Bismillah,
Sudah lama sekali sejak saya mem-posting salah satu genre
terbaik saya: serial halaqah. Yah, maklumi saja karena terkadang ada hal-hal
yang membuat saya bolos tidak sempat menuliskannya di blog. Sehingga,
semakin menumpuk dan menumpuk dan akhirnya menjadi lebih malas lagi hehe.
Baik, sekarang biarkan saya memulai kembali kebiasaan baik
tersebut. Kali ini halaqah bertema mengenai hikmah yang ada dalam hadits berikut:
Dari
Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, "Jadilah
engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang
bepergian)." Lalu Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu menyatakan, "Apabila
engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan
apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari.
Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah
hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Bukhariy no.6416)
Hadits di atas sangatlah pendek, mudah dihapal, dan tentu
sudah sering kita dengar sehingga terasa familiar. Namun, apakah kita
benar-benar memaknainya? Atau, apakah kita benar dalam memaknainya? Apakah kita
memaknainya bahwa karena hidup ini singkat maka kita harus habis-habisan dalam
menikmati dunia? Karena hidup hanya sekali maka jika tak bersenang-senang
menjadi orang yang merugi?
Lalu, Bagaimana Seharusnya?
Tak ada manusia yang lebih pantas dalam untuk dijadikan
panutan dalam mengikuti bimbingan Rasul kecuali para shahabat yang mulia. Dan mereka—orang-orang
hebat itu—memaknai sabda Rasul ini dengan selalu berlomba-lomba dalam kebikan. Dan
lebih dari itu, mereka memaknai berlomba dalam kebaikan bukan berarti adu
banyak, melainkan adu baik. Karena dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan tentang:
Sesungguhnya Kami
telah Menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami
Menguji mereka, siapakah di antaranya
yang terbaik perbuatannya. (QS. 18: 7)
Maka, ketika dihadapkan pada realitas bahwa hidup ini begitu
singkat dan pendek mereka justru bersemangat untuk berusaha mencapai
efektivitas kerja yang tinggi. Dan yang lebih membedakan dari kebanyakan orang,
golongan sebaik-baik umat ini berusaha “kreatif” untuk menjadi yang terdepan
dalam amalan penduduk akhirat.
Bahkan, jika bicara mengenai adu efektivitas kerja maka kita
akan terkagum-kagum betapa dalam waktu dakwah 23 tahun—yang tentunya ini sangat
singkat—Rasul telah berhasil menghimpun 114.000 manusia menjadi golongan
shahabat. Yang menjadikan inti dan pondasi bagi pencapaian berikutnya. Mendirikan
suatu daulah yang menjamin kebebasan setiap warganya dengan undang-undang
terbaik yang pernah ada, di mana manusia terbebas dari penyembahan sesama makhluk,
dan keadilan menerangi setiap sudut perkampungannya. Dari suatu jazirah yang
terpecah-pecah akibat sentiment kesukuan menyatu dalam jaringan aqidah. Mengubah
dari suatu kaum yang bahkan kedua negara superpower saat itu—Romawi dan Persia—enggan
untuk menjajahnya menjadi suatu kelompok yang nantinya memimpin sepertiga dunia
dengan cahaya ilahi. Menjadikan kaum yang nantinya membuat jalanan kota Roma
bagaikan tumpukan sampah jika dibandingakan jalanan megah dan teratur kota
Baghdad. Dan semua ini sekali lagi, tercapai hanya dalam 23 tahun.
Namun, seringkali kita tidak lengkap dalam mengambil ibrah. Kita
melalaikan bahwa Rasul tidak membangun semuanya semata karena kebetulan. Ada sebuah
pertunjukkan dramatis tentang episode bermain cantik, dan nilai suatu
kesabaran. Tidakkah kita ingat, bahwa dakwah itu hanya dimulai dari satu orang
lalu menjelma menjadi beberapa? Dan seandainya kita menelaah, berapakah manusia
yang bertauhid selama 13 tahun periode Mekkah?
Pada fase Mekkah, jumlah mereka tak sampai 100an orang. Jumlah
yang teramat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Mekah seluruhnya.
Lalu, apakah ini kegagalan? Bukan! Justru inilah awal keberhasilan Rasul dalam
membangun suatu manajemen dakwah yang spektakuler. Di mana setiap orangnya
memiliki “fanatisme” tinggi terhadap kebenaran. Di mana setiap orangnya mampu
dan mau menjadi manusia yang dipimpin, sekaligus mampu jika nanti diperlukan
untuk menjadi pemimpin. Karena Rasul sedang membangun pondasi, maka
kualitas-lah yang dikejar. Apalah artinya banyak jika hanya membuat gaduh dan
melakukan tindakan di luar perencanaan pemimpin? Dan apa artinya banyak jika
menjadikan mereka keolmpok yang tergesa dan menihilkan arti strategi dibanding taktik?
Mari kita ingat kisah Mush’ab bin Umair. Hanya cukup satu
orang saja telah mampu mengkondisikan satu kabilah. Tanpa ada darah tertumpah,
tanpa ada gejolak amarah. Maka inilah hasil itu.
Atau kita lihat Ali bin Abi Thalib. Yang begitu cerdas,
sehingga mampu membungkam kerusakan dan fitnah bibit syi’ah. Yang bahkan
memiliki kemampuan tempur melebihi panglima perang terkuat suku manapaun.
Dan mari kita tengok seorang Utsman bin Affan. Yang begitu
pemalu dan murah hati. Yang membeli sumur dari seorang yahudi dengan harga yang
sangat mahal karena kaum muslimin yang membutuhkannya. Yang bahkan hingga kini
masih memiliki rekening atas namanya dengan jumlah simpanan tak terkira
banyaknya.
Lalu apakah kita lupa pada Umar bin Khttab. Manusia yang
bahkan membuat syaithan harus berputar mencari jalan lain jika berpapasan
dengannya. Yang mampu meruntuhkan keangkuhan Romawi dan Persia, menghempaskan
para penyembah berhala ke dalam kehinaan berhala-berhala modern mereka. Yang dengan
setia berpantang makan makanan mewah hanya demi rasa senasib sepenanggungan
dengan rakyatnya yang kelaparan. Dan merupakan manusia yang berani berhijrah
terang-tengan dan berkata,”Wahai kalian yang ingin putranya menjadi yatim, atau
istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di balik bukit ini!”
Dan inilah kekasih Rasul yang mulia, Abu Bakar ash-Shidiq. Khalifah
pertama umat ini, yang ujiannya tidak tanggung-tanggung: Menghadapi raungan dan
“provokasi” Umar bin Khattab bahwa Rasul tidak wafat, menghadapi pemberontakan
kaum murtadin, sekaligus beban wasiat memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid
menyerbu benteng Persia. Dan ketika suatu hari Umar memberikan separuh hartanya
untuk membiayai perang Tabuk, datanglah Abu Bakar dengan seluruh hartanya. “Cukup
Allah dan Rasul-Nya bagi kami,” begitu ucapnya.
Maka, tidakkah kualitas akhirnya menunjukkan hasilnya?
Karena Rasul memahami hal ini:
1.
Melakukan sesuatu yang seharusnya
2.
Dengan cara yang semestinya
3.
Pada waktu yang sesuai
4.
Oleh orang yang tepat
Itulah inti dakwah yang efektif. Dan nantinya biarkan aset
yang terbangun mengembangkan dirinya sendiri menjadi suatu mesin pengganda yang
efisien. Seperti layaknya bangunan rumah dakwah yang dibangun sebaik-baik
manusia tersebut.
Sehingga dalam waktu kita yang terbatas—karena jatah hidup
umat Muhammad memang pendek—kita dapat memberikan yang terbaik bagi Islam.
Perubahan Mindset
Seringkali kita mendengar ungkapan,”Jangan pikirkan apa yang
mampu negara berikan padamu, namun pikirkan apa yang bisa kamu berikan pada
negara.” Atau seperti ini,”Himpunan ini adalah wadah kosong, jika kalian tidak
mengisinya, maka kalian tak akan mendapat apa-apa.”
Dan wallahi, hal
itu juga berlaku pada agama ini. Bahwa kebanyakan orang—saya juga—masih
berpikir apa yang bisa saya dapat sebagai orang Islam alih-alih memikirkan
karya apa yang bisa ia persembahkan padanya. Lalu ketika melihat mereka yang
telah sukses merubah pola pandangnya kita pun tersenyum nyinyir, berkata bahwa mereka
telah diperbudak. Padahal, tidakkah lebih baik menjadi hamba dari Tuhan
daripada hamba dari hawa nafsu?
Ketika seseorang telah berhasil merubah mindset ini, maka akan ada perubahan visi dalam hidupnya. Meski mungkin
misinya tidak terlalu berubah. Kenapa?
“Karena
setiap orang harus menambah pencapaian-pencapaiannya agar kualitas pribadinya
layak dan mampu untuk memberikan kontribusi yang lebih bagi rumah ini (Islam).”
-Ustadz-
Sehingga orang yang tadinya ingin kaya agar bisa hidup
senang di masa tuanya tidak akan mengubah keinginannya. Yang berubah hanya
caranya menjadi kaya dengan halal untuk kemudian kekayaannya digunakan untuk
kejayaan Islam. Atau seseorang yang ingin menjadi professional yang mumpuni
tentu akan lebih semangat dalam belajar, karena tugas Iqomatuddin bukan hanya
monopoli kalangan pesantren. Dan bahkan, penambahan kualitas kecil semisal bisa
nyetir dan berpengalaman naik gunung nantinya bisa saja memiliki kontribusi
yang lebih bagi rumah ini. Tergantung di mana pengabdian yang dipilih, semuanya
boleh asalkan niatnya bersih. Dan tentunya: tertata.
“Kita
bangga dengan Islam itu bukan hal yang istimewa, karena memang begitulah
karakteristik Islam yang memang membanggakan. Yang hebat adalah bagaimana
nantinya Islam bangga dengan kita.”
-Ustadz-
Berapa Harga Diri
Kita?
Ya, berapakah harga diri kita di dalam rumah ini? Tidakkah
kita sesekali menengok diri untuk sekedar menerka, apalah diri kita? Jika
sulit, mungkin sesekali kita mendapat contoh beberapa tokoh yang dihargai musuh
dengan suatu harga. Seperti missal Rasul kita sendiri, yang dihargai beberapa
ratus ekor unta bagi yang sanggup menangkap dan membunuh beliau. Silahkan baca
kembali kisah hijrah beliau. Atau beberapa tokoh organisasi yang dihargai
beberapa puluh juta dolar oleh musuh-musuh di luar sana.
Lalu bagaimana kita mengukur diri dalam kontribusi? Setidaknya
ada empat kata kunci dalam kontribusi:
1.
Memperkuat
2.
Memperluas
3.
Mempercepat
4.
Menata
Jadi, mari kita berlelah-lelah di dunia ini dalam efektivitas
menggunakan waktu, dalam sebaik-baik amalan, dan menghitung diri ini sebelum
nanti dihitung. Kenapa?
“Karena
dunia bukan tempat beristirahat. Sekarang yang ada adalah amal, tak ada hisab. Sedang
‘nanti’ yang ada adalah hisab, tak ada lagi amal.”
-Para Ulama-
NB: Efektivitas Kontribusi Salah Satunya Menjadi Visi Organisasi Ini.
0 komentar:
Posting Komentar