Sabtu, 06 September 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,


Bismillah,

Sudah lama sekali sejak saya mem-posting salah satu genre terbaik saya: serial halaqah. Yah, maklumi saja karena terkadang ada hal-hal yang membuat saya bolos tidak sempat menuliskannya di blog. Sehingga, semakin menumpuk dan menumpuk dan akhirnya menjadi lebih malas lagi hehe.

Baik, sekarang biarkan saya memulai kembali kebiasaan baik tersebut. Kali ini halaqah bertema mengenai hikmah yang ada dalam hadits berikut:

Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, "Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian)." Lalu Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu menyatakan, "Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Bukhariy no.6416)


Hadits di atas sangatlah pendek, mudah dihapal, dan tentu sudah sering kita dengar sehingga terasa familiar. Namun, apakah kita benar-benar memaknainya? Atau, apakah kita benar dalam memaknainya? Apakah kita memaknainya bahwa karena hidup ini singkat maka kita harus habis-habisan dalam menikmati dunia? Karena hidup hanya sekali maka jika tak bersenang-senang menjadi orang yang merugi?

Lalu, Bagaimana Seharusnya?

Tak ada manusia yang lebih pantas dalam untuk dijadikan panutan dalam mengikuti bimbingan Rasul kecuali para shahabat yang mulia. Dan mereka—orang-orang hebat itu—memaknai sabda Rasul ini dengan selalu berlomba-lomba dalam kebikan. Dan lebih dari itu, mereka memaknai berlomba dalam kebaikan bukan berarti adu banyak, melainkan adu baik. Karena dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan tentang:

Sesungguhnya Kami telah Menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami Menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya. (QS. 18: 7)

Maka, ketika dihadapkan pada realitas bahwa hidup ini begitu singkat dan pendek mereka justru bersemangat untuk berusaha mencapai efektivitas kerja yang tinggi. Dan yang lebih membedakan dari kebanyakan orang, golongan sebaik-baik umat ini berusaha “kreatif” untuk menjadi yang terdepan dalam amalan penduduk akhirat.

Bahkan, jika bicara mengenai adu efektivitas kerja maka kita akan terkagum-kagum betapa dalam waktu dakwah 23 tahun—yang tentunya ini sangat singkat—Rasul telah berhasil menghimpun 114.000 manusia menjadi golongan shahabat. Yang menjadikan inti dan pondasi bagi pencapaian berikutnya. Mendirikan suatu daulah yang menjamin kebebasan setiap warganya dengan undang-undang terbaik yang pernah ada, di mana manusia terbebas dari penyembahan sesama makhluk, dan keadilan menerangi setiap sudut perkampungannya. Dari suatu jazirah yang terpecah-pecah akibat sentiment kesukuan menyatu dalam jaringan aqidah. Mengubah dari suatu kaum yang bahkan kedua negara superpower saat itu—Romawi dan Persia—enggan untuk menjajahnya menjadi suatu kelompok yang nantinya memimpin sepertiga dunia dengan cahaya ilahi. Menjadikan kaum yang nantinya membuat jalanan kota Roma bagaikan tumpukan sampah jika dibandingakan jalanan megah dan teratur kota Baghdad. Dan semua ini sekali lagi, tercapai hanya dalam 23 tahun.  

Namun, seringkali kita tidak lengkap dalam mengambil ibrah. Kita melalaikan bahwa Rasul tidak membangun semuanya semata karena kebetulan. Ada sebuah pertunjukkan dramatis tentang episode bermain cantik, dan nilai suatu kesabaran. Tidakkah kita ingat, bahwa dakwah itu hanya dimulai dari satu orang lalu menjelma menjadi beberapa? Dan seandainya kita menelaah, berapakah manusia yang bertauhid selama 13 tahun periode Mekkah?

Pada fase Mekkah, jumlah mereka tak sampai 100an orang. Jumlah yang teramat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Mekah seluruhnya. Lalu, apakah ini kegagalan? Bukan! Justru inilah awal keberhasilan Rasul dalam membangun suatu manajemen dakwah yang spektakuler. Di mana setiap orangnya memiliki “fanatisme” tinggi terhadap kebenaran. Di mana setiap orangnya mampu dan mau menjadi manusia yang dipimpin, sekaligus mampu jika nanti diperlukan untuk menjadi pemimpin. Karena Rasul sedang membangun pondasi, maka kualitas-lah yang dikejar. Apalah artinya banyak jika hanya membuat gaduh dan melakukan tindakan di luar perencanaan pemimpin? Dan apa artinya banyak jika menjadikan mereka keolmpok yang tergesa dan menihilkan arti strategi dibanding taktik?

Mari kita ingat kisah Mush’ab bin Umair. Hanya cukup satu orang saja telah mampu mengkondisikan satu kabilah. Tanpa ada darah tertumpah, tanpa ada gejolak amarah. Maka inilah hasil itu.

Atau kita lihat Ali bin Abi Thalib. Yang begitu cerdas, sehingga mampu membungkam kerusakan dan fitnah bibit syi’ah. Yang bahkan memiliki kemampuan tempur melebihi panglima perang terkuat suku manapaun.

Dan mari kita tengok seorang Utsman bin Affan. Yang begitu pemalu dan murah hati. Yang membeli sumur dari seorang yahudi dengan harga yang sangat mahal karena kaum muslimin yang membutuhkannya. Yang bahkan hingga kini masih memiliki rekening atas namanya dengan jumlah simpanan tak terkira banyaknya.

Lalu apakah kita lupa pada Umar bin Khttab. Manusia yang bahkan membuat syaithan harus berputar mencari jalan lain jika berpapasan dengannya. Yang mampu meruntuhkan keangkuhan Romawi dan Persia, menghempaskan para penyembah berhala ke dalam kehinaan berhala-berhala modern mereka. Yang dengan setia berpantang makan makanan mewah hanya demi rasa senasib sepenanggungan dengan rakyatnya yang kelaparan. Dan merupakan manusia yang berani berhijrah terang-tengan dan berkata,”Wahai kalian yang ingin putranya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di balik bukit ini!”

Dan inilah kekasih Rasul yang mulia, Abu Bakar ash-Shidiq. Khalifah pertama umat ini, yang ujiannya tidak tanggung-tanggung: Menghadapi raungan dan “provokasi” Umar bin Khattab bahwa Rasul tidak wafat, menghadapi pemberontakan kaum murtadin, sekaligus beban wasiat memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid menyerbu benteng Persia. Dan ketika suatu hari Umar memberikan separuh hartanya untuk membiayai perang Tabuk, datanglah Abu Bakar dengan seluruh hartanya. “Cukup Allah dan Rasul-Nya bagi kami,” begitu ucapnya.

Maka, tidakkah kualitas akhirnya menunjukkan hasilnya?

Karena Rasul memahami hal ini:

1.       Melakukan sesuatu yang seharusnya
2.       Dengan cara yang semestinya
3.       Pada waktu yang sesuai
4.       Oleh orang yang tepat

Itulah inti dakwah yang efektif. Dan nantinya biarkan aset yang terbangun mengembangkan dirinya sendiri menjadi suatu mesin pengganda yang efisien. Seperti layaknya bangunan rumah dakwah yang dibangun sebaik-baik manusia tersebut.

Sehingga dalam waktu kita yang terbatas—karena jatah hidup umat Muhammad memang pendek—kita dapat memberikan yang terbaik bagi Islam.

Perubahan Mindset

Seringkali kita mendengar ungkapan,”Jangan pikirkan apa yang mampu negara berikan padamu, namun pikirkan apa yang bisa kamu berikan pada negara.” Atau seperti ini,”Himpunan ini adalah wadah kosong, jika kalian tidak mengisinya, maka kalian tak akan mendapat apa-apa.”

Dan wallahi, hal itu juga berlaku pada agama ini. Bahwa kebanyakan orang—saya juga—masih berpikir apa yang bisa saya dapat sebagai orang Islam alih-alih memikirkan karya apa yang bisa ia persembahkan padanya. Lalu ketika melihat mereka yang telah sukses merubah pola pandangnya kita pun tersenyum nyinyir, berkata bahwa mereka telah diperbudak. Padahal, tidakkah lebih baik menjadi hamba dari Tuhan daripada hamba dari hawa nafsu?

Ketika seseorang telah berhasil merubah mindset ini, maka akan ada perubahan visi dalam hidupnya. Meski mungkin misinya tidak terlalu berubah. Kenapa?


“Karena setiap orang harus menambah pencapaian-pencapaiannya agar kualitas pribadinya layak dan mampu untuk memberikan kontribusi yang lebih bagi rumah ini (Islam).”
-Ustadz-



Sehingga orang yang tadinya ingin kaya agar bisa hidup senang di masa tuanya tidak akan mengubah keinginannya. Yang berubah hanya caranya menjadi kaya dengan halal untuk kemudian kekayaannya digunakan untuk kejayaan Islam. Atau seseorang yang ingin menjadi professional yang mumpuni tentu akan lebih semangat dalam belajar, karena tugas Iqomatuddin bukan hanya monopoli kalangan pesantren. Dan bahkan, penambahan kualitas kecil semisal bisa nyetir dan berpengalaman naik gunung nantinya bisa saja memiliki kontribusi yang lebih bagi rumah ini. Tergantung di mana pengabdian yang dipilih, semuanya boleh asalkan niatnya bersih. Dan tentunya: tertata.


“Kita bangga dengan Islam itu bukan hal yang istimewa, karena memang begitulah karakteristik Islam yang memang membanggakan. Yang hebat adalah bagaimana nantinya Islam bangga dengan kita.”
-Ustadz-



Berapa Harga Diri Kita?

Ya, berapakah harga diri kita di dalam rumah ini? Tidakkah kita sesekali menengok diri untuk sekedar menerka, apalah diri kita? Jika sulit, mungkin sesekali kita mendapat contoh beberapa tokoh yang dihargai musuh dengan suatu harga. Seperti missal Rasul kita sendiri, yang dihargai beberapa ratus ekor unta bagi yang sanggup menangkap dan membunuh beliau. Silahkan baca kembali kisah hijrah beliau. Atau beberapa tokoh organisasi yang dihargai beberapa puluh juta dolar oleh musuh-musuh di luar sana.

Lalu bagaimana kita mengukur diri dalam kontribusi? Setidaknya ada empat kata kunci dalam kontribusi:

1.       Memperkuat
2.       Memperluas
3.       Mempercepat
4.       Menata


Jadi, mari kita berlelah-lelah di dunia ini dalam efektivitas menggunakan waktu, dalam sebaik-baik amalan, dan menghitung diri ini sebelum nanti dihitung. Kenapa?

“Karena dunia bukan tempat beristirahat. Sekarang yang ada adalah amal, tak ada hisab. Sedang ‘nanti’ yang ada adalah hisab, tak ada lagi amal.”
-Para Ulama-



NB: Efektivitas Kontribusi Salah Satunya Menjadi Visi Organisasi Ini.

0 komentar:

Posting Komentar