Sepuluh
hari telah terlewat dari hari besar juga hari agak besar itu, dan saya malah
baru menuliskannya saat ini: 15 Oktober 2014. Ya, hari besar berupa Idul Adha
dan hari agak besar yaitu HUT ke-69 hulubalang negeri ini—TNI—yang jatuh pada waktu
yang bersamaan, tanggal 5 Oktober. Dan hari ini saya akan membicarakan yang
kedua, karena yang pertama saya merasa kurang berkompeten. FYI juga, karena waktu
yang bersamaan itu pula maka parade militer digeser menjadi tanggal 7 Oktober.
Ya,
tujuh hari yang lalu itulah digelar parade militer terbesar dalam sejarah TNI. Dan
itu, hebatnya terjadi pada saat kita tidak sedang dalam masa perang. Berbeda dengan
saat tahun 60-an, di mana kekuatan TNI yang sangat diperhitungkan, bahkan
merupakan angkatan udara terbesar di belahan bumi selatan dan prestasinya atas
kepemilikan kapal penjelajah KRI Irian, karena saat itu TNI sedang masa perang
dengan Belanda untuk merebut Irian Barat. Untuk melihat betapa besarnya
kekuatan TNI, Anda semua dapat merujuk pada videonya di Youtube.
Sebagai ringkasan, saat parade tersebut dipamerkan alutsista-alutsista terbaru yang menakutkan dan kontroversial—
Kartika Eka Paksi
"Burung Perkasa Dengan Satu Cita-Cita Mulia"
Swa
Bhuwana Paksa
"Sayap Pelindung Tanah Airku"
"Sayap Pelindung Tanah Airku"
Jalesveva
Jayamahe
"Di
Laut Kita Jaya"
Dirgahayu TNI!
Lalu Ada Yang Bertanya…
Lalu,
di tengah euphoria itu, malam harinya sahabat sekaligus guru menulis saya bertanya
(via line, kami ‘LDR’ :v ),
“Her, aku tiba-tiba kepikiran. Kalau misalnya kita beli alat-alat militer dari negara tertentu. Dan nanti ternyata kita perang sama negara itu, kita gak kalah dalam hal alatnya? Kan dia yang memproduksi, dia tau busuk-busuknya produk itu dong :|
Lha terus kok indonesia gak ada inisiatif buat bikin atau gimana gitu, bangga-banggain beli A atau B tapi kan tetep ada risikonya ._.”
Hmm, suatu
pertanyaan yang menarik bukan? Dan saya pun jadi kepikiran untuk menuliskan
jawab saya yang panjang x lebar x tinggi (emang rumus volume balok -_-) itu di
blog ini.
Pendapat Saya Akan Pertanyaan Pertama
“Her, aku tiba-tiba kepikiran. Kalau
misalnya kita beli alat-alat militer dari negara tertentu. Dan nanti ternyata
kita perang sama negara itu, kita gak kalah dalam hal alatnya? Kan dia yang
memproduksi, dia tau busuk-busuknya produk itu dong :|”
Yap, memang
itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi. Tak perlu lah sampai perang dengan
negara pembuat, cukup ada sedikit tingkah Indonesia yang menurut negara penjual
sok kuasa macam AS(U) bikin sakit mata semisal pelanggaran HAM(burger), maka
tinggal terapkan kata sanksi dan embargo. Seperti pada tahun 1999 kita pernah
mengalami omong kosong itu, embargo militer akibat (katanya) melanggar
HAM(daging babi) di Timor Timur—eh, denger2 Timtim mau gabung lagi ya selepas
lihat parade militer kemarin? Ogah, negeri busuk gitu menghabiskan dana saja.
Biar negara kunyil itu mati aja dah.
Dan
dijamin, dalam waktu tak sampai enam bulan peralatan tempur yang masa pakai
suku cadangnya pendek macam pesawat tempur itu akan mulai grounded satu-per satu. Ya, itulah dilemma sebagai pembeli dan
negara bebas aktif: Tak punya tempat mengadu huhuhu.
Atau
tak perlu perang dengan negara penjual. Cukup misalnya jika perang terjadi
(semoga saja tidak) dengan negara tetangga yang merupakan sekutu dekat penjual,
kita pun akan jadi bulan-bulanan. Spesifikasi alutsista akan mudah dibocorkan
pada lawan. Meski TNI tentu tidak demikian bodohnya sehingga telah melakukan
modifikasi di sana-sini, namun kemungkinan itu tidak akan hilang. Bahkan santer
terdengar bahwa barang yang beli dari Blok Barat selalu mengalami downgrade spek demi membuat ayem para
sekutu macam si upil dan sonotan. Yah, apa boleh buat. Inilah warisan Orde
Baru, senjata rongsokan dari Blok Barat.
Kabar
baiknya, kini TNI mulai menganekaragamkan sumber persenjataannya. Ada keseimbangan
sumber dari Blok Barat dan Blok Timur. Dan memang selama ini Blok Timur dikenal
tidak suka ikut campur urusan orang, Anda beli dan bayar, urusan selesai. Namun
kelemahan Blok Timur dibandingkan Blok Barat katanya ada pada masalah ongkos operasional dan perawatan yang
mahal. Hal ini karena Blok Timur menganut madzhab yang penting strong. Sebagai contoh, biaya
operasional Sukhoi itu lebih dari IDR 400 juta/jam. Sedangkan F-16 cukup IDR170 juta/jam.
Dan
lagi, keanekaagaman jenis bisa saja suatu saat menjadi sebuah logistic nightmare bagi Dephan. Tapi,
saya pikir mereka di TNI itu pinter-pinter, tidak seperti yang ada di dalam
gedung tempurung kura-kura hijau itu. Yang kata Slank,”…Mau tahu gak mafia di
Senayan. Kerjaannya tukang buat peraturan. Bikin UUD…. Ujung-ujungnya Duit!”
(Lihat lagu Slank yang berjudul “Gosip Jalanan”) Jadi pasti TNI sudah paham
resiko tersebut.
Jadi
jawabannya, “Ya, itu hal yang buruk jika terjadi masalah dengan negara pembuat.”
Pendapat Saya Akan Pertanyaan Kedua
“Lha terus kok indonesia gak ada
inisiatif buat bikin atau gimana gitu, bangga-banggain beli A atau B tapi kan
tetep ada risikonya ._.”
Tanggapan Pertama
Nah, di sini
miris hati saya. Sudah sedemikian jauhkah generasi kita akan informasi yang
bermanfaat? Jika sahabat saya yang demikian aware
dengan isu-isu social saja sampai bertanya demikian, saya tak tahu mereka yang
kerjaannya nonton sinetron “Ganteng-Ganteng Belalang” itu sejauh mana
pengetahuannya akan keberjalanan negeri ini. Apa sekedar gossip artis A hamil
tanpa suami? Atau penyanyi ini manggung lalu kebelet boker di panggung? Man!
Ke mana informasi berkualitas macam
pembuatan dan Transfer of Technology (ToT) Rantis Komodo, Panser Anoa, Medium
Tank SBS, LST (Landing Ship Tank) 117
meter, LHD 125 meter, KCR (Kapal Cepat Rudal) 40 dan 60 meter, PKR (Perusak
Kawal Rudal) Sigma Class 105 meter, IFX (Indonesian
Fighter Experiment), R-Han, UAV Wulung, Kapal Selam Changbogo dan
sebagainya? Baca artikel MX-Magazine ini deh.
Apa media sudah cukup puas dengan acara adu bakat nyanyi, nari, dan anak kecil berceramah? Mau lawan gempuran bomber dengan lagu, ”Jangan sakiti ku lagi…. Uuuuuu”
Apa media sudah cukup puas dengan acara adu bakat nyanyi, nari, dan anak kecil berceramah? Mau lawan gempuran bomber dengan lagu, ”Jangan sakiti ku lagi…. Uuuuuu”
Ke
mana informasi prestasi-prestasi pemuda bangsa yang berjibaku di ajang
olimpiade dan kontes robot? Ke mana informasi tentang SDA kita yang dilelang
murah di pasar internasional? Ke mana kabar tentang anggota Hewan eh Dewan yang
bermoral suram? Apa anak muda mau di-nina bobokan dengan lagu Koes Plus bahwa,”
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”?
Padahal menurut Abdur SUCI 4, di Nusa Tenggara sana yang ada adalah,”Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tawuran!”
Tanggapan Kedua
Kenapa kita
bangga karena bisa beli ini itu? Pertama, itu tandanya kita punya duit. Jadi kita
itu sebenarnya suatu bangsa yang kaya yang jadi rebutan anak bangsanya sendiri
yang jadi budak kapitalis. Kedua, karena tidak semua negara mau menjual senjata
sembarangan. Contohnya, helicopter Apache asal amerika itu, tidak bisa asal
beli. Harus ada persetujuan dari kongres sana. Artinya, Dephan dan Deplu kita
keren.
Kemudian
ketiga, karena kita memang belum mampu buat. Lho, kok belum mampu? Lalu itu
sarjana kita yang hebat-hebat ke mana? Ke luar negeri jawab saya. Kenapa? Karena
di sini gak dihargain. Lalu nasionalismenya ke mana. Omong kosong dengan
nasionalisme, mereka itu butuh makan!
Ya,
kebanyakan orang hebat kita bekerja di luar. Karena di sini dana riset sangat
kecil, jauh daripada dana APBN yang dipakai untuk menggaji pegawai negara. Lalu
mungkin ada yang tanya lagi,”Lah, itu duit buat beli senjata kenapa tidak
dipakai buat riset aja? Udah tahu dananya cekak.”
Saya
jawab,”Gundulmu! Kalau kita enggak beli senjata, terus sampai itu hasil riset
jadi TNI mau dikasih ‘mainan’ apa? Bambu runcing? Senapan serbu? Kamu rela
kalau bapakmu atau kakakmu yang jadi TNI, lalu (seandainya terjadi konflik) disuruh
maju lawan PT-91 Malaysia atau M-1
Abrams Australia dengan bambu runcing aja? Atau berusaha menembak jatuh F-18
Hornet dengan ketapel? Itu bukan berani, itu bodoh kawan. Jadi gini lho kawan, kita ini perlu beli senjata dari
luar itu selama gak bisa dari dalam negeri. Kita perlu stop gap sampai semua siap. Contohnya, pembelian pesawat tempur
kelas medium itu perlu buat ngisi kekosongan sampai IFX siap masuk lini
produksi, gitu…”
“Eh, bukannya gampang ya bikin
senjata? Tinggal beli, terus dibongkar, terus dijiplak. Selesai.”
“Kamu udah pernah ambil kuliah
proses manufaktur?”
“Belum”
“Kalau tentang perancangan?”
“Belum juga”
“Lah, kamu jurusan apa sih?”
“Jurusan apa ya, aduh, bingung aku
hehe.”
“-______________-“
Ya,
banyak yang berpikir bahwa teknologi itu bisa asal jiplak. Tapi kenyataannya
tidak seindah itu. Contoh paling gampangnya, ada yang dikenal dengan toleransi.
Ini berkaitan dengan kondisi operasi dan proses manufakturnya.
Contoh, saat
membuat sudu turbin gas, tentu ada gambar tekniknya. Di gambar tersebut akan
disertakan toleransi. Kenapa? Pertama, sulit untuk membuat sesuatu pas sesuai
gambar. Di gambar dituliskan 235.75 mm. Paham tidak jika saat memotong itu akan
sulit mencapainya? Apalagi jika ditulisnya 235.7500 mm. Wah, nangis ini yang
bikin. Makanya diberi toleransi, misal 235.75 + 0.05 mm. Nah, siapa yang
memutuskan? Desainer setelah berkonsultasi dengan insinyur proses produksi!
Lalu saat kita
beli, kita ukur bendanya. Siapa yang menjamin jika hasil pengukuran (yang
tentunya ada errornya, ambillah kuliah metrology industry dan pengukuran
teknik) itu merupakan ukuran dasarnya? Berapa toleransinya?
Selain itu
toleransi juga berkaitan dengan kondisi operasi. Saat beroperasi, sudu tersebut
akan mengalami kenaikan temperature sehingga memuai. Jika tidak ada clearance yang tepat, sudu akan pecah. Sudah,
gitu saja. Jadi, buat nyontek pun ternyata susah kan? Beda ya waktu di SMA? Untungnya
sejak di ITB saat ujian saya sudah tidak pernanh nyontek lagi. Ancamannya DO
bro hehe. Dan itulah kenapa barang KW selalu dibawah kualitas barang aslinya.
Untunglah, untuk
saat ini setiap pembelian alutsista dari luar Undang-Undang memerintahkan untuk
selalu ada ToT. Tapi ToT juga tidak menjamin semua jadi mudah. Saat Kerja
Praktek di PT Pindad (Persero) saya bertanya pada Pembimbing begini,”Eh Pak,
bukannya sudah ada ToT IFV Marder antara Pindad dengan Rheinmetal ya? Sudah dikasih
blueprint gitu.”
“Memangnya kalau sudah ada gambar
masalahnya selesai?”
Nah kan, ternyata gambar sudah ada pun urusan belum selesai. Bagaimana materialnya, bagaimana lini produksinya, bagaimana MODAL DAN PENDANAANNYA, dan bagaimana-bagaimana yang lainnya. Jadi, kebayang kan sulitnya mendesain sesuatu?
Nah kan, ternyata gambar sudah ada pun urusan belum selesai. Bagaimana materialnya, bagaimana lini produksinya, bagaimana MODAL DAN PENDANAANNYA, dan bagaimana-bagaimana yang lainnya. Jadi, kebayang kan sulitnya mendesain sesuatu?
Jadi
kesimpulannya, yuk belajar dan berusaha lebih keras demi kemakmuran negeri ini.
Negeri ya, catat, negeri. Bukan negara.
0 komentar:
Posting Komentar