FYI, jaman saya, kami boleh memilih 6 jurusan di 2 Universitas (@3 jurusan) |
Tulisan ini saya dedikasikan
untuk diri saya sendiri, kepada kawan-kawanku yang sebentar lagi akan menuju
dunia real di luar kampus, juga pada adik-adikku yang baru akan kuliah maupun
yang telah “terjebak” di kampus (Gajah) ini. Akan terdiri dari beberapa bahasan
yang masing berjudul “Jalan Saya Menuju
Kampus Gajah Duduk”, “Pengalaman-Pengalaman Awal di Tanah Rantau Pertama”, “Kuliah,
Steady”, dan “Renungan Sekarang”.
Dan inilah cerita pertama saya;
Waktu kecil, setiap dari kita
tentu memiliki cita-cita, kan? Ada yang ingin jadi dokter, presiden, menteri
(gak tahu menteri apa), bahkan sampai ingin jadi artis yang kerjaannya nyanyi
sambil joget-joget tak jelas di TV. Nah, saya pun dulu memiliki cita-cita yang
tak kalah absurdnya; Ultraman, Power Ranger, Pemilik Digimon, dan semakin besar
mengerucut jadi lebih jelas: Tentara dan Insinyur. Entahlah, sepertinya semakin
besar kita semakin sering membuat revisi dan kompromi ya :)
Nah, dari dua cita-cita paling
masuk akal saya itu, tentara lah yang jadi tujuan utama. Setiap hari, saya
bangun pagi, lari, push up, dan terus melakukan latihan fisik. Pun dengan
prestasi akademik, saya berusaha untuk tak tertinggal jauh dengan kawan-kawan.
Saya pun cukup senang bisa diterima di Kelas Olimpiade SMA 3 Semarang (dulu
masih RSBI, sekarang SBI dicabut hiks) dan berkesempatan untuk mengambil
spesialisasi di bidang matematika. Yah meski selama 2 tahun di situ saya lebih
sering sebagai penggembira. Sering malah main counter strike kalau sedang pembinaan hahaha.
Dan memang sejak dulu pelajaran
yang paling tidak saya sukai adalah biologi, seni tari, dan Bahasa Jepang. Ya,
begitulah. Singkat cerita sampailah kami di UN, terus tiba masa-masa paling
damai anak SMA; pelajaran kosong setiap hari sembari menanti kelulusan.
Hingga
saat pendaftaran Akademi Militer dibuka. Dan saya mendaftar. Lewat beberapa
tes, seperti dapat diduga: SAYA GAGAL LOLOS. Saya, tentu galau dong. Dalam
salah satu kondisi paling nadir hidup saya tersebut, ada perasaan bahwa apa
yang saya lakukan selama ini sia-sia. Latihan fisik saya, pola hidup sehat
saya, riset segala jenis senjata, ya
kalian mengerti lah bagaimana rasanya gagal. Kalau pernah lihat nonton “You Are
An Apple Of My Eyes” (maaf kalau judulnya salah), ya seperti itulah. Sudah
menghabiskan waktu, investasi emosi, dan lainnya, eh dia malah nikah sama orang
lain (untung orang lainnya bukan sahabatnya haha). Maka saya putuskan, saya
berhenti latihan fisik. Saya berangkat ke sekolah dengan senyum palsu, saya
berdoa kepada Tuhan mempertanyakan keputusan-Nya, saya ogah-ogahan membantu
kerja Bapak saya (cerita tentang ini lain kali), saya bahkan sampai sudah ga
peduli sama gebetan yang saya dekati—bodo amat dia cuek. Namun lewat 4 hari,
saya sadar, badan saya telah kecanduan dengan latihan setiap pagi itu. Apa
boleh buat, daripada stress, saya pun kembali jalani rutinitas itu—sampai
sekarang.
Lalu,
bukaan Perguruan Tinggi di mulai. Saya, tambah galau dong.
Karena,
di saat kawan-kawan sudah ribet-ribet cari info jurusan, perguruan tinggi, info
beasiswa, les privat untuk tes tulis, saya malah berkutat memperhatikan ada
tidaknya varises di kaki saya. “Aduh, mau masuk mana nih? Undip? Ah, terlalu
dekat. Ga seru. UGM? Jogja, masih terlalu Jawa. UI? Mahal. ITB? Mahal, tapi
menarik. Sulit, bodo amat, kepalang tanggung. Masih di Pulau Jawa? Emang aku
bisa Bahasa Sunda?”
Nah,
jadilah pada SNMPTN Undangan saya pilih dua jurusan, semuanya di ITB. Bayangan
saya, saya sangat tertarik dengan alat-alat militer. Saya tertarik dengan
fisika dan matematika. Sungguh, saat itu—waktu masih tolol—di pikiran saya,
kampus yang bisa mengalahkan gengsi Akmil hanya 4: Undip, UGM, UI, dan ITB.
Bapak sudah menyarankan ambil sekolah kedinasan lain, tapi dasar saya keras
kepala,”Akmil atau tidak sama sekali. Yang lain saya takut KKN-nya lebih
kenceng (maaf, ini pikiran saya waktu SMA dulu).”
“Yaudah, Undip
saja yang dekat. Yang lain gimana biaya hidup dan biaya kuliahnya?”
“Bapak saja dulu
merantau dari Boyolali ke Semarang, masa iya saya sekarang jadi lebih kerdil
dari Bapak? Jadi anak cemen yang tak pernah keluar dari rumahnya di usia 18
tahun? Nggak Pak, nanti pasti ada jalan. Jika memang sudah tidak mampu, saya
akan pulang. Setidaknya biar saya mencoba dulu. Kirimi saja semampu Bapak.
Kalau memang nggak mampu, nanti saya juga bisa cari sendiri (saya lupa ucap
Insyaa Allah saat itu).” Dan perdebatan semalaman itu keluar dengan saya
sebagai pemenang. Mungkin Bapak sadar, sifat keras kepala dan gengsian juga
menurun ke anaknya hehehe.
Dan
gelar yang bisa menyaingi pangkat militer di pikiran saya hanya 2: Dokter atau
Insinyur. Lain-lain itu, saya tidak paham. Karena nilai biologi dan kimia saya
jongkok, “terpaksa” pilihan saya hanya teknik.
Sadar
bahwa saya ketinggalan, maka saya mendekati teman-teman saya yang les dan minta
belajar bareng. Mulai beli buku-buku latihan soal. Hingga akhirnya dalam suatu
sujud saya, seolah diangkat kekhawatiran dan penyesalan dari hati saya. Saya
ingat, itu 1 hari menjelang pengumuman SNMPTN Undangan. Besoknya, saya ke
warnet. Saya buka situsnya, dan Allahu akbar! Saya memukul tembok warnet; SAYA
DITERIMA DI FTMD ITB. Senang dong? Lebih dari itu, saya bersyukur. Satu langkah
lebih dekat menjadi laki-laki sejati telah terlewati: Tiket Merantau! Saya
printscreen, lalu saya print. Sampai rumah Ibu bertanya,
“Gimana Mas
Heri?”
“Nih lihat
sendiri, asem,” muka sok sedih hehe.
Ibu pun membuka, dan jadi anti
klimaks. Karena saya printscreen, jadinya keliatan tab lain yang sedang buka FB
seorang cewek. Tuhan, kenapa jadi memalukan begini urusannya -____-
Di SMA, esok harinya semakin
ramai. Ada yang datang dengan wajah ceria (misal saya), dan ada pula yang
tertekuk sembari memberi ucapan selamat pada temannya. Dan saya, dapat satu
kegiatan satu lagi; ikut belajar bareng sama Mbak Gusti dan Dinda, karena
mereka mau berjuang lagi via tulis—dipikirnya saya pinter apa ya haha. Mereka
sudah ikut les sih, tapi entah kenapa mau-maunya ngajak saya yang cetek ini
buat bantuin mereka (Nantinya ini sangat membantu, karena part time job saya
adalah guru les di Semester 6). Saya ingat bahwa jika datang pasti dapat
cemilan yang enak-enak. Juga kesempatan belajar Bahasa Inggris, karena Mbak
Gusti ini pernah pertukaran pelajar ke AS selama setahun. Jadi ya, saya
pragmatis. Saya tidak melakukan ini dengan cuma-cuma hehehe.
Sebenarnya dapat dikatakan
langkah saya relative ringan. Tak harus ikut tes tulis. Tapi, jalan terjal itu
adalah ketika saya harus berjuang dari kelas X. Bahkan bisa dibilang, dalam
sistem pendidikan di Indonesia, perjuangan itu telah ada sejak SD. Ya, SMP mana
yang kau masuki, itu menentukan langkahmu selanjutnya. Pilihan sekolah seolah
menjadi vonis akan masa depanmu. Saya sih tidak ambil pusing dengan hal ini,
yang penting Bapak dan Ibu saya bisa menceritakan sedikit kebaikan tentang saya
pada para tetangga jika ditanya tentang anaknya. Saya hanya ingin membanggakan
mereka, dan itulah kebahagiaan hakiki saya. Apalagi yang bisa saya berikan
selain ketidak-pusingan mereka akan pendidikan anaknya. Sudah cukup mereka
pusing cari penghidupan di situasi di mana kita terjebak dalam banyak syubhat
ini—riba di mana-mana. Kalau tak mau mati dicekik inflasi, terpaksa cari pinjaman
modal ke para bankir.
Mau
kita bilang ini tidak adil, memang. Tapi inilah realita kehidupan di negeri
ini; semua adalah tentang seleksi dan seleksi :(
Kembali ke cerita saya tadi,
saya hanya ingin berkata;
“Untuk kalian—juga pengingat bagi saya—Tuhan
itu lebih tahu dari kita. Lebih tahu apa yang terbaik. Jalannya, adalah
sebaik-baiknya jalan. Kewajiban kita hanyalah mempersiapkan diri kita
sebaik-baiknya, dengan segala persiapan yang bisa kita persiapkan dan nanti
Tuhan yang akan menunjukkan jalan-Nya. Mungkin kita tak mengerti apa baiknya
jalan itu. Namun percaya saja, inilah yang terbaik. Setidaknya, kita bisa
menjalani jalan itu dengan hati yang lebih ringan. Dan satu lagi, belajarlah
untuk mengerti apa itu riba.”
0 komentar:
Posting Komentar