Blog
kok sepi banget ya? Hehehe. Tolong dimaklumin ya kawan, soalnya mau gimana
lagi. Berangkat pagi pulang malam jeh.
Belum lagi belajar buat kuliah-belajar sesuatu yang sungguh baru bagiku. Nah, karena
sekarang lagi ada waktu, aku mau berbagi nih. Sekedar cerita aja, tapi semoga
ada ibrah yang bisa diambil kawan.
Jum’at
kemarin(7-9-12) aku lagi jum’atan di Masjid Salman ITB. Waktu itu masjid udah
penuh dah(yaiyalah, orang datangnya jam 11.40-jangan ditiru!), jadi gak bisa
dapat tempat yang bagaikan berkurban ayam, apalagi unta. Dan dimulailah khutbah
jum’at. Khotibnya kalau tidak salah dosen dengan gelar professor dari FTI ITB.
Namanya kurang tahu saya, maaf ya :(
Beliau
memulai khutbah seperti biasa, lanjut mengingatkan untuk bertakwa. Sampai di
sini, aku belum merasa ada yang wah. Yaaaah, standar lah. Bahkan aku sempat
berpikir untuk tidur saja. Hingga beliau masuk kepada pembahasan mengenai
kedzoliman.
Beliau
mulai dengan hadits Rasul mengenai pertanyaannya pada para shahabat,”Tahukah kalian siapa sebenarnya orang yang
bangkrut?” Para shahabat menjawab,”Orang yang bangkrut menurut pandangan
kami adalah adalah seorang yang tidak
memiliki dirham dan harta benda. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berkata,”
Orangyang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat, dan pahala hajinya, tapi
ketika hidup di dunia dia mencaci orang lain, menuduh tanpa buki terhadap orang
lan, memakan harta orang lain(secaa bathil), meumpahkan darah orang lain(secara
bathil), dan dia memukul orang lain. Maka sebagai tebusannya ats kedzalimannya
tersebut diberikanlah di antara kebaikannya kepada orang yang didzaliminya.
Semuanya dibayarkan sapai tidak ada yang tersisa lagi dari pahala amal
shalihnya. Tapi ternyata orang yang datang mengadu masih ada juga. Maka Allah
memutuskan agar kejahatan orang yang mengadu dipindahkan kepada orang itu dan
(pada akhirnya) dia dilemparkan ke neraka.”(Hadits Riwayat Muslim no. 6522,
At-Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya)
Sekarang,
bisa dibayangkan bukan betapa kedzaliman itu sungguh merusak? Merusak seluruh
amalan kita. Lalu kata khotib, bagaimana jika yang didzalimi itu 240 juta
rakyat Indonesia???? Mau seshalih apa amalan orang yang dzalim itu agar selamat
dari neraka?
Kedzaliman
itu bisa dalam bentuk korupsi, jual beli hukum, penindasan, kecurangan, atau
sekedar memakai jalan seenaknya dengan menutup akses jalan rakyat yang lebih
membutuhkan. Memangnya, cukup dengan minta maaf pada Allah segala masalah
akan clear padahal masih nampak bekas-bekas luka dan kerusakan karena
kedzalimannya di negeri ini? Korupsi triliunan rupiah, dipenjara 5 tahun,
didenda ratusan juta, terus (katanya) taubat bahkan dengan haji. Setelah itu
membangun masjid, sumbang sana-sini, lalu menikmati hasil korupsinya tanpa
merasa berdosa. Wow, enak sekali….
Sampai
pada pembahasan ini aku mulai tertarik, namun belum semenohok(kata-kata apa
ini-,-)paparan beliau selanjutnya. Karena aku belum merasa pernah mendzalimi semua
warga negeri ini hehehe. Paparan beliau selanjutnya berlanjut masih tentang
kedzaliman. Kata beliau kurang lebih begini,”Karena kebanyakan jama’ah yang da
di sini adalah anak-anak saya, mahasiswa saya, yang insyaAllah masih punya
orang tua, saya hanya ingin berpesan agar kalian jangan pernah berbuat dzalim
pada orang tua kalian.” Nah, mulai deh dari sini sampai akhir aku perhatikan
100% kata-kata beliau.
Dalam
Al-Qur’an Allah Berfirman:
“Dan Tuhanmu telah Memerintahkan
agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu
bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keuanya perkataan “uff”(ah-indonesia) dan janganlh engkau membentak kduanya,
dan ucapkanlah pada keduanya perkataan yang baik.” (QS Al Isra’ 17:23)
Sekarang,
mari kita hisab diri kita masing-masing. Apakah kita pernah melakukannya? Atau
malah mungkin lebih parah? Padahal, jika kawan-kawan tahu bagaimana orang tua
kita begitu menyayangi dan membanggakan kita. Semenjak kecil mereka telah
membayangkan bahwa kita akan menjadi orang yang lebih bahagia dari mereka, dan
tidak sekedar membayangkan, mereka melakukan segala hal yang mungkin agar kita
benar-benar bahagia. Bahkan terkadang ada yang terpaksa melanggar syari’at.
MasyaAllah, demikian besar pengorbanan mereka. Malam-malam mereka habis untuk
menidurkan kita yang menangis sepanjang malam, sementara esok hari mereka harus
bahu-membahu untuk mencukupi kebutuhan kita.
Dan
sekarang, setelah kita MERASA sudah dewasa, kita bertingkah kurang ajar mereka.
Dimintai tolong mengambilkan sesuatu saja kita tidak mau, atau mau dengan tidak
ikhlas dan muka cemberut, atau lebih parah lagi meminta upah. Padahal,
pernahkah sekali saja mereka meminta upah atas pemeliharaan kita sampai kita
dewasa? Kasus lain, pada malam minggu mungkin ada yang pernah dimintai ibunya
untuk menemani di rumah karena ayah sedang ke luar kota, namun karena ada acara
dengan teman(parah lagi pacar zzzz) kita tinggalkan ibu kita sendirian.
Bahkan
terkadang kita malu untuk jalan-jalan bersama ibu kita. Saat kita SD pun
mungkin sudah ada yang minta diantar jauh dari gerbang sekolah agar tidak di
ejek anak mami. Hei kawan! Tidakkah kita pikirkan bagaimana perasaan mereka
ketika kita yang mereka banggakan merasa malu atas mereka? Pernahkah kita
membayangkan betapa bergetar karena
sedih dada mereka? Subhanallah,
tidakkah mereka ingat bahwa ridho Allah bergantung pada ridho orang tua?
Ada
lagi yang karena alasan-alasan sampah macam organisasi-lah, kesibukan-lah,
pacar-lah, sampai menentang kehendak orang tua dengan cara yang tidak ma’ruf.
Bersikeras bahwa orang tua hanyalah makhluk jadul yang tidak tahu apa-apa.
Padahal, di dunia ini tak ada seseorang yang lebih mengenal orang orang lain
seperti orang tua mengenali anaknya. Jika seseorang sudah tak dipercaya orang
tuanya jangan harap dunia akan percaya padanya.
Ingatlah
kisah seorang pemuda yang yatim pada usia 7 tahun. Kemudian, pada usia 9 tahun
ibunya jatuh sakit yang mengharuskan seluruh hidupnya bergantung pada anaknya
untuk mengurus. Mulai makan, memandikan, buang hajat dan sebagainya. Praktis,
seluruh masa kecilnya habis di samping ibunya. Kemudian, saat mencapai usia
menikah dia menunda pernikahannya. Akhirnya, sang ibu pun meninggal. Ketika
itu, dia menghadap Rasul dan bertanya, apakah sudah lunas utang budi pada
ibunya. Dan apa jawaban Rasul,”Tindakanmu memang mulia, namun belum sedikitpun
membalas budi ibumu.”
So,
mari kita itighfar dan segera mohon maaf pada orang tua atas segala kesalahan-kesalahan
kita. Mumpung kita masih sama-sama hidup agar tidak menyesal di kemudian hari,
aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar