Maaf lama tidak update blog, sehingga mungkin saja ada pembaca yang menanti-nanti. Kalau yang ini bukan karena tidak ada ide atau sedang stuck inspirasi. Bahkan rancangan tulisan saya setidaknya hingga kini telah ada 8 tema. Namun yang terjadi pada saya ternyata lebih berbahaya dari itu semua: saya sedang malas menulis! Sehingga mohon dimaklumi jika tulisan berikut lebih merupakan catatan kegiatan saya, itung-itung buat melemaskan jari dan lutut—eh bukan, maksudnya otak. Dan bagi pihak-pihak yang nantinya ikut meramaikan cerita ini, saya mohon maaf juga jika isinya saya-sentris.
Bagi saya sendiri, salah satu
hal yang paling memuakkan di dunia ini adalah ketika rencana menjelma jadi sekedar
wacana. Makanya, ketika rencana telah tersusun 3 hari yang lalu untuk melakukan
pendakian ke Gunung Papandayan, saya pun menjanjikan satu hal: Ikut jika sakit
lutut akibat salah posisi duduk saat makan Ayam Goreng Sambal Mangga ini
baikan. Meski artinya itu saya harus merelakan tidak ikut nonton pameran
mobil-mobil keren di IIMS (maaf ya, soalnya mundur sih rencananya hehe). Dan
ketika hari-H tiba, saya pun bela-belain buat menembus kemacetan dari Jalan
Cisitu untuk menuju ke Jalan Plesiran meskipun badan pegel semua akibat
akumulasi kurang tidur, lutut belum asyik bener, dan kemacetan tak tertahankan
akibat HUT Kota Bandung dipusatkan di Dago. Karena saya pernah mendengar kata
seorang kawan,”Laki-laki itu pakai otak kalau berjanji. Tapi sekalinya
berjanji, berusahalah untuk menepati!”
Dan yang istimewa sebenarnya
adalah karena perjalanan dari Bandung ke Pos 1 Gunung Papandayan tersebut
menggunakan sepeda motor. Bagi mereka yang tahu kondisi sepeda motor saya
(Supra X tahun 2000) dan rusaknya jalanan menuju Pos 1 akan terenyuh pastinya.
Nanti akan saya ceritakan kok hehe.
Berangkat
Akhirnya
sampai juga di kosan yang akan menjadi titik tolak kami. Dan inilah pasukan
kami: Madun, Ucup (yang punya kosan), Ilham (nantinya akan saya sebut Anak
Rimba), Fahmi (oleh Reza dia dipanggil Mamik), dan Reza. Yang terakhir ini
tidak punya nama alias katanya, ah beruntung sekali kau Nak. Dua personil
pertama adalah kawan sejurusan saya, kawan satu kelompok Kuliah Perancangan 1
& 2, kawan ngegabut, dan teman kerja juga sebagai karyawan di Galileo
College. Nah, yang tiga terakhir adalah adik kelas Ucup dari kota asalnya dan
sekarang mereka sama-sama masuk FITB 2014.
Pukul
17.00 WIB kami pun menyalakan mesin motor dan bersiap mengarungi kemacetan Kota
Bandung akibat akan adanya perayaan HUT Kota Kembang ini. Yang orang-orang
berusaha mencapai pusat perayaan yang (sepertinya) di Dago, kami justru geber
gas ke arah Soekarno-Hatta demi secepatnya keluar dari kepenatan jalanan
metropolitan menuju ramahnya sapaan alam. #ciyeee lebay
(Tambahan, sebenarnya yang paling joss spek-nya adalah si Anak Rimba, karena dari kata Madun kami akan tik tok saja sehingga yang lain cuma bawa jaket dan baju ganti -_-)
(Tambahan, sebenarnya yang paling joss spek-nya adalah si Anak Rimba, karena dari kata Madun kami akan tik tok saja sehingga yang lain cuma bawa jaket dan baju ganti -_-)
Senang rasanya teknis perjalanan
berangkat ini sangat rapi dengan Ucup di depan sebagai penunjuk jalan dan Madun
di belakang sebagai sweeper. Lalu ada
Mamik yang berbocengan dengan Reza dan Anak Rimba yang keren dengan ranselnya
yang paling besar. Saya? Cukup sebagai peserta pupuk bawang yang egois dengan
hanya peduli pada pemandangan :v
Perjalanan ini sangat
menyenangkan, karena meskipun beberapa kali harus adu balap dengan bus, angkot,
dan truk (yang terakhir ini bener-bener nggregisi)
Alhamdulillah kami semua selamat dan tetap ceria. Kemudian, tepat jam setengah
delapan malam kami telah tiba di Masjid Agung Kota Garut untuk melaksanaan sholat
jama’ qashar. Kelar sholat, pukul delapan kami memutuskan untuk sedikit
berputar-putar di alun-alun sembari wisata kuliner. Dan warung makan beruntung
itu adalah Ayam Bakar yang ada dipinggir café yang sedang menampilkan stand up comedy paling tidak lucu yang
pernah saya dengar. Dan seperti biasa, banyak pengamen yang berseliweran di
sana.
Di Masjid Agung Garut |
Jahim cuy ( wes ngerti c*k -_- ) |
Ada yang bawa Hokben hasil seminar tadi siang cuy Biar hemat ya om? :v |
Perut kenyang, badan kembali
segar, perjalanan pun dilanjutkan: Menuju Pos 1.
Inilah
perjalanan yang sesungguhnya. Saat itu sekitar jam setengah sepuluh malam, praktis
cahaya hanya datang dari lampu sepeda motor sendiri dan sedikit dari kawan di
belakang. Formasi masih seperti tadi. Namun, pada suatu tanjakan sebelum
gerbang Cisurupan dan si Ucup mengisi bensin, ternyata sepeda motor yang hadir
hanya 4, kurang satu. Waduh, Madun ilang nih. Ternyata ada sms masuk yang
mengabarkan bahwa beliau ini dapat musibah: Rantai sepeda motornya lepas. Baru mau
dijemput eh ini anak sudah sampai , gagal deh niat baik saya untuk menyemangati beliau dalam mendorong
sepeda motornya hahaha.
Sekitar 15 menit
kami (enggak sih, saya nonton doang haha) berkutat untuk membuat rantainya
kenceng lagi. Untung ada bapak-bapak baik hati yang bersedia meminjami kunci
pas. Oke, singkat cerita kami pun masuk ke gerbang Cisurupan. Wah, aroma belerang
sudah mulai tercium sekira 10 menit perjalanan dari gerbang tersebut. Dan tak
dinyana, ada bagian jalan yang sedang diperbaiki sehingga menyisakan jalanan
yang penuh pasir. Di sinilah ujian itu bermula. Banyak pengendara-pengendara
dari rombongan lain yang terjatuh atau bahkan mengalami slip. Dan di sini
pulalah materi pada kuliah Alat Berat saya teringat kembali mengenai salah satu
performa kendaraan: Traksi!
Demi mendapat
traksi yang cukup, saya pun duduk di kursi penumpang. Bukan, ini bukan ungkapan
ngenes akibat jok belakang selalu kosong. Namun mungkin ada benernya juga sih
haha. Baik, kembali ke cerita. Dengan traksi yang cukup tersebut saya dengan
sepeda motor Ibu saya tersebut akhirnya sampai juga di Pos 1. Allahu Akbar,
suatu perjalanan yang sukses membuat jari-jemari saya kaku akibat mencengkeram
dan hawa dingin yang menusuk. #oke, lebay lagi.
Pos 1
Yup, inilah
kami sampai di Pos 1. Sekira pukul setengah sebelas kami sampai di sini.
Setelah mengurus administrasi mulai urusan pendaftaran, parkir, hingga titip
helm maka yang perlu dipikirkan adalah tentang perubahan rencana: bahwa kami
baru diperbolehkan naik pagi hari. Akhirnya setelah nego dikit, didapat
kesepakatan kami boleh mulai jalan pukul 2 pagi. Yeah, ada waktu tidur!
Dan
di sinilah tenda serta peralatan masak yang dibawa Ilham menunjukkan
kesaktiannya. Bahkan seplastik energ*n yang saya dapat dari hadiah orang tua
salah satu anak SMA yang sering saya dongengin fisika dan matematika akhirnya
bisa diseduh rame-rame. Satu yang agak bingung: tenda cuma cukup buat 3 orang
sedangkan personil ada 6 orang. Jadilah saya tidur di saung dekat tempat
penitipan helm, dengan jaket himpunan, celana training, kaos kaki, sandal
gunung, syal, kupluk, dan selimut ponco pinjaman dari Madun. Madun sendiri
cukup siap dengan jaket lapis duanya yang memang jaket gunung berharga lebih
dari setengah juta dan sepatu gunung yang berharga serupa. Sedangkan Anak Rimba
cukup hangat dengan sleeping bag-nya.
Ucup, Reza, dan Fahmi ada di tenda. Yah, sesekali sok tangguh di temperature
belasan derajat celcius (12 kalo gak salah ya?).
Saya
pun cukup kesulitan untuk tidur, karena terus memikirkan dia (Kamu, iya kamuuuu
:3).
Eh
enggak ding, saya bohong. Saya adalah manusia pertama yang tidur di antara
rombongan, bahkan saat yang lain masih ribet bikin teh panas hahahaha. Dan
tidur tanpa gangguan pun terjalani dengan baik. Hingga alarm merusak semuanya…
Pendakian
Tepat pukul
02.00 WIB alarm berbunyi.
Saya
kaget.
Saya
terbangun.
Saya
kedinginan.
Saya
butuh kehangatan.
Saya
pun berpikir.
Saya
mulai menyeduh energ*n jahe.
Yup,
begitulah, setelah berbenah, pemanasan, dan berdoa, pendakian malam ini pun di
mulai. Dan ternyata, kami adalah satu-satunya rombongan yang berangkat pada
pukul setengah 3. Bintang-bintang pun menunjukkan formasinya
yang indah. Ya, sungguh asyik menatap langit penuh bintang tanpa rembulan.
#karena rembulan tenggelam di wajahmu, tsaaaaah :p
Pukul
empat kami sampai di Pondok Selada. Lalu, diputuskan dari hasil diskusi untuk
menanti sunrise di Hutan Mati saja.
Ya sudah, sikat brooo. Mungkin inilah efeknya jika ikhwan only, bisa hajar
teruuuus!!! Hahaha.
Berikut
adalah hasil narsis kami di Hutan Mati dan Kawah.
Tebak siapa coba |
Semoga persahabatan ini tak hanya di dunia. Dan semoga perhabatan kita pun menular pada istri(-istri :v) kita nanti, juga anak-anak kita. #sorry sok akrab :v |
Yellboys! |
Aku bocahmu lho ndes! |
Cover album sih |
Anak Rimba |
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? |
Hutan Mati |
Pak Ahmad |
Pak Yusuf |
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? |
Silat vs Karate (katanya sih sabuk item karate) |
Madun, Ilham, Reza, Fahmi, Ucup, Penulis |
Idem |
Memotret orang motret |
Setelah puas, kami pun memulai perjalan ke padang Edelwis. Ini foto-fotonya:
Edelweis Everywhere... |
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? |
Chef kita: Anak Rimba |
Jemuran |
Add caption |
ehem |
Siapa bilang di atas gunung gak bisa bikin spagheti lengkap dengan saus-nya? |
Anak Rimba#2 |
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? |
Full team |
Ini benar-benar sudah demikian adanya. Cieee Mamiiiik |
Pulang... |
Dan
ketika kau telah sampai di puncak, maka taka da jalan lain kecuali turun :)
Pulang
Pulang
Nah, inilah
ujian berikutnya. Kurang tidur, lapar, dan capek jadi satu sedangkan masih ada
jalanan rusak yang harus dituruni dengan sepeda motor. Yang harus diingat
adalah bagaimana caranya agar koefisien gesek statis pada roda dengan jalan
tidak berubah jadi kinetis jika tidak ingin ngglangsar.
Yep, sukses lah sepeda motor saya yang paling tua ini tertinggal paling
belakang.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? |
Lihat alamatnya, recommended!!! |
Dia memang selalu sendiri, yo Mblo? :v |
Akhirnya sampai di kosan Ucup |
Setelah 3 jam terbakar panas jalanan #ciyeee |
Full team |
Akhirnya,
zero accident!!! Yeah, suatu
pencapaian yang membanggakan mengingat saya pertama kali mencium aspal waktu
kelas 2 SMP dulu juga dengan motor ini. Dan sampai sekarang jika
dihitung-hitung ada sekitar 5 kali. Tapi sejujurnya dalam perjalanan pulang
kemarin saya mengalami 2 saat-saat ketika seolah bercanda dengan maut. Ngeri
deh pokoknya, namun tak apalaaah… Memang inilah yang membuat perjalanan ini
semakin kaya. Bukan karena edelweisnya, atau sunrise, atau sekedar melihat kawah. Namun tentang perjalanan itu
sendiri. Karena,
“Apa artinya perjalanan jika ia tak
membawa keakraban dan menambah kebijaksanaan?”
NB: Sebenarnya ini adalah perjalanan kedua saya ke gunung dengan tinggi 2622
mdpl ini. Yang pertama sekitar 2 tahun yang lalu, dalam acara kaderisasi
gabungan antara PD ITB dan PD Unpad (cieee, sama Unpad lho!). Namun tetap saja
saya akui, yang kemarin ini lebih menantang. Bukan karena gunungnya.Oh ya, kalau Anda berminat membaca dari sudut pandang lain, silahkan jalan-jalan ke sini: http://seberkastulisan.blogspot.com/2014/09/tik-tok-papandayan-mendaki-papandayan.htmlBangga gua!!! |
NB#2: Motor gue tuh!
NB#3:
Mungkin
Anda semua penasaran dengan para personil yang berangkat bersama saya ini.
Baik, inilah saya deskripsikan secara singkat tentang mereka.
1. Reza. Saya juga tak tahu banyak tentang anak ini, selain yang bersangkutan sangat ahli di bidang per-bir-an. Dan katanya memang yang kemarin adalah pengalaman naik gunungnya yang pertama. Satu cerita dari beliau yang paling teringat kemarin adalah mengenai spaghetti yang diberi saus berupa sambal goreng ati. Wah, boleh dicoba Bos!
1. Reza. Saya juga tak tahu banyak tentang anak ini, selain yang bersangkutan sangat ahli di bidang per-bir-an. Dan katanya memang yang kemarin adalah pengalaman naik gunungnya yang pertama. Satu cerita dari beliau yang paling teringat kemarin adalah mengenai spaghetti yang diberi saus berupa sambal goreng ati. Wah, boleh dicoba Bos!
2. Fahmi. Kalau
kata Madun, anak ini mempunyai reflex yang terlalu keren saat mengendarai
sepeda motor—sehingga membahayakan kawan yang berjalan di belakangnya. Selain itu,
dia memiliki panggilan akrab sebagai ‘Mamik’. Entahlah, sepertinya sangat cocok
dengan No.1. Saya tak tahu ada hubungan apa di antara mereka. #guyon lho coy,
waton selow ae :v
3. Ilham. Dialah
Sang Anak Rimba. Mempunyai catatan sejarah naik sepeda motor dari Mojokerto ke
Pulau Lombok untuk mendaki Gunung Rinjani. Dia telah mempunyai pengalaman naik
gunung yang banyak sekali, ketika saya pada saat seumurannya pernah berpikir
naik gunung adalah perbuatan yang sia-sia. Dari segi persiapan, anak ini sangat
patut dicontoh.
“Dia yang hebat bukanlah yang bisa bertahan dalam situasi yang ekstrim, namun yang telah mempersiapkan diri untuk saat-saat kritis.“
4. Ucup. Bernama asli Mochammad Yusuf Bachtiar. Kawan sekelas saat TPB, dan merupakan salah satu kawan yang dekat dengan saya (meski kosannya di Plesiran). Mempunyai kosan yang selalu menjadi Base Camp untuk mengerjakan berbagai macam tugas, nongkrong, atau batu pijakan sebelum orang-orang ‘geng’ kami melakukan hal-hal aneh. Sebagai orang Mojokerto, dia begitu bangga dengan status kotanya yang dulu merupakan (katanya) pusat Kerajaan Majapahit. Sehingga saya khawatir suatu saat dia akan mengklaim sebagai pewaris sah tahta Nusantara (ampun Cup, aku kancamu kho :v). Satu hal yang akan Anda ingat tentang orang ini: Dia selalu berusaha membuat orang mudah memahaminya. Caranya? Dengan berbicara menggunakan nada dan volume yang melebihi standar ^^V
Sebagai orang bergolongan darah B, dia merupakan orang yang selalu jujur dan blak-blak an. Bagi sebagian orang mungkin ini mengganggu, khususnya jika Anda pedagang makanan dan dikritik olehnya. Banyak kata ‘Cuk’ dan ‘Su’ yang luwes dan mantap sekali jika diucapkan olehnya hahaha.
5. Madun. Orang ini tak ada hubungannya dengan tendangan Si Madun atau Ultraman. Tidak ada, dan nama aslinya pun mengejutkan: Madun. Tepatnya, Ahmad Romadun. Katanya dulu ada rencana menulis Ramadan, atau Romadon, eh Petugas Akta Kelahirannya salah hahaha. Baik, cukup soal nama. Mempunyai kegemaran dengan hal-hal yang menguras keringat dan memacu adrenalin seperti naik gunung dan down hill dengan sepeda berharga lebih mahal dari sepeda motor saya: 6-7 juta! Padahal dulunya termasuk orang yang malas dengan hal-hal seperti itu, dan paling cuek kalau soal penampilan. Namun semua berubah setelah dia menaklukkan Puncak Mahameru. Entahlah, mungkin dia menemukan kebijaksanaan di sana, atau bertemu orang yang istimewa.
Teman, kawan, kanca kenthel saya semenjak TPB juga, seringkali kosannya menjadi kosan kedua saya juga—apalagi kalau pas ngerjain perancangan dan mau ngegabut. Dan satu hal besar yang masih menjadi pertentangan serta misteri di antara kami: KECANTIKAN MANTANNYA. Entahlah, mungkin dia kena pelet meskipun sekarang (katanya) sudah move on. Satu kata mutiara atau kalimat bijak yang saya ingat darinya:
“Di balik pria yang sukses, terdapat mantan
yang menyesal.”
Ngapaknya belum bisa tertutupi, namun syukurlah dia bergolongan darah A sehingga jika saya dan Ucup sedang debat dengan sengit, ada manusia cinta damai ini haha.
0 komentar:
Posting Komentar