Suasana pendaftaran ulang di Sasana Budaya Ganesha |
Setelah tulisan sebelumnya
tentang “Jalan Saya Menuju Kampus Gajah Duduk”, maka inilah cerita saya tentang
“Pengalaman Awal di Tanah Rantau Pertama” (Peringatan, cerita ini panjang sekali);
Saat itu, akhirnya tiba di masa
yang bernama daftar ulang. Sengaja waktunya disamakan dengan waktu SNMPTN Tulis.
Tujuannya biar tidak ada orang yang iseng-iseng mencoba jatah kursi orang lain.
Saya pikir, ini bijaksana. Dan saya pun tidak setolol itu untuk melepas jatah
kursi saya di FTMD. Dan, masalah muncul karena saya tak punya satu pun saudara
di Bandung. Sehingga, setelah bergerilya ke sana kemari, saya dapat tumpangan
di rumah dinas bapaknya Faris—dia anak SBM. Kebaikan anak ini pada saya tidak
akan sanggup saya balas sampai kapan pun, FYI.
Beberapa saat menjelang
keberangkatan, Bapak ternyata ada kerjaan untuk mengantar orang ke luar kota
(kerjaan Bapak saya waktu itu sopir angkutan plat hitam, jadi bisa dicarter).
Nah, ternyata lembar essay saya untuk pengajuan beasiswa belum beliau
tandatangani. Wah, galau dong. Cerita selanjutnya silahkan kembangkan menurut
imajinasi pembaca -_-
Saya ingat, saya naik Bus
Nusantara saat itu. Tuhan, aku menuju Bandung! Dan memang, entah karena apa,
saya mabuk darat waktu itu. Parah dah, isi perut habis waktu di pemberhentian
buat makan. Yang lain isi perut di restoran, saya malah menguras perut di
toilet. Benar-benar saya habiskan agar tidak bikin repot di jalan.
Gerbang Depan ITB |
Singkat cerita, sampailah di Bandung.
Dingin sekali kota ini. Bahkan, sudah pukul 7 pun rasanya ingin bergelung di
selimut saja di rumah bapaknya Faris yang ada di daerah Imam Bonjol. Saya, Ari,
Faris, Hari, di ajak sarapan oleh bapaknya Faris ke kantin Masjid Salman. Lalu,
kami di ajak masuk ke Gerbang Sakral itu: Gerbang depan ITB, gerbang yang
sekarang bahkan sering saya lupakan keindahannya gara-gara terlambat. Gerbang
itu sangat indah, bunga-bunganya sedang mekar. Anak luar kota yang diterima di
kampus ini pasti merasa suatu sentuhan magis dan suatu janji, bahwa di Kampus
Mungil ini dia akan berjuang mati-matian. Apalagi buat anak beasiswa seperti
saya ini.
Lapangan Basket/CC Barat ITB (ilustrasi) |
Melihat teduhnya lapangan basket
di CC Barat, menyusuri Indonesia Tenggelam, dan foto-foto di Plaza Widya. Tak
lupa menyambangi gedung FTMD, dan melihat ada saja mahasiswa meski waktu
liburan. Saat itu, saya merasa sanggup untuk belajar 24x5 jam seminggu.
Mengejar target IP 4.5 pun sanggup. Yah, biasa, euphoria anak baru. Dan kami,
pulang. Setelah daftar ulang.
Sampai rumah, cerita sampai
berbusa-busa pada Bapak, Ibu, dan Finna. Finna yang masih kelas 2 SD cuma bisa
kebingungan; kenapa kakaknya mau pergi? Haha, biarlah. Lalu sampailah hal
terberat yang saya pikirkan,”Kalau saya sudah resmi kuliah, maka kesempatan
saya tidur di kamar saya hanya tinggal saat pulang kampung dong.” Dan malam
itu, saya tidur dengan air mata yang mengalir di pipi.
Hari-hari menjelang matrikulasi,
saya berubah jadi anak manis. Apa pun perintah orang tua saya kerjakan. Lalu
matrikulasi. Lalu kuliah. Satu pengalaman yang akan saya ceritakan saat OSKM.
Saat OSKM ini, hadirlah berita
suram; beasiswa saya dibatalkan. Alasannya, saya dianggap mampu. Elah bro,
mampu dari mane??? Alasannya, saya punya mobil. Ya itu mobil plat hitam buat
angkutan, pun hanya Suzuki Carry 1994. Kalau harus bayar uang semesteran yang 5
jt, biaya hidup, bisa gak makan keluarga saya waktu itu. Pusing dong, jelas.
Akhirnya, pada suatu siang saya dengan ditemani mbak-mbak ‘Wira Sewaka’, saya
ke LK. Ternyata ada 2 gadis yang ikut, bernasib sama. Satunya menangis, yang
satunya bermuka datar. Menarik sih wajahnya yang datar itu, tapi waktu itu yang
saya pikirkan lebih ke urusan kelangsungan pendidikan saya. Sampai LK, ternyata
yang disetujui hanya beasiswa SPP, sedangkan biaya hidup yang dari Bidikmisi
ditolak. Dan saya diminta keluar dari asrama. Ya sudah, tidak apa-apa.
Setidaknya, biaya hidup bisa dicari. Bekal saya bisa buat 2 bulan jika saya
hanya memiliki pengeluaran 15 ribu per hari.
Sekarang, misinya adalah cari
kosan. Toh saya juga dapat sisi baiknya, kosan yang satu kamar satu orang lebih
menjaga privasi buat saya. Maka saya pun kembali ke acara, yang ternyata sedang
ada kuliah tamu dari Dirut Bank Mandiri di Sasana Budaya Ganesha. Pada waktu
sesi tanya jawab, saya pun maju dan merebut mikrofon. Bertanya,”Mendingan jadi
kutu loncat atau stay dalam suatu perusahaan jika ingin punya karir bagus?”
Waktu itu, saya butuh adrenalin. Untuk menetralkan rasa kecewa dan sedih saya.
Tak diduga, ternyata yang bertanya dapat uang satu juta. Saya pun sujud syukur,
semakin percaya bahwa Tuhan sedang menjawab doa saya.
Dengan uang itu, saya DP sebuah
kosan atas rekomendasi Mama Lusi—pemilik warung nasi di Sangkuriang. Saya telah
bekerja sama dengan beliau untuk mencatat pesanan para penghuni asrama, dan
imbalannya adalah sahur dan buka gratis buat saya. Juga persenan dari
teman-teman. Oh ya, waktu itu adalah bulan puasa. Terkadang, jika sore saya
mampir ke warung beliau untuk sekedar bantu-bantu mencetak nasi kotak, waktu
itu pesanan beliau sangat ramai. Jadi di akhir minggu bahkan saya bisa
mengantongi 50 ribu. Bahkan, saya diberi kasur untuk mengisi kamar kosan saya.
Dan kasur itu masih saya pakai hingga sekarang. Semoga Allah memberikan yang
terbaik bagi beliau hingga tujuh turunan.
Saya pun menjalankan bisnis
syubhat; jadi agen jualan buku fotokopi. Jadi, jangan heran jika saya dulu
masuk kelas sambil bawa satu kardus kecil buku wajib. Yang lain-lain paling
donat atau gorengan. Berat? Berat lah! Tapi, mau makan nggak. Mau pulang
kampung nggak waktu lebaran. Mau minta ortu, malu. Jadi, biarlah nanti cerita
waktu pulang saja.
Lalu berita menyenangkan itu
tiba. Saya lupa sebelum atau setelah lebaran, ternyata ada peninjauan kembali
atas beasiswa saya. Alhamdulillah, akhirnya saya diterima. Maka itu rasanya
jauh lebih manis. Saya menjadi semakin giat belajar. Tak ingin beasiswa ini
dicabut. Dan saat diminta masuk kembali ke asrama, saya keberatan karena telah
membayar uang kosan. Syukurlah hal ini tidak dipermasalahkan.
Ya, itulah awal-awal kuliah
saya. Jika ada beberapa hal yang saya sesali di tahun-tahun pertama kuliah
adalah;
1.
Waktu yang habis untuk mengejar nilai baik
Ya,
saya dulu selalu belajar dan belajar. Tanpa teknik yang benar. Dan hasilnya
apa? Frustasi. IP pun segitu-segitu aja. Bahkan nilai ujian Fisika Dasar
pertama saya hanya 46 dan Kimia Dasar 45.5. Untung untuk Kalkulus 84. Keluarnya
Fidas B, Kalkulus A, dan Kidas BC. Haha, belajarlah yang serius tapi santai.
Jangan lupa main, bergaul, dan berorganisasi. Yang pasti, jangan lupa juga
belajar ilmu agama. Mungkin ilmu yang di kelas bisa untuk cari nafkah, tapi
ilmu agama kau perlukan jika ingin jadi suami dan ayah.
2.
Terlalu khawatir akan masa depan
Ya,
pengalaman sulit di awal kuliah membuat saya terlalu khawatir untuk urusan
keuangan. Bahkan mungkin suatu ketika saya berubah jadi kikir, meski itu pada
diri sendiri. Percayalah, jalan rezeki itu selalu ada. Jangan takut ambil
resiko; ketua panitia, ketua organisasi, jalan-jalan, training, atau apalah
yang akan mengembangkan dirimu. Karena pola pikir yang benar itu bukan tentang menekan pengeluaran, namun
tentang meningkatkan pemasukan. Saya pun sempat menolak banyak kesempatan
itu dengan alasan konyol takut menghabiskan uang saya dan membuat nilai saya
jelek sehingga beasiswa saya dicabut.
3.
Telat menyadari sesuatu
Ya,
ada beberapa hal (pahamlaaaaah :p) yang telat saya sadari. Dan kini, kesempatan
untuk mengambil hal tersebut bisa dikata hampir mustahil. Tapi biarlah, saya
yakin Allah telah menyiapkan yang lebih baik untuk saya, sebagaimana yang
dulu-dulu.
4.
Rambut panjang saya
Ini
yang paling parah. Dulu saya mikir rambut panjang itu keren. Dan kini saya tahu
itu konyol. Selain akan jadi boros karena penggunaan shampo secara massif,
rambut gondrong itu bikin wajah manis, good
looking, dan keren ini jadi keliatan kucel.
Saya pun sampai nggak paham ini siapa dah -_- |
Udah agak lumayan lah ya :v |
Apa yang ingin saya
katakan adalah;
“Jika kalian maba, hematlah semangatmu.
Kuliah itu panjang, 4 tahun. Jangan sampai kau hamburkan di depan. IP awal
kalian boleh setinggi Gunung Rinjani atau Kerinci yang dikonversi ke kilometer.
Tapi tidak sayang jika nantinya ‘hanya’ setinggi Gunung Tangkuban Perahu di
semester-semester berikutnya? Bahkan lebih rendah dari itu? Dengan alasan
semangatnya habis?
Untuk yang sudah masuk tingkat dua, explore
semua hal yang ada di kampus ini. Terlalu rugi jika hanya IPK yang kalian dapat
di sini. Karena IPK hanya akan jadi syarat awal agar lolos seleksi berkas. Tapi
juga jangan diabaikan, kecuali kalian ingin jadi pengusaha atau bapak kalian
yang punya perusahaan.
Untuk yang tingkat 3, mulai rancang cinTA-mu
(CerIta teNtang Tugas Akhir-mu). Dan mulai mikir kuliah lebih serius dikit
hehe. Karena biasanya masa menjabat jd BP Organisasi di masa-masa ini sih.
Untuk yang tingkat 4, semangat ya TA-nya. Beberapa
udah pasti meninggalkan saya, hiks.”
0 komentar:
Posting Komentar