Jumat, 10 Oktober 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,
 Lalu Kenapa Harus Sekarang?

                Jawabnya simple sebenarnya. Karena kita tak tahu kapan akan mati. Sudah, sesimpel itu.

                Ah, baiklah. Akan saya bahas sedikit lebih panjang jika demikian.

Pertama

                Pertama, karena terkadang ada beberapa hobi yang akan lebih mudah untuk terealisasi ketika Anda belum berkeluarga. Saya ada beberapa contoh kasus. Sepupu saya ada yang memiliki hobi berburu. Jadi saat malam di akhir pekan, setelah seharian bekerja layaknya kuda di bidang pemasaran, yang bersangkutan langsung mencangklong senapan anginnya dan dengan ditemani sebungkus rokok, senter, kupluk, dan segerombolan kawan-kawannya dia menembus hutan di pinggiran kota. Sekedar menembak satu dua tupai, namun lebih sering pulang dengan sekedar tawa puas. Sayangnya, di antara kawan-kawannya, dia salah satu dari sedikit orang yang sudah tidak jomblo. Sehingga, seringkali rasa puas dan senang saat pulang segera luruh ketika melihat wajah cemberut istrinya. Ya, istrinya tak suka dia berburu. (Man, padahal berburu burung dan tupai. Bukan berburu istri kedua hahaha)

                Ada lagi sepupu saya yang secara finansial okelah. Demi keinginan memiliki motor sport yang sejak dulu diimpikannya, dia pun membeli Honda CBR 250 cc (Mas, aku pengeeeeen TT). Namun dulu belum kesampaian, karena memang belum ada dananya. Sudah, bahagia kan? Tentu saja. Tapi itu tak berlangsung lama.

                Sepeda motor sport tentunya bagi seorang laki-laki tidak mesti selalu dikendarai. Cukup lah menghiasi garasi, untuk sesekali dipanasi dengan jalan-jalan keliling kota. Kalau ke kantor dia lebih memilih naik mobil atau sepeda motor matic. Setiap akhir pekan dielus-elus. Sudah, gitu aja. Lalu apa salahnya?

                Salah, karena menurut istrinya sepeda motor tersebut memenuhi garasi. Jadilah perdebatan. Untunglah sepupu saya ini sangat dewasa, dan akhirnya dengan berat hati dijual-lah sepeda motornya. *Kok ora mbok kirimke ning Bandung Mas, aku siap nampung :v

                Terakhir, adalah contoh terdekat: Bapak saya. Pernah saat saya kelas 6 SD, ada kejadian lucu di rumah. Kegemaran beliau akan badminton dan memancing, suatu saat pernah memancing konflik. Dan Bapak saya cukup cerdas melihat kritikan pedas ibu saya: cukup dengan memboikot masakannya selama 2 hari, maka Ibu saya pun minta maaf dengan sepenuh hati dengan kata-kata yang menggetarkan hati pula. Akhirnya, Ibu saya menyadari kesalahannya yang mengkritik suami dengan cara yang buruk dan Bapak saya dengan senang hati menuruti permintaan Ibu saya. Intinya memang di komunikasi. Saya belajar banyak dari mereka, bahwa terkadang diam memang ampuh untuk membuat kedua pihak sadar akan posisinya. Dan sekarang, Ibu saya yang selalu sudah menyiapkan kaos kaki, baju ganti, dan minum buat Bapak bahkan sebelum Bapak sampai di rumah. Dan Bapak lebih menjarangkan serta memendekkan durasi main badmintonnya.

                Dari situ saya belajar satu hal penting:
Akan ada saat di mana hobi tak bisa dilakukan sesuai keinginan hati. Bukan karena larangan syar’I, namun sekedar pandangan cemberut istri.

Sehingga harapan saya, ketika nantinya telah saatnya untuk—ehem, berkeluarga—saya telah meraih sebagian besar impian-impian ‘egois’ saya. Karena kata kaprodi saya, ah, baca saja di sini. Di paragraf-paragraf yang bawah ya hehe.             



Kedua
               
Ingat lagi pertanyaannya,”Kenapa enggak nanti saja?” Ya, kenapa tidak menunggu nanti setelah kerja mapan? Selain jika sudah bekerja akan sulit untuk mencari waktu luang, maka sangat besar kemungkinannya Anda telah terpisah dengan kawan-kawan Anda yang kini terpencar di berbagai perusahaan. Namun alasan paling besarnya adalah tentang “gregetnya”. Sebab sesuatu yang dicapai setelah Anda berjuang habis-habisan tentunya akan lebih ngena di hati kan?

Misalnya, jika saya naik ke—ehem, Rinjani atau Kerinci—dengan ransel deuter setelah bekerja (asumsikan saya ada waktu) maka tentunya akan kalah greget dibandingkan jika itu bisa saya capai pada masa mahasiswa. Karena sekarang saya harus menggosek recehan (meminjam kata-katanya Mas Agus Mulyadi) dari setiap kesempatan yang ada. Entah itu mendongeng fisika dan matematika maupun sekedar mengerjakan obyekan-obyekan yang ada. Selain itu tentu penghematan pada bagian-bagian yang tidak fungsional dari hidup. Dan memang itulah yang saya lakukan baik pada urusan hobi beladiri saya, jalan-jalan, maupun yang lainnya. Yang penting prinsip saya: Tidak Merepotkan Orang Tua Bahkan Sejak Fase Persiapan.
               
Karena katanya:

“Laki-laki namun tak mau
 berusaha lebih demi keberlangsungan hobi?
Laki-laki macam apa itu!”
-Mantan Kahim 2010-

Tapi,…
Tapi, segala hal yang berlebihan tentulah tidak ada yang baik. Bahkan meski itu dalam urusan ibadah karena demikian takutnya pada Tuhan, sehingga lahirlah kaum sesat yang bernama khawarij. Yang sedang-sedang saja. Seluruh antusiasme pada hobi hendaklah memperhatikan hal-hal berikut:

1.       Tidak Melanggar Syari’at

Maksudnya, setiap hobi yang kita tekuni tidak boleh melanggar hak-hak syari’at baik dalam waktu pelaksanaan maupun jenisnya—atau malah keduanya. Dalam hal pelaksanaan, misalnya jika Anda seorang penggemar game on-line. Maka tidak boleh dengan dalih ingin laki banget karena berdedikasi tinggi sehingga melupakan waktu shalat. Atau latihan beladiri hingga mengabaikan waktu shalat juga. Sedangkan dari segi jenis, maka jangan sampai punya hobi yang suram seperti misalnya bermesraan dengan lawan jenis non-mahram (pacaran) yang belum halal. Karena hobi ini tidak keren di mata penduduk langit. Apalagi kalau hobinya menghamilkan (bukan sekedar menghamili) anak gadis orang.

Bahkan, jika bisa hendaklah hobi tersebut selaras dengan agama. Sehingga amalan atas hobi tersebut tak hanya bernilai mubah, namun bisa saja sunnah. Seperti misal hobi beladiri dan naik gunung, akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk latihan mempersiapkan fisik (I’dad) bukan? Karena muslim yang kuat lebih Disukai Allah. Bukannya cuma sebagai modus cari jodoh saja hehe.

2.       Tidak Merepotkan Orang Lain Khususnya Orang Tua

Setelah kita tak boleh “merepotkan” syari’at, maka yang berikutnya adalah tak boleh merepotkan orang tua. Setiap persiapan, baik itu biaya, perlengkapan, maupun perencanaan dan pelaksanaan atas suatu hobi “haram” hukumnya jika sampai membuat repot orang tua. Karena itu, tidak laki.

Misalnya anda sangat suka dengan otomotif, lalu merengek-rengek biaya modifikasi pada ibu. Man, apa itu! Kalau memang niat ya hendaknya Anda kumpulkan uang baik dari tabungan uang saku atau kerja paruh waktu. Karena seperti saya bilang sebelumnya,” Tak ada yang lebih memuaskan selain pencapaian setelah berjuang.”
Saya pun sekarang berusaha mencukupi kebutuhan “primer” yang sebetulnya tersier ini dengan biaya yang sedapat mungkin bukan dari orang tua. Karena rasanya malu saja jika sudah segede ini masih merengek sama orang tua. Tapi kalau orang tua memberi, itu kasus lain lho hehehe.

3.       Tidak Mengganggu Kewajiban Yang Asasi

Nah, ini. Menurut KBBI, hobi adalah ‘kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama’. Terlihat kan, hobi itu sekedar kegiatan yang istimewa untuk memenuhi kebutuhan kita akan rasa puas dan bangga. Bukan sebagai kegiatan utama.
Sehingga menurut saya akan buruk sekali jika hobi tersebut mengganggu urusan-urusan yang menjadi kewajiban asasi Anda seperti ibadah, berbakti pada orang tua, belajar, dan lainnya. Karena pada dasarnya setiap dari kita tentu memiliki kewajiban asasi. Jadi buruk sekali mereka yang demi hobi meninggalkan kewajibannya. Contoh riil-nya mungkin jika Anda gamer atau pendaki sampai harus bolos kuliah demi hal itu.

Memang hobi itu bagi lelaki harus diperjuangkan, namun lelaki itu lebih mengedepankan logika daripada perasaan. Jika hanya menuruti kesenangan tanpa batasan, apa bedanya Anda dengan mereka yang hanya memperturutkan emosi—yang Anda bilang itu tipikal gender sebelah?
4.       Jika Mulai Tidak Menyenangkan

Menurut Kamus Oxford, “Hobby is an activity done regularly in one’s leisure time for pleasure”. Jadi, jika hobi terlihat mengendalikan Anda maka itu berarti saatnya untuk meninjau ulang kegiatan. Maksudnya, Anda sebenarnya sudah tidak enjoy lagi melakukannya. Dan Anda pun tak bisa menemukan alasan untuk bisa kembali enjoy dengannya. Anda sekedar melakukan hobi tersebut karena rutinitas. Atau karena ada cewek yang se-hobi. Karena hobi itu pada dasarnya adalah membebaskan, bukan membelenggu.

Maka hendaknya Anda sesekali memeriksa hati sendiri, apakah hobi ini memberikan kepuasan atau malah tekanan?



Yap, itulah beberapa pemikiran saya akibat pertanyaan dari beberapa orang mengenai hobi saya. Mungkin Anda setuju, maka baguslah. Ternyata saya tidak seaneh itu. Dan jika Anda tidak setuju, tak apa. Perbedaan pendapat bukan di perkara syar’I itu keren kok :)

Baca Part 1 di sini

Beberapa sumber pemikiran:
1. www.artofmanliness.com/2010/01/06/45-manly-hobbies/
2. http://www.artofmanliness.com/2014/06/09/semper-virilis-a-roadmap-to-manhood-in-the-21st-century/
3. http://www.hipwee.com/hiburan/stop-menyeragamkan-anak-umur-20-an-ini-bedanya-hidupmu-di-awal-dan-akhir-20-an/

1 komentar:

  1. Apakah anda sering main judi togel sgp, hk, malaysia, sidney, sekarang ada solusi yg tepat dan akurat, hubungi guru togel mbah suro 082354640471 terima kasih

    BalasHapus