Pada
postingan sebelumnya aku menulis bahwa aku telah membuat sebuah tulisan tentang
film “3 Idiots”. Nah, biar gak dibilang hoax(sapa juga yang mau ngurus hehe),
ini buktinya. Tulisanku tentangnya ketika aku masih kelas 2 SMA. Yaah, yang namanya anak SMA, jadi maaf kalo tulisannya agak kurang berbobot atau ngawur.
Oh ya, film
ini aku tonton bareng anak-anak kelas Olim di saat jam mata pelajaran Bahasa
Jawa(kok bisa??? hehe). Ah, jadi keinget dan rindu sama mereka, apalagi
orang-orang koplak pecandu basketan sepulang sekolah(meski sebagian besar bukan
anak basket hahaha). Oke, daripada banyak cakap, mari kita lihat hikmah apa
yang aku dapat dari film ini:
Hei, hari ini aku mendapat sebuah
kebaikan, lebih tepatnya hikmah. Sebagaimana atsar sahabat Ali Ibn Abi Thalib,
“ Pungutlah hikmah darimanapun kau mendapatkannya, sekalipun itu dari orang
munafik ”. Ya, hari ini pengalaman itu datang dari sebuah film India yang
berjudul “ 3 Idiots ”. Sebuah film yang seakan menghantam alam bawah sadarku
bahwa aku telah menyia-nyiakan waktuku. Walaupun masih ada 45 menit sisa film
yang belum sempat kulihat, hehehe…
Film ini bercerita tentang 3 orang yang bersahabat
pada waktu masih kuliah dengan segala suka dukanya. Film komedi ini sungguh
berhasil memberikan sebuah moral value yang bagus sekali tanpa kesan menggurui
sama sekali. Terlepas ini buatan orang2 kafir, namun hikmahnya sungguh dalam.
Yaitu tentang sebuah kalimat, “ janganlah
kau kejar kesuksesan, namun kejarlah kesempurnaan. Karena dengannya kesuksesan
pasti akan mengikutimu”. Atau yang ini, “dengan menghafal memang benar kau
menghemat waktu 4 tahun, namun kau akan akan menghancurkan hidupmu yang 40
tahun selanjutnya”. Lebih menyentuh lagi ketika ayah sahabatnya sakit, padahal
mereka mempunyai sebuah ujian keesokan harinya. Sang tokoh utama mengatakan
sesuatu yang begitu menyentuh. Yakni, “Kita memiliki begitu banyak ujian, namun
kita hanya memiliki satu orang ayah”. Oh, jika saja di negaraku lebih banyak
orang yang bermoral dan bijaksana sepertinya.
Film ini juga menyoroti tentang hakikat
pendidikan itu sendiri. Tentang arti belajar yang sesungguhnya. Ketika
pendidikan hanya diartikan menguasai sebuah buku tebal, burung beo yang dilatih
pun akan bisa melakukannya. Tak perlu seorang manusia untuk mahir menghafal
sebuah buku tebal. Manusia dirancang untuk menganalisis dan memahami. Memang
benar ada sebuah buku yang keajaibannya pun sudah tampak ketika kita dipermudah
untuk menghafalnya. Yaitu sebuah Al-Qur’anul Karim. Namun saya yakin
seyakin-yakinnya, jarang ada sekolah negeri di negeri ini yang mengajarkan Buku
Kebijaksanaan ini.
Kembali lagi tentang menghafal, betapa
ruginya hidup kita jika kita bersekolah hanya untuk selembar ijazah. Memang
benar ijazah itu untuk melamar pekerjaan nantinya. Namun, mari kita jadi
sedikit lebih idealis. Kita coba hitung uang, tenaga dan waktu kita yang
terbuang ketika kita hanya mengejar ijazah. Lalu kita bandingkan dengan waktu
kita
yang kita gunakan untuk menggapai impian kita yang sejati.
Waktu yang kita habiskan untuk mempelajari tujuan hidup kita sedemikian
singkatnya. Bahkan, terkadang kita lupa apa tujuan hidup kita. Ada yang
mengatakan bahwa hidup itu sepanjang sajadah. Sedangkan kita tahu adalah tempat
kita shalat, beribadah. Sehingga dapat dipahami bahwa tujuan kita hidup adalah
untuk beribadah pada-Nya. Uhhh, betapa kita termasuk golongan mereka yang
lalai.
Dan saya
juga pernah membaca, bahwa hakikat belajar itu memerdekakan, membebaskan. Yaitu
membebaskan kita dari ketidaktahuan dan akibat-akibat yang mengikutinya.
Tetapi, bila kita lihat realitas yang terhampar dihadapan kita, akan terpampang
jelas bahwa pendidikan kita telah keluar dari rel kebenaran. Belajar sekarang
hanya diartikan sebagai aktivitas bagaimana meraih nilai setinggi-tingginya.
Kita berangkat sekolah, lalu menjalani 3 D. Yakni Datang, Duduk, Diam. Setelah
itu hanya diajarkan menghafal dan diberi kisi-kisi. Kemudian kita ulangan, dan
kalau kita “belajar” dengan menghafalkan materi, kita dianggap “sukses”
belajarnya karena dapat nilai sempurna.
Bah, betapa sebuah pembodohan terselubung.
Dan, sejauh yang saya ketahui, para siswa masih rancu tentang arti kata
“sukses”. Bahkan para orang tua pun ikut menyumbangkan tenaganya dalam
merancukan pikiran anak2nya. Mereka mengira sukses adalah banyak uang, rumah
megah, mobil mewah dan deposito di bank. Mereka berpikir tanpanya kebahagiaan
adalah sebuah kemustahilan. Jika begitu, harusnya kita tidak pernah, atau
setidaknya jarang mendengar berita tentang orang-orang kaya yang frustasi
bahkan bunuh diri. Serta tawa dari gubuk2 pemulung itu pastinya sebuah
kesalahan. Tetapi anda dan saya tahu bagaimana realita di lapangan bukan ? Saya
jadi ingat kata Albert Einstein, “bahwa tidak semua hal yang diperhitungkan di
dunia ini dapat dihitung”.
Untuk menutup tulisan ini, saya harap kalian para generasi
muda mampu memberikan sebuah solusi atas permasalahan negeri ini. Negeri ini sudah
punya banyak orang pintar. Bahkan, mungkin sudah overdosis. Karena mereka hanya
berusaha minteri orang lain. Yang
kita butuhkan adalah pemuda2-pemudabermoral yang kembali pada fitrahnya. Yang menjalani
hidup semata-mata demi kebaikan. Yang menuhankan Tuhannya, bukan uang atau
asuransi kesehatan. Bukankah kita ingin menjadi manusia seutuhnya ?
sip :o
BalasHapushehehe, thanks :)
Hapus