Tadi siang kampus saya ramai. Bukan,
bukan karena ada walimahan atau traktiran massal. Namun lebih disebabkan oleh
kedatangan seorang gubernur negeri ini yang akhirnya menjadi polemik di antara
aktivis kemahasiswaan ITB.
Entahlah, maafkan saya jika saya
tidak pada kapasitas yang sesuai dalam membedah permasalahan ini. Anggap saja ini sekedar celoteh dari seorang
mahasiswa yang jengah ketika melihat tempatnya menuntut ilmu dipolitisasi, dan
kemudian dimaki-maki oleh orang di luar sana. Yang mengatakan kami hanya pintar
di IQ dan cethek di EQ—padahal konsep
IQ, SQ, dan EQ sendiri saya juga tak terlalu paham. Seorang mahasiswa yang sedari siang tadi
mendengar komentar-komentar yang pro dan kontra dengan aksi Bang Jefrry dkk. Dan saat itu terjadi,
saya hanya bisa diam. Dan kinilah saya ingin membicarakannya…
Dua Sudut Pandang
Terdapat dua pendapat mengenai
bapak yang satu ini—dan murni pandangan teman-teman saya warga kampus. Seperti biasa,
agar bisa menjadi seorang yang adil kita perlu melihat dengan berdiri pada
sepatu yang sama dengan kedua pihak. Yah, meski saya bingung bagaimana caranya
berdiri pada sepatu yang sedang dipakai orang (abaikan).
Yang pro mengatakan,”Apa
salahnya? Beliau kan hanya ingin memberikan kuliah umum? Datang juga tidak
memakai atribut partai kan?”
Menurut
informasi yang saya ketahui, beliau datang untuk memberikan kuliah umum/Studium Generale di bidang penataan perkotaan. Yah, bagus bukan? Dan apa
yang salah? Bahkan dikabarkan bapak tersebut juga berencana melakukan
tandatangan MoU mengenai pembangunan monorel dengan dosen-dosen ITB(katanya sih
masih belum saatnya dibuka ke public).
Kemudian
ada pula yang berpendapat,”Bukankah ada partai tertentu yang ‘berkampanye’
lewat masjid? Dengan acara-acara kaderisasinya yang rapi dan basis massa yang
kuat bahkan semenjak dari SMA? Kenapa yang ini boleh sedang yang itu tidak?
Bukankah ini standar janda eh ganda?”
Sekali
lagi, apa yang salah?
Nah,
jika yang di atas tadi adalah pendapat yang kontra dengan aksi, kini saya
jabarkan pendapat mereka yang pro. Dan saya curiga, jangan-jangan mereka ini
yang tadi ikut aksi hehe.
Baiklah,
ini kata mereka—menanggapi alasan pertama yang kontra,”Kampus adalah tempat
yang seharusnya netral. Seluruh elemen politik praktis dalam hal ini partai,
dalam bentuk apapun haram melakukan kegiatan di dalam kampus. Ketika seorang
tokoh, dengan peran gandanya—sebagai ‘pelayan’ masyarakat dan kader partai
apalagi capres—datang dan disambut oleh massa kampus hanya akan menjadikan
masyarakat berpersepsi bahwa warga Ganesha mendukungnya. Dan ini berarti ITB
bukan menjadi milik Bangsa Indonesia melainkan milik sekelompok golongan! Jika
dia memang berniat bekerja sama dengan kita, kenapa tidak dari dulu? Jika pun
memang dia berniat jujur tanpa ada keinginan kampanye, kita hanya melakukan
pencegahan terhadap efek yang mungkin terjadi pada masyarakat.”
Sedangkan
tentang alasan yang kedua dijawab langsung oleh orang-orang yang terlibat,” oke, ngerti2... emg keliatan sih basisnya
klo di mesjid ya.. Tapi ya mau gmn lagi. Urg dan org lain yg mw belajar islam
lewat mentoring, yg mengadakan fasilitas berupa mentornya ya org2 dr partai
itu, klo disuruh minggat dari mesjid kampus, mw mentoring dmn lg kita... Toh
mentor2 mah ga ada yg memperngaruhi lewat mentoring. Udah pernah mentoring AAEI(nama
mata kuliah agama-red)? murni cuma
memfasilitasi utk belajar islam kok. Mungkin masalah waktu aja sih klo yg
jokowi, keliatannya sengaja banget mw politisasi karena udah jadi capres. Klo
yg di mesjid kn mw ada pemilihan atw ngga, mentoring tetep jalan...” (Ini
full saya copas dari yang punya komentar).
Pandangan Masyarakat
Silahkan Anda baca di sini. Di
sana lebih terlihat bahwa masyarakat bukan menilai benar salahnya kampanye di
kampus melainkan cara-cara mahasiswa yang terkesan tidak elegan, arogan, dan
brutal. Mengapa harus dengan demo? Tidakkah bisa dengan cara seperti mengajak
diskusi? Atau debat sekalian?
Celoteh Saya
Baiklah,
kini giliran saya yang berpendapat. Saya, secara garis besar sangat setuju
dengan ide netralitas kampus dalam hal beginian (politik praktis). Ingat sekali
lagi dan garis bawahi, SAYA MENOLAK POLITISASI KAMPUS! Dan garis bawahi pula
bahwa tidak mesti saya berangkat dari pemikiran yang sama dengan teman-teman
yang menolak partai kampanye di kampus.
Mengapa? Yang paling masuk akal
bagi saya dan mungkin diterima oleh semua kalangan adalah pemikiran saya bahwa
ITB merupakan milik bangsa ini. Bahkan pernah dikatakan bila ITB merupakan
kebalikan dari Bhineka Tunggal Ika (BTI). Yang artinya senada dengan BTI namun
dengan frasa yang dibalik yaitu ‘Satu yang Berwarna/Berbeda-beda’. Saat netralitas
kampus tergadaikan—bahkan jika itu atas ide mereka yang menjadi pucuk pimpinan
kampus—saat itulah kata-kata pada Plaza Widya harus ditambahkan. Mungkin dengan
kalimat,”Supaya mencetak kader partai yang militan, bahkan menganggap partai
sebagai agama dengan pemimpinnya sebagai nabi.” :v
Kemudian saya akan berkomentar
tentang pendapat masyarakat untuk mengajak diskusi beliau pada kuliah umum
tersebut. Sepengalaman saya ikut kuliah umum, yang namanya kuliah umum itu ya
lebih kepada penyampaian materi dengan cara berceramah—lebih kepada satu arah. Jika
pun nantinya terdapat interaksi, ya itu hanya pada sesi tanya jawab. Kecuali Anda
mengalami atau memiliki definisi kuliah umum yang berbeda dengan saya. Jika memang
berniat demikian, tentunya lebih pas kalau judulnya “Audiensi dan Diskusi”,
bukan kuliah umum. Atau sekalian “Debat dengan (isi nama beliau)”. Tetapi, hal
ini akan berimplikasi bahwa acara tersebut lebih kentara sebagai kampanye—atau
juga ajang penjatuhan harga diri seseorang jika acaranya debat. Yang paling pas
dan tepat, panggil semua tokoh partai lalu biarkan mereka berdebat—dengan saya
membayangkan jika Jin yang di iklan rokok Djar*m Coklat itu hadir lalu menyulap
semuanya menjadi jujur hehehe. Sekali lagi,
ini tentang mahalnya sebuah citra netralitas.
Memang ada beberapa partai yang
mulai “terlihat” di kampus. Yang ini pun saya sebenarnya tidak setuju, sangat
tidak setuju. Namun beginilah realitanya, sangat sulit untuk mencapai kondisi
ideal. Setidaknya mereka tidak terlalu “terlihat” sebagaimana kedatangan bapak
capres siang ini. Biarlah mereka dengan kadernya, selama tidak terang-terangan
dalam mempolitisir kampus. Atau parahnya lagi mempolitisir isu agama demi suara.
Atau sebuah harakah yang menyebut dengan terang-terangan dirinya partai tapi
berteriak tentang haramnya demokrasi *ups :x
Tetapi saya memang tidak menutup
mata pada pendapat masyarakat bahwa demo
itu terkesan tidak elegan dan brutal. Sebenarnya yang paling bersalah menurut
saya di sini adalah media, juga teman-teman yang melakukan aksi. Saya sendiri
juga tidak melihat langsung—tadinya pengen ikut tapi salah liat jam, dikira jam
16.00 eh ternyata jam 13.00 -_-“
Pertama, media terlihat
berkobar-kobar. Bahkan lebay. Bukankah ada informasi tentang Prabowo yang
ditolak oleh massa kampus lain? Mana beritanya? Dan lagi, terlihat aksi hanya
dilakukan tanpa pertimbangan matang, sekedar emosi saja. Tidakkah media
bertanya kepada koordinator aksi mengapa menggunakan jalan demo? Tidakkah media
berpikir bahwa pemberitaannya sangat tidak berimbang, karena hanya menceritakan
suatu kegiatan tanpa “bertabayyun” tentang latar belakangnya.
Kemudian, kepada para pemuja
bapak tersebut. Tidak perlulah mengatakan kami ini kampungan dan berpemikiran
seperti anak tidak lulus TK jika pernyataan Anda berangkat dari ketersinggungan
seseorang yang idolanya di tolak orang lain. Saya sendiri jengah melihat ‘blusukan’-nya.
Apa hasilnya? Berapa biayanya? Seorang pemimpin itu tidak hanya dinilai dari
kemauan dia menemui rakyatnya—meski ini penting. Yang lebih penting adalah
ketika ia bisa melihat realita yang ada tanpa harus rakyatnya tahu bahwa ia
sedang turun ke jalan. Selami cara Umar bin Khattab ketika blusukan. Ceritanya ada
di blog ini juga kok. Eh, saya netral koooooook. Saya bukan kader partai mana
pun kok hehehehe. Orang kelingking saya bersih tanggal 9 kemaren :p
Kepada teman-teman yang ikut
aksi tersebut, alangkah baiknya jika dibuat sebuah tulisan yang akan memberikan
sudut pandang kalian mengapa kalian melakukan dan memilih jalan tersebut pada
aksi yang telah dilakukan. Yang http://news.detik.com/read/2014/04/17/152325/2558385/10/2/jokowi-didemo-saat-akan-kuliah-umum-ini-sikap-keluarga-mahasiswa-itb kurang menurut saya hehe.
Terakhir, terimakasih kepada
masyarakat yang masih begitu perhatian kepada kami. Kami bukanlah malaikat yang
selalu benar, bukan pula gerombolan setan berpendidikan seperti anak TK. Kami hanyalah
salah satu elemen bangsa yang kebetulan memang menjadi harapan bangsa. Sehingga
setiap kritik yang kalian lakukan merupakan penyemangat untuk memperbaiki diri.
Dan semoga setiap kritik yang kalian sampaikan—tidak peduli seberapa kasarnya—berangkat
dari ketulusan dan kasih sayang untuk memperbaiki.
NB: Alasan utama
saya menolak politisir kampus berangkat dari aqidah. Sebuah keyakinan tentang
bathil dan haramnya demokrasi, serta kehati-hatian untuk ikut terlibat di
dalamnya meski itu untuk urusan kemaslahatan da’wah :)
0 komentar:
Posting Komentar