Minggu, 29 Desember 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Hari Kamis yang lalu, seperti biasa ada halaqah rutin. Halaqahnya rutin, kedatangan saya yang tidak rutin -_- Dan kemarin yang di bahas adalah mengenai ikhtilaf. “Ikhtilaf Adalah Perkara Yang Kauni (Sunnatullah), Sedangkan Mencegahnya Merupakan Perkara Yang Syar’I”. Begitulah kaidah pertama yang ditekankan kepada kami.

Ternyata, mudahnya ikhtilaf itu bisa dibagi tiga yaitu ikhtilaf yang semuanya bisa diterima, ikhtilaf yang semuanya sesat, dan ikhtilaf di mana salah satunya benar sedangkan yang lainnya salah. Contoh untuk yang pertama mengenai cara sedekap waktu sholat, yang kedua adalah perbedaan antara antara agama-agama di luar Islam, dan yang ketiga adalah ikhtilaf mengenai demokrasi.


Hmm, demokrasi ya? Wah, bakal ramai nih. Di sini saya mendapatkan wawasan baru bahwa semua ulama ternyata secara ijma’ mengatakan bahwa demokrasi itu haram. Karena dalam demokrasi adanya slogan bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Ini tentu termasuk menyekutukan Tuhan bukan? Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya MEMANFAATKAN demokrasi untuk memperjuangkan Islam. Nah, inilah yang selama ini menjadi perdebatan para aktivis dakwah. Dan karena saya belum layak disebut aktivis dakwah—apalagi saya bukan ADK(Aktivis Dakwah Kampus)—maka saya tak ingin ikut dalam perdebatan tersebut meski saya telah mengambil sikap tentangnya. Sekarang, biar saya ceritakan perbedaan pendapat tentang hal yang saya sebut sebelumnya di atas.

Para ulama yang membolehkan perjuangan dengan demokrasi tentunya memiliki alasan-alasan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka—semoga Allah Menjaganya—berpendapat bahwa akan lebih bahaya jika parlemen(misalnya) dikuasai oleh orang-orang yang buruk. Misalnya syi’ah atau orang-orang liberal. Namun, para ulama—misalnya Syaikh Al-Albani dan Syaikh Al-Utsaimin—pun setidaknya mensyaratkan 2 hal: Mereka yang masuk ke parlemen memiliki ketulusan hati untuk memperjuangkan islam dan kefaqihan mengenai ilmu agama. Fatwa-fatwa lengkapnya bisa dilihat di sini.

Namun para ulama yang tidak membolehkan untuk  mempergunakan demokrasi pun memiliki hujjahnya sendiri. Bahkan jika mereka cukup men-qiyaskan dengan hal yang sederhana seperti,”Bolehkan berzina dengan pelacur untuk mengislamkannya? Atau ikut berjudi, di mana jika nanti menang maka penjudi yang lain akan tunduk akan dakwah kita?” saya kira ini bukan termasuk hal yang mudah diabaikan. Dan salah satu dalil tak membolehkannya adalah mengenai diharamkannya untuk mencampurkan yang hak dan yang bathil. Untuk lebih panjang bacaannya bisa membaca dialog berikut di sini.       

                Oke, saya menghormati perbedaan pendapat tentang kebolehan MEMANFAATKAN DEMOKRASI. Sekarang biar saya mengutip beberapa paragraph dari buku yang sedang saya baca.

“Tercelanya sikap ekstrem juga terungkap dalam pandangan Aristoleles mengenai masyarakat. Dia mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah “hewan politik”. Tanpa masyarakat di sekeliling kita, kita bukanlah manusia sejati, katanya. Dia mengemukakan bahwa semua orang perlu memuaskan kebutuhan pokok akan makanan, kehangatan, perkawinan, dan pendidikan anak. Tetapi bentuk tertinggi persahabatan manusia hanya dapat ditemukan dalam negara.

Ini mendorong timbulnya pertanyaan bagaimana negara sebaiknya diatur. Aristoteles mengemukakan tiga bentuk konstitusi yang baik.

Yang pertama adalah monarki, atau kerajaan—yang berarti hanya ada satu kepala negara. Bentuk konstitusi yang baik lainnya adalah aristokrasi, yang di dalamnya ada sekelompok, besar atau kecil, pemimpin. Bentuk konstitusi ini hendaknya tidak melenceng menjadi “oligarki”—yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh hanya beberapa orang. Contoh dalam hal itu adalah junta. Bentuk konstitusi yang baik ketiga adalah apa yang dinamakan Aristoteles polity, yang berarti demokrasi. Tapi bentuk ini juga memiliki aspek negative. Suatu demokrasi dapat dengan cepat berkembang menjadi pemerintahan oleh kawanan (mob rule). (Bahkan jika si Tiran Hitler tidak menjadi kepala negara Jerman, semua anggota Nazi dibawahnya dapat membentuk mob rule yang mengerikan.”      
(Dikutip dari buku ‘Dunia Sophie’ tulisan Jostein Gaarder halaman 192-193)

Nah, yang kedua saya ada kutipan lagi nih:

“Apakah demokrasi sistem terbaik yang dibeikan Tuhan? Difirmankan Tuhan dalam kitab suci? Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil ciptaan manusia. Dalam catatan sejarah, sistem otoriter absolute juga bisa memberikan kesejahteraan lebih baik. Tuhan hanya memerintahkan kita memberikan sebuah urusan kepada ahlinya. Silahkan cek banyak kitab suci. Hanya itu. Tidak ada model pemerintahan apalagi demokrasi dalam ajaran kitab suci.

“Apakah suara terbanyak adalah suara Tuhan? Omong kosong. Berani sekali manusia mengklaim sepihak, fait accompli suara Tuhan. Coba kau bayangkan sebuah kota yang dipenuhi pemabuk, pemadat, mereka mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang peredaran minuman keras dan ganja disahkan melalui referendum warga kota, otomatis menang sudah mereka . Bebas menjual minuman keras di mana-mana, mabuk-mabukan di mana pun. Juga masalah lain seperti pernikahan sesama jenis, kebebasan melakukan aborsi bayi. Bahkan dalam kasus ekstrem, jika mayoritas penduduk kota sepakat pembubuhan adalah tindakan legal, maka di mana suara Tuhan?”
(Perkataan tokoh Thomas dalam Novel “Negeri di Ujung Tanduk” tulisan Tere Liye pada halaman 55-56)

                Baiklah, dari dua tulisan di atas semoga Anda bisa lebih bijak dalam menyikapi demokrasi. Dan mengenai novel tersebut(bersama buku satunya), saya sarankan Anda membacanya karena sangat bagus untuk memberikan pandangan baru mengenai kapitalisme dan demokrasi tanpa harus mengerutkan kening. Beneran deh hehehe.



NB: Oh ya, sikap apa yang saya ambil mengenainya? Saya main aman saja :)

0 komentar:

Posting Komentar