Rabu, 06 November 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Hari ini saya ingin berbagi sesuatu. Namun sebelumnya, biarkan saya ceritakan sedikit tentang beberapa hal.

                Pernah suatu hari saya mendapat cerita dari kawan saya. Dia sangat ingin masuk ke suatu jurusan di sebuah universitas ternama. Tetapi, Allah berkehendak lain. Akhirnya dia justru diterima di pilihan keduanya alih-alih pilihan pertamanya. Memang, dia ikhlas ketika bercerita pada saya namun tahun depannya dia mencoba lagi. Dan memang sering pula kita dengar mengenai kisah seseorang yang mencoba berkali-kali untuk bisa lolos suatu seleksi.

                Kemudian, saya ada cerita tentang kawan saya yang lain. Yang ini urusan, ehem, “cinta”. Dia begitu tulus dan seolah pantang mundur untuk mengejar “cinta”-nya. Meski sudah pernah “nembak” dan ditolak, dia masih saja mengejar sang gadis. Waktu saya tanya kenapa demikian dia menjawab,”Gini bro, aku ini tipe cowok setia dan sulit jatuh “cinta”. Tapi sekalinya jatuh cinta, pasti dalam sekali. Biarin begini dulu, toh batu saja bisa terkikis dengan tetesan air. Yang penting, sabar saja.”

                Masih ada satu cerita lagi. Yang ini tentang seorang kawan yang mirip dengan kasus yang pertama. Dia begitu ingin mendapat sesuatu(apa itu sesuatunya saya pikir cukup rahasia). Namun dia tahu, bahwa sesuatu sangat sulit jika tak ingin disebut mustahil untuk dicapai. Dan akhirnya, dia memilih mundur dan sayangnya, dia terbenam dalam kemundurannya itu. Ketika saya bertanya mengapa dia memilih mundur, dijawabnya,”UNTUK APA MENGEJAR SESUATU YANG TIDAK MUNGKIN? BIKIN CAPEK SAJA!”

                Sampai beberapa waktu saya bingung. Ada kalanya kita mendapat nasihat untuk terus mengejar cita-cita. Tak peduli bahwa kita sebenarnya tahu jika melihat yang ada pada diri kita—kecuali ada keajaiban laksana mukjizat—sungguh tak mungkin mencapainya. Namun saya juga pernah mendengar bahwa kita harus realistis, bahwa jika sesuatu sudah tak mungkin lebih baik ganti target dengan yang lebih rendah. Tak perlu muluk-muluk dalam berkeinginan, karena terlalu ambisius itu tidak baik—begitu katanya.

                Sungguh, saya bingung sekali bagaimana bersikap. Hingga jika ada kawan yang cerita ke saya, saya lebih sering menguatkan apa yang mereka inginkan. Bukan memberi nasihat. Untuk banyak kasus ini sungguh berhasil karena rata-rata orang yang curhat itu hanya butuh teman yang mau mendengarkan dan menguatkan. Bukan nasihat seindah puisi orang yang lagi kasmaran dan akhirnya hanya menjadi fatamorgana. Namun terkadang saya menjumpai kasus di mana nasihat benar-benar menjadi hal yang sangat dia inginkan. Akhirnya mau tak mau saya merenung dan merenung hingga beberapa hari yang lalu saya teringat suatu kisah. Kisah apa itu? Nanti saja.

                Sekarang saya ingin membuat suatu analogi dulu. Pada suatu zaman di mana perang masih dengan kuda, pedang, panah, dan tombak ada seorang panglima perang yang menghadapi dilemma. Dia ada pada suatu pilihan yang sulit. Dia telah membawa pasukannya untuk menakhlukkan suatu negeri, namun ketika telah sampai perbatasan negeri yang akan diserang dia melihat sesuatu yang mengejutkan. Dia melihat bahwa pasukan musuh tiga puluh tiga kali lebih banyak dari pasukannya. Selain itu, pasukan yang bertahan tentunya lebih segar karena mereka tidak menempuh perjalanan jauh sebagaimana pasukan penyerang. Ditambah lagi dengan perbedaan perlengkapan perang yang sangat mencolok. Dan terakhir yang membuat miris, tembok benteng musuh begitu kuat dan tebal sehingga beberapa pasukan pendahulu langsung dilibas habis ketika mendekatinya. Jika demikian, apa yang harus dilakukan sang panglima penyerang? HARUSKAH DIA MENJALANI SUATU PERTEMPURAN YANG TAK MUNGKIN UNTUK DIMENANGI?

Pilihan Pertama

                Sang panglima perang adalah seseorang yang sangat berani. Meski tahu bahwa keadaan sudah demikian mustahilnya, dia masih yakin akan datangnya “keajaiban”. Akhirnya dia kobarkan semangat tempur pasukannya yang sudah “compang-camping” untuk melaksanakan pukulan terakhir. Persis seperti Hitler yang memaksa pasukannya terus bertempur melawan tentara merah Soviet di kota Stalingrad meski musim dingin mulai menerpa.

                Dan seperti yang terjadi pada pasukan Nazi, begitu pula yang terjadi pada pasukan penyerang kita ini. Mereka musnah, dan hanya kekalahan yang diterima oleh sang panglima. Memang, melihat yang dilakukan san panglima saya hanya berkomentar:

Sebuah perbuatan yang sangat berani, namun sekaligus sangat bodoh


                Karena dia mengorbankan begitu banyak hal hanya untuk sesuatu yang SIA-SIA. Bayangkan, berapa banyak logistic yang seharusnya bisa dia simpan alih-alih dihancurkan? Tidakkah dia berpikir tentang pasukannya yang mati tanpa membawa hasil? Padahal dia tidak harus menjalani pertempuran ini bukan? Jika demikian, mau apa dia?

Pilihan Kedua

                Sang panglima perang berpikir dengan taktis. Melihat pasukan mata-mata dan pendahulunya yang tak satu pun kembali sehingga tak ada data yang didapat membuatnya berpikir sia-sia untuk menjalani peperangan ini. Dia takut menjalani peperangan ini karena memang kemungkinan untuk menang sudah demikian mustahil. Dan akhirnya, dia pun menarik mundur pasukannya.

                Tentu di antara pasukannya ada yang kecewa. Mereka menilai sang panglima terlalu lemah. Namun panglima tidak menggubrisnya, bahkan ketika sampai di negerinya sendiri dia mulai melakukan demiliterisasi. Yaitu proses pengurangan komponen militer besar-besaran karena dia berpikir bahwa kegagalannya dalam penakhlukan kemarin adalah bukti bahwa sudah tidak pada tempatnya berperang lagi. Hingga akhirnya seluruh pasukan kehilangan kemampuan tempurnya, pedang-pedang menjadi tumpul dan berkarat, dan perisai serta baju besi telah dilebur untuk dibuat perabot masak.

                Untuk panglima perang jenis ini, aku berkomentar:

Sebuah perbuatan yang sangat cerdas, namun sekaligus sangat pengecut


                Sungguh sebuah perbuatan sia-sia jika akhirnya menelantarkan kemampuan tempur pasukannya yang sudah ia latih sedemikian keras. Bahkan baju besi pun sampai dilebur menjadi cangkir kopi.

Pilihan Ketiga

                Yang dilakukan oleh panglima jenis ini sama dengan pilihan kedua. Dia melihat adalah suatu kesia-siaan jika armada tempurnya harus musnah padahal ia tahu pertempuran sudah tak mungkin dimenangi. Sehingga ia ambil tali kekang kudanya dan mulai mengarahkan pasukannya pulang.

                Namun tidak sampai di sini saja. Dia mulai memutar otak untuk mengatur strategi baru. Dia pelajari kelemahan-kelemahan musuh, kondisi geografis dan sebagainya. Pada perjalanan pulang pun telah dia bangun jalan dan persinggahan-persinggahan semacam garnisun di mana dia menempatkan beberapa pasukan untuk menjaga sekaligus membangun daerah perbatasan. Selain itu dia kunjungi kepala klan di sepanjang jalan pulang untuk meguatkan posisinya. Hal ini akan sangat berguna untuk menjamin kelangsungan suplai logistiknya.

                Di markasnya sendiri, digiatkan membangun kekuatan ekonomi demi mengangkat kekuatan militernya pula. Setelah libur sejenak, pasukannya tak dibiarkan untuk berleha-leha. Mereka dilatih lebih keras dan cerdas, guna meningkatkan kualitasnya. Tak hanya kualitas, dia pun meningkatkan kuantitas pasukannya. Selain itu, dia mulai mengedarkan pandangannya ke daerah sekelilingnya untuk membuat sebuah kesepakan di mana tak akan saling berperang. Sehingga dia bisa lebih focus pada satu target. Atau justru ia mulai mengkaji lagi, daerah mana yang akan ditakhlukkan terlebih dahulu. Daerah yang lebih mudah untuk direbut demi menambah kekuatan pasukan perangnya. Bahkan mungkin akhirnya dia menemukan negeri yang lebih menjanjikan untuk ditakhlukkan daripada negeri yang pertama.

                Untuk panglima yang ini hanya ada satu komentar:

Sebuah perbuatan yang bijaksana



                Demikianlah analogi yang saya buat terkait mengejar sesuatu yang “mustahil”. Sungguh sia-sia jika kita tetap mengejarnya meski tahu bahwa hal itu hanya akan menghancurkan diri kita. Kerugian-kerugian yang kita dapat misalnya waktu, tenaga, juga mungkin biaya. Namun, yang paling berat tentu rugi usia. Kalau orang sekarang bilang kita harus move on.

                Namun mundur saja hanya untuk terpuruk juga merupakan suatu kepengecutan. Menurunkan target saja sudah buruk apalagi lelah untuk berjuang. Yang ada bukan menurunkan target, tapi merasionalkan target.

 

Yaitu bukan kita yang merasa tak mampu lalu mengejar target yang lebih rendah, namun kita yang harus memantaskan diri untuk mengejar target tersebut. Atau mungkin mencari target lain yang lebih feasible untuk dicapai namun secara kualitas tidak kalah dari target yang kita tinggalkan.

 

 Mari bekerja keras secara cerdas, bukannya bekerja keras SAJA. Karena lalat yang menabrak kaca namun tak pernah bisa menembusnya itu juga bekerja keras, tapi bodoh. Dan akhirnya dia mati karena terus-menerus membenturkan dirinya ke kaca.

 

Cara yang sama hanya akan menciptakan hasil yang sama!

NB: semua dongengan ini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri saja. Jika pembaca melihat ada bermanfaat, syukur wal hamdulillah. Tiada maksud menggurui atau apapun, namun jika terkesan demikian saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Oh ya, kisah apa yang menginspirasi? Jawabnya adalah peristiwa pengangkatan Khalid bin Walid menjadi panglima perang pasukan Islam pada peristiwa perang mu'tah.

0 komentar:

Posting Komentar