Minggu, 03 Februari 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Aku ingin berbagi cerita kawan. Sebuah cerita yang mungkin biasa bagi kalian, namun luar biasa bagiku.

 Siang ini, pada saat pulang dari kuliah mekanika fluida aku mampir beli makan siang.  Aku melihat seorang bapak tua dengan pikulan sedang duduk di warung roti bakar. Aku sudah dua kali bertemu dengan beliau. Sekedar melihat tepatnya. Pertama, ketika aku pulang dari rumah kawan dan dengan sepeda pinjaman aku ambil jalan pintas yang harus melewati sebuah gang sempit khas Kota Kembang. Saat sampai di mulut gang aku melihat beliau dengan pikulan syarat akan sayuran dan pisang. Masih segar2 dan kutaksir beratnya mencapai sekitar 150 Newton untuk setiap keranjang.

Yang membuatku miris, beliau dalam membawanya sudah demikian susah payah dan harus menggunakan salah satu tangannya untuk rembetan di dinding-dinding rumah warga. Pelan sekali jalannya. Aku yang sekedar ingin menyalip pun tak sampai hati dan akhirnya ku tuntun saja ini sepeda. Sebuah perjuangan yang patut dikagumi.


Nah, pertemuanku kedua ya ini tadi waktu aku beli makan. Kulihat keranjangnya sudah tinggal sesisir pisang yang tersisa. Namun aneh saja menurutku, dengan untung-yang menurut persangkaanku-tak terlalu besar kenapa pula malah jajan roti bakar? Bukankah lebih mending buat beli beras yang bisa dimakan sekeluarga-yaaaah meski ini lebih mending daripada buat beli rokok. Eh, ternyata roti itu minta dibungkus dan beliau bilang,”Buat cucu-cucu saya di rumah :D”. Dengan senyumnya yang lebar.

Entahlah, kenapa pikiran ini tiba-tiba teringat pada Bapak yang berjarak 400an km di sana, di Kota Lunpia. Beliau, meski jarang menunjukkan kasih sayang dan perhatian padaku secara verbal dan langsung, kini aku aku sadar betapa kasih sayangku pada beliau belum bisa menyamai kasih sayang beliau padaku. Aku teringat, pada suatu hari keti kecil beliau pulang dari luar kota dan membawakan suatu jajanan khas daerah itu. Namun, aku tidak suka karena sebagai anak kecil aku tentu sukanya sama jajanan yang ada di iklan-iklan tv itu. Awalnya, beliau memberikannya dengan muka datar namun setelah kuingat lagi ada senyuman tulus di sana. Beliau bilang,”Iki tak gawakke jajan”(Ini tak bawakan jajan). Aku sebagai anak kecil dan waktu itu masih anak tunggal yang manja bilang,”Ndi Pak? Ndi aku njaluk”(Mana Pak? Aku minta).

Wes sholat durung? Sholat sek ndang(Sudah sholat belum? Sholat dulu sana)”, kata beliau.

“Sampun og Pak, ndi ndi jajane?(Sudah kok pak, mana mana jajannya?)”, rengekku.

Akhirnya diberikanlah jajan itu padaku namun ketika melihatnya aku sudah agak kecewa pada bentuknya. Apalagi setelah merasakannya aku dengan ketololanku bilang,”Wah, opo iki Pak? Kok legi banget, mpun ah. Ben di maem Mamak wae.(Wah apa ini Pak? Kok manis sekali, sudah ah. Biar dimakan Ibu saja)”. Aku pun langsung ngeluyur pergi buat nonton tv lagi. Kini aku teringat betapa senyum itu menghilang dari wajah beliau yang meghitam terbakar sinar matahari itu. Wajahnya terlihat begitu kecewa meski beliau sangat pandai menutupinya dengan wajah keras dan datarnya yang ditempa kehidupan yang tak kalah kerasnya.

Dengan lirih beliau berkata,”Kuwi mau saka kancaku, yawis rapopo nek kowe ra seneng. Ngko tak gawane nyang kerja bakti wae.(Itu tadi dari temanku, yasudah tak apa-apa jika kamu gak suka. Nanti biar kubawa ke kerja bakti saja).” Sekarang saat aku teringat itu aku baru berpikir bahwa tak mungkin temannya membelikan itu. Karena hatiku berkata bahwa beliaulah yang membelinya, khusus buatku-bukan yang lain-bahkan beliau menawariku dulu dan tidak pada Ibuku. Dan hatiku kini sadar betapa aku telah mengecewakan beliau.


Nah kawan-kawan, betapa kita sering melakukan itu pada orang yang paling mencintai kita setelah Rasulullah. Kita kecewakan  orang tua kita ketika mereka memberi sesuatu kita menerimanya dengan ogah-ogahan atau bahkan menolaknya. Mereka telah berekspektasi sangat tinggi bahwa kita akan menyambut pemberiannya dengan penuh kegembiraan. Karena bagi mereka tak ada yang lebih membahagiakan selain meliht kebahagiaan kita.

Itulah sebenarnya kawan, banyak hal yang telah kita perbuat yang dalam mata kita sepele namun yang demikian begitu mengecewakan mereka. Tentu mereka tak akan bilang bahwa mereka kecewa, namun jika kita jeli kita bisa merasakan kekecewaan mereka. Sebuah ironi memang. Ketika pacar memberikan hanya sebuah gelang disimpan dan dipakai kapan saja dimana saja pada saat apa saja sedangkan ketika orang memberi baju ogah-ogahan memakainya dengan alasan gak model lah, kelihatan gemuk lah, ini lah, itu lah. Ah, bodoh sekali kau kawan jika berlaku seperti itu. Sekali lagi kubilang kau BODOH.

Hal itu juga berlaku sampai kapan pun. Misal beliau memberikan sebuah referensi tentang sebuah universitas yang menurut beliau bagus dan cocok buat kita lalu bercerita dengan mata berbinar-binar kita dengan cuek bilang,”Ah Bapak tahu gak sekarang jurusan itu gak prospek. Yang prospek itu yang begini dan begini.” Padahal demikian banyak yang mereka korbankan agar bisa memberikan sesuatu pada kita. Mungkin mereka menunda membeli barang yang sangat mereka butuhkan hanya agar kita bisa memiliki mainan seperti teman-teman kita. Atau beliau rela susah payah bertanya-tanya pada orang-orang beliau anggap tahu tentang universitas yang cocok buat anaknya. Dan aku, sekarang sangat tahu betapa banyak pengorbanan yang telah diberikan orang tuaku hingga aku bisa menjadi-tentu karena Kehendak Allah-seperti ini. Dan aku pun tahu, sampai kapan pun aku tak akan bisa membalas kebaikan mereka kecuali mungkin memberikan syafa’at bagi mereka di hari kiamat kelak. Syafa’at seorang syuhada, aamiin.

Ah, parah sekali tata krama kita pada orang tua. Jika pendapat kita berbeda dari pendapat mereka adalah sebuah ketololan jika kita mendebatnya dengan keras dan tanpa mempertimbangkan perasaan mereka bahkan jika kita di pihak yang benar.

Jadi kesimpulan tulisan tak jelasku ini adalah sebuah ungkapan hati tentang kerinduan khas nak rantau dan penyesalan atas banyak ketololanku di masa lalu. Betapa sebenarnya kebahagiaan mereka yang terbesar adalah ketika melihat kita bahagia. Begitu mudah, jika kita bahagia dengan cara yang sesuai keinginan mereka tanpa melanggar syar’I maka itulah kebahagiaan mereka. Jika pun kita tak bahagia dengan pilihan mereka dan pilihan kita pun tak melanggar syar’I ada cara-cara halus bagaimana membuat mereka pun bahagia dengan pilihan kita. Karena kebahagiaan yang disebabkan bahagia bersama orang yang kita cintai itu lebih membahagiakan dibandingkan bahagia sendirian.  

“Dan Tuhan-mu telah Memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.**
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhan-ku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’
Tuhan-mu lebih Mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang yang baik, maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat.” (Al –Isra’ :23-25)
------------------------------------------------------------------
**Mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama, apalagi meng-ucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

0 komentar:

Posting Komentar