Kamis, 08 Mei 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,

Umar bin Khattab sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma. Sorbannya dilepas, menampakkan kepala yang rambutnya mulai tipis di beberapa bagian. Di atas kerikil, ia duduk dengan cemeti imaratnya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya, para pemuka sahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol di situ. Abdullah ibn Abbas. Berulang-ulang Umar memintanya berbicara. Jika perbedaan wujud, Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu Abbas. Ada juga Salman Al Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.

            Pembicaraan mereka segera terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya.

“Wahai Amirul Mukminin!” ujar salah satu berseru-seru, “Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuhan ayah kami ini!”

            Umar bangkit, “Takutlah kalian kepada Allah!” hardiknya, “Perkara apakah ini?”

            Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa itu adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku.

            Umar bertanya kepada sang tertuduh, “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?”


            “Benar, wahai Amirul Mukminin!” jawab pria itu.

            “Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu ku lihat ada sesal,” ujar Umar menyelidik dengan teliti, “ceritakanlah kejadiannya!”

            “Aku datang dari negeri yang jauh” kata belia itu. “Begitu sampai di kota ini, ku tambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Aku tinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”

            “Saat aku kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “ku lihat seorang lelaki tua, yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini, sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan ku hunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.” Umar tercenung.

            “Wahai Amirul Mukminin,” kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, “tegakkanlah hukum Allah! Kami meminta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”

            Umar melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah, tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh, akhlaknya santun, gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di wajahnya. Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi.

            “Bersediakah kalian,” ucap Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash, “menerima pembayaran diyat dari ku atas nama pemuda ini dan memaafkannya?”

            Kedua pemuda itu saling pandang, “Demi Allah, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “sungguh kami sangat mencintai ayah kami; dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta, keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyatsebesar apa pun. Lagipula, kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram jika had ditegakkan!”

            Umar terhenyak, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.

            “Aku ridha hukum Allah ditegakkan atas ku, wahai Amirul Mukminin!” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali kepada mereka. Demikian juga keluargaku, aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan ampunan ayah ibuku.”

            Umar terhenyuh. Tak ada jalan lain, hukum harus ditegakkan, tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan.

            “Jadi bagaimana?” tanya Umar.

            “Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin! Aku meminta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra Al Khattab!”

            “Adakah orang yang bisa menjaminmu?” tanya Umar.

            “Aku tidak memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini hingga dia bisa ku minta menjadi penjaminku. Aku tak memiliki seorang pun penjamin kecuali Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

            “Tidak! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa mengizinkanmu pergi.”

            “Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras azabnya, aku takkan menyalahi janjiku.”

            “Aku percaya, tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”

            “Aku tak punya!”

            “Wahai Amirul Mukminin!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela, “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah ia menunaikan amanahnya!” Inilah dia, Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri.

            “Engkau, hai Salman! Bersedia menjamin anak muda ini?”

            “Benar, aku bersedia!”

            “Kalian berdua, kakak beradik yang mengajukan gugatan,” panggil Umar, “apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini? Ada pun Salman, Demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat.”

            Kedua pemuda itu saling pandang, “Kami menerima.” kata mereka nyaris serentak.

            Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terpidana nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir sementara Salman duduk khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki itu tak datang memenuhi janji, maka dirinya lah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.

            Waktu terus merambat; belia itu masih belum muncul. Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati; dia dihormati dan dicintai.

            Satu per satu, dimulai dari Abu Darda’, beberapa sahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan kepadanya, tetapi Salman menolak. Umar juga menggeleng. Matahari semakin langsir ke barat. Kekhawatiran Umar memuncak; para sahabat makin kelut dan sedih.

            Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana!

            “Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, “urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat istirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa ku tinggal di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.”



            Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda itu merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya hari itu.

            “Pemuda yang jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “mengapa kau datang kembali padahal bagi mu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggungqishash?”

            “Sungguh, jangan sampai orang mengatakan” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “bahwa tak ada lagi orang yang tepat janji, dan jangan sampai ada yang mengatakan bahwa tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum muslimin.”

            “Dan kau, Salman,” kata Umar bergetar, “untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa memercayainya?”

            “Sungguh, jangan sampai orang bicara” ujar Salman dengan wajah teguh,“bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya, atau jangan sampai ada yang merasa bahwa tak ada lagi saling percaya di antara orang-orang Muslim.”

            “Allahu Akbar!” kata Umar, “Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi walau bagaimana pun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!”

            Pemuda itu mengangguk pasrah.

            “Kami memutuskan..” kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “untuk memaafkannya.” Mereka tersedu-sedan.

            “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin!”

            “Alhamdulillah! Alhamdulillah!” ujar Umar. Pemuda terpidana itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.

            “Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar kepada kedua ahli waris korban.

            “Agar jangan sampai ada yang mengatakan” jawab mereka masih terharu,“bahwa di
kalangan kaum muslimin tak ada lagi rasa memaafkan, pengampunan, iba hati, dan kasih sayang.”


Buku BSG Kimia 2013, hlm. 94-96

Ah, terbayang kalo abang itu gak sendiri.
Ada saya yang sedang menikmati lantunan Qur'annya secara langsung :')
sumber: https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc7/1663_429624160464216_534733902_n.jpg



Beginilah jika islam menjadi hukum kehidupan. Saksikanlah wahai manusia, bahwa aku seorang muslim. Dan jika ada keburukan padaku, maka salahkan itu padaku bukan islamku. Namun jika ada kebaikan padaku, itu karena Allah yang telah Memberikan jalan ini: Islam.
Udah pernah baca sih, tapi tetep aja tergetar hati ini.

0 komentar:

Posting Komentar