Hari Kamis yang lalu, seperti
biasa ada halaqah rutin. Halaqahnya rutin, kedatangan saya yang tidak rutin -_-
Dan kemarin yang di bahas adalah mengenai ikhtilaf. “Ikhtilaf Adalah Perkara
Yang Kauni (Sunnatullah), Sedangkan Mencegahnya
Merupakan Perkara Yang Syar’I”. Begitulah kaidah pertama yang ditekankan kepada
kami.
Ternyata,
mudahnya ikhtilaf itu bisa dibagi tiga yaitu ikhtilaf yang semuanya bisa
diterima, ikhtilaf yang semuanya sesat, dan ikhtilaf di mana salah satunya
benar sedangkan yang lainnya salah. Contoh untuk yang pertama mengenai cara
sedekap waktu sholat, yang kedua adalah perbedaan antara antara agama-agama di
luar Islam, dan yang ketiga adalah ikhtilaf mengenai demokrasi.
Hmm,
demokrasi ya? Wah, bakal ramai nih. Di sini saya mendapatkan wawasan baru bahwa
semua ulama ternyata secara ijma’ mengatakan bahwa demokrasi itu haram. Karena dalam
demokrasi adanya slogan bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Ini tentu
termasuk menyekutukan Tuhan bukan? Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai
bolehnya MEMANFAATKAN demokrasi untuk memperjuangkan Islam. Nah, inilah yang
selama ini menjadi perdebatan para aktivis dakwah. Dan karena saya belum layak disebut
aktivis dakwah—apalagi saya bukan ADK(Aktivis Dakwah Kampus)—maka saya tak
ingin ikut dalam perdebatan tersebut meski saya telah mengambil sikap
tentangnya. Sekarang, biar saya ceritakan perbedaan pendapat tentang hal yang
saya sebut sebelumnya di atas.
Para
ulama yang membolehkan perjuangan dengan demokrasi tentunya memiliki
alasan-alasan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka—semoga Allah
Menjaganya—berpendapat bahwa akan lebih bahaya jika parlemen(misalnya) dikuasai
oleh orang-orang yang buruk. Misalnya syi’ah atau orang-orang liberal. Namun,
para ulama—misalnya Syaikh Al-Albani dan Syaikh Al-Utsaimin—pun setidaknya
mensyaratkan 2 hal: Mereka yang masuk ke parlemen memiliki ketulusan hati untuk
memperjuangkan islam dan kefaqihan mengenai ilmu agama. Fatwa-fatwa lengkapnya
bisa dilihat di sini.
Namun
para ulama yang tidak membolehkan untuk mempergunakan
demokrasi pun memiliki hujjahnya sendiri. Bahkan jika mereka cukup men-qiyaskan dengan hal
yang sederhana seperti,”Bolehkan berzina dengan pelacur untuk mengislamkannya?
Atau ikut berjudi, di mana jika nanti menang maka penjudi yang lain akan tunduk
akan dakwah kita?” saya kira ini bukan termasuk hal yang mudah diabaikan. Dan salah satu dalil tak membolehkannya adalah mengenai
diharamkannya untuk mencampurkan yang hak dan yang bathil. Untuk lebih panjang
bacaannya bisa membaca dialog berikut di sini.
Oke, saya menghormati perbedaan pendapat tentang kebolehan MEMANFAATKAN DEMOKRASI. Sekarang biar saya mengutip beberapa paragraph dari buku yang sedang saya baca.
Oke, saya menghormati perbedaan pendapat tentang kebolehan MEMANFAATKAN DEMOKRASI. Sekarang biar saya mengutip beberapa paragraph dari buku yang sedang saya baca.
“Tercelanya
sikap ekstrem juga terungkap dalam pandangan Aristoleles mengenai masyarakat. Dia
mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah “hewan politik”. Tanpa masyarakat
di sekeliling kita, kita bukanlah manusia sejati, katanya. Dia mengemukakan
bahwa semua orang perlu memuaskan kebutuhan pokok akan makanan, kehangatan,
perkawinan, dan pendidikan anak. Tetapi bentuk tertinggi persahabatan manusia
hanya dapat ditemukan dalam negara.
Ini mendorong
timbulnya pertanyaan bagaimana negara sebaiknya diatur. Aristoteles mengemukakan
tiga bentuk konstitusi yang baik.
Yang
pertama adalah monarki, atau kerajaan—yang
berarti hanya ada satu kepala negara. Bentuk konstitusi yang baik lainnya
adalah aristokrasi, yang di dalamnya
ada sekelompok, besar atau kecil, pemimpin. Bentuk konstitusi ini hendaknya tidak
melenceng menjadi “oligarki”—yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh hanya
beberapa orang. Contoh dalam hal itu adalah junta. Bentuk konstitusi yang baik
ketiga adalah apa yang dinamakan Aristoteles polity, yang berarti demokrasi. Tapi bentuk ini juga memiliki aspek
negative. Suatu demokrasi dapat dengan cepat berkembang menjadi pemerintahan
oleh kawanan (mob rule). (Bahkan jika
si Tiran Hitler tidak menjadi kepala negara Jerman, semua anggota Nazi
dibawahnya dapat membentuk mob rule yang
mengerikan.”
(Dikutip dari buku ‘Dunia Sophie’ tulisan Jostein Gaarder halaman 192-193)
(Dikutip dari buku ‘Dunia Sophie’ tulisan Jostein Gaarder halaman 192-193)
Nah,
yang kedua saya ada kutipan lagi nih:
“Apakah
demokrasi sistem terbaik yang dibeikan Tuhan? Difirmankan Tuhan dalam kitab
suci? Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil ciptaan manusia. Dalam catatan
sejarah, sistem otoriter absolute juga bisa memberikan kesejahteraan lebih
baik. Tuhan hanya memerintahkan kita memberikan sebuah urusan kepada ahlinya. Silahkan
cek banyak kitab suci. Hanya itu. Tidak ada model pemerintahan apalagi
demokrasi dalam ajaran kitab suci.
“Apakah
suara terbanyak adalah suara Tuhan? Omong kosong. Berani sekali manusia
mengklaim sepihak, fait accompli
suara Tuhan. Coba kau bayangkan sebuah kota yang dipenuhi pemabuk, pemadat,
mereka mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang peredaran minuman
keras dan ganja disahkan melalui referendum warga kota, otomatis menang sudah
mereka . Bebas menjual minuman keras di mana-mana, mabuk-mabukan di mana
pun. Juga masalah lain seperti pernikahan sesama jenis, kebebasan melakukan
aborsi bayi. Bahkan dalam kasus ekstrem, jika mayoritas penduduk kota sepakat
pembubuhan adalah tindakan legal, maka di mana suara Tuhan?”
(Perkataan tokoh
Thomas dalam Novel “Negeri di Ujung Tanduk” tulisan Tere Liye pada halaman
55-56)
Baiklah, dari dua tulisan di
atas semoga Anda bisa lebih bijak dalam menyikapi demokrasi. Dan mengenai novel
tersebut(bersama buku satunya), saya sarankan Anda membacanya karena sangat bagus untuk memberikan pandangan baru mengenai kapitalisme dan demokrasi tanpa harus mengerutkan kening. Beneran deh
hehehe.
NB: Oh ya, sikap apa yang saya ambil mengenainya? Saya main aman saja :)
0 komentar:
Posting Komentar