Aku
terhenyak dengan keringat yang membasahi
seluruh tubuh ini. Tersandar pada tembok yang berdebu, dengan sisinya yang
terasa kasar. Namun kekasarannya yang menggores punggung ini tidak ada
apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang ada dalam kecamuk pikiranku.
Kini aku ambruk, terduduk sambil memegangi benda
seberat empat setengah kilogram yang ada di tanganku. Ia begitu sulit kupegang
karena telapak tanganku licin oleh keringat-yang semakin deras. Ah,
kerongkongan ini begitu kering dan dadaku sungguh sesak. Terasa bagaikan hati
menyesak ke tenggorokan. Sekali lagi, aku cemas. Aku takut. Aku …
Lalu
tiba-tiba saja berkelabatan bermacam-macam pikiran buruk di kepalaku. Ku
geleng-gelengkan, hingga keringat pun berjatuhan di tanah berdebu sekitarku. Aku
demikian merinding, hingga terasa bagian dalam dan luar menjadi geli-atau
gatal-yang semu. Ku buang semua pikiran buruk itu, aku hanya bisa menunduk
untuk menyembunyikan air mata yang hampir menetes. Kemudian, sebuah kenangan
muncul. Kenangan yang tak kuasa ku usir. Meski di luar sana begitu riuh.
***
“Eh
Mas Rahman udah pulang, kirain gak jadi pulang hari ini. Dari tadi pagi Ibu
tunggu lho. Macet ya tadi?” Kata Ibuku dengan muka sumringah.
“Iya
Bu, kayaknya perlu pembatasan jumlah kendaraan deh. Biar mahasiswa yang
pulang kampung gak harus capek-capek di
bus.” Jawabku sambil mencium tangan beliau. Setelah itu aku letakkan tasku di
kamar, lalu ke kamar mandi. Dan tahukah kau? Saat keluar telah terhidang
segelas teh hangat dan pisang goreng.
Baru kuminum seteguk dan hendak mencomot satu buah pisang goreng kedua, adzan maghrib telah
berkumandang. Bergegas aku letakkan, dan berjalan ke masjid. Dan Ibu pun
tersenyum melihatnya, melihat anaknya masih cukup nggenah agamanya meski kini
tak diawasi lagi.
***
Terdengar
berbagai macam teriakan di belakang dinding yang kusandari. Riuh sekali, dan
sekali lagi lamunanku pun buyar. Tatapan mata seorang sahabat di depanku
membuatku mengerti, bahwa sekarang adalah waktunya diam. Hanya diam, mematung
di tempat…
***
“Assalamu’alaykum,”
Kataku mengawali pembicaraan di telepon.
“Wa’alaykumsalam,
ada apa Mas?” Kata Ibu terdengar bahagia saat kuhubungi.
“Bu,
saya ingin bicara. Penting, dan mungkin ini akan merubah seluruh jalan hidup
yang telah Ibu harapkan pada saya. Namun, semua ini lahir dari sebuah kebutuhan
Bu. Tetapi pendapat Ibu tetap merupakan yang akan saya laksanakan.” Kataku
mengawali. Lalu aku pun mulai bercerita semuanya, semua rencanaku. Dan di
seberang sana, kudengar Ibu menangis sesenggukan namun beliau tidak memotongku
sedikitpun. Lalu aku pun bertanya,” Jadi bagaimana menurut Ibu?”
“Ibu
tahu kamu sudah besar dan telah tahu yang baik dengan yang buruk. Semoga apa
yang kamu harapkan dikabulkan oleh Allah nak,” jawab Ibuku.
“Terimakasih
Ibu, lalu bagaimana pendapat Bapak tentang ini?”
“Beliau
tadi ikut mendengarkan perkataanmu, tapi sepertinya Bapakmu belum terlalu yakin
dengan langkah yang akan kau ambil Nak. Tapi, bagaimanapun Bapakmu tahu bahwa
pilihanmu tepat. Bapakmu hanya kaget hal itu akan secepat ini. Tak apa, biar
nanti Ibu yang bicara. Dan pada adikmu juga.” Jawab Ibu panjang lebar.
Dan
ternyata ada sms masuk, bahwa ada transferan uang yang cukup besar.
Alhamdulillah, bisa dijadikan modal dan bekal…
Lalu
teringat saat-saat menyenangkan bersama para sahabat. Makan bersama, ke masjid
bersama, ngaji bersama. Namun dari mereka, hanya beberapa yang menyertaiku
hingga saat ini. Banyak dari mereka yang punya halangan untuk menempuh jalan
ini. Sebuah jalan untuk mereka yang siap menanggung resikonya…
Dan
kini, aku di sini. Bertanggung jawab atas apa yang telah ku pilih. Tak boleh
ada penyesalan, tak boleh ada rasa bersalah…
***
“Rahman,
sekarang!” Kata Irsyad, salah seorang kawan dari Yordania dengan berbisik.
“Siap!”
Jawabku-dengan berbisik pula sambil mengambil posisi.
Kulihat
jalanan di balik tembok yang sekarang sudah sepi dari pertempuran. Rasa takut
dan cemas dengan cepat menguap melihat wajah-wajah sombong mereka. Wajah yang
tidak menunjukkan penyesalan meski telah menghancurkan suatu negeri yang tak
pernah menyakiti mereka. Mereka memerangi saudara-saudara kami hanya karena
saudara kami berkata,”Tuhan kami adalah Allah!”
Pasukan biadab itu telah masuk jebakan. Mereka
mengira bahwa mereka telah berhasil memukul mundur teman-teman kami. Dasar
bodoh!!! Ada sekitar 1000 prajurit dengan 60 tank Abrams menjadi pelindung
mereka. Dan helikopter Apache serta Blackhawk berputar-putar di atas kepalaku.
Tanah terasa bergetar ketika konvoi “kemenangan” mereka masuk ke “kota”.
Sebenarnya ini adalah bekas kota yang telah kami kosongkan dengan meminta para
penduduk meninggalkannya sementara, dan mereka dengan ikhlas mematuhi kami.
Pers melihat itu sebagai gelombang pengungsian penduduk akibat kesewenang-wenangan
kami. Namun silahkan tanya para penduduk wahai media munafik! Mereka hanya
berpindah ke kota lain-kota yang telah kami kuasai. Justru pasukan penjajah
kalianlah yang selalu menghujani kota padat penduduk dengan roket dan meriam.
Kalian hanya banci yang enggan ketika kami ajak berperang di pegunungan yang jauh dari warga sipil. Dan
sekarang, kami ikuti pemintaan kalian untuk berperang dalam kota.
Terdengar
suara burung di kejauhan, dan 3 detik kemudian kepala 50 orang pasukan biadab
yang tak terlindung karena kelengahan mereka tertembak peluru kami. Aku pun ,
membidik seorang perwira menengah yang sedang berdiri dengan pongahnya di atas
Humvee. Padahal sebagian besar dari kami hanya bersenjatakan senapan serbu AK
dan M-16 rampasan. Hanya ada beberapa sniper di antara kami, masyaAllah…
Tentu mereka kalut, apalagi
sebagian besar yang kami bunuh adalah
pemimpin kendaraan atau pemimpin regu. Dalam keadaan kacau itu,
meledaklah bom-bom yang kami tanam di bawah jalanan. Hanya berkah Allah sajalah
mereka melupakan kemungkinan ini. Dan sekali lagi hanya karena karunia Allah
bom murahan tersebut mampu menembus plat baja bagian bawah tank-tank kebanggan
mereka.
“ALLAHUAKBAR!!!!!”
Teriakan komandan bagaikan komando bagi kami untuk mulai menyerang. Serentak,
para mujahidin keluar dari liang persembunyiannya. Jumlah kami hanyalah 137
orang saja. Namun kecermatan pemimpin operasi menjadikan kami bagaikan menyebar
dengan sangat merata. Tank mereka tak bisa mundur, karena di belakangnya banyak
kendaraan yang telah hancur. Sebenarnya jika mereka maju dan terus bertempur,
mungkin akan bisa menjadi pelindung bagi kawan mereka yang mundur. Namun mereka
hanyalah banci yang dilengkapi senjata canggih tanpa keyakinan dan keberanian.
Masing-masing hanya mencari selamat sehingga keadaan makin menguntungkan kami.
Helicopter mereka kebingungan menembak karena kondisi sedemikian kacau dan
jarak pertempuran yang dekat membuat sulit membedakan mana kawan atau lawan.
Ini
benar-benar bagai panen bagi kami, baik panen senjata atau panen nyawa. Banyak
prajurit yang lari meninggalkan senjata beratnya. Yang dipikiran mereka hanya
lari. Kami pun mulai mengambil alihnya, lalu membidikannya ke arah alat perang
mereka di udara. Senjata makan tuan!!! Aku pun yang kehabisan amunisi bisa dengan
mudahnya merebut sebuah M-4 dari musuh yang lari ke arahku. Tentu, setelah
kurobohkan dia dengan sebuah tinju tepat di antara mulut dan hidung. Jika bukan
karena tahu bahwa mereka pasti akan kembali, tentu kami biarkan mereka lari.
Namun sekarang, TIDAK! Dalam perang tak boleh ada keragu-raguan!
0 komentar:
Posting Komentar