Maaf sebelumnya. Sebelum anda
membaca postingan saya kali ini, saya ingin megingatkan anda bahwa tulisan ini
sungguh-sungguh hanya sebuah opini. Dan seperti layaknya sebuah opini yang
(untuk saat ini) tidak saya ikatkan pada nilai apapun kecuali pemikiran saya,
maka perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan. Untuk itu, tak ada standar
benar atau salah pada tulisan kali ini.
***
Beberapa waktu yang lalu, ada
yang bertanya mengenai cita-cita kepada saya. Yaaah, semacam wawancara (sangat)
tidak formal untuk suatu hal. Saya menjawab saya ingin menjadi “Muslim Terbaik
Yang Saya Bisa.” Memang, mengambang dan tidak (terasa) konkrit. Namun, karena
tahu mendebat saya untuk sesuatu yang tanpa patokan pasti hanya membuang usia,
sang penanya pun tak berlama-lama mempertanyakannya pada saya. Males pastinya
hehe.
Lalu ada kawan saya yang lain
ketika ditanya persamaan yang sama, anda tahu jawabannya? Sebuah jawaban yang
bahkan ketika saya yakin telah mendengarnya, tetapi tetap menyuruhnya untuk
mengulangi. Tegas, konkrit, dan controversial:
“Saya
ingin menjadi Ibu Rumah Tangga yang berpendidikan tinggi”
Lalu penanya masih mengejar,”Kalau
pekerjaan atau karir maunya jadi apa mbak?” Yang ditanya menjawab,”Saya tidak
mau bekerja atau berkarir di luar rumah. Saya mau berkarir sebagai ibu rumah
tangga saja.”
“Enggak merasa
rugi udah kuliah tinggi-tinggi di sini?”
“Enggak dong,
kan kalo ibunya pinter anaknya juga beruntung.”
Oke, stop here! See, pada kaget
zaman seperti sekarang masih ada wanita yang mau menjawab sepasti dan seyakin
itu tentang menjadi ibu? Dan ini tidak keluar dari mulut seorang wanita desa yang
(selalu digambarkan oleh media pengusung feminism sebagai wanita) tidak
berpendidikan dan dibodohi oleh kaum pria. Melainkan dari seorang wanita yang
telah mencecap pendidikan di suatu lembaga pendidikan tinggi (yang katanya)
cukup terkemuka tentang Seni, Science, Teknologi
dan Management yang kampusnya ada di
Kota Kembang. Dan karena saya tertarik, saya mencoba bertanya lebih dalam. Yang
bersangkutan kemudian bercerita bahwa sejak dulu, sejak masih di bangku sekolah
menengah, dia telah memiliki cita-cita tersebut. Dan betapa kawan-kawan serta
gurunya juga terkejut. Seperti biasa, banyak yang menyayangkan ilmu yang telah
didapatnya dengan biaya tak sedikit “hanya” digunakan untuk mendidik anak
sendiri. Bahwa ilmu(baca: ijazah) yang telah dia dapat seharusnya bisa diuangkan
dengan cara menjadi wanita karir di suatu perusahaan ternama. Oleh karenanya
orang “aneh” ini saya tanya lagi,”Iya, kau tak merasa sayang?” Kan bisa dengan
berwirausaha dari rumah kalau mau—begitu jawabnya.
***
Karena merenung itu tidak ada
jalur pakemnya seperti ujian metrology industri, pikiran saya lalu mengembara
kepada suatu tulisan bagus yang pernah saya baca. Di sana tertulis bahwa dunia
sekarang sudah mulai aneh. Apalagi dengan adanya gerakan feminism yang
(pastinya) kebablasan. Di mana sekarang wanita selalu ingin sejajar dengan
pria. Atau lebih tepatnya, menjadi pria itu sendiri.
Kita
semua tahu, wanita dan pria adalah dua entitas yang berbeda. Tuhan telah
menciptakan mereka dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, agar
berperan sesuai dengan tugasnya pula. Hal ini telah berlangsung dengan sangat
lama, dan menjamin adanya keselarasan. Sebelumnya, mohon digaris bawahi saya
tidak menolak persamaan hak yang memang tidak melanggar nilai-nilai alam
seperti mendapat pendidikan antara pria dan wanita apalagi jika mengenai ilmu
agama(yang ini ada haditsnya bahkan). Yang saya sedikit komentari di sini
adalah wanita yang ingin menjadi pria. Wanita-wanita yang ingin menjadi pria,
saya kira anda semua tahu maksud saya.
Namun
ada yang lucu di sana. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa feminism hanya
berkata tentang persamaan hak, BUKAN
persamaan kewajiban.Seperti contohnya pria masih dituntut untuk bisa
mengerjakan 'kerjaan' pria, seperti mengganti ban mobil, menyetir kendaraan,
memperbaiki komputer dan sebagainya namun wanita tidak lagi dituntut untuk bisa
mengerjakan 'kerjaan' wanita, seperti masak, mendidik anak secara intens, mencuci,
dan sebagainya. Kalau menurut bahasa sahabat saya, wanita maunya mendapat hak seperti
lelaki, tapi pas disuruh mengangkat kursi dan meja pasti bilang,”Eh, yang cowok
kan elo, bukan gue!”
Keseimbangan
dunia ini, bagaimana pun akan selalu mendapatkan bentuknya. Jika sekarang para
wanita mirip dengan lelaki dalam hal maskulinitas, dominasi, menjadi kompetitif,
cosmopolitan, dan fearless—sangat berbeda dengan sosok ibu yang kita sayangi. Maka
jangan salahkan pula jika akhirnya bertebaran lelaki yang mulai menjadi feminin
dengan menjadi terlalu sensitif secara emosional, metroseksual, sedikit-sedikit
mellow, panik dan terbawa perasaan. Dewasa
ini, wanita yang mampu mengalahkan pria di segala hal dianggap hebat dan
dikagumi, dan pria yang tidak takut untuk menangis dan menunjukkan kelemahannya
dianggap pria yang sejati.
Dahulu
hidup begitu sederhana. Sang ayah bertarung di luar, dan sang ibu membangun kekuatan
sang ayah dengan kelembutannya. Jika kita lihat kehidupan dalam dongeng—yang
bahkan dari eropa—akan terlihat apakah sang putri adalah calon pengatur
kerajaan atau justru dididik untuk menjadi seorang ibu yang sungguh menyiapkan
ahli waris kerajaan? Yaah, meski tidak dipungkiri para putri juga ahli
berperang. Lalu, sang pangeran. Apakah ia seorang yang tiap hari hanya mengurus
dandanan dan bermain music sambil mellow mengejar sang putri atau seorang
ksatria yang dikirim ayahnya untuk menakhlukkan negeri tetangga? Yaaah, meski
pun di dongeng barat para pangeran juga bisa bermain music. Begitu lah pola
hidup yang sederhana, di mana men were
men and women were women. That's why it's relatively easy to find the mate of
your life. It's so natural.
Duh,
jadi merembet ke mana kan? Hehehe…
NB: FYI, beliau
yang jadi inspirasi tulisan ini bukan akhwat aktivis dakwah lho, bahkan sampai
sekarang saya masih mendoakan agar jilbab menjadi bagian hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar