Jumat, 03 Oktober 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


Prolog


              


                
Beberapa hari yang lalu ketika naik gunung bersama Anak Rimba (baca ceritanya di sini), yang bersangkutan melontarkan sebuah frasa yang sangat bijak, “Sekarang makin banyak orang-orang yang sekedar ‘Penikmat Alam’, bukan ‘Pecinta Alam’!” Celetukan tersebut berkenaan dengan vandalism mereka yang sedang dimabuk bensin eh c*nta sehingga merasa harus mengukir namanya di atas bebatuan. Padahal dengan begitu, secara tak langsung mereka sedang menabung doa agar hubungannya tak langgeng dari para Pecinta Alam sejati dan alam itu sendiri—juga saya. *evil smile :v

Motivasi Naik Gunung

               
Sebelumnya mari kita membahas bermacam jenis motivasi orang yang naik gunung. Hari-hari ini naik gunung seolah menjadi tren di kalangan anak muda. Katanya biar gaul gitu. Apalagi setelah media memprovokasi dengan lahirnya sebuah film yang menceritakan serunya perjalanan mengejar awan di Puncak Mahameru. Sehingga—meminjam kata-kata Anak Rimba dan Si Madun—lahirlah mereka yang kemudian disebut Penikmat Alam dan Pendaki Karbitan. Ya, karena mereka berpikir bahwa naik gunung sekedar suatu perjalanan adu keren dengan obsesi dokumentasi semata. Untuk kemudian dibagikan di jejaring sosial. (Oke, instropeksi diri)


                Dalam film tersebut digambarkan bahwa naik gunung itu lebih menyerupai tamasya santai, bukan sebuah perjalanan ‘suci’ dalam mengenali diri. Terlihat sangat mudah sekali menaklukkan jalanan terjal nan mendaki dengan dandanan serta pakaian yang lebih pas buat datang ke resepsi nikahan mantan.  

                Selain itu ada pula yang memiliki motivasi kurang baik untuk naik gunung, yaitu melakukan maksiat di tempat yang istimewa. Saya beberapa kali menjumpai dan mendengar kisah-kisah di mana sepasang muda-mudi melakukan hal yang tak seeloknya dilakukan menurut ajaran agama saya dan norma adat bangsa timur. Percayalah kawan, jika hanya ingin melakukan maksiat tak usahlah mempersulit diri dengan alasan bahwa maksiat akan terasa lebih asyik. Soalnya saya khawatir alam berkonspirasi ketika melihat ada manusia yang melakukan hal suram tersebut sehingga kemungkinan untuk MATI membesar. Dan percayalah juga kawan, mati dalam melakukan maksiat itu sangat tidak asyik. Katanya sih begitu, dan saya percaya.

Sampah di Gunung

                Sekarang mari kita kembali kepada pembahasan awal kita sebelumnya, tentang mereka yang di sebut Anak Rimba dengan Penikmat Alam dan Pendaki Karbitan. Mereka adalah orang-orang yang hanya melihat alam sebagai sesuatu yang indah. Sudah, sampai di sana saja. Sehingga mereka seolah lelaki hidung belang yang hanya akan memperkosa keanggunan alam. Pemerkosan secara halus dengan cara membiarkan para pemerkosa kasar melakukan perkosaannya. Dan pemerkosaan kasar dengan tidak menjaga kelestariannya.

                Mungkin ini terasa bullshit. Terdengar bahwa saya sok doang dan hanya ungkapan emosi akibat mendengar dan membaca cerita orang-orang. Namun sayangnya, saya mengalami ini semua. Yang paling nyata adalah dan menusuk hati adalah sewaktu pendakian Gunung Ciremai kemarin. Yang pertama adalah banyaknya botol berisi urin (ya, urin, air kencing!) yang bertebaran di sepanjang jalan, apalagi ketika mendekati Pos 6. Apalagi di Pos 6 sendiri, botol-botol itu semakin mudah ditemui. Saya tak tahu apa solusi terbaik akan hal ini. Tetapi yang saya pahami, jika Anda ingin kencing silahkan minggir dari jalan dan arahkan air sampah Anda yang penuh ammonia itu ke pohon sebagai pupuk. Ini adalah yang diajarkan kepada saya bahwa kita tak boleh kencing di sumber air, di tempat berteduh, di pinggir jalan, dan di dalam tenda. Dan saya percaya hal ini lebih baik daripada Anda meninggalkan botol berisi extra joss abal-abal itu di sekitar tempat mendirikan tenda. (nanti kalau nemu dokumentasinya saya upload deh)

Lihat sampahnya, jangan yang lagi duduk!
                Karena pertama, itu tak sedap dipadang mata (silahkan kalo sedap, simpan botol-botol itu di kamarmu!). Dan kedua, botol plastic bekas air mineral itu tentu sangat merusak lingkungan. Memang sih akan lebih baik jika botol-botol itu nantinya Anda bawa turun kembali—dan simpanlah di kamarmu!

                Selain itu, kemarin saya juga melihat hal yang memiriskan hati. Awalnya, rombongan kami adalah satu-satunya yang hadir di Pos 6. Namun menjelang isya’ hadirlah satu rombongan besar sekitar 20 orang dan mereka mendirikian tenda di sekitar kami. Hingga saat ini tak ada masalah. Masalah muncul ketika ternyata mereka (yang malamnya juga pinjam kompor ke kami) pulang dengan meninggalkan satu trash bag penuh sampah di sela-sela rumpun edelweiss. Bener-bener sampah emang itu orang-orang. Kami pun terkaget-kaget ketika menyadari hal tersebut. Andai kata masih ada orangnya, tentu Bang Ojan tak akan ragu untuk menyuruh mereka membawanya.

Mendaki gunung bukan cuma soal naik dan turun, tapi naik gunung adalah soal bagaimana kita bersikap terhadap alam.
Jika kalian cuma ingin eksis, ikut trend atau sekedar coba-coba lebih baik jangan sekali-kali menginjakkan kaki di gunung. Gunung bukan tempatnya sampah dan orang-orang sampah.

baca yang satunya lagi nih

Jadi pendaki yang bijak

                Saya di sini tak sedang ingin menggurui, namun sekedar berbagi isi hati. Saya ini masih newbie, tak ada apa-apanya dibandingkan kawan-kawan saya yang sudah menyaksikan indahnya Segara Anak di Rinjani atau mencumbui pagi di Puncak Kerinci. Saya bahkan belum tuntas meninggalkan jejak kaki di antara gunung Pulau Jawa. Sepuluh gunung pun belum genap.

                Tetapi yang saya syukuri, bukan film atau sekadar ajakan teman untuk ngeksis yang menjadikan saya naik gunung untuk pertama kalinya. Jika Anda tahu, pengalaman naik pertama saya adalah sebuah gunung tak terkenal yang tidak begitu tinggi namun jarang didatangi. Sehingga sebagai konsekuensi, kehilangan jalur adalah sesuatu yang harus dialami. Bahkan saking newbie-nya, urusan menata isi ransel pun saya sangat bodoh, hingga terasa menyekik punggung. Untunglah, waktu itu saya mendompleng rombongan orang-orang kuat nan baik hati. Sehingga, cukup berani saya berkata, “Saya bukan korban tren!” :)

                Sepengalaman saya naik gunung, saya selalu berusaha mengais pengetahuan dan kebijaksanaan (selain dari alam) dari para sesepuh yang sudah lebih ahli dalam urusan ini. Ada beberapa hal yang selalu mereka perhatikan:        

1.       Don’t take anything but picture, don’t kill anything but time, don’t leave anything but footprint
Diterjemahin cuy :)


Ini merupakan kalimat sakti yang harus ada dalam hati setiap orang yang mengaku ingin menjadi Pecinta Alam, bukan sekedar Penikmat Alam. Sehingga, meskipun agama dan pemahaman saya membuat diri ini tak terlalu memercayai mitos yang ada, saya berharap bahwa mitos-mitos tersebut benar adanya untuk beberapa kasus. Misalnya, jika ada yang membuang sampah sembarangan secara sengaja akan dihantui sampah itu setiap malam dan harus mengambilnya lagi jika ingin terbebas.             



Bahkan saya curiga orang-orang terdahulu itu sudah tahu tabiat kita yang suka ‘merusak’ alam
sehingga hadirlah mitos-mitos tersebut.  Karena tidak bisa diberi tahu secara logis pentingnya menjaga alam, maka diberikan ancaman yang membuat bulu kudu merinding.             

NB: beberapa tulisan yang ditorehkan saat pendakian pernah saya share di sini. Namun, harap di catat bahwa kebanggaan dan ‘dukungan’ saya atas tulisan tersebut karena dituliskan di atas tanah sehingga tidak permanen. “Biarkan air hujan menghapus segala di antara kita…” #jareneeeee lho 
Di tanah kaaaan
  

2.       Preparation
Alam bukanlah sekolah formal, yang mana jika Anda melakukan kesalahan dan gagal dalam ujian bisa mengulang tahun depan. Atau malah semester depan. Atau malah cukup ikut ujian perbaikan minggu depan. Bukan, bukan itu. Alam adalah tempat di mana kesalahan harus diminimalisir.


3.       Team work        

Pernah mendengar bahwa jika ingin mengetahui sifat seseorang yang aslinya maka kita harus mengajaknya bersafar? Ya, itu benar sekali. Sehingga, mau tidak mau ujian dan latihan kekompakan akan berlipat di sini. Karena segala sifat aslinya yang jelek akan keluar. Padahal, seringkali kawan seperjalanan inilah yang akan menjadi perantara Tuhan dalam membimbing dan membantu kita jika ada apa-apa.        

4.       Respect

Hormatilah segala sesuatu sesuai kadar dan tempatnya. Hormatilah kawan seperjalanan Anda dengan senantiasa menawarkan bantuan dan berusaha tidak merepotkannya. Hormatilah Amir perjalanan Anda dengan menghargai keputusan-keputusannya serta tidak membuatnya pusing dengan masalah yang sebenarnya Anda ciptakan sendiri. Dan tentu hormatilah alam sebagaimana adanya. Tak perlu menyembah-nyembah atau memberikan sesajen, karena pohon tidak bisa makan ayam bakar. Cukup dengan senantiasa menjaga kebersihan dan tidak memotong ranting pohon tanpa tujuan yang jelas. Matikan api jika hendak pergi, dan hal-hal yang semacamnya.

5.        Praying

Meskipun sudah berusaha maksimal, belum tentu Alam akan seperti yang kita perkirakan. Dan setelah melakukan persiapan dan kehati-hatian, yang dapat Anda lakukan hanyalah berdoa. Biarkan Alam memberikan kejutannya jika Allah memang Menghendaki demikian.


Pelajaran Dari Naik Gunung

                Yang berikut ini sekedar curhatan saya, jadi jika Anda malas silahkan jika ingin berhenti membaca. :)

                Jika ada yang bertanya, “Emang enak ya naik gunung? Kok kayaknya suka banget?”

                Maka saya akan menjawab, “Enggak!”

                Bayangkan, ketika Anda bisa enak-enakkan tidur di kosan, atau hang out bersama kawan ke mall, untuk apa bertaruh nyawa (ini beneran lho) serta berlelah-lelah hanya untuk melihat puncak? Sungguh, jika Anda naik gunung hanya bermotivasi untuk melihat indahnya puncak, maka Anda akan merasakan beratnya turun gunung.

                Bagi saya sendiri, naik gunung adalah suatu perjalanan ‘suci’ untuk mengenali diri. Untuk mengukur batas kemampuan fisik saya. Bersyukur atas kesempurnaan jantung, paru-paru, mata, tangan, kaki (dan badan atletis :p) serta anggota badan lainnya sehingga dapat menikmati kuasa Tuhan ini. Mengenali jiwa saya, tentang seberapa tebal iman saya, sekuat apa semangat saya, sepeduli apa saya pada sesama, sesabar apa hati saya, dan seberapa bersyukur saya atas perjalanan ini. selain itu, setiap pendakian (juga perjalanan lain) akan memberikan pelajaran bagi saya tentang bermacam karakter manusia, budaya, dan alam itu sendiri. Sebuah pelajaran penting bahwa jika kau (merasa) telah mencapai puncak, maka tak ada jalan lain kecuali turun. Sehingga membuat saya selalu berhati-hati ketika berlebihan dalam berpuas diri.

                Ketika duduk termangu di ujung tebing, saya sedang melawan ketakutan saya akan ketinggian. Ketika duduk tenang di ujung tebing, saya sedang meresapi sejauh apa saya telah melangkahkan diri. Dan ketika menatap matahari terbit di ujung tebing pula, saya sedang mengisi ulang harapan juga semangat yang mungkin luntur akibat terus diperas keramaian.

                Selain itu, saya memang punya masalah dengan keramaian dan tempat yang sempit serta tertutup. Sehingga jika Anda mengajak saya untuk dugem atau main billyard, besar kemungkinan akan saya tolak. Namun jika Anda mengajak saya untuk jalan kaki dari Bandung ke Pantai Sawarna, ada kemungkinan saya iyakan.

                Yah, itulah sedikit unek-unek saya atas kelakuan mereka—yang meminjam kata-kata Anak Rimba dan Si Madun— para Penikmat Alam dan Pendaki (Super) Karbitan.         

               

0 komentar:

Posting Komentar