Tersebutlah pada suatu masa,
terdapat seorang pria yang begitu cemerlang, setidaknya untuk ukuran masa itu. Di
mana ukuran prestasi adalah seberapa luas tanah yang kau kuasai, berapa banyak
negeri yang kau taklukkan, jumlah pasukan yang tunduk padamu, dan banyaknya
manusia yang gemetar bahkan ketika mereka baru mendengar rencanamu untuk
menguasai jajahan baru.
Maka ia pun mulai membangun
suatu ikatan kuat dengan orang-orang yang ia proyeksikan untuk menjadi
jenderalnya. Mulai menempa mental orang-orang yang ia inginkan sebagai
pengikut. Dan visinya seolah didukung semesta untuk terwujud. Dan terciptalah
sebuah angkatan perang yang terkenal dengan taktiknya yang bisa disebut “Super Blitkrieg”. Hal ini karena
kecepatan mereka dalam memobilisasi pasukan berkudanya lebih cepat daripada
pasukan panzer Der Fuhrer NAZI. Ada yang bilang sampai tiga kali lipatnya, dan
suplai logistic yang terencana dengan mengambil sumber dari daerah yang telah
ditaklukkan (hal ini sangat mungkin terjadi karena waktu itu belum ada angkatan
udara yang memungkinkan serbuan jauh ke jalur belakang lawan untuk memotong
konvoi logistik).
Pasukannya begitu terlatih—juga
brutal. Setiap daerah yang dilewati biasanya hanya dijaga setengah pasukan
musuh, karena yang setengah telah lari terlebih dahulu. Dan manusia hanya
terngaga, padahal tidak tahu bahwa ada suatu disiplin ketat di belakangnya yang
mungkin akan membuat pasukan lain enggan bergabung dengan armada tempur ini:
Panglima tidak membagikan harta rampasan perang. Lho? Kenapa?
Karena ia sudah tahu, bahwa
halangan terbesar dari mobilitas pasukan adalah ketika pasukan itu terlalu
banyak membawa beban. Maka ia pun mulai membagi-bagi divisi pasukannya, ada
yang memang benar-benar pasukan tempur, ada pula pasukan logistic, juga pasukan
pemelihara alat perang. Pasukan tempur kerjanya hanya berperang dan berlatih. Tidak
dipusingkan dengan harta rampasan perang, bahkan mungkin saja mereka telah
mengabdikan dirinya hanya untuk perang itu sendiri. Inilah yang menjadikannya pasukan
yang sangat ditakuti.
Percaya gak, yang paling kiri yang gambarnya kepotong itu saya? Jangan percaya, itu bohong ;) |
Tak ada manusia yang abadi, maka
begitulah sang panglima tertinggi. Ia pun digantikan oleh putranya, yang
ternyata memiliki strategi berbeda dalam pendekatan. Sang putra berpikir,
pasukan tempur akan lebih semangat dan loyal jika mendapat bagian rampasan
perang yang lebih besar. Maka mulailah ia mengatur ulang kebijakan, sehingga
kini tiap pasukan tempur juga mendapat bagian atas ternak yang banyak. Pasukan bersorak,
dan benar, mereka memang menjadi lebih semangat dalam mengejar harta rampasan.
Tetapi lama kelamaan, pasukan
yang tadinya sekedar memiliki harta kini mulai terjangkit penyakit takut
kehilangan. Maka beberapa dari mereka enggan melanjutkan pertempuran, lebih
memilih mengatur ternaknya. Apalagi tanah jajahan demikian luas.
Pasukan yang masih mau maju,
hanya terpikir rampasan perang dan khawatir atas harta yang tertinggal. Jadilah
mereka bergerak dengan lambat, karena harus membawa serta harta yang banyak. Dan
harta rampasan justru menjadikan beban mereka sendiri. Di sinilah akhir
petualangan armada tempur luar biasa tersebut, bukan oleh pasukan musuh, namun
oleh “rasa memiliki”.
Baik, itu cerita pertama. Dan inilah
cerita kedua:
Suatu ketika pada satu
pertempuran (battle) yang lain—bedakan antara perang (war) dengan pertempuran— dengan pasukan,
pemimpin, waktu, dan latar yang berbeda tersebutlah dalam sejarah sebuah
pelajaran penting. Di mana ketika kemenangan di depan mata buyar akibat beberapa
pasukan yang meninggalkan pos penjagaan saat melihat harta rampasan pada
mayat-mayat musuh. Bahkan Sang Panglima perang harus mengalami luka parah
akibat blunder tersebut.
(Note: Bukan,
saya bukan sedang menyalahkan pasukan tersebut. Hanya berusaha mengambil ibrah,
karena mereka berjuta kali lipat lebih baik dari saya)
Lalu, Apa?
Ya,
lalu apa? Setidaknya dari dua cerita di atas Anda sudah dapat meraba apa yang
ingin saya ceritakan. Mungkin akan ada yang berpikir saya sedang memberikan
kuliah sejarah mengenai Mongolia dan Uhud. Atau mungkin malah berpikir tentang
beda war dengan battle. Tak mengapa, suatu saat saya juga ingin membahas mengenai
hal tersebut. Atau mungkin ada yang berpikir tentang bahaya memiliki banyak
harta? Yep, mendekati :)
Bahaya “Rasa Memiliki Yang Berlebihan”
Ya,
itulah sebenarnya yang ingin saya bagi. Pada cerita pertama terlihat dari
pasukan yang mulai melambat dalam bergerak dan menurun dalam performa akibat rasa
memiliki mereka pada hartanya secara berlebihan. Dan pada cerita kedua, bahkan
rasa memiliki itu timbul di saat mereka belum memilikinya.
Sebenarnya sudah sering saya
membahas tentang hal ini, namun kali ini saya ingin membahasnya lebih detail. Karena
akhir-akhir ini pun saya juga sedang sulit mengontrolnya. Jadi apa saja
bahayanya?
1. Sulit Dalam Bergerak
Seperti
terlihat dalam cerita pertama, maka seringkali rasa memiliki akan membuat kita
sulit untuk mencoba hal-hal baru. Karena seringkali kita takut akan “taruhan”
bahwa mungkin saja hal baru tersebut akan merenggut atau memisahkannya dari
sesuatu yang ia miliki. Bahkan terkadang kita akan dihadapkan pada saat-saat di
mana harus memilih untuk maju dan tinggalkan yang ada, atau tetap diam untuk
menjaga yang tersedia.
Tentu
saja ini akan sangat merugikan jika seharusnya saat itu kita dituntut untuk
lebih aktif mencoba tantangan-tantangan baru. Kita terbelenggu pada perasaan
nyaman dan “cukup” atas kondisi yang telah ada. Kita tak ingin melakukan hal
lebih, belajar sesuatu yang asing, hanya karena hal itu mengusik “rasa memiliki”
kita. Padahal sejatinya, mungkin saja kita saat itu belum memiliki apa-apa.
Kerugian
terbesarnya adalah, kita tidak mendapat pengetahuan baru.
Baik,
sedikit OOT. Mungkin ada yang bingung, bukankah dalam agama diajarkan agar
senantiasa bersyukur atas apa yang ada? Selalu merasa cukup? Tidakkah ini
menunjukkan bahwa kita kufur nikmat?
Inilah
jawaban saya atas hal tersebut. Kita memang disuruh bersyukur dan merasa cukup
itu—menurut saya—atas dua hal. Yang pertama adalah sesuatu yang memang telah
diberikan “dari sananya dan tidak bisa diubah”, semisal jumlah anggota badan,
jenis kelamin, juga kegantengan (maaf, ini kenyataan buat penulis—ganteng :v). Dan
yang kedua adalah sesuatu yang kita dapat (juga), setelah melakukan kerja
secara maksimal.
Untuk
yang selain hal di atas, hemat saya kita harus “selalu” merasa kurang. Apalagi jika
itu mengenai perbaikan kontribusi kita pada hal yang kita cintai dan tentang
kualitas pribadi. Kata orang:
2. Tidak Tenang Hidupnya
Ya
ini sudah tentu dapat dipahami. Bagaimana kita mampu hidup tenang jika di
kepala kita hanya berisi “Seandainya jika dulu...” dan “Apa yang akan terjadi
jika aku melakukan…”. Karena penyakit terbesar dari mereka yang overdosis “rasa
memiliki” adalah menyesali masa lalu dan takut akan masa depan. Mereka berusaha
menjaga apa yang mereka miliki—itu bagus—dengan penjagaan yang berlebihan,
hingga terkadang menihilkan Tuhan—ini tidak bagus.
Yah,
kurang lebih ini hampir sama dengan pembahasan sebelumnya.
3. Sulit Move-On
Nah, ini dia bahaya
selanjutnya dari “rasa memiliki yang berlebihan”. Ketika sesuatu yang tadinya
ada dalam genggamannya hilang atau berganti kepemilikan, hatinya masih terpaut padanya.
Dan menurut mereka “aktivis merah jambu”, hal ini akan mengakibatkan sesuatu
yang disebut dengan galau.
Kalau ada rokok model begini, galau dan perokok akan hilang dari peredaran :) |
Bahkan tak jarang, kita
menjadi begitu tolol. Karena sebenarnya kita diberikan ganti yang lebih baik,
namun hati kita sudah begitu terpaut pada yang hilang. Kita sudah terlalu
banyak berinvestasi emosi padanya. Dan taraaaaa, sukseslah kita menjadi
orang-orang yang kufur, kufur akan nikmat Allah.
Itulah tadi hal-hal yang saya
kira cukup layak saya bagi. Saya ingin menekankan mind set bahwa tak ada yang salah dengan memiliki banyak hal di
dunia ini. Mau memiliki banyak harta? Silahkan! Mau punya banyak pengetahuan? Mangga.
Mau punya banyak istri? Ehm, saya sih satu aja :p
Karena,
“Zuhud itu bukanlah membuang dunia dari tanganmu
tapi dia ada di hati. Zuhud adalah mencampakan dunia dari hatimu tapi dia ada
dalam genggamanmu.”
NB:
Namun, ada satu
hal lagi yang ingin saya bagi. Tentu sulit untuk tidak memiliki rasa memiliki
sama sekali. Sungguh, bahkan seringkali kita benar-benar jadi punya “rasa
memiliki yang berlebihan”. Nah, inilah tips-nya:
Selagi Anda
belum memiliki banyak hal, maka tentu rasa memiliki Anda kan lebih ringan
bukan? Dan itu biasanya ada di usia awal-awal kedewasaan Anda. Anggap saja usia
awal 20-an. Pada saat-saat inilah seharusnya Anda habis-habisan dalam mencari
pengetahuan baru, tantangan baru, dan lingkungan baru yang bisa memperbaiki dan
memperkaya kepribadian Anda. Bahasa kerennya, nothing to lose.
Karena nanti
setelah Anda berkeluarga, dan Anda belum
selesai dengan diri Anda sendiri—pinjem kata-katanya hipwee—maka Anda sulit
untuk tenang dalam hidup. Jika pun tenang, Anda “kalah” dengan mereka yang
telah melakukan usaha lebih banyak dan maksimal untuk memperoleh pengetahuan
baru.
“Pada saat muda
Anda memiliki tenaga dan waktu luang, namun tidak dengan uang.
Pada saat sudah
mapan Anda memiliki tenaga dan uang, namun tidak dengan waktu luang.
Dan saat tua
Anda (seharusnya) memiliki uang dan waktu luang, namun tidak dengan tenaga.”
NB2:
Cerita pertama
saya memang TERINSPIRASI pada kisah epic pasukan Mongol di bawah pimpinan
Gengis Khan yang memang demikian mobile
dan tangguh. Sedangkan cerita kedua adalah fakta sejarah peperangan pada medan
laga Bukit Uhud yang menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar