Rabu, 30 April 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                 

sumber: http://i228.photobucket.com/albums/ee59/Spiritof76man/cheshire_cat_2BEST.jpg



                      Bismillah…

                Alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk mendongeng lagi, di tengah-tengah hujan baris-baris excel untuk calculation sheet hehe. Oke, jadi apa yang mau saya dongengkan hari ini?

                Kemarin malam, sepulang ngajar seperti biasa (harus) melahap jalanan kota Bandung. Dan seperti biasa pula, mata melihat banyak hal yang menarik di jalanan. Karena kemarin otak saya sedang enak buat berpikir (atau ngelamun?), jadilah pikiran saya kembali ke saat saya kuliah pada siang harinya.

“Jadi cita-cita itu dua (setidaknya), jangka panjang dan jangka pendek. Oke lah, kalau jangka panjang susah, yang jangka pendek aja deh. Kira-kira 5 tahun ke depan kamu mau jadi apa? Kalau kamu tidak punya cita-cita, ya susah. Kamu akan terombang-ambing dalam hidup. Ini lebih penting dari sekedar kuliah PSK (Pengantar Sistem Kontrol) lho!” Kami tertawa setuju saja. Karena hampir seluruh waktu kuliah habis tidak untuk membahas fenomena kontrol suatu sistem.


 “El*o, kalau kamu punya cita-cita apa?” tanya kaprodi saya kepada salah seorang kawan.

“Ehm, kuliah ke Jepang Pak!” jawabnya dengan mantap.

“Nah, bagus. Berarti kamu harus mempersiapkan segalanya kan? Bahasa Jepangnya, ya segalanya lah…” dan beliau membahas dengan panjang lebar tentang persiapan untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

“Nah, kalau kamu Mas. Kamu mau jadi apa?” tanya beliau ke saya. Waduh, otak saya mulai memilih beberapa cita-cita yang sudah saya patok di dalam kepala dan hati—memilih yang paling pas dikatakan di sini.

“Punya perusahaan, eh pabrik pembuatan senjata Pak!”

“Jangka panjang atau jangka pendek?”

“Jangka panjang Pak,” jawab saya.

“Ehm, lalu kamu berasal dari keluarga yang oang tuanya mampu untuk memodali kamu mas?”

“Tidak  Pak,” jawab saya tegas.

“Lalu, kamu perlu mengumpulkan modal kan?”

“Yo, eh iya Pak.”

“Jadi, kamu lebih memilih bekerja di Pindad karena itu sesuai bidang minat kamu atau bekerja di perusahaan lain yang menjanjikan gaji lebih besar? Pilih mana?

“Gaji besar Pak.”

“Kenapa?”

“Agar bisa melangkah lebih dekat kepada cita-cita jangka panjang saya Pak.”

“Hmm, bagus! Kalau gitu cita-cita jangka pendekmu?”

“Bekerja di perusahaan yang berhubungan dengan alat berat Pak, atau mungkin manufakturnya.”

Dari sini saya cukupkan percakapan saya dengan beliau. Diskusi semakin menarik dengan cerita-cerita dan pertanyaan-pertanyaan beliau kepada teman yang lain. Kami diajak untuk mulai menyusun masa depan—atau karir setidaknya. Bahkan menyinggung tantangan yang akan dialami wanita dalam merencanakan masa depannya. Pekerjaan ini memiliki keuntungan ini, yang itu memiliki keuntungan itu. Tidak hanya gaji—meski ini juga menjadi salah satu titik berat diskusi—melainkan juga tentang pengalaman, training, dan pembelajaran sosialnya.  Jujur, di kepala saya mulai lebih jelas lagi strategi mengenai apa yang kurang dan lebih dari saya untuk mengejar suatu karir di bidang tertentu.

Namun di jalanan saya melihat yang lain…

 Jika di kelas kami membicarakan profesi ini denga benefit ini, maka saya diingatkan kembali bahwa ada orang-orang yang tidak seberuntung kita—kami. Jangankan memilih jalan dan cara-cara untuk mengejar karir tersebut, tahu bahwa karir itu pun eksis belum tentu.  

Satu hal yang paling membuat saya galau (cie galau juga akhirnya pak penulis), adalah anak-anak kecil yang harus turun ke jalan untuk menjadi—yah, pastinya tahu lah Anda semua. Mau memberi  takut menjadikan mereka kebiasaan, atau parahnya hanya jadi setoran pada orang dewasa yang mengeksploitasi mereka. Namun, mau tidak memberi kok ya berasa kejam. Jam segitu masih di jalanan apakah besok tidak ngantuk saat sekolah? Atau malah tidak sekolah? Padahal katanya sekolah sekarang gratis kan?

Akhirnya karena terlalu lama galau lampu lalu lintas keburu jadi hijau. Sungguh suatu ironi yang menusuk perasaan saya. Di saat siang harinya kami berdiskusi seru tentang suatu profesi yang wah-wah, tidak jauh di luar tembok tempat sekolah saya bertebaran permasalahan tentang mereka yang tak sempat memikirkan ingin jadi apa mereka. Mungkin mereka memiliki cita-cita yang tinggi, namun setinggi apa? Karena menurut saya cita-cita itu berdialektika dengan pengetahuan—dan pengalaman. Oleh karenanya akan ada yang namanya revisi bukan?

 Pikiran saya melayang kembali lebih jauh ke belakang. Ke masa kecil saya. Mengenai cita-cita yang dari kecil menghantui setiap mimpi saya—Insinyur. Salahkan lagu Joshua yang liriknya ada pengen bikin pesawat itu lho. Yaah, meski di sana katanya professor, tapi semakin besar semakin tahu bahwa mereka berprofesi sebagai engineer—dan tidak harus sampai jadi professor. Lalu, lebih galau lagi lagu-lagu sekarang yang isinya cuma cewek ngejar cowok atau cowok ngemis ke cewek, mau jadi apa mereka? Pengemis (nafsu)? Cih, chicken!  

Ah, entahlah. Kembali lagi, sungguh ini sebuah ironi. Ironi yang saya rasakan. Maafkanlah jika ada yang tersinggung atau yang lain. Anggap saja sekedar dongengan dari seorang pelajar yang mendapat gelar (yang katanya berarti besar) sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang sedang resah melihat negerinya mengalami ketimpangan yang besar ini. Seorang mahasiswa yang sebenarnya tidak berasal dari kelurga atas, bahkan sekedar membiayai kuliah pun saya harus dibayari rakyat negeri ini. Dan sekarang sedang bekerja sambilan sebagai tukang dongeng fisika dan matematika keliling…





0 komentar:

Posting Komentar