Sebuah
artikel yang memuat kisah perjalanan HAMAS, dari sebuah jama’ah jihad yang
banyak dikagumi hingga akhirnya terpuruk dan memudar citra idealnya. Ditulis
oleh Abdullah Haidar Sha’i dengan judul asli, Hamas… Shattering Image seorang
Jurnalis Independen Internasional yang mengkhususkan menganalisis
gerakan-gerakan Islam. Berikut kami hadirkan kembali setelah di alih bahasakan
oleh Forum Islam At-Tawbah, dengan editor Abu Muhammad Al Muwahhid. Semoga
bermanfaat!
Prolog
Dahulu,
di masa dua Syaikh, yaitu Ahmad Yassin dan ar Rantisi (semoga Allah menyayangi
mereka), berita dari Palestina yang sampai kepada kita adalah, “Sebuah roket
telah ditembakkan ke wilayah Sedirot, dan Brigade al Qassam menyatakan
bertanggung jawab atasnya…”, “Sebuah operasi istisyhad telah terjadi di sebuah
kafe di Talabeeb dan al Qassam menyatakan bertanggung jawab atasnya…”. Akan
tapi, kini berita yang kita dengar adalah, “Brigade al Qassam telah membunuh
sejumlah Mujahidin dari kelompok Islam Jihadis setelah mengepung Masjid Ribat
di perempatan jalan Zaitoon di Gaza[1]”, “Brigade al Qassam membunuh 10
orang, di antaranya terdapat anak-anak dari kelompok Jaisyul Islam yang
ber-afiliasi kepada al Qaidah di Gaza[2]”, “Brigade al Qassam menyerang orang-orang
yang tengah beribadah di Masjid Ibnu Taimiyah yang berafiliasi pada al Qaidah
dengan roket dan sniper yang menyebabkan 125 korban tewas dan luka-luka”, “al
Qassam mengepung rumah seorang Syaikh Mujahid terkemuka, Dr. Abdul Latif Musa
yang dikenal dengan sebutan Abu Nuur al Maqdisi, meluluhlantakkan rumahnya[3], mengisolasi tempat kejadian dan
melarang para jurnalis mengambil foto atau mendapatkan informasi dari tempat
itu”.
Organisasi
Hamas kini telah bertindak tidak berbeda dengan perilaku rezim-rezim Arab
lainnya dalam membungkam serta melenyapkan kalangan oposisi, rival, atau para
pengkritiknya, ketimbang berlomba dan mengungguli mereka dalam fastabiqul khairat.
Citra Yang Hancur
Hamas
telah berjuang selama bertahun-tahun menjadikan dirinya sebagai organisasi yang
kuat, solid, dan memiliki reputasi luas, serta menggunakan nama dan reputasi
legendarisnya itu untuk mendukung berbagai propaganda, mulai dari propaganda
yang direkayasa secara teknis dan ilmiyah, untuk memotong setiap langkah musuh
atau kritik atau rivalnya yang dianggap mengganggu manuver dan perjalanannya[4]. Akan tapi, kini, setelah peristiwa
penyerangan Masjid Ibnu Taimiyah, seluruh propaganda itu sepertinya akan
berbalik menghancurkan berkeping-keping imej ideal yang telah membuat jutaan
orang bersimpati padanya selama lebih dari dua dekade ini.
Dan
tak lama, Hamas secara berangsur-angsur akan kehilangan keseimbangan yang telah
ia ciptakan selama ini melalui berbagai amaliyat dan popularitas media, dan
atas dasar keseimbangan ini pula (awalnya) Hamas menyandarkan dirinya ketika ia
melancarkan serangan terhadap Masjid Ibnu Taimiyah dan Syaikh Abdul Latif Musa rahimahullah.
Hamas juga begitu yakin terhadap kekuatan yang dimilikinya, meliputi tentara
terlatih dan perlengkapan perang Brigade al Qassam yang awalnya dipersiapkan
untuk menghadapi kekuatan penjajah –Israel-, namun kini malah diarahkan untuk
berkonfrontasi dengan segenap elemen yang juga aktif memerangi penjajah
–Israel-.
Hamas
pun cenderung memanfaatkan kekuatan yang dahulu diwarisi dari Muhammad Dahlan
(segenap mantan tentara bekas anak buah Muhammad Dahlan, Kepala Keamanan
Pemerintah Otoritas Palestina semenjak zaman Yasir Arafat hingga Mahmoud Abbas
.—pent), juga segenap kesatuan polisi yang pernah dilatih oleh Intelijen Mesir.
Kesatuan polisi tersebut kini menjadi unit polisi di Gaza, dan bersama tentara
bekas milisi Dahlan, membentuk kesatuan eksekutif di dalam gerakan Hamas,
semenjak Juni 2007.
Apa
yang telah dilakukan Hamas dalam peristiwa Masjid Ibnu Taimiyah, serta
serangkaian argumen yang disampaikannya sebagai ‘pembenaran’ atas aksinya itu
menuai tanda tanya. Pada saat ketika anggota al Qassam mengepung masjid dan
menempatkan para snipernya di atap-atap rumah, Ismail Haniyah –Perdana Menteri
Otoritas Palestina dari Hamas- pada hari yang sama dalam kesempatannya
ber-khutbah jumat yang ia sampaikan di sebuah masjid, berulang kali ia
sampaikan penolakan dan penyangkalannya tentang keberadaan Mujahidin asing di
Gaza atau para pejuang al Qaidah atau siapa saja yang sejalan dengan ideologi
atau manhajnya. Pernyataan ini dipahami oleh banyak pihak sebagai sebuah
deklarasi (implisit) dari rencana untuk melenyapkan (baca: membunuh) siapapun yang memiliki koneksi dengan proyek Jihad Global.
Komentar
Haniyah dilontarkan sebagai penyangkalannya atas klaim beberapa jurnalis di
daerah pendudukan yang menyatakan bahwa puluhan pejuang ’asing’ telah
menyelundup masuk di Jalur Gaza pada tahun-tahun terakhir ini, dan bahwa al
Qaidah semakin dekat untuk menguasai wilayah Gaza.
Lalu
terungkap fakta, bahwa di antara mereka yang terbunuh dalam peristiwa Masjid
Ibnu Taimiyah terdapat Abu Abdullah al Muhajir –seorang Mujahid
berkebangsaan Syiria, yang awalnya adalah pelatih militer Brigade al Qassam,
dan kemudian ia mendirikan Jundu Ansharullah-. Di hari Jumat itu, Haniyah
muncul ke tengah publik –dalam khutbah jumat- untuk menyampaikan pembenaran
atas aksi pembantaian tersebut, dengan menyatakan bahwa mereka yang berada di
dalam Masjid Ibnu Taimiyah, beserta Syaikh Abu Nuur –rahimahullah-
adalah orang-orang bughot yang mengkafirkan pemerintahan Hamas (kaum khawarij-takfiri.–pent)
dan membahayakan negara Palestina[5].
Pernyataan
Haniyah inipun terbantahkan, berdasarkan manhaj dan kenyataan operasi lapangan
–yang memperlihatkan bahwa memang benar Mujahidin internasional telah sampai di
Gaza-, juga oleh khutbah yang disampaikan oleh Syaikh Abu Nuur al Maqdisi yang
harus beliau tebus dengan ke-syahid-an –insyaAllah-.
(Dalam
khutbahnya) Syaikh Abu Nuur menggambarkan Hamas terbagi menjadi dua generasi.
Generasi pertama telah banyak yang telah menjadi syuhada –insyaAllah-
”dan Allah muliakan mereka”. Sementara generasi kedua adalah yang ada
sekarang ini dan mereka ”bercampur baur (antara mereka yang jujur maupun
tidak) dalam berbagai hal (manhaj, pemahaman, dll) tercampur bersama mereka”,
dan mereka –Pemerintahan Hamas– ”jika mereka menerapkan Syariat Islam di
Gaza maka saya (maksudnya Abu Nuur) akan menjadi prajurit dan pembelanya”[6].
Serangan
Hamas terhadap Masjid Ibnu Taimiyah telah mengungkapkan kepada khalayak ramai
di luar Palestina –untuk pertama kali– bahwa isu utama dari pertikaian berdarah
ini adalah karena Hamas ’tidak memberlakukan Syariat Islam’[7], dan mereka berdalih tengah berusaha
menerapkannya secara bertahap. Insiden Masjid Ibnu Taimiyah juga mengungkapkan
hal-hal yang selama ini ditutupi, salah satunya adalah, di antara korban yang
tewas dari pejuang Jundu Ansharallah dan termasuk dalam barisan mereka,
beberapa tentara pelaku amaliyah istisyhadiyah yang awalnya bergabung dengan
Brigade al Qassam, sayap militer Hamas, –bahkan salah seorang pemimpinnya adalah
salah satu kemenakan Dr. Musa Abu Marzuq, wakil presiden dari biro politik
Hamas[8].
Apa
yang terjadi di Masjid Ibnu Taimiyah merupakan rangkaian dari kampanye besar
lagi berkelanjutan yang menurut pertimbangan Hamas perlu untuk dilakukan, dalam
kaitannya untuk mengantisipasi pelanggaran/penerobosan keamanan yang dilakukan
oleh ’komponen-komponen asing’, yang kebanyakan mereka adalah dari
kalangan yang menganut manhaj Salafiyyah Jihadiyyah di Gaza serta para
pendukung gerakan Jihad Global yang berada di bawah arahan/kepemimpinan al
Qaidah. Kampanye besar ini dilancarkan setelah diadakannya pertemuan di Mesir
antara pejabat intelijen Inggris, para pimpinan intelijen (keamanan nasional)
Mesir, serta segenap pemimpin Hamas yang dipimpin oleh Mahmud az Zahhar dan
pimpinan al Qassam yang tak disebutkan namanya di media-media outlet.[9]
Hamas
kemudian mengiringi berbagai insiden tersebut dengan melancarkan propaganda
media. Setelah membunuh orang-orang yang beribadah di Masjid Ibnu Taimiyah,
Syaikh Abu Nuur al Maqdisi disalahkan dengan tuduhan memiliki sakit mental,
atau menganut manhaj yang sesat, dan bahwa ia adalah seorang takfiri.
Dan untuk mendukung berbagai klaim propaganda tersebut serta mengarahkan opini
publik, mereka menuduh Syaikh Abu Nuur sebagai pihak yang bertanggung jawab
atas berbagai kejahatan yang terjadi di Gaza beberapa waktu sebelumnya, seperti
peledakan kafe-kafe internet dan menargetkan sekolah-sekolah Kristen, serta
perayaan-perayaan pernikahan yang isinya bercampur baur.[10] Hamas menuduh Abu Nuur adalah agen aparat
keamanan dari Abu Mazin (Mahmoud Abbas) di Ramallah[11] dan tuduhan ini telah berkali-kali dibantah
oleh Jundu Ansharullah.
Beberapa
insiden yang dimasukkan ke dalam daftar tuduhan Hamas sebenarnya terjadi jauh
sebelum Jundu Ansharallah didirikan, seperti peristiwa pemboman di depan rumah
pemimpin Hamas, Marwan Abu Raas.[12]
Berbagai
penjelasan Hamas tentang kejadian itu –yang kemudian diadopsi oleh berbagai
media outlet baik yang diterbitkan oleh para pendukungnya atau rivalnya– bahwa
target operasi kali ini adalah mereka yang memiliki hubungan dengan jaringan
’terorisme’ global, telah memperlihatkan bahwa Hamas tengah menghancurkan
citra-nya yang (dahulu) memukau di depan opini publik dunia Islam. Nasib Hamas
mungkin makin mendekati nasib berbagai kepemimpinan Jihad maupun
pribadi-pribadi yang dahulu begitu mendapat tempat terhormat di Dunia Islam
seperti sosok pemimpin Jihad (dahulunya) yang legendaries, Abdur Rabbi Rasul
Sayyaf, yang kini namanya tenggelam karena lebih memilih untuk bergabung dengan
pihak penjajah salibis Amerika dan menjadi anggota parlemen di bawah rezim
pemerintahan boneka Hamid Karzai beserta para pendukungnya di Afghanistan.
Dan
inilah yang ditakuti Hamas, terungkapnya wajah buruk dari citra yang selama ini
tertanam di hati segenap Dunia Islam. Bisa jadi nasib Hamas makin mendekati
nasib yang pernah dialami oleh al Mahakim al Islamiyah di Somalia. Awalnya al
Mahakim mendapat dukungan dan sambutan luas dari publik di Dunia Islam, serta
proyek-proyek perjuangan mereka begitu dipuji dan diharapkan. Hingga akhirnya
al Mahakim berusaha meraih dukungan negara-negara Eropa dan Amerika –dan itupun
memang terjadi, negara-negara Eropa dan Amerika bersedia membantunya, melatih
para tentaranya- hingga pemimpinnya Syaikh Syarif Ahmad lebih memilih meminta
bantuan tentara kristen Ethiopia dan negara-negara Barat lainnya untuk
menggempur saudaranya sendiri, Harakah Syabab al Mujahidin, dikarenakan Syabab
ber-afiliasi dengan al Qaidah, sehingga dimasukkan ke dalam daftar organisasi
teroris global.
Sebuah
poling di al Jazeera memperlihatkan bahwa lebih dari 42% responden tidak
mendukung Hamas dalam aksi yang dilakukannya terhadap Jundu Ansharullah. Dan
jumlah persentase itu menggambarkan lebih dari sekitar 42 ribu partisipan, dari
total jumlah partisipan yang berjumlah sebanyak 87 ribu.
Sementara
lebih dari 42 ribu partisipan itu menyatakan menolak aksi Hamas, padahal mereka
telah mendengarkan berbagai narasi dari channel al Jazeera –di mana dalam
peristiwa ini , seluruh narasi di al Jazeera dimonopoli oleh Hamas, ini sesuatu
yang melanggar prinsip ‘keseimbangan pemberitaan’ yang merupakan salah satu
etika jurnalistik, karena narasi dari pihak korban sama sekali tidak
ditampilkan. Poling ini meng-indikasi-kan, bahwa hampir separuh partisipan
tidak setuju dengan aksi Hamas, dan mereka tidak mem-percayai narasi yang
ditampilkan di channel al Jazeera.
Poling
tersebut ternyata juga mengungkapkan fakta bahwa berbagai klaim dan dalih yang
direkayasa Hamas terhadap Jundu Ansharullah beserta Syaikh Abu Nuur sama sekali
tidak dapat diterima oleh penduduk Gaza, khususnya mereka yang kehilangan
putra-putra mereka dalam insiden itu, entah itu korban yang tewas, luka-luka,
ditahan, atau hilang dan tidak kembali.[13]
Sosok
Abu Nuur al Maqdisi yang sangat akrab bagi mereka, yang kenyataannya adalah
seseorang yang baik, yang hidup di tengah-tengah rakyatnya, senantiasa
mengembalikan seluruh permasalah kepada Syariat Islam, sangat santun dan
senantiasa membantu orang yang membutuhkan, khususnya kepada Jihad dan
Mujahidin. Rakyat Gaza juga sangat mengenal para pemuda anggota Jundu
Ansharullah, karena banyak di antara mereka dahulunya adalah anggota dari al
Qassam.
Moderatisasi dan Ekstrimisme
Insiden
Masjid Ibnu Taimiyah di Rafah terjadi ketika Hamas tengah mengkampanyekan
dirinya sebagai gerakan moderat dan mendeklarasikan bahwa dirinya dengan al
Qaidah adalah dua kutub yang berbeda, dan hampir semua pimpinan Hamas
–khususnya yang sering muncul sebagai juru bicara di media– menekankan
berkali-kali bahwa mereka bukanlah al Qaidah dan mereka sama sekali tak
mempunyai keterkaitan dengan aktivitas-aktivitas terorisme. Muhammad Abu Tair
–salah satu anggota parlemen Palestina dari Hamas, menulis di News Week tentang
loby politik Hamas di al Quds setelah kemenangan Hamas pada pemilu 2006 bahwa, ”Kami
tidak berniat menerapkan Syariat Islam, dan kami bukan bagian dari organisasi
al Qaidah”.[14]
Meskipun
Hamas mengklaim bahwa kehadiran al Qaidah di Gaza telah membuat organisasi
Hamas dimusuhi oleh seluruh dunia, dan bahwa Hamas adalah organisasi yang cinta
damai serta bersungguh-sungguh untuk tunduk di bawah arahan dan hukum-hukum
internasional, janganlah dilupakan, bahwa Hamas-lah sesungguhnya yang ’bertanggung
jawab’ atas perpanjangan isolasi atas Gaza selama lebih dari 3 tahun dan
bukan al Qaidah. Ketika selama 3 minggu, Gaza diluluhlantakkan dengan bom
fosfor putih antara Desember 2008 hingga pertengahan Januari 2009, adalah Hamas
yang melontarkan 7 buah roket ke wilayah Israel dan bukan al Qaidah atau siapa
saja yang menjadi pendukungnya di Gaza. Dalam peristiwa memilukan itu, 1300
rakyat Gaza syahid –insya Allah- dan 7000 ribu lainnya terluka, akibat serangan
brutal Zionis yang menggunakan senjata terlarang, bom fosfor putih namanya.
Ide
tentang moderatisasi dan ekstrimisme dipublikasikan oleh intelijen Amerika dan
Israel semenjak 10 tahun terakhir, dan kemudian diadopsi oleh beberapa gerakan
Islam untuk melepaskan dirinya dari tuduhan terorisme, setelah Bush
mendeklarasikan ideologi fasisnya dalam pidato politik nasionalnya setelah
tragedi 11 September, ”Siapa yang tidak bersama kami adalah lawan kami”.
Ide
tentang terorisme dan ekstrimisme telah diimplementasikan ”berdasarkan
hukum-hukum internasional yang dihormati Hamas” pada tahun 1994 setelah
konferensi Sharam asy Syaikh yang menghasilkan agenda perang melawan terorisme
–sementara pada saat itu al Qaidah belum menjadi embrio, dan dunia lebih
mengenal aksi ’terorisme’ Hamas– ketika ia melancarkan serangan bom pada sebuah
stasiun bis yang penuh dengan orang Zionis di Tal Abeeb, membunuh sekurangnya
40 orang Israel.
Lingkar-lingkar
studi strategis Amerika dan Zionis menganalisis indikasi sebagai ukuran proses
moderatisasi: yakni sejauh mana suatu organisasi menerima Demokrasi dan
konsep Hak Asasi Manusia (yang berdasarkan nilai-nilai Barat) dalam praktek
keyakinannya dan kehidupan pribadinya, sejauh mana organisasi tidak memandang
permasalahan perpindahan agama (murtad dari agama) atau orientasi seksual yang
bebas, sejauh mana organisasi tersebut mau menerima dan menerapkan tradisi
serta standar dari Barat, sejauh mana organisasi menerima persamaan hak perempuan
dan kesetaraan gender, atau sejauh mana sebuah organisasi mau memperjuangkan
hak-hak kaum minoritas agar dapat setara dengan mayoritas.[15]
Studi
tersebut merumuskan beberapa poin untuk membedakan (memisahkan) mana organisasi
yang moderat dan mana yang ekstrem.
Pertama : menerima demokrasi
Kedua
: menerima pendekatan non religius
(sekuler) untuk penetapan hukum serta perundang-undangan
Ketiga :
hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan kesetaraan hak minoritas
Keempat : menolak dan ikut memerangi pendekatan terorisme dan
kekerasan (dalam kamus mereka,
apa yang dilakukan muslim tertindas di
Palestina, Afghanistan, dan Iraq adalah terorisme, sementara kekejaman yang
dilakukan Zionis, penjajah Amerika dan NATO, atau rezim tirani di dunia Islam
adalah tindakan mem-bela diri).
Dan
Amerika membuat berbagai daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk menilai
sejauh mana tingkat moderatisasi diterapkan oleh suatu organisasi; yaitu
tentang manhaj, ideologi atau pandangan politik serta ekonomi yang seperti apa
yang diterapkan? Apakah organisasi itu menerima asas legitimasi Internasional
dan hukum-hukumnya (sesuai garis Sykes Picot. —pent)? Apakah organisasi itu mau
menerima peraturan dan perundang-undangan yang disodorkan oleh komunitas
internasional?
Apakah
ia menerima hak kebebasan ber-agama, serta tidak menghalangi orang yang murtad
dari Islam untuk memeluk agama lain? Apakah ia menerima hak-hak kaum gay serta
berbagai kebebasan orientasi seksual lainnya sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia dan kebebasan individu? Apakah organisasi itu lebih meyakini kemuliaan
hukum Islam atau akankah ia lebih menerima asas mayoritas dalam sistem
Demokrasi? Apakah ia akan membebaskan praktek penyebaran agama non Islam pada
masyarakat Islam? Apakah ia akan menerima jika lewat proses demokratik itu yang
terpilih adalah seseorang non muslim?[16]
Pendekatan
politik yang diterapkan Condoleza Rice pada Dunia Islam diawali berdasarkan
konsep moderat dan ekstrimis ini. Dan ketika Hamas mulai menerima sistem
Demokrasi, terlibat dalam proses pemilu pada Januari 2006, membawa titik terang
bagi peluang moderatisasi (baca: proses pemandulan. –pent) sehingga organisasi
ini dapat masuk sepenuhnya dalam bingkai konsep yang dirumuskan serta
disebarkan oleh pusat-pusat studi tersebut. Kita mengetahui bahwa para
pengambil keputusan strategis di pusat studi tersebut (yang tersebar di Eropa
dan Amerika), seperti Rand Organization for Strategic Studies, yang dibiayai
dan dikendalikan oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri
Amerika, atau lembaga International Islamic Organization, yang ternyata dibiayai
oleh Kongres Amerika serta The Carter Foundation. The Carter Fondation, dengan
patronnya Jimmy Carter, ternyata telah cukup lama menjadi mediator pembicaraan
tidak resmi antara pihak Zionis penjajah dengan gerakan Hamas.
Lelucon
pernyataan pemilu –yang diadopsi oleh ‘Hamas versi baru’– yang
menetapkan bahwa seluruh anggota masyarakat adalah setara di hadapan hukum tak
peduli bagaimana agamanya, apakah ia muslim atau kafir, bahwa demokrasi adalah
satu-satunya solusi, bahwa solusi masalah serta penetapan tasyri’
diserahkan sepenuhnya pada kotak-kotak suara, sehingga menjadikan syariat Islam
sebagai salah satu saja dari alternatif utama dan itu bukanlah satu-satunya
hukum untuk mengatur, dan bahwa darah rakyat Palestina itu lebih suci.[17]
Rakyat
Palestina di Gaza memilih Hamas karena mereka yakin bahwa otoritas religius (Hamas
dianggap mewakili otoritas religius. –pent) bersih dari korupsi dan akan
memberikan perhatian yang lebih besar untuk memperbaiki kondisi hidup mereka.[18]
Demikian
berbagai kampanye Hamas pada saat pemilu. Dalam level implementasi sosial dan
kultural, Hamas mendeklarasikan bahwa mereka tidak akan menutup pub dan bar
atau hotel yang membuka pub dan bar, mereka tidak akan mendesak pemakaian
hijab, dan bahwa mereka lebih memilih pendekatan gradual untuk merubah
masyarakat dengan melakukan amar ma’ruf saja tetapi tidak melakukan nahi
munkar. Mereka membuka sekolah-sekolah musik bagi anak-anak dan panggung
pertunjukan yang bercampur baur antara lelaki dan perempuan, mereka juga
mendorong audisi-audisi ’pencari bakat’ di panggung-panggung pertunjukan, serta
memprogramkan 20 juta dollar untuk membangun sebuah bioskop terbesar di daerah
pesisir Gaza.[19]
Dalam
level politik, Hamas menunjuk ’manajer’, yaitu seorang agen intelijen Mesir bernama
Omar Sulaiman sebagai intermediary (penghubung) rahasia, dalam berbagai
kesempatan komunikasi dan pembicaraan tidak langsung dengan pihak penjajah
Israel. Omar Sulaiman bertindak sebagai intermediary berkebangsaan Arab,
sementara yang bertindak sebagai intermediary ke dunia internasional,
Hamas berkolaborasi dengan mantan presiden Amerika Jimmy Carter bersama menteri
luar negeri Russia Sergei Lavrov, yang baru-baru ini bertemu dengan Khalid
Misyal di Damaskus. Setelah berakhirnya pertemuan tersebut, Lavrov kemudian
mengumumkan, ”Hamas saat ini sudah berubah menjadi lebih praktis (baca:
pragmatis. –pent).”[20]
Akar dan Awal Perubahan
Sebelum
sampai pada fase bentrokan Hamas yang moderat dengan pergerakan Islam
’ekstrimis’ (khususnya kalangan Salafiyyah Jihadiyyah. –pent), ada
perbedaan nyata di antara kepemimpinan Hamas, (garis perbedaan mulai terlihat)
khususnya pada masa Dr. Ar Rantisi dengan Khalid Misyal.
Rantisi
menegaskan antara pembebasan dan negosiasi, ”Negosiasi adalah engkau
mengkapling-kapling tanahmu dan bukan melancarkan operasi perjuangan
pembebasan, kemudian engkau mengambil sejumput tanah dan engkau berikan sisanya
kepada penjajah yang merampas tanahmu itu. Akan tetapi operasi pembebasan yang
sebenarnya adalah engkau hanya mengambil apa yang menjadi hakmu, dan engkau
bersedia memberi bayaran yang sepadan dengannya, yaitu darah dan segenap harta
milikmu, dan engkau tidak berkompromi untuk mendapatkan apa yang menjadi hakmu
itu”.[21]
Sementara
Khalid Misyal menyatakan, ”Hamas siap mendukung terhadap setiap solusi untuk
men-setting hidup berdampingannya dua bangsa dalam satu negara sebagaimana
batas 1967”.[22]
Sebelum
momen kritis yang terjadi pada peristiwa Masjid Ibnu Taimiyah, dengan seluruh
kemungkinan antisipasi yang akan terjadi di masa depan –tidak hanya efek yang
akan terjadi pada Hamas, tetapi akan mempengaruhi seluruh pola hubungan antara
berbagai amal Islami dan proyek Islami, namun juga akan mempengaruhi persepsi
masyarakat muslim umumnya terhadap Hamas-, banyak peristiwa dan insiden yang
terjadi mendahuluinya. Pada 13 Maret 2009, sekelompok pejuang yang tidak
sejalan dengan manhaj Hamas, menembakkan sejumlah roket ke wilayah penjajahan
Israel.
Hamas
segera mengumumkan pernyataannya yang mengecam dan mengutuk, dan meyakinkan
komunitas internasional melalui juru bicaranya, Tahir an Nunu, bahwa tembakan
roket itu bukan berasal dari perlawanan Hamas.[23]
Lalu
Usamah Hamdan, perwakilan Hamas di Lebanon yang juga anggota politbiro Hamas
berkata pada BBC di hari yang sama, bahwa penembakan roket tersebut ”mengacaukan
seluruh strategi operasi perlawanan Hamas”.[24]
Pembantaian
yang dilakukan Hamas di Rafah, Gaza, atas Jundu Ansharullah tidak lain adalah
letikan dari persoalan inti yaitu pergesekan/pergulatan antara manhaj Ikhwani
saat ini dengan manhaj Jihadi global yang telah cukup lama terjadi di bawah
permukaan.
Letikan
mulai muncul ke permukaan sesaat pasca 11 September, ketika mereka menegaskan
sikapnya, yaitu meng-kriminalisasi-kan (menyalahkan dan mengutuk) penyerangan
atas Amerika, dan meng-kriminal-kan para pelakunya (Mujahidin rahimahumullah.
–pent), hingga sampai pada saat dikeluarkannya fatwa yang terkenal dari Dr
Yusuf Qardlawi tentang pentingnya segenap ummat Islam yang tinggal di Amerika
dan Eropa untuk berpartisipasi dalam kampanye melawan ’terorisme’ terhadap negeri
Afghanistan, atau negeri-negeri Muslim lainnya, sebagaimana dikutip dari fatwa
tersebut, jika ummat Muslim tersebut diperintahkan oleh negaranya untuk
berpartisipasi maka mereka harus berpartisipasi, sehingga mereka tidak akan
menemui masalah dalam kontradiksi dengan loyalitas nasionalismenya, atau agar
mereka tidak menemui masalah kehilangan pekerjaan dan penghasilan, dan agar
saudara Muslim lainnya di seluruh dunia tidak terkena imbas (dari kampanye
perang melawan terorisme), dan Ummat Islam tidak dituduh sebagai pihak yang
suka mengkhianati atau tidak setia pada pemerintah dan negerinya[25] (maka sesuai dengan tema fatwa ini, bahwa
sosok semisal Yahya Adam Gadahn, John Walker Lihnd, Nidaal Hassan, atau Omar
Hamami adalah sosok-sosok buruk pengkhianat terhadap negara Amerika. –pent).
Lalu
fatwa Dr. Qardlawi berulang, melegalisasi (membolehkan) Amerika dan Barat
memerintah di sejumlah wilayah penjajahan berdasarkan kesepakatan dan kontrak,
sebelum agresi atas Iraq dilancarkan[26] dan kemudian setelah penjajah Amerika
memasuki Baghdad bersamaan dengan jatuhnya rezim Saddam, Dr. Qardlawi
mengeluarkan fatwa tentang perlunya ummat Muslim Sunni untuk bergabung dalam
proyek-proyek (yang di-inisiasi) oleh penjajah Salibis, mulai dari
berpartisipasi dalam pemilu, berpartisipasi dalam pemerintahan yang dibentuk
dan dikendalikan oleh penjajah, hingga berpartisipasi dalam kesatuan polisi
atau tentara atau berbagai kesatuan bersenjata lainnya yang dilatih oleh
Amerika atau Inggris di wilayah penjajahan itu.[27]
Dan
pergulatan antara Ikhwan dengan gerakan Jihad Global bertransformasi dari
pergesekan ideologi dan manhaj menjadi bentrokan bersenjata di lapangan.
Peristiwa di Afghanistan menunjukkan hal itu, ketika kepemimpinan nasional dari
organisasi Ikhwan di Afghanistan, bersekutu dengan penjajah Amerika di bawah
koordinasi Abdur Rabbi Rasul Sayyaf untuk menggempur Kabul dan menaklukkannya
di bawah dukungan tank-tank Amerika.
Dan
hal yang sama berulang di Iraq, ketika para pimpinan Ikhwan di Iraq, yang paling
terkemuka di antara mereka, Pengawas Umum (Muraqib Aam) Ikhwan di Iraq, Dr.
Iyad as Samarai, yang kini menjadi salah satu pimpinan parlemen Iraq, bersama
dengan sekretaris umum Ikhwan, Hajim al Husni, keduanya memiliki status
kewarganegaraan ganda; Amerika dan Inggris, bertemu dengan segenap pejabat
tinggi Intelijen Amerika di London, diwakili oleh Zulmi Khaleel Zaad, dan
dihadiri juga oleh beberapa pimpinan Syi’ah dan Kurdi, untuk membicarakan
berbagai hal terkait Iraq setelah jatuhnya Saddam.[28]
Ikhwan
juga turut mengetuai majelis kepresidenan pertama di bawah kepemimpinan
perwakilan pemerintah Amerika Paul Brimer selama masa agresi penjajahan, dan
keterlibatan Ikhwan lebih lanjut terjadi dalam seluruh proses politik dan
keamanan setelah itu, dan mereka juga yang merancang satuan-satuan milisi Dewan
Kebangkitan di Iraq[29] yang bahu membahu dengan militer Amerika
dalam upaya memerangi ’terorisme’.
Di
Somalia, faksi al Ahl (baca: faksi Ahlu Sunnah wal Jamaah. –pent) yang
merupakan representasi Ikhwan yang bergabung dengan Sheikh Syarif Ahmad yang
ber-aliansi bersama NATO dan Amerika, mengundang masuknya tentara salib
Ethiopia untuk menghadapi Harakah asy Syabab al Mujahidin, organisasi pejuang
di Somalia yang berafiliasi dengan al Qaidah yang kemudian asy Syabab
dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris.[30]
Skema
kemudian terlihat agak bercampur baur ketika kita menyaksikan situasi
Palestina. Kita menyaksikan perbedaan besar masih terlihat jelas mengenai
tingkah laku Ikhwan di Palestina dengan perwakilan-perwakilan mereka di
bumi-bumi Islam terjajah lainnya seperti Afghanistan, Iraq, dan Somalia. Pada
kenyataannya, gerakan Hamas tidak lebih dari percampuran antara Salafi
Jihadi-Ikhwani dan faksi nasionalis Palestina. Dan pendiri gerakan Hamas,
Syaikh Ahmad Yassin, tidak pernah benar-benar menjadi bagian inti dari gerakan
Ikhwanul Muslimin, barang satu haripun.[31]
Dan
apa yang dilakukan oleh militer Israel penjajah, yaitu melakukan serangkaian
operasi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Hamas, hanya mentargetkan kebanyakan
mereka yang mewakili sayap/front Jihadi dalam kepemimpinan Hamas yang dicap
ekstrem, untuk memberi jalan bagi kalangan yang disebut Bush sebagai ’para
pemikir dan intelektual Hamas’ atau kalangan moderat di dalam tubuh Hamas.
Dan
kalangan yang terakhir dari mereka yang dicap sebagai ekstremis di tubuh Hamas
yang dibunuh oleh Zionis Israel adalah Dr. Nizar Rayan pada perang terakhir di
Gaza. Tujuan utamanya adalah mengangkat popularitas ’kalangan pemikir dan
intelektual Hamas’ di kalangan dunia Islam dan mengakhiri seluruh elemen Jihadi
di tubuh Hamas yang menolak jalan negosiasi, dengan cara membunuh dan
menghabisi seluruh komandan front militer yang berpengaruh, dan menjaga para
politikus tetap hidup untuk proses negosiasi selanjutnya.
Hamas Hanya Menuntut 1 % Saja…
Dalam
sebuah percakapan telepon antara Khalid Misyal dengan pejabat intelijen Mesir
pada 2007, Misyal mampu meyakinkan Mesir bahwa jika Gaza masih dibagi antara
Dahlan dan Hamas, maka Gaza akan menjadi tempat kondusif bagi terorisme dan
persemaian subur bagi Jihad Global, hingga akhirnya pejabat keamanan nasional
Mesir khawatir manakala pengaruh jaringan Jihad Global akan melebarkan sayapnya
melampaui Gaza menuju wilayah Bedoin dan Sinai.[32] Maka pertempuran sengit pecah di Jalur Gaza
di mana Hamas meraih kontrol penuh atas wilayah itu, dan mendesak Dahlan keluar
dari Gaza. Selanjutnya Hamas menggabungkan kesatuan polisi Dahlan yang
tertinggal di Gaza, berikut departemen eksekutif dan militernya di bawah
kendali Hamas di Jalur Gaza. Padahal Gaza tidak lebih 1% dari seluruh luas
wilayah Palestina.
Elit
politik Hamas meningkatkan intensitas pertemuannya dengan intelijen Amerika dan
diplomat barat. Pada musim panas 2005 di Beirut, Lebanon, mereka bertemu dengan
figur-figur kunci yang sangat dekat dengan para pengambil keputusan Amerika.
Kemudian diikuti dengan pertemuan terbuka dengan salah satu tokoh terkemuka
pengambil keputusan di America, dan pendorong proses damai bagi Israel, yaitu
Jimmy Carter, sang pemrakarsa Perjanjian Camp David 1979, yang populer dengan
kata-katanya, ”Siapa yang menolak bangsa Israel (dan negara Israel),
sejatinya ia telah menolak kehendak Tuhan”. Carter jugalah yang pertama
kali mendeklarasikan kemenangan mayoritas Hamas pada proses pemilu 2006.
Begitu
juga terjadi serangkaian pertemuan rahasia maupun terbuka dalam masa lima tahun
terakhir. Salah satu contohnya adalah pertemuan antara Dr. Mahmud az Zahar,
menteri luar negeri Hamas dengan perwakilan pemerintah Swiss, yang menghasilkan
kontrak Swiss, dengan imbalan agar dua bangsa (Palestina dan Israel) dapat
hidup berdampingan dan meninggalkan senjata serta menghentikan sikap saling
benci. Juga serangkaian ’road show’, dengan sejumlah kementerian Perancis di
Paris, lalu ke China dan Russia, oleh az Zahhar dan Misyal.
Ketika
itu Mujahidin Chechnya menyampaikan tadzkirah pada Misyal, “Mengapa ia rela
bahkan senang hati menjabat tangan sang pembunuh anak-anak dan rakyat Cechnya
(yaitu perdana menteri Russia, Vladimir Putin. –pent).”
Misyal
hanya menjawab pendek (atas pertanyaan Putin tentang isu Cechnya dan Kaukasus
Utara), ”Persoalan Cechnya adalah persoalan internal Russia dan tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan Palestina”.
Hamas
mengirimkan pesan kepada Sekjen PBB Kofi Annan pada tahun 2007 meminta agar PBB
melakukan mediasi agar dapat tercipta bangsa Palestina yang ”hidup saling
berdampingan di tanah yang diberkati dengan Israel”[33] dan Zahhar mengatakan pada CBS Channel
Amerika, ”Mari kita hidup berdampingan dalam damai dan kami akan
menghentikan amaliyah-amaliyah militer”[34].
Seluruh
tindakan yang diambil oleh otoritas gerakan Hamas itu, ditanggapi kritis secara
langsung maupun tidak langsung dari para Komandan Jihad Global yang dipelopori
oleh al Qaidah.
Orang
kedua al Qaidah, Dr. Aiman az Zawahiri berkata bahwa Beliau masih melakukan
tadzkirah dan beramar ma’ruf pada Hamas, meneguhkan sikapnya bahwa Beliau
mendukung segenap Mujahidin di dalam Hamas[35], dan sikap ini juga ditegaskan oleh Komandan
al Qaidah di Afghanistan, Syaikh Mustofa Abul Yazid ketika Beliau berkata bahwa
kami mendukung ’segenap Mujahidin di dalam Hamas’[36].
Berbagai
tadzkirah yang lembut terus berlanjut disampaikan oleh segenap komandan al
Qaidah, hingga elit Hamas menandatangani Perjanjian Mekah, di mana melalui
perjanjian itu sebuah pemerintahan nasional bersatu dibentuk (antara Hamas dan
PLO), dan Ismail Haniyah mengumumkan di antara programnya, yaitu ”menghormati
seluruh perjanjian dan kesepakatan yang telah dijalin oleh Otoritas Palestina
dengan pihak mana saja (termasuk penjajah Israel. –pent) dan mengakuinya
sebagai representasi resmi dalam negosiasi”[37], maka runtuhlah seluruh citra Hamas yang
ideal setelah itu, bagaimana para elit Hamas selama ini menyampaikan statemen
(yang terlihat tegas. –pent) bahwa mereka menolak entitas Israel –padahal pada
kenyataannya mereka menghormati dan menjalin berbagai kesepakatan dalam
lapangan nyata dengan berbagai pimpinan Israel penjajah, baik di level kota
Gaza, maupun level yang lebih tinggi, yaitu departemen legislatif[38].
Maka
setelah penandatanganan Perjanjian Mekah itu, tadzkirah yang keras mulai muncul
dari segenap Komandan Jihad terhadap jajaran elit pimpinan Hamas. Kekecewaan
dan kesedihan mendalam diungkapkan oleh Dr. Aiman az Zawahiri terhadap ”segenap
pimpinan elit Hamas, bahwa mereka telah mengikuti jejak teladan Anwar Sadat”.
Syaikh Usamah bin Ladin pun menyampaikan khutbah terkait usaha membebaskan
Palestina, bahwa Beliau ”tidak akan menghormati seluruh perjanjian dan
kontrak internasional (yang curang), tidak seperti segenap elit Hamas dan
beberapa kalangan Ikhwanul Muslimun”, dan Beliau menggambarkan bahwa para
pimpinan Hamas ”telah menggadaikan Dien mereka demi dunia”, dan Beliau
menyeru segenap Mujahidin yang jujur dalam Hamas agar mereka berlepas diri dari
pimpinan yang korup terhadap kebenaran tersebut dan memisahkan diri dari
mereka.
Dan
kritikan paling keras datang dari Amir Daulah Islam Iraq, Abu Umar al Baghdadi[39], yang mengetengahkan klaim bahwa berbagai pertempuran
dengan elemen Ikhwanul Muslimin telah menjadi bagian pertempurannya dan
pengalaman nyatanya di Baghdad (sebagaimana Hizbul Islamy di Iraq yang
ber-afiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, yang mana lebih memilih untuk bergabung
ke dalam parlemen boneka penjajah Salibis Amerika di Iraq, ketimbang bergabung
bersama mujahidin yang berada di bawah naungan Daulah Islam Iraq. –edt) dan
berbagai pertempuran itu adalah gambaran dari pergolakan besar yang terjadi di
seluruh dunia, di mana Palestina adalah front peperangan terdepannya. Abu Umar
al Baghdadi mendesak seluruh elemen yang jujur dalam al Qassam untuk memisahkan
diri dari Hamas dan membentuk basis gerakan yang baru.
Sebagai
dampak dari seruan dan tadzkirah ini, maka kita menyaksikan berbagai grup dan
kelompok Jihadi dibentuk oleh para anggota yang meninggalkan Hamas dan al
Qassam. Para mantan anggota Hamas atau Brigade al Qassam ini membentuk berbagai
batalion Jihadi Independen, dimulai dengan berdirinya Jaisyul Islam di Gaza
yang anggotanya mayoritas adalah mantan prajurit al Qassam, yang paling
terkemuka di antara mereka adalah Saib Dugmesh. Beliau dahulu adalah salah
seorang komandan lapangan dan pelatih militer al Qassam. Hamas membunuhnya tak
lama setelah Beliau menyatakan diri untuk meninggalkan al Qassam dan bergabung
dengan Jaisyul Islam, pada bulan Ramadhan 1429 H. Dalam insiden itu, 10 orang
terbunuh termasuk seorang anak-anak.[40]
Kemudian
Fatah al Islam muncul di Palestina. Batalion ini melancarkan serangkaian
serangan roket ke wilayah pendudukan Israel. Lalu Jaisyul Ummah berdiri, dan
sempat menggelar serangkaian parade serta latihan terbuka di Gaza. Hamas
kemudian menangkap dan menahan Amirnya. Kemudian Jamaah Tauhid wal Jihad
dibentuk, di mana beberapa operasi militernya cukup dominan pada saat
penyerangan Gaza, ketika kelompok ini meledakkan pos militer di daerah jajahan
Israel di arah pintu masuk timur Khan Yunis. Jundu Ansharullah pun didirikan
pada akhir tahun 2008, setelah Khalid Banat, atau dikenal dengan nama Abu
Abdullah al Muhajir, seseorang berkebangsaan Syiria dan berasal dari keluarga
bisnisman sukses, yang awalnya sebagai pelatih militer al Qassam, kemudian
meninggalkannya untuk mendirikan Jundu Ansharullah. Hamas membunuhnya di tengah
gempuran yang dilancarkan ke Masjid Ibnu Taimiyah di pertengahan Agustus 2009.
Terbunuhnya
Abu Abdullah al Muhajir dengan cara misterius itu tidak dapat terungkap hingga
kini. Pembantaian yang terjadi atas Jundu Ansharullah, bersama pemimpinnya
Syaikh Abu Nuur al Maqdisi, seperti menjadi deklarasi kepada Hamas, bahwa fase
baru akan mereka hadapi, yaitu operasi militer dan perang terbuka yang tidak
hanya melibatkan antar elemen dan anggota masing-masing pihak di lapangan,
tetapi juga mentargetkan pembunuhan dan eliminasi para pimpinan Hamas di Gaza,
sebagai bentuk balas dendam atas pembunuhan yang dilakukan Hamas terhadap
segenap pimpinan, ulama, dan masyaikh Salafiyyah Jihadiyyah.
(Sebelum
peristiwa pembantaian Masjid Ibnu Taimiyah, berulang kali para masyaikh
Salafiyah
Jihadiyah menyeru kepada segenap anggota dan simpatisannya untuk
’menahan tangan mereka’ dari Hamas dan prajurit al Qassam. Lihat tadzkirah
Syaikh Abu Muhammad al Maqdisi berjudul ”Apakah kalian hendak membunuh
seseorang yang berkata ’Rabbunallah?’ Tidakkah ada di antara kalian satupun
orang yang berakal?” —pent).
Berbagai
perkembangan di lapangan, dinamika yang terjadi secara nyata, serta pergulatan
manhaj dan aqidah, meyakinkan kita bahwa al Qaidah atau apa yang kita sebut
sebagai gerakan Jihad Global telah sampai di gerbang al Quds, mereka telah
sangat dekat dan bahkan bisa jadi telah berkumpul mengelilinginya, menunggu
komando untuk melancarkan serangan besar yang menentukan demi memerdekakan bumi
Palestina seluruhnya.
10
roket berhasil ditembakkan dari arah utara wilayah Palestina terjajah selama
masa pertempuran Gaza. Roket tersebut ditembakkan dari daerah Lebanon Selatan,
di mana Batalion asy Syahid Abdullah Azzam (Imamul Mujahid, Syuhada, Insya Allah,
Syaikh Abdullah Yusuf Azzam, salah satu tokoh Jihad Afghan dan dunia, berasal
dari Palestina. –pent), unit Ziyad Jarrah (Syuhada, insya Allah, Ziyad Jarrah,
adalah salah seorang mujahid pelaksana amaliyat 11 September, berasal dari
Lebanon. –pent) mengaku bertanggung jawab atas serangan-serangan itu.
(Seakan
seperti sebuah sinyal atau tanda yang dikirimkan prajurit sebagai laporan
kepada pusat komando di Afghanistan atau daerah tribal Pakistan, yang
menyatakan ”kami telah sampai”, setelah para prajurit itu menepati perintah
dari pusat komando yang memerintahkan ”Segeralah Berangkat Untuk Menolong
Segenap Ahli Kita di Gaza”. –lihat transkrip seruan Syaikh Abu Abdillah Usamah
bin Ladin, dengan judul yang sama, ketika penyerangan Gaza terjadi pada akhir 2008.
–pent).
Dan
salah seorang tokoh terkemuka Salafiyyah Jihadiyyah di Naungan Baitul Maqdis,
Syaikh Abu Muhammad al Maqdisiy[41], telah menyeru kepada seluruh formasi,
kelompok, grup, prajurit dan simpatisan Salafi Jihadi untuk bersatu dan
bergabung di bawah satu panji dan kepemimpinan, dan Beliau menyeru agar mereka
bersatu di bawah arahan Batalion Tauhid wal Jihad. Seruan ini seperti sinyal
masuknya fase baru di Palestina, ketika mungkin di masa yang dekat ini kita
akan menyaksikan meluas dan makin solidnya kekuatan front oposisi Hamas di
Gaza.
Sumber
: AMEF (Anshar Mujahideen English Forum)/At-Tawbah/Jahizuna
Copas dari: http://al-mustaqbal.net/hamas-citra-ideal-yang-hancur/#_ftnref38
Copas dari: http://al-mustaqbal.net/hamas-citra-ideal-yang-hancur/#_ftnref38
[1] Pada bulan Agustus 2007
[2] Pada bulan September 2008
[3] Pada bulan Agustus 2009
[4] Niccolo Machiaveli dalam “Il Principe”
berkata, “Anda harus membangun reputasi yang kokoh dan luas di sekitar Anda,
sehingga dapat menghentikan musuh-musuh Anda dalam mengkritik Anda secara
terbuka. Karena dengan reputasi yang kokoh dan luas tersebut, rakyat yang telah
bersimpati pada Anda akan ikut berpihak pada Anda dan melawan para pengkritik
itu.”
[5] Ismail Haniyah, al Jazeera Channel, 14
Agustus 2009
[6] Website Jundu Ansharullah, transkrip Khutbah
Jumat Syaikh Abu Nuur al Maqdisi
[7] Hamas memerintah berdasarkan UUD Palestina,
yang di-edit dari UU pemerintah kolonial Inggris ketika menjajah Palestina
dahulu.
[8] Abdul Bari Atwaan, “Hamas dan Perangkap
Ekstremisme”, Preface, al Quds al Arabi, 17 Agustus 2009
[9] Al Manar Media Website
[10] Pernikahan kerabat Muhammad Dahlan yang
terjadi pada akhir Juli. Penyelidikan mengungkapkan bahwa ledakan terjadi
dikarenakan mercon dan kembang api yang disulut dalam pesta, akan tetapi
ledakannya seperti bom pinggir jalan yang dipasang di depan rumah Abu Raas,
pengurus teras asosiasi ulama Palestina. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juli
2007, satu setengah tahun sebelum berdirinya Jundu Ansharullah.
[11] Seluruh tuduhan tersebut telah dibantah oleh
Jundu Ansharullah pada saat itu juga, dan kembali diulangi sesaat setelah
peristiwa Masjid Ibnu Taimiyah.
[12] Organisasi Jundu Ansharullah didirikan pada
akhir tahun 2008, sementara peristiwa pemboman di depan rumah Abu Raas terjadi
pada pertengahan tahun 2007, jauh sebelum Jundu Ansharullah didirikan
[13] Menurut laporan Amnesti Internasional, lebih
dari 30 orang terbunuh di tempat ketika insiden pecah, 150 terluka dan 20 di
antaranya terluka sangat kritis, beberapa yang terluka meninggal (atau
dibunuh?) ketika dalam perjalanan ke rumah sakit, lebih dari 480 orang ditahan
atau hilang tidak pulang ke rumah selepas peristiwa Masjid Ibnu Taimiyah
[14] Newsweek, Kevin Braino, Gaza, Februari 2006
[15] Study: Creating Moderate Islamic websites,
Rand Organisation of Departmen of Defense of America, 2006
[16] Study: Creating Moderate Islamic websites,
Rand Organisation of Departmen of Defense of America, 2006
[17] Program pilihan Unit Perbaikan dan
Perubahan, Gaza Palestina, Palestinian Media Center
[18] Koran Haarets, Februari 2006
[19] Berbagai agensi berita: Russia Today
Channel, al Jazeera Channel, al Arabiah Channel
[20] Sebagaimana pernyataan Sergei Lavrov
yang dikutip berbagai agensi media, di antaranya Middle East Newspaper, Juni
2009
[21] Abdul Aziz ar Rantisi, Palestinian
Media Center
[22] Khalid Misyal, wawancara, New York Times,
Ethan Browner dan Tagried al Khadri, 12 Mei 2009
[23] Tahir an Nunu, statemen media pada al
Jazeera Channel, Maret 2009
[24] Usamah Hamdan, kepada BBC Channel edisi
Arab, 13 Maret 2009
[25] Yusuf al Qardlawi, Fiqh terkait partisipasi
tentara Muslim Amerika, Islamonline website
[26] Yusuf al Qardlawi, al Jazeera Channel,
Program Syariah dan Kehidupan, Februari 2003
[27] Yusuf al Qardlawi, al Jazeera Channel,
Program Syariah dan Kehidupan, 2006
[28] Kantor berita Middle East London,
Desember 2002
[29] Tariq Hashimi, Sekjen Hizbul Islami Iraq
(Ikhwanul Muslimun Iraq), al Arabia Channel, 18 September 2008
[30] News Agencies
[31] Ahmad Yassin, Syahid al Ashr, al
Jazeera, Januari 1999
[32] Ibrahim Hamam, Aljazeera.net, Agustus 2009,
dikutip dari The Middle East News Magazine, Juni 2007
[33] Al Arabiya Channel, 26 Januari 2007
[34] Mahmud az Zahhar pada CBS Channel, Januari
2007
[35] Percakapan Terbuka dengan Aiman az Zawahiri,
Muassasah as Sahab
[36] Mustofa Abul Yazid, Wawancara Spesial dengan
al Jazeera, 21 Juni 2009
[37] Pidato Ismail Haniyah di depan Komite
Eksekutif
[38] Pertemuan para menteri Hamas dengan delegasi
Israel bertempat di Gedung Eksekutif di Ramallah, Gaza, Fras Bars, 5 April 2007
[39] Pidato Abu Umar al Baghdadi, Muassasah al
Furqon, 2008
[40] Pernyataan Jaisyul Islam, September
2008
[41] Minbar Tauhid wal Jihad
0 komentar:
Posting Komentar