Beberapa saat yang lalu saya
ditanya begini,”Ngapain sih sampai segitunya cuma mau ke ******i? (Menyebut
nama salah satu gunung di Indonesia, nama gunung saya samarkan aja deh biar ceritanya
nanti jadi kejutan hehe) Toh nanti kalo sudah kerja juga puncaknya enggak
pindah kan?” Ya, beliau yang bertanya ini sedang mengkritisi keputusan saya
yang “katanya” berlebihan dalam berikhtiar untuk mencapai sesuatu yang bernama
SEKEDAR hobi ini—atau lebih tepatnya hobi baru saya ini. Bahwa saya dikatakan sedang
tak logis, kenapa untuk urusan tak penting seperti ini saya harus berjuang
mati-matian (kata beliau sih, saya santai aja padahal) dari urusan finansial,
fisik, taktik, dan perencanaan. Apa tidak ada yang lebih penting?
Baik, untuk pertanyaan terakhir
saya bisa jawab langsung,”Yang lebih penting banyak kok, tapi ini layak
diperjuangkan.”
Kemudian, pernah suatu kali dulu
saat SMA saya berangkat sekolah dengan kaki terpincang-pincang akibat habis
fight 2 hari sebelumnya. Lalu ada seorang teman sekelas—cewek lho, cihuy haha—yang
berkata,”Kamu kok suka banget sih menyakiti diri sendiri. Kamu aneh deh.” #Man! Dikatain aneh lah sama cewek u,u Padahal
kalian seringkali yang menyakiti diri dengan susah move on :p
Ya tentu saja saya berusaha
menjelaskan bahwa ini yang namanya dedikasi. Maka kami berdebat. Maka tidak
didapatkan titik temu. Maka saya kesal. Sehingga saya pun kesal *apasih
Padahal, saat itu seharusnya
saya cukup tersenyum saja. Karena urusan begini sulit ketemu memang, apalagi
jika Anda sedang berurusan dengan gender sebelah yang kebetulan tidak se-hobi. Nanti akan saya beberkan fakta-faktanya
kenapa saya berkata demikian.
Laki-laki dan Hobi
Memang benar hobi bukanlah
monopoli salah satu gender. Hobi bukanlah “roti bersayap anti-bocor” yang memang
hanya menjadi kebutuhan salah satu gender saja—kecuali Anda sedang di gunung
dan butuh alat kompres, serta sayangnya kawan saya pernah mengalami ini hahaha.
Namun karena saya laki-laki, maka di sini saya akan membahas permasalahan sepele
ini dari perspektif gender saya, atau lebih tepatnya perspektif saya.
Bagi
saya, hobi (tertentu untuk saat ini) adalah salah satu kebutuhan ‘primer’ di
mana saya merasa benar-benar menjadi ‘lakik bener’. Kenapa? Pertama, karena
dulu saat TPB ada kawan saya—cewek juga—yang berkata,”Kamu pasti lagi ngomongin
hobi kamu ya?” Tentu saya bingung, kenapa dia bisa tahu? Sebab saat itu saya sebenarnya
sedang membahas tentang kekuatan angkatan udara di Asia Tenggara berkaitan
kasus sengketa politik Indonesia-Malaysia. Suatu perbincangan biasa menurut
saya, sekedar menanggapi celetukan kawan. Dia pun menjawab,” Karena cowok itu
keliatan banget waktu membicarakan hobi mereka.” Dan ya, akhirnya saya mendapat
satu kesimpulan yang mengatakan, secara tidak langsung seorang laki-laki akan
menjadi terkesan makin laki ketika berdedikasi saat membicarakan, mendalami,
dan melakukan apa yang menjadi hobinya. Dan ya (lagi), saya termasuk military stuff fans boy bahkan semenjak
sudah mampu memegang pensil di usia 3 tahun. Sepertinya kamar saya yang
bertempelkan poster “The NAZI German Infantry Weapon” dan “Panser Anoa 6x6
Logistic Type” serta ceceran website militer di history laptop bisa memberikan assessment
bahwa teman saya tersebut benar.
Kedua, hobi adalah tempat di
mana saya bisa melepaskan segala stress yang ada. Kelebihan energy ketika
sedang suntuk tentu akan lebih bermanfaat jika disalurkan untuk memukuli sandsack atau shadow fighting daripada buat tawuran, kan? Dan pelampiasan pada
yang positif mungkin saja akan menghasilkan suatu karya—atau prestasi. Sehingga
harapan saya, setelah selesai dengannya saya akan menjadi pribadi yang lebih
tenang dan puas untuk selanjutnya siap melanjutkan kewajiban-kewajiban saya
sebagai muslim dan mukmin.
Ketiga,
hobi-hobi saya tersebut membuat saya memiliki tujuan. Membuat saya memiliki
sesuatu yang terasa layak untuk diperjuangkan. Dan ini membuat saya, LEBIH
HIDUP. Seperti keinginan mencumbui keindahan tanah-tanah tinggi di atas awan
yang berada di Nusantara. Atau keinginan untuk menunggangi Ducati Monster. Semuanya
memberikan saya focus untuk selalu meningkatkan kompetensi saya. Sehingga pikiran
tidak melayang-layang untuk mengangankan hal yang sia-sia dan gak keren semacam
virus merah jambu yang mblenyek-mblenyek itu.
Keempat,
yang tidak kalah penting hobi adalah tempat di mana saya bisa bertemu dengan
teman dari berbagai macam kalangan. Dan tentulah ini adalah suatu berkah,
karena selain Silaturahim itu
dianjurkan agama, akan ada efek duniawi berupa bertambahnya jaringan. Ketika
saya sedang berlatih, bisa saja saya sebenarnya sedang sparring dengan seorang dosen atau eksekutif di sebuah perusahaan
EPC. Ketika saya naik gunung, mungkin saja ternyata orang yang menawarkan rokok
di sebelah saya ini adalah mahasiswa universitas lain dengan pola pikiran yang
berbeda. Atau ketika datang ke pameran military
stuff maka saya akan bertemu dengan seorang yang nantinya menjadi bos saya.
Dan siapa tahu pula, kegemaran saya akan buku akan mempertemukan saya dengan
dia. Iya, dia. Dia yang itu tuh :v
Akhirnya bagi seorang laki-laki, menurut saya
hobi adalah bagian (yang harusnya) tak terpisahkan dari hidupnya seperti
layaknya sayur asem dengan rasa asem itu sendiri. Jadi, jika Anda
mempertanyakan kenapa laki-laki kok sepertinya tak bertambah dewasa (dengan
definisi dewasa yang Anda pahami tentunya) karena masih saja berkutat pada
mainan atau kesenangan yang kekanakkan. Ya saya hanya bisa menjawab dengan
gambar berikut :)
Oh
ya lupa, saya mau bicara bahwa kedewasaan itu berkaitan dengan melupakan
impian-impian atau kesenangan kita saat kecil itu menurut saya SANGAT SALAH.
KARENA SELURUH HAL MENAKJUBKAN HARI INI, KHUSUSNYA DI BIDANG TEKNOLOGI, DIMULAI
DARI IMPIAN-IMPIAN TAK MASUK AKAL PADA AWALNYA. Jadi jika dewasa artinya
melupakan mimpi, maka saksikanlah: Saya tak mau menjadi dewasa dengan definisi
itu.
Beberapa sumber pemikiran:
1. www.artofmanliness.com/2010/01/06/45-manly-hobbies/
2. http://www.artofmanliness.com/2014/06/09/semper-virilis-a-roadmap-to-manhood-in-the-21st-century/
3. http://www.hipwee.com/hiburan/stop-menyeragamkan-anak-umur-20-an-ini-bedanya-hidupmu-di-awal-dan-akhir-20-an/
0 komentar:
Posting Komentar