“Hidup
itu seperti Gunung, selalu lebih jauh, lebih tinggi dan lebih berat medannya
dari pada yang terlihat.” – by Hendri Agustin.
Quote itu
sungguh benar, setidaknya menurutku. Namun ada beberapa hikmah lain yang
kudapat dari sebuah pendakian, dan kini biarkan aku menceritakannya. Jangan berfokus
pada kisahku, namun pada hikmah yang kucoba untuk kubagi.
Dalam sebuah
pendakian, aku merasakan sebuah semangat untuk terus melaju. Meski tangan
tergores batang, telapak tertusuk duri, lutut gemetar, jurang di kanan dan di
kiri serta jalan yang seolah tak ada habisnya. Itu semua hanya karena janji
seorang ikhwan yang mengatakan,”Puncaknya keren Akhi.” Sungguh, aku pun bingung
darimana kekuatan dan semangat itu kudapatkan padahal puncaknya sendiri belum
pernah kujumpai.
Dan aku
lebih bingung lagi, ketika kita diberi kabar yang lebih hebat oleh orang yang
lebih terpercaya, kita ogah-ogahan untuk menempuhnya. Padahal, “sekedar”
keindahan puncak saja pengorbanannya sedemikian besar. Pasti pada bingung kan?
Ada
yang gak yakin kalau surga itu ada? Oke, tinggalkan blog saya. Terima kasih
telah mampir. Atau ada yang yakin surga itu ada tapi tidak yakin dengan
keindahannya? Aku pikir tidak ada. Baik, untuk kawan-kawan saya yang muslim
saya tanya,”Siapa yang mengabarkan surga dan neraka ada kalian?” Pasti kalian
jawab Rasulullah bukan? Bukankah beliau manusia paling bisa dipercaya?
Jika demikian,
pantas kan bahwa jalan ke surga pasti lebih berat daripada pendakian dan
semangat serta usaha kita dalam menggapainya pun harus lebih banyak? Namun… Mari
kita bermuhasabah. Bagaimana kita dalam menjalani jalur ke surga tersebut. Dan sebagaimana
jalan menuju puncak yang terkadang berkelok, naik turun, dan ketika kau memotong
jalur malah tersesat, demikian juga jalan ke surga. Telah ada syari’at yang
akan memandumu tak hanya cara ke sana, namun juga untuk mencapai ketenangan
hidup di dunia.
Saat kau
berjalan menuju puncak, ada saat-saat kau putus asa. Terlebih jika kau terlalu
sering mendongak jauh ke atas atau melihat ke bawah. Mengapa? Karena saat kau
mendongak kau akan melihat bahwa puncak masih demikian jauh(bahkan biasanya tak
terlihat) sehingga membuatmu hilang semangat karena sudah sangat capai dan bahkan
hilang konsentrasi yang akhirnya… yaaah tebak aja sendiri.
Kemudian
saat kau telalu sering menengok ke bawah yaitu berarti ke belakangmu, kau pun
hanya akan menemui rasa malas. Karena baru sedemikian pendek jarak yang telah
kau tempuh setelah perjalanan merangkak yang membuat tangan pegal mencengkeram
semak. Selain itu, hal tersebut hanya akan membuang waktumu hingga kau membuat
orang yang di belakangmu terhambat atau yang lebih parah kau ketinggalan
rombongan.
Sebenarnya
yang kau butuhkan adalah sesekali mendongak untuk menaksir jarak, sesekali
menengok ke belakang untuk mengevaluasi langkah, dan selebihnya fokus pada langkah-langkah
terdekatmu. Karena ketika kau dapat melalui satu langkah pada hakikatnya kau
sedang mendekat pada puncak. Dan nanti kau akan terkejut ketika ternyata banyak
hal unik di depanmu, jadi nikmati saja prosesnya. Begitu pula dalam mengejar cita-cita…
Saat puncak
semakin dekat, sering ada euforia dalam hati untuk semakin mempercepat langkah
agar segera sampai. Namun, terkadang ini bisa menjadi petaka ketika euforia ini
menutupi kewaspadaanmu. Apalagi jika semakkin dekat puncak jalan semakin
kritis. Bukannya sampai puncak kau malah bisa terpeleset. Minimal kau mundur
beberapa langkah, atau yang terburuk itu adalah pendakian terakhirmu…
0 komentar:
Posting Komentar