Jumat, 10 Oktober 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


                Beberapa saat yang lalu saya ditanya begini,”Ngapain sih sampai segitunya cuma mau ke ******i? (Menyebut nama salah satu gunung di Indonesia, nama gunung saya samarkan aja deh biar ceritanya nanti jadi kejutan hehe) Toh nanti kalo sudah kerja juga puncaknya enggak pindah kan?” Ya, beliau yang bertanya ini sedang mengkritisi keputusan saya yang “katanya” berlebihan dalam berikhtiar untuk mencapai sesuatu yang bernama SEKEDAR hobi ini—atau lebih tepatnya hobi baru saya ini. Bahwa saya dikatakan sedang tak logis, kenapa untuk urusan tak penting seperti ini saya harus berjuang mati-matian (kata beliau sih, saya santai aja padahal) dari urusan finansial, fisik, taktik, dan perencanaan. Apa tidak ada yang lebih penting?

                Baik, untuk pertanyaan terakhir saya bisa jawab langsung,”Yang lebih penting banyak kok, tapi ini layak diperjuangkan.”

                Kemudian, pernah suatu kali dulu saat SMA saya berangkat sekolah dengan kaki terpincang-pincang akibat habis fight 2 hari sebelumnya. Lalu ada seorang teman sekelas—cewek lho, cihuy haha—yang berkata,”Kamu kok suka banget sih menyakiti diri sendiri. Kamu aneh deh.”  #Man! Dikatain aneh lah sama cewek u,u Padahal kalian seringkali yang menyakiti diri dengan susah move on :p      

                Ya tentu saja saya berusaha menjelaskan bahwa ini yang namanya dedikasi. Maka kami berdebat. Maka tidak didapatkan titik temu. Maka saya kesal. Sehingga saya pun kesal *apasih

                Padahal, saat itu seharusnya saya cukup tersenyum saja. Karena urusan begini sulit ketemu memang, apalagi jika Anda sedang berurusan dengan gender sebelah yang kebetulan tidak se-hobi. Nanti akan saya beberkan fakta-faktanya kenapa saya berkata demikian.

Laki-laki dan Hobi

                Memang benar hobi bukanlah monopoli salah satu gender. Hobi bukanlah “roti bersayap anti-bocor” yang memang hanya menjadi kebutuhan salah satu gender saja—kecuali Anda sedang di gunung dan butuh alat kompres, serta sayangnya kawan saya pernah mengalami ini hahaha. Namun karena saya laki-laki, maka di sini saya akan membahas permasalahan sepele ini dari perspektif gender saya, atau lebih tepatnya perspektif saya.

                Bagi saya, hobi (tertentu untuk saat ini) adalah salah satu kebutuhan ‘primer’ di mana saya merasa benar-benar menjadi ‘lakik bener’. Kenapa? Pertama, karena dulu saat TPB ada kawan saya—cewek juga—yang berkata,”Kamu pasti lagi ngomongin hobi kamu ya?” Tentu saya bingung, kenapa dia bisa tahu? Sebab saat itu saya sebenarnya sedang membahas tentang kekuatan angkatan udara di Asia Tenggara berkaitan kasus sengketa politik Indonesia-Malaysia. Suatu perbincangan biasa menurut saya, sekedar menanggapi celetukan kawan. Dia pun menjawab,” Karena cowok itu keliatan banget waktu membicarakan hobi mereka.” Dan ya, akhirnya saya mendapat satu kesimpulan yang mengatakan, secara tidak langsung seorang laki-laki akan menjadi terkesan makin laki ketika berdedikasi saat membicarakan, mendalami, dan melakukan apa yang menjadi hobinya. Dan ya (lagi), saya termasuk military stuff fans boy bahkan semenjak sudah mampu memegang pensil di usia 3 tahun. Sepertinya kamar saya yang bertempelkan poster “The NAZI German Infantry Weapon” dan “Panser Anoa 6x6 Logistic Type” serta ceceran website militer di history laptop bisa memberikan assessment bahwa teman saya tersebut benar.  

                Kedua, hobi adalah tempat di mana saya bisa melepaskan segala stress yang ada. Kelebihan energy ketika sedang suntuk tentu akan lebih bermanfaat jika disalurkan untuk memukuli sandsack atau shadow fighting daripada buat tawuran, kan? Dan pelampiasan pada yang positif mungkin saja akan menghasilkan suatu karya—atau prestasi. Sehingga harapan saya, setelah selesai dengannya saya akan menjadi pribadi yang lebih tenang dan puas untuk selanjutnya siap melanjutkan kewajiban-kewajiban saya sebagai muslim dan mukmin.

Ketiga, hobi-hobi saya tersebut membuat saya memiliki tujuan. Membuat saya memiliki sesuatu yang terasa layak untuk diperjuangkan. Dan ini membuat saya, LEBIH HIDUP. Seperti keinginan mencumbui keindahan tanah-tanah tinggi di atas awan yang berada di Nusantara. Atau keinginan untuk menunggangi Ducati Monster. Semuanya memberikan saya focus untuk selalu meningkatkan kompetensi saya. Sehingga pikiran tidak melayang-layang untuk mengangankan hal yang sia-sia dan gak keren semacam virus merah jambu yang mblenyek-mblenyek itu.

Keempat, yang tidak kalah penting hobi adalah tempat di mana saya bisa bertemu dengan teman dari berbagai macam kalangan. Dan tentulah ini adalah suatu berkah, karena selain Silaturahim itu dianjurkan agama, akan ada efek duniawi berupa bertambahnya jaringan. Ketika saya sedang berlatih, bisa saja saya sebenarnya sedang sparring dengan seorang dosen atau eksekutif di sebuah perusahaan EPC. Ketika saya naik gunung, mungkin saja ternyata orang yang menawarkan rokok di sebelah saya ini adalah mahasiswa universitas lain dengan pola pikiran yang berbeda. Atau ketika datang ke pameran military stuff maka saya akan bertemu dengan seorang yang nantinya menjadi bos saya. Dan siapa tahu pula, kegemaran saya akan buku akan mempertemukan saya dengan dia. Iya, dia. Dia yang itu tuh :v

 Akhirnya bagi seorang laki-laki, menurut saya hobi adalah bagian (yang harusnya) tak terpisahkan dari hidupnya seperti layaknya sayur asem dengan rasa asem itu sendiri. Jadi, jika Anda mempertanyakan kenapa laki-laki kok sepertinya tak bertambah dewasa (dengan definisi dewasa yang Anda pahami tentunya) karena masih saja berkutat pada mainan atau kesenangan yang kekanakkan. Ya saya hanya bisa menjawab dengan gambar berikut :)



Oh ya lupa, saya mau bicara bahwa kedewasaan itu berkaitan dengan melupakan impian-impian atau kesenangan kita saat kecil itu menurut saya SANGAT SALAH. KARENA SELURUH HAL MENAKJUBKAN HARI INI, KHUSUSNYA DI BIDANG TEKNOLOGI, DIMULAI DARI IMPIAN-IMPIAN TAK MASUK AKAL PADA AWALNYA. Jadi jika dewasa artinya melupakan mimpi, maka saksikanlah: Saya tak mau menjadi dewasa dengan definisi itu.

Baca Part 2 di sini


Beberapa sumber pemikiran:
1. www.artofmanliness.com/2010/01/06/45-manly-hobbies/
2. http://www.artofmanliness.com/2014/06/09/semper-virilis-a-roadmap-to-manhood-in-the-21st-century/
3. http://www.hipwee.com/hiburan/stop-menyeragamkan-anak-umur-20-an-ini-bedanya-hidupmu-di-awal-dan-akhir-20-an/

0 komentar:

Posting Komentar