Dulu saya pernah menulis tentang
lelaki sejati. Atau lebih tepatnya, LELAKI IDEAL. Dan memang, contoh paling
ideal jika menurut saya adalah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam. Dan lagi, biasanya untuk mencapai kondisi ideal itu
memerlukan beberapa langkah. Jika pada kasus ini adalah mengenai menjadi lelaki
ideal, maka salah satu langkahnya—menurut saya—adalah dengan menjadi pria
dewasa.
Pria Dewasa?
Ya,
pria dewasa saya anggap bukanlah seorang sosok yang sempurna nan ideal. Ia hanyalah
salah satu langkah mencapai titik ideal yang dicita-citakan setiap orang. Dalam
kedewasaan, parameter-parameternya tidaklah sesulit menjadi sosok ideal bukan?
(Hehehe, berasa jadi cak lontong ya paragraph yang ini)
Jadi, sebenarnya apa yang
melatar-belakangi saya menulis hal ini? Pertama, artikel ini: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/04/03/0652365/Mengapa.Anak.yang.Pintar.di.Sekolah.Bisa.Alami.Kesulitan.Ekonomi.
Pada tulisan itu memang tidak
spesifik menyebut kualifikasi untuk menjadi pria dewasa. Dan baiklah, mungkin
di artikel ini lebih menyerang tentang anak-anak yang pandai secara akademik akan
cenderung kesulitan nantinya—ketika ia dewasa. Salahkan saya jika Anda merasa
bahwa saya melakukan generalisasi.
Namun
yang rasakan, ada kesan generasi di atas
saya mulai ragu untuk melihat kedewasaan generasi saya—atau kita. Kesan bahwa
generasi saya hanyalah kumpulan anak manja yang terbiasa hidup mudah dengan
jaminan dari orang tuanya. Sebuah generasi yang terlalu naïf, sehingga menjadi
orang-orang utopis yang membayangkan dunia orang dewasa semudah serial teletubbies.
Kenapa Begitu?
Ada
banyak hal yang menyebabkannya. Beberapa hal akan coba saya ulas merupakan
hasil celotehan saya dengan kawan-kawan dan baca sana-sini. Aneh ya, diskusi
dengan orang-orang segenerasi yang sama-sama sedang dianggap sebagai generasi
terlambat dewasa. Tetapi setidaknya kami merasakan hal yang sama, keganjilan
yang sama, ketika kami merasa generasi di atas kami mulai meragukan kami
sebagai generasi penerus. Dan sekali lagi, sebuah generasi yang terlambat
dewasa.
Untuk diketahui, kedewasaan
sungguh berbeda dengan bertambah tuanya umur. Kedewasaan adalah mengenai
karakter, dan paradigma dalam memahami kehidupan serta kedewasaan itu sendiri.
Bukan sekedar sudah memiliki KTP akan menjamin bahwa yang memiliki tidak akan
bersikap sebagai anak TK yang manja. Atau sekedar sudah bisa menghamili anak
orang, bahkan jika orang itu pun sudah menikah. Ya, dewasa lebih dari itu.
Kembali kepada subjudul di atas,
kenapa kedewasaan generasi kita dianggap terlambat?
Sekarang, coba kita lihat
sekeliling kita. Atau malah kita sendiri. Tengoklah kembali diri kita sesaat
setelah keluar kantor kelurahan waktu mengambil KTP. Lalu tanyakan pada diri
kita,”Sudahkah kita layak disebut dewasa? Layakkah kita jika kita disebut
dewasa ketika bahkan ditanya mau kuliah di mana masih dijawab,’Masih galau nih’.”
Bahkan menggerutu ketika uang jajan terasa kurang. Kita hanya melihat masalah
demi masalah, tanpa mau sedikit berlelah diri dengan solusi. Kita yang saat itu
hanya tahu tentang menadah pada orangtua. Kita yang berpikir bahwa belajar di
sekolah sudah sedemikian beratnya (tapi emang berat sih, apalagi bejibun gitu
mata pelajarannya) sehingga layak untuk ‘digaji’ dengan uang saku.
Yah, mungkin karena di sekolah
kita terbiasa dengan solusi eksak. Solusi yang sudah pasti ada ketika kita
membuka kunci jawaban di halaman paling belakang. Bayangkan, 12 tahun seperti
itu. Tidak aneh bukan jika kita melihat hidup semudah cincong para motivator?
Selain itu, kita terbiasa
menjadi pengemis. Pengemis kepada orang tua kita setidaknya. Padahal—dalam
pengalaman kehidupan saya sendiri—ayah saya sudah bekerja sejak kecil. Bertani ke
sawah untuk membantu kakek saya. Sepulang sekolah menyiangi rumput sambil
menggembala sapi atau kambingnya. Begitulah dulu perjuangan orang tua—ayah—kita
dahulu. Perjuangan yang akan mematangkan karakter dan kepribadiannya, sehingga
menjadi pria tangguh seteguh batu karang. Bukan pria menye yang diracuni lagu-lagu
picisan merusak dengan isi mengajarkan menjadi penyembah ‘cinta lawan jenis’. Dan
bukankah Rasul sejak kecil telah bekerja sebagai penggembala?
Saya teringat kisah seorang
petani yang menyuruh anaknya selalu bekerja sepulang sekolah. Dia pun ditegur
oleh tetangganya,”Janganlah kau terlalu disiplin dan keras pada anakmu. Tanamanmu
akan tetap tumbuh baik tanpa harus kau mempekerjakan anakmu seperti ini.” Dan
sang petani menjawab,”Aku tidak sedang berusaha menumbuhkan tanaman padiku,
melainkan menumbuhkan karakter anakku.”
Akibatnya?
Pria yang terjebak oleh hidup
dalam kenyamanan seperti ini, akhirnya hanya akan mengerdilkan dirinya sendiri.
Dia tidak akan pernah bertumbuh, hanya hitungan jatah dia di dunia saja yang
semakin berkurang. Fisiknya bertambah tua, namun secara emosional masih menjadi
orang yang tergantung pada orang lain—pada orang tuanya.
Orang tua memang wajar ingin
selalu menjaga anaknya aman dan nnyaman. Tercukupi segala pangan, sandang, dan
papan. Tidak kekurangan belaian kasih sayang dan perhatian. Namun satu hal yang
lupa dipahami—atau terlambat dipahami—adalah seberapa banyak anaknya
membutuhkan itu. Layaknya obat, jika dosisnya tak sesuai umur tentu akan
berakibat buruk bukan? (ini hasil baca-baca dari salah satu artikel hehe). Intinya,
enggan melepaskan anak lelakinya untuk menjadi pribadi yang mandiri, pribadi
yang tertantang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. (Jika pada artikel di
atas, orang tua selalu hadir menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi
tanggung jawab anaknya)
Dalam artikel-artikel tersebut,
hal ini akan memproduksi pria-pria yang hanya berkumis dan berjenggot namun
bermental layaknya bocah laki-laki yang egois dan tidak mampu bertanggung
jawab, bahkan atas dirinya sendiri. Mereka menjadi pria yang tergantung secara
emosional kepada orang tuanya, terkhusus kepada mamanya. Bahkan lebih parah,
tergantung secara fisik juga dengan orang tua. Bukan karena tidak mampu membeli
rumah baru, namun lebih karena takut pisah dengan mamanya. Takut tidak bisa
merasakan masakan mama, takut tidak dapat perhatian mama, dan bahkan takut
memutuskan sesuatu dalam hidupnya tanpa asistensi dari mama. Jujur, tinggal
dengan orang tua memang menyenangkan tapi ketika tidak mampu mengurus diri dan
mengambil keputusan dalam hidupnya sendiri, ia tak akan pernah menjadi pria
dewasa seutuhnya. Lalu, bagaimana mungkin ia berani untuk bermimpi mampu
mengurus anak orang lain?
“Bagaimana
mungkin Anda menjadi pria dewasa yang seutuhnya bila orang tua Anda saja tidak
menganggap Anda dewasa dan selalu melihat Anda sebagai anak kecil yang harus
diatur-atur dan dijaga? Coba dipikirkan..”
Lalu, Apa Yang Harus Dilakukan?
Menjadi dewasa merupakan suatu
proses yang berkesinambungan. Setiap hari merupakan suatu pendidikan bagi
pendewasaan diri kita. Dan berikut beberapa hal yang menurut saya bisa
dijadikan referensi—karena saya pilih-pilih dari beberapa referensi yang saya
baca hehe.
1.
Merantau.
Cara pertama untuk melatih kedewasaan adalah “pergi”. Tinggalkan
tempat aman, nyaman, dan penuh makanan yang bernama rumah itu. Lihatlah dunia
luar dengan kacamata yang baru sebagai seorang yang “tunawisma”. Rasakan tantangan
untuk selalu memikirkan apa yang harus Anda lakukan esok hari jika masih ingin
makan—meski sekedar memilih keputusan akan makan di warteg yang mana.
Mustahil Anda mendapatkan pelajaran hidup jika selalu saja
berdiam di tempat itu. Tempat di mana orang tua Anda akan selalu memandang Anda
sebagai cute little boy-nya. Nikmati kebebasan
Anda sebagai seorang yang berhak untuk menentukan hidupnya sendiri, sekaligus
berkewajiban untuk menilai kebebasan tersebut dengan standar tanggung jawab
yang baru.
Ketika Anda keluar dari rumah, tinggal di tempat lain—jika
bisa bukan di rumah saudara juga—maka
Anda akan mulai kehilangan kenyamanan dan rasa aman. Dua hal inilah yang selalu
menjadi penjara bagi pengembangan diri: Rasa nyaman dan rasa aman.
Tenang saja, toh Anda selalu memiliki rumah untuk mudik
bukan? ;)
2.
Coba
Hal-Hal Baru.
3.
Minimalisir
Dana Dari Orang Tua.
Di mana pun di dunia ini, umumnya Anda tak akan pernah
dipandang dewasa selama Anda tidak memiliki penghasilan. Ini merupakan suatu
aturan yang universal. Dan untuk mencapai tingkat itu, mulai sekarang mulailah
untuk sedikit demi sedikit mengambil alih tugas menghidupi diri Anda dari orang
tua. Mulailah belajar untuk menghidupi diri sendiri. dan cara termudah adalah
dengan mengurangi permintaan kepada orang tua. Ada banyak cara untuk hal ini.
Apalagi katanya pemuda itu penuh ide dan energy kan? :D
4.
Jangan
Jadi Anak “Terlalu Penurut”.
Ya, Anda tidak salah baca. Saya menganjurkan Anda untuk tidak
selalu jadi anak manis yang menuruti setiap perkataan orang tua. Pada usia
tertentu, ada saatnya orang tua dan kita berdiskusi bukan sebagai ‘yang selalu
benar sedang mengajari yang tidak tahu apa-apa’. Kita perlu melatih diri untuk
berdiskusi secara seimbang, dengan mengedepankan alasan logis dan pertimbangan
yang matang. Sekali lagi, kedepankan alasan yang logis dan pertimbangan matang.
Bukan sekedar rengekan anak kecil yang hanya tahu ngambek jika keinginannya
tidak dituruti.
Orang tua, seharusnya bangga jika anaknya telah mampu
memikirkan yang terbaik bagi dirinya. Diskusi, kini tak hanya berjalan satu
arah melainkan dua arah. Jika orang tua tidak membiasakan anaknya untuk demikian,
sampai kapan orang tua akan selalu ada untuk menjawab tantangan yang sedang
dialami putranya yang manja itu?
Bicarakan perbedaan pendapat dengan baik-baik. Tunjukkan Anda
layak mendapat pengakuan dari orang tua bahwa telah cukup mampu memutuskan apa
yang terbaik bagi diri Anda, bukan yang terbaik menurut orang tua Anda—saja. Seperti
misalnya jika orang tua bilang,”Buat apa naik gunung, nyusahin diri aja.”
Apakah Anda lalu akan terus mengikuti kata-kata itu. Di saat teman-teman Anda
menikmati petualangan penuh tantangan tersebut, Anda hanya bisa gigit jari
mendengar cerita mereka bagaimana perjalanannya sungguh seru dan syarat
pembelajaran.
Intinya, Anda wajib
meghormati orang tua Anda sebagaimana orang tua juga wajib mengerti bahwa
anaknya perlu latihan ini demi pelajaran pendewasaannya.
5.
Bertanggung
Jawab.
Akan lucu sekali jika setelah Anda berhasil meyakinkan orang
tua Anda tentang manfaat-manfaat mendaki lalu ketika pulang dengan badan tepar
dan lecet-lecet tiba-tiba curcol langsung ke mama(Eh, berarti ini belum
merantau ya? :p). Mengeluh. Menyalahkan keputusan yang telah diambil. Kalau begitu,
reaksi apa lagi yang akan dikatakan orang tua selain,”Tuh kan, apa mama bilang.
Besok-besok makanya nurut.” Skak Mat ini namanya. Dan ketika nantinya Anda harus
melakukan hal lainnya maka penentangan orang tua akan semakin berat.
Terkadang, keadaan tidak berjalan sesuai perencanaan Anda. Meski
telah dihitung dan dipersiapkan secara matang. Nah, di sinilah ujian
kedewasaan. Seberapa jauh Anda mampu memahami konsekuensi atas pilihan-pilihan
yang Anda ambil. Dan ini pula yang harus menjadi pertimbangan matang untuk
melakukan poin 1-6. Bertanggung jawab atas ke-bertanggung jawab-an kita itu
sendiri merupakan contoh bertanggung jawab yang berat. Dan akhirnya, jadikan
pengalaman itu sebagai pelajaran yang berharga akibat kesulitan yang kita
alami.
7.
Kendali
Atas Diri Sendiri, Termasuk Emosi.
Anda tak mungkin menjadi pria dewasa jika Anda menjadi budak
dari emosi Anda. Berpikir jernih bahkan dalam kondisi paling tidak mengenakkan
merupakan salah satu ujian terbesar dalam usaha menjadi pria dewasa. Jika Anda
tak dapat mengatur diri Anda, lalu bagaimana Anda akan mengatur hal-hal di luar
Anda?
Itulah
beberapa poin yang saya jadikan pengingat atas diri saya yang juga sedang
belajar menjadi pria yang lebih dewasa dari hari kemarin. Mari simpan
kekanak-kanakkan dalam diri kita untuk dikeluarkan pada saat kedewasaan
mengatakan bahwa itu merupakan saat baginya keluar.
Beberapa bacaan:
0 komentar:
Posting Komentar