punya halangan untuk menempuh jalan ini. Sebuah jalan untuk mereka yang siap menanggung resikonya…

                Dan kini, aku di sini. Bertanggung jawab atas apa yang telah ku pilih. Tak boleh ada penyesalan, tak boleh ada rasa bersalah…
***

                “Rahman, sekarang!” Kata Irsyad, salah seorang kawan dari Yordania dengan berbisik.

                “Siap!” Jawabku-dengan berbisik pula sambil mengambil posisi.

                Kulihat jalanan di balik tembok yang sekarang sudah sepi dari pertempuran. Rasa takut dan cemas dengan cepat menguap melihat wajah-wajah sombong mereka. Wajah yang tidak menunjukkan penyesalan meski telah menghancurkan suatu negeri yang tak pernah menyakiti mereka. Mereka memerangi saudara-saudara kami hanya karena saudara kami berkata,”Tuhan kami adalah Allah!”

                 Pasukan biadab itu telah masuk jebakan. Mereka mengira bahwa mereka telah berhasil memukul mundur teman-teman kami. Dasar bodoh!!! Ada sekitar 1000 prajurit dengan 60 tank Abrams menjadi pelindung mereka. Dan helikopter Apache serta Blackhawk berputar-putar di atas kepalaku. Tanah terasa bergetar ketika konvoi “kemenangan” mereka masuk ke “kota”. Sebenarnya ini adalah bekas kota yang telah kami kosongkan dengan meminta para penduduk meninggalkannya sementara, dan mereka dengan ikhlas mematuhi kami. Pers melihat itu sebagai gelombang pengungsian penduduk akibat kesewenang-wenangan kami. Namun silahkan tanya para penduduk wahai media munafik! Mereka hanya berpindah ke kota lain-kota yang telah kami kuasai. Justru pasukan penjajah kalianlah yang selalu menghujani kota padat penduduk dengan roket dan meriam. Kalian hanya banci yang enggan ketika kami ajak berperang  di pegunungan yang jauh dari warga sipil. Dan sekarang, kami ikuti pemintaan kalian untuk berperang dalam kota.

                Terdengar suara burung di kejauhan, dan 3 detik kemudian kepala 50 orang pasukan biadab yang tak terlindung karena kelengahan mereka tertembak peluru kami. Aku pun , membidik seorang perwira menengah yang sedang berdiri dengan pongahnya di atas Humvee. Padahal sebagian besar dari kami hanya bersenjatakan senapan serbu AK dan M-16 rampasan. Hanya ada beberapa sniper di antara kami, masyaAllah…

Tentu mereka kalut, apalagi sebagian besar yang kami bunuh adalah  pemimpin kendaraan atau pemimpin regu. Dalam keadaan kacau itu, meledaklah bom-bom yang kami tanam di bawah jalanan. Hanya berkah Allah sajalah mereka melupakan kemungkinan ini. Dan sekali lagi hanya karena karunia Allah bom murahan tersebut mampu menembus plat baja bagian bawah tank-tank kebanggan mereka.

                “ALLAHUAKBAR!!!!!” Teriakan komandan bagaikan komando bagi kami untuk mulai menyerang. Serentak, para mujahidin keluar dari liang persembunyiannya. Jumlah kami hanyalah 137 orang saja. Namun kecermatan pemimpin operasi menjadikan kami bagaikan menyebar dengan sangat merata. Tank mereka tak bisa mundur, karena di belakangnya banyak kendaraan yang telah hancur. Sebenarnya jika mereka maju dan terus bertempur, mungkin akan bisa menjadi pelindung bagi kawan mereka yang mundur. Namun mereka hanyalah banci yang dilengkapi senjata canggih tanpa keyakinan dan keberanian. Masing-masing hanya mencari selamat sehingga keadaan makin menguntungkan kami. Helicopter mereka kebingungan menembak karena kondisi sedemikian kacau dan jarak pertempuran yang dekat membuat sulit membedakan mana kawan atau lawan.

                Ini benar-benar bagai panen bagi kami, baik panen senjata atau panen nyawa. Banyak prajurit yang lari meninggalkan senjata beratnya. Yang dipikiran mereka hanya lari. Kami pun mulai mengambil alihnya, lalu membidikannya ke arah alat perang mereka di udara. Senjata makan tuan!!! Aku pun yang kehabisan amunisi bisa dengan mudahnya merebut sebuah M-4 dari musuh yang lari ke arahku. Tentu, setelah kurobohkan dia dengan sebuah tinju tepat di antara mulut dan hidung. Jika bukan karena tahu bahwa mereka pasti akan kembali, tentu kami biarkan mereka lari. Namun sekarang, TIDAK! Dalam perang tak boleh ada keragu-raguan!

0 komentar:

Posting Komentar