Rabu, 03 September 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,


                Tersebutlah pada suatu masa, terdapat seorang pria yang begitu cemerlang, setidaknya untuk ukuran masa itu. Di mana ukuran prestasi adalah seberapa luas tanah yang kau kuasai, berapa banyak negeri yang kau taklukkan, jumlah pasukan yang tunduk padamu, dan banyaknya manusia yang gemetar bahkan ketika mereka baru mendengar rencanamu untuk menguasai jajahan baru.

                Maka ia pun mulai membangun suatu ikatan kuat dengan orang-orang yang ia proyeksikan untuk menjadi jenderalnya. Mulai menempa mental orang-orang yang ia inginkan sebagai pengikut. Dan visinya seolah didukung semesta untuk terwujud. Dan terciptalah sebuah angkatan perang yang terkenal dengan taktiknya yang bisa disebut “Super Blitkrieg”. Hal ini karena kecepatan mereka dalam memobilisasi pasukan berkudanya lebih cepat daripada pasukan panzer Der Fuhrer NAZI. Ada yang bilang sampai tiga kali lipatnya, dan suplai logistic yang terencana dengan mengambil sumber dari daerah yang telah ditaklukkan (hal ini sangat mungkin terjadi karena waktu itu belum ada angkatan udara yang memungkinkan serbuan jauh ke jalur belakang lawan untuk memotong konvoi logistik).


                Pasukannya begitu terlatih—juga brutal. Setiap daerah yang dilewati biasanya hanya dijaga setengah pasukan musuh, karena yang setengah telah lari terlebih dahulu. Dan manusia hanya terngaga, padahal tidak tahu bahwa ada suatu disiplin ketat di belakangnya yang mungkin akan membuat pasukan lain enggan bergabung dengan armada tempur ini: Panglima tidak membagikan harta rampasan perang. Lho? Kenapa?

                Karena ia sudah tahu, bahwa halangan terbesar dari mobilitas pasukan adalah ketika pasukan itu terlalu banyak membawa beban. Maka ia pun mulai membagi-bagi divisi pasukannya, ada yang memang benar-benar pasukan tempur, ada pula pasukan logistic, juga pasukan pemelihara alat perang. Pasukan tempur kerjanya hanya berperang dan berlatih. Tidak dipusingkan dengan harta rampasan perang, bahkan mungkin saja mereka telah mengabdikan dirinya hanya untuk perang itu sendiri. Inilah yang menjadikannya pasukan yang sangat ditakuti.

Percaya gak, yang paling kiri yang gambarnya kepotong itu saya?
Jangan percaya, itu bohong ;)


                Tak ada manusia yang abadi, maka begitulah sang panglima tertinggi. Ia pun digantikan oleh putranya, yang ternyata memiliki strategi berbeda dalam pendekatan. Sang putra berpikir, pasukan tempur akan lebih semangat dan loyal jika mendapat bagian rampasan perang yang lebih besar. Maka mulailah ia mengatur ulang kebijakan, sehingga kini tiap pasukan tempur juga mendapat bagian atas ternak yang banyak. Pasukan bersorak, dan benar, mereka memang menjadi lebih semangat dalam mengejar harta rampasan.

                Tetapi lama kelamaan, pasukan yang tadinya sekedar memiliki harta kini mulai terjangkit penyakit takut kehilangan. Maka beberapa dari mereka enggan melanjutkan pertempuran, lebih memilih mengatur ternaknya. Apalagi tanah jajahan demikian luas.

                Pasukan yang masih mau maju, hanya terpikir rampasan perang dan khawatir atas harta yang tertinggal. Jadilah mereka bergerak dengan lambat, karena harus membawa serta harta yang banyak. Dan harta rampasan justru menjadikan beban mereka sendiri. Di sinilah akhir petualangan armada tempur luar biasa tersebut, bukan oleh pasukan musuh, namun oleh “rasa memiliki”.

                Baik, itu cerita pertama. Dan inilah cerita kedua:

                Suatu ketika pada satu pertempuran (battle) yang lainbedakan antara perang (war) dengan pertempuran— dengan pasukan, pemimpin, waktu, dan latar yang berbeda tersebutlah dalam sejarah sebuah pelajaran penting. Di mana ketika kemenangan di depan mata buyar akibat beberapa pasukan yang meninggalkan pos penjagaan saat melihat harta rampasan pada mayat-mayat musuh. Bahkan Sang Panglima perang harus mengalami luka parah akibat blunder tersebut.
(Note: Bukan, saya bukan sedang menyalahkan pasukan tersebut. Hanya berusaha mengambil ibrah, karena mereka berjuta kali lipat lebih baik dari saya)

Lalu, Apa?

                Ya, lalu apa? Setidaknya dari dua cerita di atas Anda sudah dapat meraba apa yang ingin saya ceritakan. Mungkin akan ada yang berpikir saya sedang memberikan kuliah sejarah mengenai Mongolia dan Uhud. Atau mungkin malah berpikir tentang beda war dengan battle. Tak mengapa, suatu saat saya juga ingin membahas mengenai hal tersebut. Atau mungkin ada yang berpikir tentang bahaya memiliki banyak harta? Yep, mendekati :)

Bahaya “Rasa Memiliki Yang Berlebihan”

                Ya, itulah sebenarnya yang ingin saya bagi. Pada cerita pertama terlihat dari pasukan yang mulai melambat dalam bergerak dan menurun dalam performa akibat rasa memiliki mereka pada hartanya secara berlebihan. Dan pada cerita kedua, bahkan rasa memiliki itu timbul di saat mereka belum memilikinya.

 Sebenarnya sudah sering saya membahas tentang hal ini, namun kali ini saya ingin membahasnya lebih detail. Karena akhir-akhir ini pun saya juga sedang sulit mengontrolnya. Jadi apa saja bahayanya?

1.       Sulit Dalam Bergerak

Seperti terlihat dalam cerita pertama, maka seringkali rasa memiliki akan membuat kita sulit untuk mencoba hal-hal baru. Karena seringkali kita takut akan “taruhan” bahwa mungkin saja hal baru tersebut akan merenggut atau memisahkannya dari sesuatu yang ia miliki. Bahkan terkadang kita akan dihadapkan pada saat-saat di mana harus memilih untuk maju dan tinggalkan yang ada, atau tetap diam untuk menjaga yang tersedia.

Tentu saja ini akan sangat merugikan jika seharusnya saat itu kita dituntut untuk lebih aktif mencoba tantangan-tantangan baru. Kita terbelenggu pada perasaan nyaman dan “cukup” atas kondisi yang telah ada. Kita tak ingin melakukan hal lebih, belajar sesuatu yang asing, hanya karena hal itu mengusik “rasa memiliki” kita. Padahal sejatinya, mungkin saja kita saat itu belum memiliki apa-apa.

Kerugian terbesarnya adalah, kita tidak mendapat pengetahuan baru.

Baik, sedikit OOT. Mungkin ada yang bingung, bukankah dalam agama diajarkan agar senantiasa bersyukur atas apa yang ada? Selalu merasa cukup? Tidakkah ini menunjukkan bahwa kita kufur nikmat?

Inilah jawaban saya atas hal tersebut. Kita memang disuruh bersyukur dan merasa cukup itu—menurut saya—atas dua hal. Yang pertama adalah sesuatu yang memang telah diberikan “dari sananya dan tidak bisa diubah”, semisal jumlah anggota badan, jenis kelamin, juga kegantengan (maaf, ini kenyataan buat penulis—ganteng :v). Dan yang kedua adalah sesuatu yang kita dapat (juga), setelah melakukan kerja secara maksimal.

Untuk yang selain hal di atas, hemat saya kita harus “selalu” merasa kurang. Apalagi jika itu mengenai perbaikan kontribusi kita pada hal yang kita cintai dan tentang kualitas pribadi. Kata orang:





2.       Tidak Tenang Hidupnya

Ya ini sudah tentu dapat dipahami. Bagaimana kita mampu hidup tenang jika di kepala kita hanya berisi “Seandainya jika dulu...” dan “Apa yang akan terjadi jika aku melakukan…”. Karena penyakit terbesar dari mereka yang overdosis “rasa memiliki” adalah menyesali masa lalu dan takut akan masa depan. Mereka berusaha menjaga apa yang mereka miliki—itu bagus—dengan penjagaan yang berlebihan, hingga terkadang menihilkan Tuhan—ini tidak bagus.

Yah, kurang lebih ini hampir sama dengan pembahasan sebelumnya.

3.       Sulit Move-On


Nah, ini dia bahaya selanjutnya dari “rasa memiliki yang berlebihan”. Ketika sesuatu yang tadinya ada dalam genggamannya hilang atau berganti kepemilikan, hatinya masih terpaut padanya. Dan menurut mereka “aktivis merah jambu”, hal ini akan mengakibatkan sesuatu yang disebut dengan galau.

Kalau ada rokok model begini,
galau dan perokok akan hilang dari peredaran :)

Bahkan tak jarang, kita menjadi begitu tolol. Karena sebenarnya kita diberikan ganti yang lebih baik, namun hati kita sudah begitu terpaut pada yang hilang. Kita sudah terlalu banyak berinvestasi emosi padanya. Dan taraaaaa, sukseslah kita menjadi orang-orang yang kufur, kufur akan nikmat Allah.

                Itulah tadi hal-hal yang saya kira cukup layak saya bagi. Saya ingin menekankan mind set bahwa tak ada yang salah dengan memiliki banyak hal di dunia ini. Mau memiliki banyak harta? Silahkan! Mau punya banyak pengetahuan? Mangga. Mau punya banyak istri? Ehm, saya sih satu aja :p

                Karena,

“Zuhud itu bukanlah membuang dunia dari tanganmu tapi dia ada di hati. Zuhud adalah mencampakan dunia dari hatimu tapi dia ada dalam genggamanmu.”


NB:
Namun, ada satu hal lagi yang ingin saya bagi. Tentu sulit untuk tidak memiliki rasa memiliki sama sekali. Sungguh, bahkan seringkali kita benar-benar jadi punya “rasa memiliki yang berlebihan”. Nah, inilah tips-nya:

Selagi Anda belum memiliki banyak hal, maka tentu rasa memiliki Anda kan lebih ringan bukan? Dan itu biasanya ada di usia awal-awal kedewasaan Anda. Anggap saja usia awal 20-an. Pada saat-saat inilah seharusnya Anda habis-habisan dalam mencari pengetahuan baru, tantangan baru, dan lingkungan baru yang bisa memperbaiki dan memperkaya kepribadian Anda. Bahasa kerennya, nothing to lose.

Karena nanti setelah Anda berkeluarga, dan Anda belum selesai dengan diri Anda sendiri—pinjem kata-katanya hipwee—maka Anda sulit untuk tenang dalam hidup. Jika pun tenang, Anda “kalah” dengan mereka yang telah melakukan usaha lebih banyak dan maksimal untuk memperoleh pengetahuan baru.

“Pada saat muda Anda memiliki tenaga dan waktu luang, namun tidak dengan uang.
Pada saat sudah mapan Anda memiliki tenaga dan uang, namun tidak dengan waktu luang.
Dan saat tua Anda (seharusnya) memiliki uang dan waktu luang, namun tidak dengan tenaga.”

NB2:

Cerita pertama saya memang TERINSPIRASI pada kisah epic pasukan Mongol di bawah pimpinan Gengis Khan yang memang demikian mobile dan tangguh. Sedangkan cerita kedua adalah fakta sejarah peperangan pada medan laga Bukit Uhud yang menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar