Selasa, 15 Mei 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under :

               
                Pada postingan sebelumnya aku menulis bahwa aku telah membuat sebuah tulisan tentang film “3 Idiots”. Nah, biar gak dibilang hoax(sapa juga yang mau ngurus hehe), ini buktinya. Tulisanku tentangnya ketika aku masih kelas 2 SMA. Yaah, yang namanya anak SMA, jadi maaf kalo tulisannya agak kurang berbobot atau ngawur.
                 Oh ya, film ini aku tonton bareng anak-anak kelas Olim di saat jam mata pelajaran Bahasa Jawa(kok bisa??? hehe). Ah, jadi keinget dan rindu sama mereka, apalagi orang-orang koplak pecandu basketan sepulang sekolah(meski sebagian besar bukan anak basket hahaha). Oke, daripada banyak cakap, mari kita lihat hikmah apa yang aku dapat dari film ini:

Hei, hari ini aku mendapat sebuah kebaikan, lebih tepatnya hikmah. Sebagaimana atsar sahabat Ali Ibn Abi Thalib, “ Pungutlah hikmah darimanapun kau mendapatkannya, sekalipun itu dari orang munafik ”. Ya, hari ini pengalaman itu datang dari sebuah film India yang berjudul “ 3 Idiots ”. Sebuah film yang seakan menghantam alam bawah sadarku bahwa aku telah menyia-nyiakan waktuku. Walaupun masih ada 45 menit sisa film yang belum sempat kulihat, hehehe…
Film ini bercerita tentang 3 orang yang bersahabat pada waktu masih kuliah dengan segala suka dukanya. Film komedi ini sungguh berhasil memberikan sebuah moral value yang bagus sekali tanpa kesan menggurui sama sekali. Terlepas ini buatan orang2 kafir, namun hikmahnya sungguh dalam.
Yaitu tentang sebuah kalimat, “ janganlah kau kejar kesuksesan, namun kejarlah kesempurnaan. Karena dengannya kesuksesan pasti akan mengikutimu”. Atau yang ini, “dengan menghafal memang benar kau menghemat waktu 4 tahun, namun kau akan akan menghancurkan hidupmu yang 40 tahun selanjutnya”. Lebih menyentuh lagi ketika ayah sahabatnya sakit, padahal mereka mempunyai sebuah ujian keesokan harinya. Sang tokoh utama mengatakan sesuatu yang begitu menyentuh. Yakni, “Kita memiliki begitu banyak ujian, namun kita hanya memiliki satu orang ayah”. Oh, jika saja di negaraku lebih banyak orang yang bermoral dan bijaksana sepertinya.
Film ini juga menyoroti tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Tentang arti belajar yang sesungguhnya. Ketika pendidikan hanya diartikan menguasai sebuah buku tebal, burung beo yang dilatih pun akan bisa melakukannya. Tak perlu seorang manusia untuk mahir menghafal sebuah buku tebal. Manusia dirancang untuk menganalisis dan memahami. Memang benar ada sebuah buku yang keajaibannya pun sudah tampak ketika kita dipermudah untuk menghafalnya. Yaitu sebuah Al-Qur’anul Karim. Namun saya yakin seyakin-yakinnya, jarang ada sekolah negeri di negeri ini yang mengajarkan Buku Kebijaksanaan ini.


Kembali lagi tentang menghafal, betapa ruginya hidup kita jika kita bersekolah hanya untuk selembar ijazah. Memang benar ijazah itu untuk melamar pekerjaan nantinya. Namun, mari kita jadi sedikit lebih idealis. Kita coba hitung uang, tenaga dan waktu kita yang terbuang ketika kita hanya mengejar ijazah. Lalu kita bandingkan dengan waktu kita
yang kita gunakan untuk menggapai impian kita yang sejati. Waktu yang kita habiskan untuk mempelajari tujuan hidup kita sedemikian singkatnya. Bahkan, terkadang kita lupa apa tujuan hidup kita. Ada yang mengatakan bahwa hidup itu sepanjang sajadah. Sedangkan kita tahu adalah tempat kita shalat, beribadah. Sehingga dapat dipahami bahwa tujuan kita hidup adalah untuk beribadah pada-Nya. Uhhh, betapa kita termasuk golongan mereka yang lalai.
            Dan saya juga pernah membaca, bahwa hakikat belajar itu memerdekakan, membebaskan. Yaitu membebaskan kita dari ketidaktahuan dan akibat-akibat yang mengikutinya. Tetapi, bila kita lihat realitas yang terhampar dihadapan kita, akan terpampang jelas bahwa pendidikan kita telah keluar dari rel kebenaran. Belajar sekarang hanya diartikan sebagai aktivitas bagaimana meraih nilai setinggi-tingginya. Kita berangkat sekolah, lalu menjalani 3 D. Yakni Datang, Duduk, Diam. Setelah itu hanya diajarkan menghafal dan diberi kisi-kisi. Kemudian kita ulangan, dan kalau kita “belajar” dengan menghafalkan materi, kita dianggap “sukses” belajarnya karena dapat nilai sempurna.
Bah, betapa sebuah pembodohan terselubung. Dan, sejauh yang saya ketahui, para siswa masih rancu tentang arti kata “sukses”. Bahkan para orang tua pun ikut menyumbangkan tenaganya dalam merancukan pikiran anak2nya. Mereka mengira sukses adalah banyak uang, rumah megah, mobil mewah dan deposito di bank. Mereka berpikir tanpanya kebahagiaan adalah sebuah kemustahilan. Jika begitu, harusnya kita tidak pernah, atau setidaknya jarang mendengar berita tentang orang-orang kaya yang frustasi bahkan bunuh diri. Serta tawa dari gubuk2 pemulung itu pastinya sebuah kesalahan. Tetapi anda dan saya tahu bagaimana realita di lapangan bukan ? Saya jadi ingat kata Albert Einstein, “bahwa tidak semua hal yang diperhitungkan di dunia ini dapat dihitung”.
           Untuk menutup tulisan ini, saya harap kalian para generasi muda mampu memberikan sebuah solusi atas permasalahan negeri ini. Negeri ini sudah punya banyak orang pintar. Bahkan, mungkin sudah overdosis. Karena mereka hanya berusaha minteri orang lain. Yang kita butuhkan adalah pemuda2-pemudabermoral yang kembali pada fitrahnya. Yang menjalani hidup semata-mata demi kebaikan. Yang menuhankan Tuhannya, bukan uang atau asuransi kesehatan. Bukankah kita ingin menjadi manusia seutuhnya ?


2 komentar: