Hari ini saya ingin berbagi
sesuatu. Namun sebelumnya, biarkan saya ceritakan sedikit tentang beberapa hal.
Pernah suatu hari saya mendapat
cerita dari kawan saya. Dia sangat ingin masuk ke suatu jurusan di sebuah
universitas ternama. Tetapi, Allah berkehendak lain. Akhirnya dia justru
diterima di pilihan keduanya alih-alih pilihan pertamanya. Memang, dia ikhlas
ketika bercerita pada saya namun tahun depannya dia mencoba lagi. Dan memang
sering pula kita dengar mengenai kisah seseorang yang mencoba berkali-kali
untuk bisa lolos suatu seleksi.
Kemudian, saya ada cerita
tentang kawan saya yang lain. Yang ini urusan, ehem, “cinta”. Dia begitu tulus
dan seolah pantang mundur untuk mengejar “cinta”-nya. Meski sudah pernah “nembak”
dan ditolak, dia masih saja mengejar sang gadis. Waktu saya tanya kenapa
demikian dia menjawab,”Gini bro, aku ini tipe cowok setia dan sulit jatuh “cinta”.
Tapi sekalinya jatuh cinta, pasti dalam sekali. Biarin begini dulu, toh batu
saja bisa terkikis dengan tetesan air. Yang penting, sabar saja.”
Masih ada satu cerita lagi. Yang
ini tentang seorang kawan yang mirip dengan kasus yang pertama. Dia begitu
ingin mendapat sesuatu(apa itu sesuatunya saya pikir cukup rahasia). Namun dia
tahu, bahwa sesuatu sangat sulit jika tak ingin disebut mustahil untuk dicapai.
Dan akhirnya, dia memilih mundur dan sayangnya, dia terbenam dalam
kemundurannya itu. Ketika saya bertanya mengapa dia memilih mundur, dijawabnya,”UNTUK
APA MENGEJAR SESUATU YANG TIDAK MUNGKIN? BIKIN CAPEK SAJA!”
Sampai beberapa waktu saya bingung. Ada kalanya kita mendapat nasihat untuk terus mengejar cita-cita. Tak peduli bahwa kita sebenarnya tahu jika melihat yang ada pada diri kita—kecuali ada keajaiban laksana mukjizat—sungguh tak mungkin mencapainya. Namun saya juga pernah mendengar bahwa kita harus realistis, bahwa jika sesuatu sudah tak mungkin lebih baik ganti target dengan yang lebih rendah. Tak perlu muluk-muluk dalam berkeinginan, karena terlalu ambisius itu tidak baik—begitu katanya.
Sungguh, saya bingung sekali
bagaimana bersikap. Hingga jika ada kawan yang cerita ke saya, saya lebih
sering menguatkan apa yang mereka inginkan. Bukan memberi nasihat. Untuk banyak
kasus ini sungguh berhasil karena rata-rata orang yang curhat itu hanya butuh
teman yang mau mendengarkan dan menguatkan. Bukan nasihat seindah puisi orang
yang lagi kasmaran dan akhirnya hanya menjadi fatamorgana. Namun terkadang saya
menjumpai kasus di mana nasihat benar-benar menjadi hal yang sangat dia
inginkan. Akhirnya mau tak mau saya merenung dan merenung hingga beberapa hari
yang lalu saya teringat suatu kisah. Kisah apa itu? Nanti saja.
Sekarang saya ingin membuat
suatu analogi dulu. Pada suatu zaman di mana perang masih dengan kuda, pedang,
panah, dan tombak ada seorang panglima perang yang menghadapi dilemma. Dia ada
pada suatu pilihan yang sulit. Dia telah membawa pasukannya untuk menakhlukkan
suatu negeri, namun ketika telah sampai perbatasan negeri yang akan diserang
dia melihat sesuatu yang mengejutkan. Dia melihat bahwa pasukan musuh tiga
puluh tiga kali lebih banyak dari pasukannya. Selain itu, pasukan yang bertahan
tentunya lebih segar karena mereka tidak menempuh perjalanan jauh sebagaimana
pasukan penyerang. Ditambah lagi dengan perbedaan perlengkapan perang yang
sangat mencolok. Dan terakhir yang membuat miris, tembok benteng musuh begitu
kuat dan tebal sehingga beberapa pasukan pendahulu langsung dilibas habis
ketika mendekatinya. Jika demikian, apa yang harus dilakukan sang panglima
penyerang? HARUSKAH DIA MENJALANI SUATU PERTEMPURAN YANG TAK MUNGKIN UNTUK
DIMENANGI?
Pilihan Pertama
Sang panglima perang adalah
seseorang yang sangat berani. Meski tahu bahwa keadaan sudah demikian
mustahilnya, dia masih yakin akan datangnya “keajaiban”. Akhirnya dia kobarkan
semangat tempur pasukannya yang sudah “compang-camping” untuk melaksanakan
pukulan terakhir. Persis seperti Hitler yang memaksa pasukannya terus bertempur
melawan tentara merah Soviet di kota Stalingrad meski musim dingin mulai
menerpa.
Dan seperti yang terjadi pada
pasukan Nazi, begitu pula yang terjadi pada pasukan penyerang kita ini. Mereka
musnah, dan hanya kekalahan yang diterima oleh sang panglima. Memang, melihat
yang dilakukan san panglima saya hanya berkomentar:
Sebuah perbuatan yang sangat berani, namun sekaligus sangat bodoh
Karena dia mengorbankan begitu
banyak hal hanya untuk sesuatu yang SIA-SIA. Bayangkan, berapa banyak logistic yang
seharusnya bisa dia simpan alih-alih dihancurkan? Tidakkah dia berpikir tentang
pasukannya yang mati tanpa membawa hasil? Padahal dia tidak harus menjalani
pertempuran ini bukan? Jika demikian, mau apa dia?
Pilihan Kedua
Sang
panglima perang berpikir dengan taktis. Melihat pasukan mata-mata dan
pendahulunya yang tak satu pun kembali sehingga tak ada data yang didapat
membuatnya berpikir sia-sia untuk menjalani peperangan ini. Dia takut menjalani
peperangan ini karena memang kemungkinan untuk menang sudah demikian mustahil. Dan
akhirnya, dia pun menarik mundur pasukannya.
Tentu di antara pasukannya ada
yang kecewa. Mereka menilai sang panglima terlalu lemah. Namun panglima tidak
menggubrisnya, bahkan ketika sampai di negerinya sendiri dia mulai melakukan
demiliterisasi. Yaitu proses pengurangan komponen militer besar-besaran karena
dia berpikir bahwa kegagalannya dalam penakhlukan kemarin adalah bukti bahwa
sudah tidak pada tempatnya berperang lagi. Hingga akhirnya seluruh pasukan
kehilangan kemampuan tempurnya, pedang-pedang menjadi tumpul dan berkarat, dan
perisai serta baju besi telah dilebur untuk dibuat perabot masak.
Untuk panglima perang jenis ini,
aku berkomentar:
Sebuah perbuatan yang sangat cerdas, namun sekaligus sangat pengecut
Sungguh sebuah perbuatan sia-sia
jika akhirnya menelantarkan kemampuan tempur pasukannya yang sudah ia latih
sedemikian keras. Bahkan baju besi pun sampai dilebur menjadi cangkir kopi.
Pilihan Ketiga
Yang dilakukan oleh panglima
jenis ini sama dengan pilihan kedua. Dia melihat adalah suatu kesia-siaan jika
armada tempurnya harus musnah padahal ia tahu pertempuran sudah tak mungkin
dimenangi. Sehingga ia ambil tali kekang kudanya dan mulai mengarahkan
pasukannya pulang.
Namun tidak sampai di sini saja.
Dia mulai memutar otak untuk mengatur strategi baru. Dia pelajari
kelemahan-kelemahan musuh, kondisi geografis dan sebagainya. Pada perjalanan
pulang pun telah dia bangun jalan dan persinggahan-persinggahan semacam
garnisun di mana dia menempatkan beberapa pasukan untuk menjaga sekaligus
membangun daerah perbatasan. Selain itu dia kunjungi kepala klan di sepanjang
jalan pulang untuk meguatkan posisinya. Hal ini akan sangat berguna untuk
menjamin kelangsungan suplai logistiknya.
Di markasnya sendiri, digiatkan
membangun kekuatan ekonomi demi mengangkat kekuatan militernya pula. Setelah libur
sejenak, pasukannya tak dibiarkan untuk berleha-leha. Mereka dilatih lebih
keras dan cerdas, guna meningkatkan kualitasnya. Tak hanya kualitas, dia pun
meningkatkan kuantitas pasukannya. Selain itu, dia mulai mengedarkan
pandangannya ke daerah sekelilingnya untuk membuat sebuah kesepakan di mana tak
akan saling berperang. Sehingga dia bisa lebih focus pada satu target. Atau justru
ia mulai mengkaji lagi, daerah mana yang akan ditakhlukkan terlebih dahulu. Daerah
yang lebih mudah untuk direbut demi menambah kekuatan pasukan perangnya. Bahkan
mungkin akhirnya dia menemukan negeri yang lebih menjanjikan untuk ditakhlukkan
daripada negeri yang pertama.
Untuk panglima yang ini hanya
ada satu komentar:
Sebuah perbuatan yang bijaksana
Demikianlah analogi yang saya
buat terkait mengejar sesuatu yang “mustahil”. Sungguh sia-sia jika kita tetap
mengejarnya meski tahu bahwa hal itu hanya akan menghancurkan diri kita. Kerugian-kerugian
yang kita dapat misalnya waktu, tenaga, juga mungkin biaya. Namun, yang paling
berat tentu rugi usia. Kalau orang sekarang bilang kita harus move on.
Namun mundur saja hanya untuk terpuruk juga merupakan suatu kepengecutan. Menurunkan target saja sudah buruk apalagi lelah untuk berjuang. Yang ada bukan menurunkan target, tapi merasionalkan target.
Yaitu bukan kita yang merasa tak mampu lalu mengejar target yang lebih rendah, namun kita yang harus memantaskan diri untuk mengejar target tersebut. Atau mungkin mencari target lain yang lebih feasible untuk dicapai namun secara kualitas tidak kalah dari target yang kita tinggalkan.
Mari bekerja keras secara cerdas, bukannya bekerja keras SAJA. Karena lalat yang menabrak kaca namun tak pernah bisa menembusnya itu juga bekerja keras, tapi bodoh. Dan akhirnya dia mati karena terus-menerus membenturkan dirinya ke kaca.
Cara
yang sama hanya akan menciptakan hasil yang sama!
NB: semua dongengan ini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri saja. Jika pembaca melihat ada bermanfaat, syukur wal hamdulillah. Tiada maksud menggurui atau apapun, namun jika terkesan demikian saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Oh ya, kisah apa yang menginspirasi? Jawabnya adalah peristiwa pengangkatan Khalid bin Walid menjadi panglima perang pasukan Islam pada peristiwa perang mu'tah.
Oh ya, kisah apa yang menginspirasi? Jawabnya adalah peristiwa pengangkatan Khalid bin Walid menjadi panglima perang pasukan Islam pada peristiwa perang mu'tah.
0 komentar:
Posting Komentar