Selasa, 11 September 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,
                Blog kok sepi banget ya? Hehehe. Tolong dimaklumin ya kawan, soalnya mau gimana lagi. Berangkat pagi pulang malam jeh. Belum lagi  belajar buat kuliah-belajar sesuatu yang sungguh baru bagiku. Nah, karena sekarang lagi ada waktu, aku mau berbagi nih. Sekedar cerita aja, tapi semoga ada ibrah yang bisa diambil kawan.

                Jum’at kemarin(7-9-12) aku lagi jum’atan di Masjid Salman ITB. Waktu itu masjid udah penuh dah(yaiyalah, orang datangnya jam 11.40-jangan ditiru!), jadi gak bisa dapat tempat yang bagaikan berkurban ayam, apalagi unta. Dan dimulailah khutbah jum’at. Khotibnya kalau tidak salah dosen dengan gelar professor dari FTI ITB. Namanya kurang tahu saya, maaf ya :(

                Beliau memulai khutbah seperti biasa, lanjut mengingatkan untuk bertakwa. Sampai di sini, aku belum merasa ada yang wah. Yaaaah, standar lah. Bahkan aku sempat berpikir untuk tidur saja. Hingga beliau masuk kepada pembahasan mengenai kedzoliman.


                Beliau mulai dengan hadits Rasul mengenai pertanyaannya pada para shahabat,”Tahukah kalian siapa sebenarnya orang yang bangkrut?” Para shahabat menjawab,”Orang yang bangkrut menurut pandangan kami adalah adalah seorang  yang tidak memiliki dirham dan harta benda. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berkata,” Orangyang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat, dan pahala hajinya, tapi ketika hidup di dunia dia mencaci orang lain, menuduh tanpa buki terhadap orang lan, memakan harta orang lain(secaa bathil), meumpahkan darah orang lain(secara bathil), dan dia memukul orang lain. Maka sebagai tebusannya ats kedzalimannya tersebut diberikanlah di antara kebaikannya kepada orang yang didzaliminya. Semuanya dibayarkan sapai tidak ada yang tersisa lagi dari pahala amal shalihnya. Tapi ternyata orang yang datang mengadu masih ada juga. Maka Allah memutuskan agar kejahatan orang yang mengadu dipindahkan kepada orang itu dan (pada akhirnya) dia dilemparkan ke neraka.”(Hadits Riwayat Muslim no. 6522, At-Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya)

                Sekarang, bisa dibayangkan bukan betapa kedzaliman itu sungguh merusak? Merusak seluruh amalan kita. Lalu kata khotib, bagaimana jika yang didzalimi itu 240 juta rakyat Indonesia???? Mau seshalih apa amalan orang yang dzalim itu agar selamat dari neraka?

                Kedzaliman itu bisa dalam bentuk korupsi, jual beli hukum, penindasan, kecurangan, atau sekedar memakai jalan seenaknya dengan menutup akses jalan rakyat yang lebih membutuhkan. Memangnya, cukup dengan minta maaf pada Allah segala masalah akan clear padahal masih nampak  bekas-bekas luka dan kerusakan karena kedzalimannya di negeri ini? Korupsi triliunan rupiah, dipenjara 5 tahun, didenda ratusan juta, terus (katanya) taubat bahkan dengan haji. Setelah itu membangun masjid, sumbang sana-sini, lalu menikmati hasil korupsinya tanpa merasa berdosa. Wow, enak sekali….

                Sampai pada pembahasan ini aku mulai tertarik, namun belum semenohok(kata-kata apa ini-,-)paparan beliau selanjutnya. Karena aku belum merasa pernah mendzalimi semua warga negeri ini hehehe. Paparan beliau selanjutnya berlanjut masih tentang kedzaliman. Kata beliau kurang lebih begini,”Karena kebanyakan jama’ah yang da di sini adalah anak-anak saya, mahasiswa saya, yang insyaAllah masih punya orang tua, saya hanya ingin berpesan agar kalian jangan pernah berbuat dzalim pada orang tua kalian.” Nah, mulai deh dari sini sampai akhir aku perhatikan 100% kata-kata beliau.

                Dalam Al-Qur’an Allah Berfirman:
                “Dan Tuhanmu telah Memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keuanya perkataan “uff”(ah-indonesia) dan janganlh engkau membentak kduanya, dan ucapkanlah pada keduanya perkataan yang baik.” (QS Al Isra’ 17:23)

                Sekarang, mari kita hisab diri kita masing-masing. Apakah kita pernah melakukannya? Atau malah mungkin lebih parah? Padahal, jika kawan-kawan tahu bagaimana orang tua kita begitu menyayangi dan membanggakan kita. Semenjak kecil mereka telah membayangkan bahwa kita akan menjadi orang yang lebih bahagia dari mereka, dan tidak sekedar membayangkan, mereka melakukan segala hal yang mungkin agar kita benar-benar bahagia. Bahkan terkadang ada yang terpaksa melanggar syari’at. MasyaAllah, demikian besar pengorbanan mereka. Malam-malam mereka habis untuk menidurkan kita yang menangis sepanjang malam, sementara esok hari mereka harus bahu-membahu untuk mencukupi kebutuhan kita.

                Dan sekarang, setelah kita MERASA sudah dewasa, kita bertingkah kurang ajar mereka. Dimintai tolong mengambilkan sesuatu saja kita tidak mau, atau mau dengan tidak ikhlas dan muka cemberut, atau lebih parah lagi meminta upah. Padahal, pernahkah sekali saja mereka meminta upah atas pemeliharaan kita sampai kita dewasa? Kasus lain, pada malam minggu mungkin ada yang pernah dimintai ibunya untuk menemani di rumah karena ayah sedang ke luar kota, namun karena ada acara dengan teman(parah lagi pacar zzzz) kita tinggalkan ibu kita sendirian.

                Bahkan terkadang kita malu untuk jalan-jalan bersama ibu kita. Saat kita SD pun mungkin sudah ada yang minta diantar jauh dari gerbang sekolah agar tidak di ejek anak mami. Hei kawan! Tidakkah kita pikirkan bagaimana perasaan mereka ketika kita yang mereka banggakan merasa malu atas mereka? Pernahkah kita membayangkan betapa bergetar karena  sedih dada mereka?   Subhanallah, tidakkah mereka ingat bahwa ridho Allah bergantung pada ridho orang tua?

                Ada lagi yang karena alasan-alasan sampah macam organisasi-lah, kesibukan-lah, pacar-lah, sampai menentang kehendak orang tua dengan cara yang tidak ma’ruf. Bersikeras bahwa orang tua hanyalah makhluk jadul yang tidak tahu apa-apa. Padahal, di dunia ini tak ada seseorang yang lebih mengenal orang orang lain seperti orang tua mengenali anaknya. Jika seseorang sudah tak dipercaya orang tuanya jangan harap dunia akan percaya padanya.

                Ingatlah kisah seorang pemuda yang yatim pada usia 7 tahun. Kemudian, pada usia 9 tahun ibunya jatuh sakit yang mengharuskan seluruh hidupnya bergantung pada anaknya untuk mengurus. Mulai makan, memandikan, buang hajat dan sebagainya. Praktis, seluruh masa kecilnya habis di samping ibunya. Kemudian, saat mencapai usia menikah dia menunda pernikahannya. Akhirnya, sang ibu pun meninggal. Ketika itu, dia menghadap Rasul dan bertanya, apakah sudah lunas utang budi pada ibunya. Dan apa jawaban Rasul,”Tindakanmu memang mulia, namun belum sedikitpun membalas budi ibumu.”
                So, mari kita itighfar dan segera mohon maaf pada orang tua atas segala kesalahan-kesalahan kita. Mumpung kita masih sama-sama hidup agar tidak menyesal di kemudian hari, aamiin.
                 

0 komentar:

Posting Komentar