Selasa, 14 Oktober 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,


                Sepuluh hari telah terlewat dari hari besar juga hari agak besar itu, dan saya malah baru menuliskannya saat ini: 15 Oktober 2014. Ya, hari besar berupa Idul Adha dan hari agak besar yaitu HUT ke-69 hulubalang negeri ini—TNI—yang jatuh pada waktu yang bersamaan, tanggal 5 Oktober. Dan hari ini saya akan membicarakan yang kedua, karena yang pertama saya merasa kurang berkompeten. FYI juga, karena waktu yang bersamaan itu pula maka parade militer digeser menjadi tanggal 7 Oktober.

                Ya, tujuh hari yang lalu itulah digelar parade militer terbesar dalam sejarah TNI. Dan itu, hebatnya terjadi pada saat kita tidak sedang dalam masa perang. Berbeda dengan saat tahun 60-an, di mana kekuatan TNI yang sangat diperhitungkan, bahkan merupakan angkatan udara terbesar di belahan bumi selatan dan prestasinya atas kepemilikan kapal penjelajah KRI Irian, karena saat itu TNI sedang masa perang dengan Belanda untuk merebut Irian Barat. Untuk melihat betapa besarnya kekuatan TNI, Anda semua dapat merujuk pada videonya di Youtube.


                Sebagai ringkasan, saat parade tersebut dipamerkan alutsista-alutsista terbaru yang menakutkan dan kontroversial—KARENA ADA ORANG BODOH DI NEGERI INI TAPI JADI PEJABAT, BAHKAN PEMIMPIN YANG BILANG MAIN BATTLE TANK BISA AMBLES DI ASPALsemacam Leopard, MLRS ASTROS II MK6, Multi-Role Light Frigate Bung Tomo Class, dan tentunya yang bikin saya jatuh cinta: Flanker Family dari jenis SU-27 SK dan SU-30 MK dengan berbagai variannya. Namun yang menjadi primadonanya, bagi saya adalah aksi Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) saat memperagakan beladiri individu  Tim Aerobatik Jupiter yang demikian anggun dan cantik. Anda bisa membaca kekuatan yang dipamerkan secara lebih lengkap di situs resmi TNI atau situs yang memang mengkhususkan diri dalam membahas kekuatan TNI yang misterius itu. #Ini serius, bahkan di situs deagel.com dikatakan sukhoi TNI AU ada 26 ekor, berbeda dengan versi resmi yang ‘hanya’ 16 ekor hingga bisa bikin si upil (singabohong) dan sonotan negeri para buangan (Asutralia) adem panas. Akhirnya, saya hanya bisa berucap:




Kartika Eka Paksi
"Burung Perkasa Dengan Satu Cita-Cita Mulia"

Swa Bhuwana Paksa
"Sayap Pelindung Tanah Airku"

Jalesveva Jayamahe
"Di Laut Kita Jaya"

Dirgahayu TNI!

Lalu Ada Yang Bertanya…

                Lalu, di tengah euphoria itu, malam harinya sahabat sekaligus guru menulis saya bertanya (via line, kami ‘LDR’ :v ),

“Her, aku tiba-tiba kepikiran. Kalau misalnya kita beli alat-alat militer dari negara tertentu. Dan nanti ternyata kita perang sama negara itu, kita gak kalah dalam hal alatnya? Kan dia yang memproduksi, dia tau busuk-busuknya produk itu dong :|

Lha terus kok indonesia gak ada inisiatif buat bikin atau gimana gitu, bangga-banggain beli A atau B tapi kan tetep ada risikonya ._.”




                Hmm, suatu pertanyaan yang menarik bukan? Dan saya pun jadi kepikiran untuk menuliskan jawab saya yang panjang x lebar x tinggi (emang rumus volume balok -_-) itu di blog ini.


Pendapat Saya Akan Pertanyaan Pertama


                “Her, aku tiba-tiba kepikiran. Kalau misalnya kita beli alat-alat militer dari negara tertentu. Dan nanti ternyata kita perang sama negara itu, kita gak kalah dalam hal alatnya? Kan dia yang memproduksi, dia tau busuk-busuknya produk itu dong :|”

                Yap, memang itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi. Tak perlu lah sampai perang dengan negara pembuat, cukup ada sedikit tingkah Indonesia yang menurut negara penjual sok kuasa macam AS(U) bikin sakit mata semisal pelanggaran HAM(burger), maka tinggal terapkan kata sanksi dan embargo. Seperti pada tahun 1999 kita pernah mengalami omong kosong itu, embargo militer akibat (katanya) melanggar HAM(daging babi) di Timor Timur—eh, denger2 Timtim mau gabung lagi ya selepas lihat parade militer kemarin? Ogah, negeri busuk gitu menghabiskan dana saja. Biar negara kunyil itu mati aja dah.

                Dan dijamin, dalam waktu tak sampai enam bulan peralatan tempur yang masa pakai suku cadangnya pendek macam pesawat tempur itu akan mulai grounded satu-per satu. Ya, itulah dilemma sebagai pembeli dan negara bebas aktif: Tak punya tempat mengadu huhuhu.

                Atau tak perlu perang dengan negara penjual. Cukup misalnya jika perang terjadi (semoga saja tidak) dengan negara tetangga yang merupakan sekutu dekat penjual, kita pun akan jadi bulan-bulanan. Spesifikasi alutsista akan mudah dibocorkan pada lawan. Meski TNI tentu tidak demikian bodohnya sehingga telah melakukan modifikasi di sana-sini, namun kemungkinan itu tidak akan hilang. Bahkan santer terdengar bahwa barang yang beli dari Blok Barat selalu mengalami downgrade spek demi membuat ayem para sekutu macam si upil dan sonotan. Yah, apa boleh buat. Inilah warisan Orde Baru, senjata rongsokan dari Blok Barat.

                Kabar baiknya, kini TNI mulai menganekaragamkan sumber persenjataannya. Ada keseimbangan sumber dari Blok Barat dan Blok Timur. Dan memang selama ini Blok Timur dikenal tidak suka ikut campur urusan orang, Anda beli dan bayar, urusan selesai. Namun kelemahan Blok Timur dibandingkan Blok Barat katanya ada pada masalah ongkos operasional dan perawatan yang mahal. Hal ini karena Blok Timur menganut madzhab yang penting strong. Sebagai contoh, biaya operasional Sukhoi itu lebih dari IDR 400 juta/jam. Sedangkan F-16 cukup IDR170 juta/jam.

                Dan lagi, keanekaagaman jenis bisa saja suatu saat menjadi sebuah logistic nightmare bagi Dephan. Tapi, saya pikir mereka di TNI itu pinter-pinter, tidak seperti yang ada di dalam gedung tempurung kura-kura hijau itu. Yang kata Slank,”…Mau tahu gak mafia di Senayan. Kerjaannya tukang buat peraturan. Bikin UUD…. Ujung-ujungnya Duit!” (Lihat lagu Slank yang berjudul “Gosip Jalanan”) Jadi pasti TNI sudah paham resiko tersebut.

                Jadi jawabannya, “Ya, itu hal yang buruk jika terjadi masalah dengan negara pembuat.”

Pendapat Saya Akan Pertanyaan Kedua

                Lha terus kok indonesia gak ada inisiatif buat bikin atau gimana gitu, bangga-banggain beli A atau B tapi kan tetep ada risikonya ._.”

Tanggapan Pertama

                Nah, di sini miris hati saya. Sudah sedemikian jauhkah generasi kita akan informasi yang bermanfaat? Jika sahabat saya yang demikian aware dengan isu-isu social saja sampai bertanya demikian, saya tak tahu mereka yang kerjaannya nonton sinetron “Ganteng-Ganteng Belalang” itu sejauh mana pengetahuannya akan keberjalanan negeri ini. Apa sekedar gossip artis A hamil tanpa suami? Atau penyanyi ini manggung lalu kebelet boker di panggung? Man!

                Ke mana informasi berkualitas macam pembuatan dan Transfer of Technology (ToT) Rantis Komodo, Panser Anoa, Medium Tank SBS, LST (Landing Ship Tank) 117 meter, LHD 125 meter, KCR (Kapal Cepat Rudal) 40 dan 60 meter, PKR (Perusak Kawal Rudal) Sigma Class 105 meter, IFX (Indonesian Fighter Experiment), R-Han, UAV Wulung, Kapal Selam Changbogo dan sebagainya? Baca artikel MX-Magazine ini deh.

                Apa media sudah cukup puas dengan acara adu bakat nyanyi, nari, dan anak kecil berceramah? Mau lawan gempuran bomber dengan lagu, ”Jangan sakiti ku lagi…. Uuuuuu”

                Ke mana informasi prestasi-prestasi pemuda bangsa yang berjibaku di ajang olimpiade dan kontes robot? Ke mana informasi tentang SDA kita yang dilelang murah di pasar internasional? Ke mana kabar tentang anggota Hewan eh Dewan yang bermoral suram? Apa anak muda mau di-nina bobokan dengan lagu Koes Plus bahwa,” Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”? Padahal menurut Abdur SUCI 4, di Nusa Tenggara sana yang ada adalah,”Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tawuran!”

Tanggapan Kedua

                Kenapa kita bangga karena bisa beli ini itu? Pertama, itu tandanya kita punya duit. Jadi kita itu sebenarnya suatu bangsa yang kaya yang jadi rebutan anak bangsanya sendiri yang jadi budak kapitalis. Kedua, karena tidak semua negara mau menjual senjata sembarangan. Contohnya, helicopter Apache asal amerika itu, tidak bisa asal beli. Harus ada persetujuan dari kongres sana. Artinya, Dephan dan Deplu kita keren.

                Kemudian ketiga, karena kita memang belum mampu buat. Lho, kok belum mampu? Lalu itu sarjana kita yang hebat-hebat ke mana? Ke luar negeri jawab saya. Kenapa? Karena di sini gak dihargain. Lalu nasionalismenya ke mana. Omong kosong dengan nasionalisme, mereka itu butuh makan!

                Ya, kebanyakan orang hebat kita bekerja di luar. Karena di sini dana riset sangat kecil, jauh daripada dana APBN yang dipakai untuk menggaji pegawai negara. Lalu mungkin ada yang tanya lagi,”Lah, itu duit buat beli senjata kenapa tidak dipakai buat riset aja? Udah tahu dananya cekak.”

                Saya jawab,”Gundulmu! Kalau kita enggak beli senjata, terus sampai itu hasil riset jadi TNI mau dikasih ‘mainan’ apa? Bambu runcing? Senapan serbu? Kamu rela kalau bapakmu atau kakakmu yang jadi TNI, lalu (seandainya terjadi konflik) disuruh maju lawan PT-91 Malaysia atau  M-1 Abrams Australia dengan bambu runcing aja? Atau berusaha menembak jatuh F-18 Hornet dengan ketapel? Itu bukan berani, itu bodoh kawan. Jadi gini lho kawan, kita ini perlu beli senjata dari luar itu selama gak bisa dari dalam negeri. Kita perlu stop gap sampai semua siap. Contohnya, pembelian pesawat tempur kelas medium itu perlu buat ngisi kekosongan sampai IFX siap masuk lini produksi, gitu…”

“Eh, bukannya gampang ya bikin senjata? Tinggal beli, terus dibongkar, terus dijiplak. Selesai.”

“Kamu udah pernah ambil kuliah proses manufaktur?”

“Belum”

“Kalau tentang perancangan?”

“Belum juga”

“Lah, kamu jurusan apa sih?”

“Jurusan apa ya, aduh, bingung aku hehe.”

“-______________-“

                Ya, banyak yang berpikir bahwa teknologi itu bisa asal jiplak. Tapi kenyataannya tidak seindah itu. Contoh paling gampangnya, ada yang dikenal dengan toleransi. Ini berkaitan dengan kondisi operasi dan proses manufakturnya.

Contoh, saat membuat sudu turbin gas, tentu ada gambar tekniknya. Di gambar tersebut akan disertakan toleransi. Kenapa? Pertama, sulit untuk membuat sesuatu pas sesuai gambar. Di gambar dituliskan 235.75 mm. Paham tidak jika saat memotong itu akan sulit mencapainya? Apalagi jika ditulisnya 235.7500 mm. Wah, nangis ini yang bikin. Makanya diberi toleransi, misal 235.75 + 0.05 mm. Nah, siapa yang memutuskan? Desainer setelah berkonsultasi dengan insinyur proses produksi!

Lalu saat kita beli, kita ukur bendanya. Siapa yang menjamin jika hasil pengukuran (yang tentunya ada errornya, ambillah kuliah metrology industry dan pengukuran teknik) itu merupakan ukuran dasarnya? Berapa toleransinya?

Selain itu toleransi juga berkaitan dengan kondisi operasi. Saat beroperasi, sudu tersebut akan mengalami kenaikan temperature sehingga memuai. Jika tidak ada clearance yang tepat, sudu akan pecah. Sudah, gitu saja. Jadi, buat nyontek pun ternyata susah kan? Beda ya waktu di SMA? Untungnya sejak di ITB saat ujian saya sudah tidak pernanh nyontek lagi. Ancamannya DO bro hehe. Dan itulah kenapa barang KW selalu dibawah kualitas barang aslinya.

Untunglah, untuk saat ini setiap pembelian alutsista dari luar Undang-Undang memerintahkan untuk selalu ada ToT. Tapi ToT juga tidak menjamin semua jadi mudah. Saat Kerja Praktek di PT Pindad (Persero) saya bertanya pada Pembimbing begini,”Eh Pak, bukannya sudah ada ToT IFV Marder antara Pindad dengan Rheinmetal ya? Sudah dikasih blueprint gitu.”

“Memangnya kalau sudah ada gambar masalahnya selesai?”

                Nah kan, ternyata gambar sudah ada pun urusan belum selesai. Bagaimana materialnya, bagaimana lini produksinya, bagaimana MODAL DAN PENDANAANNYA, dan bagaimana-bagaimana yang lainnya. Jadi, kebayang kan sulitnya mendesain sesuatu?

                Jadi kesimpulannya, yuk belajar dan berusaha lebih keras demi kemakmuran negeri ini. Negeri ya, catat, negeri. Bukan negara.




0 komentar:

Posting Komentar