Aku
ingin berbagi cerita kawan. Sebuah cerita yang mungkin biasa bagi kalian, namun
luar biasa bagiku.
Siang ini, pada saat pulang dari kuliah
mekanika fluida aku mampir beli makan siang. Aku melihat seorang bapak tua dengan pikulan
sedang duduk di warung roti bakar. Aku sudah dua kali bertemu dengan beliau. Sekedar
melihat tepatnya. Pertama, ketika aku pulang dari rumah kawan dan dengan sepeda
pinjaman aku ambil jalan pintas yang harus melewati sebuah gang sempit khas
Kota Kembang. Saat sampai di mulut gang aku melihat beliau dengan pikulan
syarat akan sayuran dan pisang. Masih segar2 dan kutaksir beratnya mencapai
sekitar 150 Newton untuk setiap keranjang.
Yang membuatku
miris, beliau dalam membawanya sudah demikian susah payah dan harus menggunakan
salah satu tangannya untuk rembetan di
dinding-dinding rumah warga. Pelan sekali jalannya. Aku yang sekedar ingin
menyalip pun tak sampai hati dan akhirnya ku tuntun saja ini sepeda. Sebuah perjuangan
yang patut dikagumi.
Nah, pertemuanku
kedua ya ini tadi waktu aku beli makan. Kulihat keranjangnya sudah tinggal
sesisir pisang yang tersisa. Namun aneh saja menurutku, dengan untung-yang
menurut persangkaanku-tak terlalu besar kenapa pula malah jajan roti bakar?
Bukankah lebih mending buat beli beras yang bisa dimakan sekeluarga-yaaaah
meski ini lebih mending daripada buat beli rokok. Eh, ternyata roti itu minta
dibungkus dan beliau bilang,”Buat cucu-cucu saya di rumah :D”. Dengan senyumnya
yang lebar.
Entahlah, kenapa
pikiran ini tiba-tiba teringat pada Bapak yang berjarak 400an km di sana, di
Kota Lunpia. Beliau, meski jarang menunjukkan kasih sayang dan perhatian padaku
secara verbal dan langsung, kini aku aku sadar betapa kasih sayangku pada
beliau belum bisa menyamai kasih sayang beliau padaku. Aku teringat, pada suatu
hari keti kecil beliau pulang dari luar kota dan membawakan suatu jajanan khas
daerah itu. Namun, aku tidak suka karena sebagai anak kecil aku tentu sukanya
sama jajanan yang ada di iklan-iklan tv itu. Awalnya, beliau memberikannya
dengan muka datar namun setelah kuingat lagi ada senyuman tulus di sana. Beliau
bilang,”Iki tak gawakke jajan”(Ini
tak bawakan jajan). Aku sebagai anak kecil dan waktu itu masih anak tunggal
yang manja bilang,”Ndi Pak? Ndi aku
njaluk”(Mana Pak? Aku minta).
“Wes sholat durung? Sholat sek ndang(Sudah
sholat belum? Sholat dulu sana)”,
kata beliau.
“Sampun og Pak, ndi ndi jajane?(Sudah
kok pak, mana mana jajannya?)”, rengekku.
Akhirnya
diberikanlah jajan itu padaku namun ketika melihatnya aku sudah agak kecewa
pada bentuknya. Apalagi setelah merasakannya aku dengan ketololanku bilang,”Wah, opo iki Pak? Kok legi banget, mpun ah.
Ben di maem Mamak wae.(Wah apa ini Pak? Kok manis sekali, sudah ah. Biar
dimakan Ibu saja)”. Aku pun langsung ngeluyur pergi buat nonton tv lagi. Kini aku
teringat betapa senyum itu menghilang dari wajah beliau yang meghitam terbakar
sinar matahari itu. Wajahnya terlihat begitu kecewa meski beliau sangat pandai
menutupinya dengan wajah keras dan datarnya yang ditempa kehidupan yang tak
kalah kerasnya.
Dengan lirih
beliau berkata,”Kuwi mau saka kancaku,
yawis rapopo nek kowe ra seneng. Ngko tak gawane nyang kerja bakti wae.(Itu
tadi dari temanku, yasudah tak apa-apa jika kamu gak suka. Nanti biar kubawa ke
kerja bakti saja).” Sekarang saat aku teringat itu aku baru berpikir bahwa tak
mungkin temannya membelikan itu. Karena hatiku berkata bahwa beliaulah yang
membelinya, khusus buatku-bukan yang lain-bahkan beliau menawariku dulu dan
tidak pada Ibuku. Dan hatiku kini sadar betapa aku telah mengecewakan beliau.
Nah kawan-kawan,
betapa kita sering melakukan itu pada orang yang paling mencintai kita setelah
Rasulullah. Kita kecewakan orang tua
kita ketika mereka memberi sesuatu kita menerimanya dengan ogah-ogahan atau
bahkan menolaknya. Mereka telah berekspektasi sangat tinggi bahwa kita akan
menyambut pemberiannya dengan penuh kegembiraan. Karena bagi mereka tak ada
yang lebih membahagiakan selain meliht kebahagiaan kita.
Itulah sebenarnya
kawan, banyak hal yang telah kita perbuat yang dalam mata kita sepele namun
yang demikian begitu mengecewakan mereka. Tentu mereka tak akan bilang bahwa
mereka kecewa, namun jika kita jeli kita bisa merasakan kekecewaan mereka. Sebuah
ironi memang. Ketika pacar memberikan hanya sebuah gelang disimpan dan dipakai
kapan saja dimana saja pada saat apa saja sedangkan ketika orang memberi baju
ogah-ogahan memakainya dengan alasan gak model lah, kelihatan gemuk lah, ini
lah, itu lah. Ah, bodoh sekali kau kawan jika berlaku seperti itu. Sekali lagi
kubilang kau BODOH.
Hal itu juga
berlaku sampai kapan pun. Misal beliau memberikan sebuah referensi tentang
sebuah universitas yang menurut beliau bagus dan cocok buat kita lalu bercerita
dengan mata berbinar-binar kita dengan cuek bilang,”Ah Bapak tahu gak sekarang
jurusan itu gak prospek. Yang prospek itu yang begini dan begini.” Padahal
demikian banyak yang mereka korbankan agar bisa memberikan sesuatu pada kita. Mungkin
mereka menunda membeli barang yang sangat mereka butuhkan hanya agar kita bisa
memiliki mainan seperti teman-teman kita. Atau beliau rela susah payah bertanya-tanya
pada orang-orang beliau anggap tahu tentang universitas yang cocok buat
anaknya. Dan aku, sekarang sangat tahu betapa banyak pengorbanan yang telah
diberikan orang tuaku hingga aku bisa menjadi-tentu karena Kehendak
Allah-seperti ini. Dan aku pun tahu, sampai kapan pun aku tak akan bisa
membalas kebaikan mereka kecuali mungkin memberikan syafa’at bagi mereka di
hari kiamat kelak. Syafa’at seorang syuhada, aamiin.
Ah, parah sekali
tata krama kita pada orang tua. Jika pendapat kita berbeda dari pendapat mereka
adalah sebuah ketololan jika kita mendebatnya dengan keras dan tanpa mempertimbangkan
perasaan mereka bahkan jika kita di pihak yang benar.
Jadi kesimpulan
tulisan tak jelasku ini adalah sebuah ungkapan hati tentang kerinduan khas nak
rantau dan penyesalan atas banyak ketololanku di masa lalu. Betapa sebenarnya
kebahagiaan mereka yang terbesar adalah ketika melihat kita bahagia. Begitu mudah,
jika kita bahagia dengan cara yang sesuai keinginan mereka tanpa melanggar syar’I
maka itulah kebahagiaan mereka. Jika pun kita tak bahagia dengan pilihan mereka
dan pilihan kita pun tak melanggar syar’I ada cara-cara halus bagaimana membuat
mereka pun bahagia dengan pilihan kita. Karena kebahagiaan yang disebabkan bahagia
bersama orang yang kita cintai itu lebih membahagiakan dibandingkan bahagia
sendirian.
“Dan
Tuhan-mu telah Memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau
membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.**
Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
‘Wahai Tuhan-ku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku pada waktu kecil.’
Tuhan-mu
lebih Mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang yang baik, maka
sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat.” (Al –Isra’
:23-25)
------------------------------------------------------------------
**Mengucapkan kata
“ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama, apalagi meng-ucapkan
kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
0 komentar:
Posting Komentar