Kamis, 17 April 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


                Tadi siang kampus saya ramai. Bukan, bukan karena ada walimahan atau traktiran massal. Namun lebih disebabkan oleh kedatangan seorang gubernur negeri ini yang akhirnya menjadi polemik di antara aktivis kemahasiswaan ITB.

                Entahlah, maafkan saya jika saya tidak pada kapasitas yang sesuai dalam membedah permasalahan ini.  Anggap saja ini sekedar celoteh dari seorang mahasiswa yang jengah ketika melihat tempatnya menuntut ilmu dipolitisasi, dan kemudian dimaki-maki oleh orang di luar sana. Yang mengatakan kami hanya pintar di IQ dan cethek di EQ—padahal konsep IQ, SQ, dan EQ sendiri saya juga tak terlalu paham.  Seorang mahasiswa yang sedari siang tadi mendengar komentar-komentar yang pro dan kontra dengan aksi Bang Jefrry dkk. Dan saat itu terjadi, saya hanya bisa diam. Dan kinilah saya ingin membicarakannya…

Dua Sudut Pandang

                Terdapat dua pendapat mengenai bapak yang satu ini—dan murni pandangan teman-teman saya warga kampus. Seperti biasa, agar bisa menjadi seorang yang adil kita perlu melihat dengan berdiri pada sepatu yang sama dengan kedua pihak. Yah, meski saya bingung bagaimana caranya berdiri pada sepatu yang sedang dipakai orang (abaikan).

                Yang pro mengatakan,”Apa salahnya? Beliau kan hanya ingin memberikan kuliah umum? Datang juga tidak memakai atribut partai kan?”


Menurut informasi yang saya ketahui, beliau datang untuk memberikan kuliah umum/Studium Generale di bidang penataan perkotaan. Yah, bagus bukan? Dan apa yang salah? Bahkan dikabarkan bapak tersebut juga berencana melakukan tandatangan MoU mengenai pembangunan monorel dengan dosen-dosen ITB(katanya sih masih belum saatnya dibuka ke public).

Kemudian ada pula yang berpendapat,”Bukankah ada partai tertentu yang ‘berkampanye’ lewat masjid? Dengan acara-acara kaderisasinya yang rapi dan basis massa yang kuat bahkan semenjak dari SMA? Kenapa yang ini boleh sedang yang itu tidak? Bukankah ini standar janda eh ganda?”

Sekali lagi, apa yang salah?

Nah, jika yang di atas tadi adalah pendapat yang kontra dengan aksi, kini saya jabarkan pendapat mereka yang pro. Dan saya curiga, jangan-jangan mereka ini yang tadi ikut aksi hehe.

Baiklah, ini kata mereka—menanggapi alasan pertama yang kontra,”Kampus adalah tempat yang seharusnya netral. Seluruh elemen politik praktis dalam hal ini partai, dalam bentuk apapun haram melakukan kegiatan di dalam kampus. Ketika seorang tokoh, dengan peran gandanya—sebagai ‘pelayan’ masyarakat dan kader partai apalagi capres—datang dan disambut oleh massa kampus hanya akan menjadikan masyarakat berpersepsi bahwa warga Ganesha mendukungnya. Dan ini berarti ITB bukan menjadi milik Bangsa Indonesia melainkan milik sekelompok golongan! Jika dia memang berniat bekerja sama dengan kita, kenapa tidak dari dulu? Jika pun memang dia berniat jujur tanpa ada keinginan kampanye, kita hanya melakukan pencegahan terhadap efek yang mungkin terjadi pada masyarakat.”

Sedangkan tentang alasan yang kedua dijawab langsung oleh orang-orang yang terlibat,” oke, ngerti2... emg keliatan sih basisnya klo di mesjid ya.. Tapi ya mau gmn lagi. Urg dan org lain yg mw belajar islam lewat mentoring, yg mengadakan fasilitas berupa mentornya ya org2 dr partai itu, klo disuruh minggat dari mesjid kampus, mw mentoring dmn lg kita... Toh mentor2 mah ga ada yg memperngaruhi lewat mentoring. Udah pernah mentoring AAEI(nama mata kuliah agama-red)? murni cuma memfasilitasi utk belajar islam kok. Mungkin masalah waktu aja sih klo yg jokowi, keliatannya sengaja banget mw politisasi karena udah jadi capres. Klo yg di mesjid kn mw ada pemilihan atw ngga, mentoring tetep jalan...” (Ini full saya copas dari yang punya komentar).

Pandangan Masyarakat

                Silahkan Anda baca di sini. Di sana lebih terlihat bahwa masyarakat bukan menilai benar salahnya kampanye di kampus melainkan cara-cara mahasiswa yang terkesan tidak elegan, arogan, dan brutal. Mengapa harus dengan demo? Tidakkah bisa dengan cara seperti mengajak diskusi? Atau debat sekalian?

Celoteh Saya

                Baiklah, kini giliran saya yang berpendapat. Saya, secara garis besar sangat setuju dengan ide netralitas kampus dalam hal beginian (politik praktis). Ingat sekali lagi dan garis bawahi, SAYA MENOLAK POLITISASI KAMPUS! Dan garis bawahi pula bahwa tidak mesti saya berangkat dari pemikiran yang sama dengan teman-teman yang menolak partai kampanye di kampus.

                Mengapa? Yang paling masuk akal bagi saya dan mungkin diterima oleh semua kalangan adalah pemikiran saya bahwa ITB merupakan milik bangsa ini. Bahkan pernah dikatakan bila ITB merupakan kebalikan dari Bhineka Tunggal Ika (BTI). Yang artinya senada dengan BTI namun dengan frasa yang dibalik yaitu ‘Satu yang Berwarna/Berbeda-beda’. Saat netralitas kampus tergadaikan—bahkan jika itu atas ide mereka yang menjadi pucuk pimpinan kampus—saat itulah kata-kata pada Plaza Widya harus ditambahkan. Mungkin dengan kalimat,”Supaya mencetak kader partai yang militan, bahkan menganggap partai sebagai agama dengan pemimpinnya sebagai nabi.” :v


             

                Kemudian saya akan berkomentar tentang pendapat masyarakat untuk mengajak diskusi beliau pada kuliah umum tersebut. Sepengalaman saya ikut kuliah umum, yang namanya kuliah umum itu ya lebih kepada penyampaian materi dengan cara berceramah—lebih kepada satu arah. Jika pun nantinya terdapat interaksi, ya itu hanya pada sesi tanya jawab. Kecuali Anda mengalami atau memiliki definisi kuliah umum yang berbeda dengan saya. Jika memang berniat demikian, tentunya lebih pas kalau judulnya “Audiensi dan Diskusi”, bukan kuliah umum. Atau sekalian “Debat dengan (isi nama beliau)”. Tetapi, hal ini akan berimplikasi bahwa acara tersebut lebih kentara sebagai kampanye—atau juga ajang penjatuhan harga diri seseorang jika acaranya debat. Yang paling pas dan tepat, panggil semua tokoh partai lalu biarkan mereka berdebat—dengan saya membayangkan jika Jin yang di iklan rokok Djar*m Coklat itu hadir lalu menyulap semuanya menjadi jujur hehehe.  Sekali lagi, ini tentang mahalnya sebuah citra netralitas.

                Memang ada beberapa partai yang mulai “terlihat” di kampus. Yang ini pun saya sebenarnya tidak setuju, sangat tidak setuju. Namun beginilah realitanya, sangat sulit untuk mencapai kondisi ideal. Setidaknya mereka tidak terlalu “terlihat” sebagaimana kedatangan bapak capres siang ini. Biarlah mereka dengan kadernya, selama tidak terang-terangan dalam mempolitisir kampus. Atau parahnya lagi mempolitisir isu agama demi suara. Atau sebuah harakah yang menyebut dengan terang-terangan dirinya partai tapi berteriak tentang haramnya demokrasi *ups :x

                Tetapi saya memang tidak menutup  mata pada pendapat masyarakat bahwa demo itu terkesan tidak elegan dan brutal. Sebenarnya yang paling bersalah menurut saya di sini adalah media, juga teman-teman yang melakukan aksi. Saya sendiri juga tidak melihat langsung—tadinya pengen ikut tapi salah liat jam, dikira jam 16.00 eh ternyata jam 13.00 -_-“

                Pertama, media terlihat berkobar-kobar. Bahkan lebay. Bukankah ada informasi tentang Prabowo yang ditolak oleh massa kampus lain? Mana beritanya? Dan lagi, terlihat aksi hanya dilakukan tanpa pertimbangan matang, sekedar emosi saja. Tidakkah media bertanya kepada koordinator aksi mengapa menggunakan jalan demo? Tidakkah media berpikir bahwa pemberitaannya sangat tidak berimbang, karena hanya menceritakan suatu kegiatan tanpa “bertabayyun” tentang latar belakangnya.

                Kemudian, kepada para pemuja bapak tersebut. Tidak perlulah mengatakan kami ini kampungan dan berpemikiran seperti anak tidak lulus TK jika pernyataan Anda berangkat dari ketersinggungan seseorang yang idolanya di tolak orang lain. Saya sendiri jengah melihat ‘blusukan’-nya. Apa hasilnya? Berapa biayanya? Seorang pemimpin itu tidak hanya dinilai dari kemauan dia menemui rakyatnya—meski ini penting. Yang lebih penting adalah ketika ia bisa melihat realita yang ada tanpa harus rakyatnya tahu bahwa ia sedang turun ke jalan. Selami cara Umar bin Khattab ketika blusukan. Ceritanya ada di blog ini juga kok. Eh, saya netral koooooook. Saya bukan kader partai mana pun kok hehehehe. Orang kelingking saya bersih tanggal 9 kemaren :p

                Kepada teman-teman yang ikut aksi tersebut, alangkah baiknya jika dibuat sebuah tulisan yang akan memberikan sudut pandang kalian mengapa kalian melakukan dan memilih jalan tersebut pada aksi yang telah dilakukan. Yang http://news.detik.com/read/2014/04/17/152325/2558385/10/2/jokowi-didemo-saat-akan-kuliah-umum-ini-sikap-keluarga-mahasiswa-itb kurang menurut saya hehe.

                Terakhir, terimakasih kepada masyarakat yang masih begitu perhatian kepada kami. Kami bukanlah malaikat yang selalu benar, bukan pula gerombolan setan berpendidikan seperti anak TK. Kami hanyalah salah satu elemen bangsa yang kebetulan memang menjadi harapan bangsa. Sehingga setiap kritik yang kalian lakukan merupakan penyemangat untuk memperbaiki diri. Dan semoga setiap kritik yang kalian sampaikan—tidak peduli seberapa kasarnya—berangkat dari ketulusan dan kasih sayang untuk memperbaiki.


NB: Alasan utama saya menolak politisir kampus berangkat dari aqidah. Sebuah keyakinan tentang bathil dan haramnya demokrasi, serta kehati-hatian untuk ikut terlibat di dalamnya meski itu untuk urusan kemaslahatan da’wah :)


               

0 komentar:

Posting Komentar