Jumat, 16 Agustus 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under :


                Beberapa hari yang lalu terjadi suatu kejadian yang mengejutkan—setidaknya bagi saya. Ada seorang anggota civitas akademika sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini yang sedang tersandung kasus dengan KPK. Sungguh ramai perbincangan mengenai hal ini baik di media cetak, elektronik, masyarakat umum, milis-milis alumni, dan di kalangan mahasiswanya sendiri. Dan seperti biasa, kasus yang (katanya) disebut korupsi di negeri ini selalu berjalan dengan rumit dan penuh intrik. Ambil contoh saja mengenai Century, Hambalang, impor sapi, dan lainnya. Saya sendiri kurang suka mengikuti yang beginian sampai terjadi hal yang saya sebutkan di awal.

                Saya tidak ingin membahas panjang lebar tentang kasus ini sebenarnya. Namun jika ada kawan-kawan yang tertarik pada kasus ini ada beberapa sumber yang saya sarankan agar bisa mendapat sudut pandang yang variatif. Berikut sumber-sumber tersebut:



Seperti perkataan saya tadi, bukan kasus ini yang sebenarnya ingin saya bahas. Namun kasus korupsi secara umum.

Pengertian korupsi, sebagaimana saya kutip dari tulisan senior saya adalah:
Korupsi berasal dari bahasa Latin coruptio dan corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Yunani corruptio perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap,tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, materil, mental, dan umum. Sedangakan korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

[https://www.facebook.com/notes/joko-wisnugroho/korupsi-buah-dari-hedonisme-yang-kian-mewabah/10151879388274529]


Sebenarnya apa sih yang bikin ini benda yang namanya korusi seolah banyak sekali disebut di negeri kita? Berikut beberapa opini saya. (Warning!!!! Tulisan setelah ini hanyalah opini saya yang sok tahu. Mungkin saja akan banyak kalimat yang idealis dan sulit untuk diimplementasikan—tapi BUKAN mustahil)

Pertama, saya akan mengomentari mengenai sesuatu yang lebih bersifat internal. Akhlaq. Perhatikan kenapa saya tidak menggunakan kata moral. Karena, menurut KBBI online arti moral adalah: 

mo.ral
[n] (1) (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; (2) kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi; (3) ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita

Sedangkan akhlaq, dari yang saya pahami menurut ajaran agama saya selain mencakup mengenai baik-buruk juga membahas mengenai benar-salah. Sehingga dalam agama saya setiap hal memang terintegrasi agar hukum tidak dimainkan dengan perasaan sekaligus perasaan tidak dikorbankan demi yang namanya hukum.

Nah, sekarang ini nilai-nilai akhlaq telah disepelekan oleh orang-orang. Yang saya dengar, pelajaran matematika untuk SD itu mencapai 9 jam sedangkan pelajaran agama hanya 2 jam seminggu. Padahal dalam mengarungi kehidupan ini, pengetahuan akan agama(akhlaq) lebih penting  daripada sekedar bisa memfaktorkan polynomial. Dan memang, jika saja setiap orang mau menengok dirinya lalu memperbaiki akhlaqnya seharusnya kegiatan yang melanggar norma sekaligus hukum dapat diminimalisir.

Kedua, pendidikan kita. Lembaga pendidikan hanya mementingkan hasil daripada proses—demikian kata seseorang. Ini terlihat sekali dari orang tua yang mengikutkan les di luar sekolah murni. Jika dulu les hanya membantu pemahaman pemahaman siswa, kini berubah menjadi sekolah yang sebenarnya sedangkan sekolah  “sekedar” menjadi lembaga penguji. Dan raport atau ijazah-lah yang akhirnya di lihat oleh orang tua. Jika yang melihat keberhasilan pendidikan melalui ijazah adalah dunia kerja dan masyarakat menurut saya wajar, lha ini orang tua ikut-ikutan menjadi perusahaan.

Persoalan mencontek pun merupakan PR yang seolah tak pernah selesai untuk dituntaskan. Paling kentara adalah ketika Ujian Nasional dilangsungkan, di mana ada beberapa sekolah yang justru “menganjurkan” atau “memfasilitasi” mencontek—asal tidak ketahuan. Jadi mirip ajaran LDII saja kalau demikian. Hal ini, lagi-lagi karena selalu berorientasi pada hasil. Naik kelas atau tidak lulus seolah menjadi sesuatu yang memalukan, lebih memalukan dibanding korupsi. Lalu, ketika orang-orang ini nanti jadi pemegang jabatan di atas, apa iya penyakit ini akan hilang?

Dan sebagai sedikit promosi, kampus saya—ITB—entah bagaimana bisa memutus permasalahan mencontek saat ujian ini. Ada perasaan malu(atau gengsi?) jika saat ujian malah mencontek. Sehingga saat-saat awal kuliah jujur saja saya cukup kaget dengan kultur ini

            Selain itu, ada yang berkata sekolah sekarang hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Pendidikan mengenai karakter pun terlupakan.  Dan andai pendidikan karakter juga dibicarakan, pertanyaan pun berubah menjadi  karakter yang baik menurut siapa? Ada suatu bangsa yang mengajarkan bahwa riba haram buat sesama bangsanya namun halal jika terhadap manusia di luar bangsanya. Ada pula karakter mengenai berusaha seefesien mungkin, bahkan cenderung menghalalkan segala cara. Apakah karakter seperti ini yang mau kita ajarkan? Atau karakter yang bagaimana?

Ada suatu kisah menarik meski mungkin tidak nyambung. Seorang petani menyuruh anaknya bekerja sangat keras di ladang. Tetangganya kemudian berkata,”Anakmu tidak harus bekerja begitu keras. Tanamanmu akan tetap tumbuh meski tak kau siangi rumputnya setiap hari.” Sang petani menjawab,”Aku tidak sedang berusaha merawat tanamanku, namun sedang membina anakku.”

Ketiga, masalah kelembagaan. Tidak bisa dipungkiri, biaya untuk mencapai jabatan saat ini begitu mahal. Dan ketika telah mencapai jabatan, menurut logika, dengan gaji yang “hanya” segitu apa yang mungkin mereka lakukan untuk mengembalikan modal?

Sebenarnya, yang aneh adalah kebijakan menambah penghasilan(renumerasi?) para pegawai atau pejabat agar tidak melakukan korupsi. Sadarkah bahwa harta itu ibarat air laut? Makin diminum makin haus? Dan kembali, yang bisa mengerem hal ini hanyalah akhlaq.

Kemudian mengenai hukum, bisa kalian baca di tulisan-tulisan saya dalam serial ironi.

Yaah, mungkin inilah sedikit opini saya mengenai benda yang disebut korupsi.

0 komentar:

Posting Komentar