Minggu, 18 November 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                “Hidup itu seperti Gunung, selalu lebih jauh, lebih tinggi dan lebih berat medannya dari pada yang terlihat.” – by Hendri Agustin.

                Quote itu sungguh benar, setidaknya menurutku. Namun ada beberapa hikmah lain yang kudapat dari sebuah pendakian, dan kini biarkan aku menceritakannya. Jangan berfokus pada kisahku, namun pada hikmah yang kucoba untuk kubagi.


                Dalam sebuah pendakian, aku merasakan sebuah semangat untuk terus melaju. Meski tangan tergores batang, telapak tertusuk duri, lutut gemetar, jurang di kanan dan di kiri serta jalan yang seolah tak ada habisnya. Itu semua hanya karena janji seorang ikhwan yang mengatakan,”Puncaknya keren Akhi.” Sungguh, aku pun bingung darimana kekuatan dan semangat itu kudapatkan padahal puncaknya sendiri belum pernah kujumpai.

                Dan aku lebih bingung lagi, ketika kita diberi kabar yang lebih hebat oleh orang yang lebih terpercaya, kita ogah-ogahan untuk menempuhnya. Padahal, “sekedar” keindahan puncak saja pengorbanannya sedemikian besar. Pasti pada bingung kan?

                Ada yang gak yakin kalau surga itu ada? Oke, tinggalkan blog saya. Terima kasih telah mampir. Atau ada yang yakin surga itu ada tapi tidak yakin dengan keindahannya? Aku pikir tidak ada. Baik, untuk kawan-kawan saya yang muslim saya tanya,”Siapa yang mengabarkan surga dan neraka ada kalian?” Pasti kalian jawab Rasulullah bukan? Bukankah beliau manusia paling bisa dipercaya?

                Jika demikian, pantas kan bahwa jalan ke surga pasti lebih berat daripada pendakian dan semangat serta usaha kita dalam menggapainya pun harus lebih banyak? Namun… Mari kita bermuhasabah. Bagaimana kita dalam menjalani jalur ke surga tersebut. Dan sebagaimana jalan menuju puncak yang terkadang berkelok, naik turun, dan ketika kau memotong jalur malah tersesat, demikian juga jalan ke surga. Telah ada syari’at yang akan memandumu tak hanya cara ke sana, namun juga untuk mencapai ketenangan hidup di dunia.

                Saat kau berjalan menuju puncak, ada saat-saat kau putus asa. Terlebih jika kau terlalu sering mendongak jauh ke atas atau melihat ke bawah. Mengapa? Karena saat kau mendongak kau akan melihat bahwa puncak masih demikian jauh(bahkan biasanya tak terlihat) sehingga membuatmu hilang semangat karena sudah sangat capai dan bahkan hilang konsentrasi yang akhirnya… yaaah tebak aja sendiri.

                Kemudian saat kau telalu sering menengok ke bawah yaitu berarti ke belakangmu, kau pun hanya akan menemui rasa malas. Karena baru sedemikian pendek jarak yang telah kau tempuh setelah perjalanan merangkak yang membuat tangan pegal mencengkeram semak. Selain itu, hal tersebut hanya akan membuang waktumu hingga kau membuat orang yang di belakangmu terhambat atau yang lebih parah kau ketinggalan rombongan.

                Sebenarnya yang kau butuhkan adalah sesekali mendongak untuk menaksir jarak, sesekali menengok ke belakang untuk mengevaluasi langkah, dan selebihnya fokus pada langkah-langkah terdekatmu. Karena ketika kau dapat melalui satu langkah pada hakikatnya kau sedang mendekat pada puncak. Dan nanti kau akan terkejut ketika ternyata banyak hal unik di depanmu, jadi nikmati saja prosesnya. Begitu pula dalam mengejar cita-cita…

                Saat puncak semakin dekat, sering ada euforia dalam hati untuk semakin mempercepat langkah agar segera sampai. Namun, terkadang ini bisa menjadi petaka ketika euforia ini menutupi kewaspadaanmu. Apalagi jika semakkin dekat puncak jalan semakin kritis. Bukannya sampai puncak kau malah bisa terpeleset. Minimal kau mundur beberapa langkah, atau yang terburuk itu adalah pendakian terakhirmu…

0 komentar:

Posting Komentar