Rabu, 13 Februari 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,



Engineers like to solve problems. If there are no problems handily available, they will create their own problems - Scott Adams

 
Sekadar cerita kawan. Hari Selasa kemarin, aku mengikuti kuliah TTE (Teknik Tenaga Listrik) yang kawan-kawan jurusanku sering memplesetkannya menjadi “Tiba-Tiba E”-Na’udzubillah. Dan asal kalian tahu, dosen pengampu mata kuliah ini terkenal dengan kuliah kehidupannya dan cara mengajarnya yang unik. Seperti yang kemarin kualami.

Awalnya kuliah berjalan seperti biasa. Beliau mempresentasikan kuliah dengan slide dan kami mencatat apa yang beliau sampaikan. Hingga tiba di bagian analisa rangkaian menggunakan prinsip superposisi. Prinsip ini begitu sederhana, yaitu jika A = B + C, lalu B = D + E dan C = F + G maka akan lebih mudah untuk menghitung masing-masing B dan C lalu menjumlahkan B dan C agar menjadi A daripada langsung menghitung seperti ini: A = D + E + F + G. 


Beliau berkata prinsip ini umum sekali digunakan pada analisis oleh mahasiswa engineering karena banyak hal menjadi mudah dengannya ketika memodelkan suatu peristiwa. Prinsip ini hanya bisa diterapkan jika terjadi linearitas. Contoh sederhananya, jika sebuah engine(bedakan apa itu engine dan machine) mempunyai daya-katakanlah-1500 hp(mesin tank Leopard ini :P) maka jika kendaraan itu memiliki 4 engine maka dia memiliki daya 6000 hp. Namun kehidupan engineering sesungguhnya tidak semudah itu. Karena daya bergantung pada kondisi tangki bahan bakar, kehancuran ekserginya dan lain-lain. Di sinilah engineer’s sense sangat dibutuhkan.

Dari engineer’s sense, beliau berlanjut mengomentari banyaknya mahasiswa yang ngaku anak teknik tidak memiliki hal ini. Contoh sederhananya adalah pada suatu kuis-atau survey. Waktu itu, beliau memberikan soal  sangat mudah:

Jika saya akan menempuh jarak 100 km dengan kecepatan konstan dan saya mencapai tujuan dalam waktu 3 jam, maka angka berapa yang ditunjuk oleh speedometer saya?

Mudah sekali bukan? Tinggal membagi 100 dengan 3, dan taraaaaaaaaaaaaa hasilnya adalah 33,3333333333333333334 km/jam. Itu juga yang sempat aku pikirkan meski angka di belakang koma tidak sebanyak itu.  Secara sains tak ada yang salah dengan jawaban itu, namun secara engineering jawaban itu akan terlihat sangat konyol. Mana ada speedometer yang bisa menunjuk angka 33,3333333333333333334 km/jam? Terlihat jika jawaban ini tak memillii engineering sense.

Beliau melanjutkan, bahwa seorang engineer itu melihat sesuatu berdasarkan nilai gunanya. Buat apa mengukur sampai angka “klenik” kalo itu bahkan tidak dapat memindahkan seekor semut?(yang ini bahasa saya:P). Seorang engineer lebih tertarik untuk melihat kapan suatu benda mengalami kegagalan alih-alih menghitung terus tegangan nyata yang terjadi. Dan memilih menjawab  dengan kata “terbakar” daripada menjelaskan dengan mekanisme rumit yang terjadi ketika ditanya: apa yang terjadi jika suatu lampu berdaya 20 watt dialiri listrik 200 watt?

Ah, engineering sense. Mudah diucapkan namun susah didapatkan, karena kita harus tahu kapan sesuatu boleh diabaikan dan kapan dia memang harus dihitung dengan pasti. Kapan beda tinggi boiler dengan turbin bisa diabaikan dan kapan harus masuk persamaan. Dan sekali lagi, seorang engineer melakukan sesuatu berdasarkan nilai gunanya bagi manusia, bukan keasyikannya. Bukan kekerenan dan tingkat kesulitannya. Bukan karena (semata-mata) kecintaan, namun karena KEBUTUHAN. Inilah yang membedakan seorang engineer dengan scientist.

Adalah seorang scientist yang akan bekerja bertahun-tahun meneliti sesuatu meski belum tahu gunanya. Berkutat pada satu eksperimen dan mengulangi berkali-kali tanpa rasa bosan. Banyak orang bilang scientist adalah serombongan orang kurang kerjaan yang memiliki akses dana tak terbatas. Sampai titik ini aku dan kawan-kawan hanya terbahak dengan arogansi mulai menyusup ke dalam hati.

Mengetahui hal itu, beliau langsung melanjutkan,”Namun asal kalian tahu, kalian ini-bahkan dunia ini-memerlukan orang-orang kurang kerjaan itu. Karena tanpa newton yang menemukan persamaan gaya apa yang bisa dilakukan anak teknik mesin dan teknik sipil? Karena pekerjaan seorang scientist itu MENEMUKAN, sedangkan pekerjaan seorang engineer adalah MEMANFAATKAN. Bersama-sama mereka akan MENGEMBANGKAN demi kemashlahatan umat manusia.”

Deg!!! Untaian kalimat itu pun dilanjutkan dengan perkataan bahwa tak ada kelebihan antara seorang mahasiswa teknik dengan mahasiswa sains, juga antara anak IPA dengan anak IPS. Karena semestinya seorang manusia dapat memilih sesuatu yang disenangi dan dikuasai, bukan apa yang orang tua atau masyarakat senangi dan kuasai. Sehingga ketika seseorang yang suka IPS memilih IPS lalu menjadi hebat di sana akan lebih bermanfaat daripada dia mengejar gengsi dengan masuk jurusan IPA namun menjalani dengan setengah hati.

Ah, sebuah kuliah yang memberi semangat dan kesadaran dari seorang dosen TTE yang membuat jatuh arogansiku.  Dan mungkin quote di atas bisa menggambarkan paradoks seorang engineer :D

0 komentar:

Posting Komentar