Minggu, 01 Desember 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under :


                Maaf sebelumnya. Sebelum anda membaca postingan saya kali ini, saya ingin megingatkan anda bahwa tulisan ini sungguh-sungguh hanya sebuah opini. Dan seperti layaknya sebuah opini yang (untuk saat ini) tidak saya ikatkan pada nilai apapun kecuali pemikiran saya, maka perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan. Untuk itu, tak ada standar benar atau salah pada tulisan kali ini.

***

                Beberapa waktu yang lalu, ada yang bertanya mengenai cita-cita kepada saya. Yaaah, semacam wawancara (sangat) tidak formal untuk suatu hal. Saya menjawab saya ingin menjadi “Muslim Terbaik Yang Saya Bisa.” Memang, mengambang dan tidak (terasa) konkrit. Namun, karena tahu mendebat saya untuk sesuatu yang tanpa patokan pasti hanya membuang usia, sang penanya pun tak berlama-lama mempertanyakannya pada saya. Males pastinya hehe.


                Lalu ada kawan saya yang lain ketika ditanya persamaan yang sama, anda tahu jawabannya? Sebuah jawaban yang bahkan ketika saya yakin telah mendengarnya, tetapi tetap menyuruhnya untuk mengulangi. Tegas, konkrit, dan controversial:

“Saya ingin menjadi Ibu Rumah Tangga yang berpendidikan tinggi”

                Lalu penanya masih mengejar,”Kalau pekerjaan atau karir maunya jadi apa mbak?” Yang ditanya menjawab,”Saya tidak mau bekerja atau berkarir di luar rumah. Saya mau berkarir sebagai ibu rumah tangga saja.”

“Enggak merasa rugi udah kuliah tinggi-tinggi di sini?”

“Enggak dong, kan kalo ibunya pinter anaknya juga beruntung.”

                Oke, stop here! See, pada kaget zaman seperti sekarang masih ada wanita yang mau menjawab sepasti dan seyakin itu tentang menjadi ibu? Dan ini tidak keluar dari mulut seorang wanita desa yang (selalu digambarkan oleh media pengusung feminism sebagai wanita) tidak berpendidikan dan dibodohi oleh kaum pria. Melainkan dari seorang wanita yang telah mencecap pendidikan di suatu lembaga pendidikan tinggi (yang katanya) cukup terkemuka tentang Seni, Science, Teknologi dan Management yang kampusnya ada di Kota Kembang. Dan karena saya tertarik, saya mencoba bertanya lebih dalam. Yang bersangkutan kemudian bercerita bahwa sejak dulu, sejak masih di bangku sekolah menengah, dia telah memiliki cita-cita tersebut. Dan betapa kawan-kawan serta gurunya juga terkejut. Seperti biasa, banyak yang menyayangkan ilmu yang telah didapatnya dengan biaya tak sedikit “hanya” digunakan untuk mendidik anak sendiri. Bahwa ilmu(baca: ijazah) yang telah dia dapat seharusnya bisa diuangkan dengan cara menjadi wanita karir di suatu perusahaan ternama. Oleh karenanya orang “aneh” ini saya tanya lagi,”Iya, kau tak merasa sayang?” Kan bisa dengan berwirausaha dari rumah kalau mau—begitu jawabnya.  

***

                Ada banyak hal yang akhirnya membuat saya merenung, di bawah konstelasi bintang di kaki Gunung Bukit Tunggul dengan langit yang bersih tanpa awan dan bulan—di mana saya tahunya hanya rasi , ursa minor, scorpion, dan gubuk penceng hehe. Saya memandang ke atas, dan baru tahu betapa piciknya saya—setidaknya dulu. Kenapa banyak orang, termasuk saya dulu, hanya berpikir bahwa cita-cita itu selalu berbentuk profesi. Lebih tepatnya, profesi bergengsi yang berjabatan. Presiden, tentara, polisi, insinyur, dokter, pilot dan turunannya. Mungkin ini disebabkan bahwa sejak kecil kita senantiasa dibiasakan dengan cerita orang tua dan guru tentang macam-macam pekerjaan yang (dianggap) memiliki pride yang tinggi. Jarang mereka bercerita tentang bagaimana jenjang pendidikan untuk meniti karir sebagai kakak, putra, ayah, muslim, atau bahkan seorang pria sejati. Seolah sejak lahir kita telah memiliki panduan lengkap tentang bagaimana menitinya. Kalau pun ada, saya kira tidak selengkap perencanaan bagaimana caranya untuk menjadi insinyur. Saat SD harus ranking 3 besar, masuk SMP dan SMA ternama, jurusan IPA, lalu mati-matian ikut seleksi masuk ITB(misalnya) untuk hanya bertahan bagaimana supaya tidak DO dan IPK masih cukup untuk sekedar ikut tes wawancara. (Untunglah, Alhamdulillah wa syukurilah, orang tua saya lebih condong untuk membentuk saya menjadi seorang  putra dan muslim yang jika dianalogikan dengan kuliah untuk menjadi insinyur, IPK-nya tidak membuat saya DO dan kalau bisa cumlaude. Dan justru guru serta kawan-kawan saya yang lebih banyak memberi masukan dan saran tentang karir sebagai seorang insinyur)

                Karena merenung itu tidak ada jalur pakemnya seperti ujian metrology industri, pikiran saya lalu mengembara kepada suatu tulisan bagus yang pernah saya baca. Di sana tertulis bahwa dunia sekarang sudah mulai aneh. Apalagi dengan adanya gerakan feminism yang (pastinya) kebablasan. Di mana sekarang wanita selalu ingin sejajar dengan pria. Atau lebih tepatnya, menjadi pria itu sendiri.

Kita semua tahu, wanita dan pria adalah dua entitas yang berbeda. Tuhan telah menciptakan mereka dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, agar berperan sesuai dengan tugasnya pula. Hal ini telah berlangsung dengan sangat lama, dan menjamin adanya keselarasan. Sebelumnya, mohon digaris bawahi saya tidak menolak persamaan hak yang memang tidak melanggar nilai-nilai alam seperti mendapat pendidikan antara pria dan wanita apalagi jika mengenai ilmu agama(yang ini ada haditsnya bahkan). Yang saya sedikit komentari di sini adalah wanita yang ingin menjadi pria. Wanita-wanita yang ingin menjadi pria, saya kira anda semua tahu maksud saya.

Namun ada yang lucu di sana. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa feminism hanya berkata tentang persamaan hak, BUKAN persamaan kewajiban.Seperti contohnya pria masih dituntut untuk bisa mengerjakan 'kerjaan' pria, seperti mengganti ban mobil, menyetir kendaraan, memperbaiki komputer dan sebagainya namun wanita tidak lagi dituntut untuk bisa mengerjakan 'kerjaan' wanita, seperti masak, mendidik anak secara intens, mencuci, dan sebagainya. Kalau menurut bahasa sahabat saya, wanita maunya mendapat hak seperti lelaki, tapi pas disuruh mengangkat kursi dan meja pasti bilang,”Eh, yang cowok kan elo, bukan gue!”

Keseimbangan dunia ini, bagaimana pun akan selalu mendapatkan bentuknya. Jika sekarang para wanita mirip dengan lelaki dalam hal maskulinitas, dominasi, menjadi kompetitif, cosmopolitan, dan  fearless—sangat berbeda dengan sosok ibu yang kita sayangi. Maka jangan salahkan pula jika akhirnya bertebaran lelaki yang mulai menjadi feminin dengan menjadi terlalu sensitif secara emosional, metroseksual, sedikit-sedikit mellow, panik dan terbawa perasaan. Dewasa ini, wanita yang mampu mengalahkan pria di segala hal dianggap hebat dan dikagumi, dan pria yang tidak takut untuk menangis dan menunjukkan kelemahannya dianggap pria yang sejati.

Dahulu hidup begitu sederhana. Sang ayah bertarung di luar, dan sang ibu membangun kekuatan sang ayah dengan kelembutannya. Jika kita lihat kehidupan dalam dongeng—yang bahkan dari eropa—akan terlihat apakah sang putri adalah calon pengatur kerajaan atau justru dididik untuk menjadi seorang ibu yang sungguh menyiapkan ahli waris kerajaan? Yaah, meski tidak dipungkiri para putri juga ahli berperang. Lalu, sang pangeran. Apakah ia seorang yang tiap hari hanya mengurus dandanan dan bermain music sambil mellow mengejar sang putri atau seorang ksatria yang dikirim ayahnya untuk menakhlukkan negeri tetangga? Yaaah, meski pun di dongeng barat para pangeran juga bisa bermain music. Begitu lah pola hidup yang sederhana, di mana men were men and women were women. That's why it's relatively easy to find the mate of your life. It's so natural.
Duh, jadi merembet ke mana kan? Hehehe…

NB: FYI, beliau yang jadi inspirasi tulisan ini bukan akhwat aktivis dakwah lho, bahkan sampai sekarang saya masih mendoakan agar jilbab menjadi bagian hidupnya.

0 komentar:

Posting Komentar