Beberapa hari yang lalu terjadi
suatu kejadian yang mengejutkan—setidaknya bagi saya. Ada seorang anggota
civitas akademika sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini yang sedang
tersandung kasus dengan KPK. Sungguh ramai perbincangan mengenai hal ini baik
di media cetak, elektronik, masyarakat umum, milis-milis alumni, dan di
kalangan mahasiswanya sendiri. Dan seperti biasa, kasus yang (katanya) disebut
korupsi di negeri ini selalu berjalan dengan rumit dan penuh intrik. Ambil contoh
saja mengenai Century, Hambalang, impor sapi, dan lainnya. Saya sendiri kurang
suka mengikuti yang beginian sampai terjadi hal yang saya sebutkan di awal.
Saya tidak ingin membahas
panjang lebar tentang kasus ini sebenarnya. Namun jika ada kawan-kawan yang
tertarik pada kasus ini ada beberapa sumber yang saya sarankan agar bisa
mendapat sudut pandang yang variatif. Berikut sumber-sumber tersebut:
1.
https://www.facebook.com/notes/joko-wisnugroho/korupsi-buah-dari-hedonisme-yang-kian-mewabah/10151879388274529
Seperti
perkataan saya tadi, bukan kasus ini yang sebenarnya ingin saya bahas. Namun kasus
korupsi secara umum.
Pengertian
korupsi, sebagaimana saya kutip dari tulisan senior saya adalah:
Korupsi berasal dari bahasa
Latin coruptio dan corruptus yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Yunani corruptio perbuatan
yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap,tidak bermoral, menyimpang dari
kesucian, melanggar norma-norma agama, materil, mental, dan umum. Sedangakan
korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka
tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan
atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
[https://www.facebook.com/notes/joko-wisnugroho/korupsi-buah-dari-hedonisme-yang-kian-mewabah/10151879388274529]
Sebenarnya apa sih yang bikin ini
benda yang namanya korusi seolah banyak sekali disebut di negeri kita? Berikut beberapa
opini saya. (Warning!!!! Tulisan
setelah ini hanyalah opini saya yang sok tahu. Mungkin saja akan banyak kalimat
yang idealis dan sulit untuk diimplementasikan—tapi BUKAN mustahil)
Pertama, saya akan mengomentari
mengenai sesuatu yang lebih bersifat internal. Akhlaq. Perhatikan kenapa saya
tidak menggunakan kata moral. Karena, menurut KBBI online arti moral adalah:
mo.ral
[n] (1) (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; (2) kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi; (3) ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita
[n] (1) (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; (2) kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi; (3) ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita
Sedangkan akhlaq, dari yang saya
pahami menurut ajaran agama saya selain mencakup mengenai baik-buruk juga
membahas mengenai benar-salah. Sehingga dalam agama saya setiap hal memang
terintegrasi agar hukum tidak dimainkan dengan perasaan sekaligus perasaan
tidak dikorbankan demi yang namanya hukum.
Nah, sekarang ini nilai-nilai akhlaq
telah disepelekan oleh orang-orang. Yang saya dengar, pelajaran matematika
untuk SD itu mencapai 9 jam sedangkan pelajaran agama hanya 2 jam seminggu. Padahal
dalam mengarungi kehidupan ini, pengetahuan akan agama(akhlaq) lebih penting daripada sekedar bisa memfaktorkan polynomial.
Dan memang, jika saja setiap orang mau menengok dirinya lalu memperbaiki
akhlaqnya seharusnya kegiatan yang melanggar norma sekaligus hukum dapat
diminimalisir.
Kedua, pendidikan kita. Lembaga pendidikan
hanya mementingkan hasil daripada proses—demikian kata seseorang. Ini terlihat
sekali dari orang tua yang mengikutkan les di luar sekolah murni. Jika dulu les
hanya membantu pemahaman pemahaman siswa, kini berubah menjadi sekolah yang sebenarnya
sedangkan sekolah “sekedar” menjadi
lembaga penguji. Dan raport atau ijazah-lah yang akhirnya di lihat oleh orang
tua. Jika yang melihat keberhasilan pendidikan melalui ijazah adalah dunia
kerja dan masyarakat menurut saya wajar, lha
ini orang tua ikut-ikutan menjadi perusahaan.
Persoalan mencontek pun merupakan
PR yang seolah tak pernah selesai untuk dituntaskan. Paling kentara adalah
ketika Ujian Nasional dilangsungkan, di mana ada beberapa sekolah yang justru “menganjurkan”
atau “memfasilitasi” mencontek—asal tidak ketahuan. Jadi mirip ajaran LDII saja
kalau demikian. Hal ini, lagi-lagi karena selalu berorientasi pada hasil. Naik kelas
atau tidak lulus seolah menjadi sesuatu yang memalukan, lebih memalukan dibanding
korupsi. Lalu, ketika orang-orang ini nanti jadi pemegang jabatan di atas, apa
iya penyakit ini akan hilang?
Dan sebagai sedikit promosi,
kampus saya—ITB—entah bagaimana bisa memutus permasalahan mencontek saat ujian
ini. Ada perasaan malu(atau gengsi?) jika saat ujian malah mencontek. Sehingga saat-saat
awal kuliah jujur saja saya cukup kaget dengan kultur ini
Selain
itu, ada yang berkata sekolah sekarang hanya menekankan pada aspek kognitif
saja. Pendidikan mengenai karakter pun terlupakan. Dan andai pendidikan karakter juga
dibicarakan, pertanyaan pun berubah menjadi karakter yang baik menurut siapa? Ada suatu
bangsa yang mengajarkan bahwa riba haram buat sesama bangsanya namun halal jika
terhadap manusia di luar bangsanya. Ada pula karakter mengenai berusaha
seefesien mungkin, bahkan cenderung menghalalkan segala cara. Apakah karakter
seperti ini yang mau kita ajarkan? Atau karakter yang bagaimana?
Ada suatu kisah menarik meski
mungkin tidak nyambung. Seorang petani menyuruh anaknya bekerja sangat keras di
ladang. Tetangganya kemudian berkata,”Anakmu tidak harus bekerja begitu keras.
Tanamanmu akan tetap tumbuh meski tak kau siangi rumputnya setiap hari.” Sang
petani menjawab,”Aku tidak sedang berusaha merawat tanamanku, namun sedang
membina anakku.”
Ketiga, masalah kelembagaan. Tidak
bisa dipungkiri, biaya untuk mencapai jabatan saat ini begitu mahal. Dan ketika
telah mencapai jabatan, menurut logika, dengan gaji yang “hanya” segitu apa
yang mungkin mereka lakukan untuk mengembalikan modal?
Sebenarnya, yang aneh adalah
kebijakan menambah penghasilan(renumerasi?) para pegawai atau pejabat agar
tidak melakukan korupsi. Sadarkah bahwa harta itu ibarat air laut? Makin
diminum makin haus? Dan kembali, yang bisa mengerem hal ini hanyalah akhlaq.
Kemudian mengenai hukum, bisa
kalian baca di tulisan-tulisan saya dalam serial ironi.
Yaah, mungkin inilah sedikit
opini saya mengenai benda yang disebut korupsi.
0 komentar:
Posting Komentar