Beberapa
hari yang lalu aku mengikuti halaqah bersama Kang Fadli, ketua MPI(Mahasiswa
Pecinta Islam) cabang Bandung. Nah, dari halaqah itu aku ingin menulisnya di
sini. Minimal sebagai catatan pribadiku, lebih-lebih kawan semua dapat
mengambil hikmahnya.
Namun,
tulisan ini tidak mutlak benar. Ada dua kemungkinan kesalahan yang bisa
terjadi. Pertama, aku salah dalam memahami
ketika menerima materi. Kedua, keterbatasan kami sebagai manusia. Sehingga
tulisan ini sangat menunggu koreksi dan kritik dari kawan semua, atau sekedar
menambahi dalil atas apa yang aku tuliskan.
Hmm,
langsung saja deh. Kemarin itu sebenarnya hanya pertemuan pertama setelah
sebulan tidak bertemu karena sebagian besar ikhwan pulang kampung saat lebaran.
Tetapi, tetap saja pertemuan itu penuh dengan tetesan hikmah yang seakan me-recharge lagi keimanan dan menambah
keilmuanku, insyaAllah.
Yang
kudapat kemarin itu diantaranya hukum menuntut ilmu. Karena menurut hadits
menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
طَلَبُ اْلعِلْمَ
فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Artinya :
Juga
baca ini:
“Dan janganlah engkau mengucapkan sesuatu
yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. (Karena) sesungguhnya pendengaran
dan penglihatan dan hati (akal pikiran) semuanya itu akan ditanya” (Al
Israa’ : 36). Dalam tafsirnya Imam Syaukani mengatakan “Sesungguhnya ayat-ayat
ini menunjukkan atas tidak bolehnya beramal dengan tanpa ilmu”. Dari sini dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Islam mewajibkan ilmu terlebih dahulu sebelum
berkata dan berbuat. Inilah pendidikan yang sangat tinggi dalam Islam yang
mendasari segala sesuatunya dengan ilmu.
Allah
Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan agar kita bertanya kepada ahli ilmu jika
kita tidak mengetahui, sebaimana firmanNya “Tanyalah
ahli ilmu jika memang kamu tidak tahu” (An Nahl 43 dan Al Anbiyaa’ 7). Al
Imam Ibnul Qoyyim di kitabnya miftahu daaris sa’aadah menafsirkan
ahludz dzikri dengan ahli ilmu. Dan dari ayat yang mulia ini Allah SWT
mewajibkan dua golongan manusia yaitu Ahli ilmu yang wajib bagi mereka
menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya serta orang-orang jahil (bodoh)
yang wajib bagi mereka bertanya kepada ahli ilmu bukan kepada orang-orang yang
jahil (bodoh) juga.
Sebagaimana
sabda Rasulullah “Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut
ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan
satu orang alimpun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu
orang alim pun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang
yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu
mereka akan ber-fatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.”
(HR Bukhari dalam al Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223).
Nah,
udah terang kan pentingnya menuntut ilmu? Sedangkan hukum menuntut ilmu itu
ternyata terbagi-bagi juga.
1. Fardhu
‘ain
Fardhu ‘ain
artinya adalah wajib bagi tiap-tiap muslim yang telah baligh. Imam Al-Ghazali
pun pernah berkata,”Saat seorang itu baligh, maka hal pertama yang wajib ia
ketahui adalah la ilaha illallah(kalimat
tauhid)”. Dan ini pun dibagi lagi menjadi ilmu umum dan ilmu khusus.
Ilmu umum artinya
adalah hal ini benar-benar untuk seluruh muslim yang telah baligh. Yang dimaksud
di sini adalah ilmu syari’ah. Misalkan dalam hal halal haram, sholat, puasa,
zakat dan lainnya. Intinya, semua kegiatan yang memang diwajibkan Allah per
individu berarti tiap orang harus mengerti ilmunya.
Sedangkan ilmu
khusus yang menjadi fardhu ‘ain adalah ilmu yang harus dimiliki setiap orang
yang memang akan terjun ke dalam hal tersebut. Contohnya, seorang yang akan
berdagang harus mengerti bagaimana berdagang sesuai syari’ah sehingga hartanya
tidak tercampur dengan yang syubhat apalagi
haram. Begitu pula seorang yang ingin jadi dokter harus belajar ilmu
kedokteran.
Ilmu khusus ini
agak dekat dengan ilmu yang “hanya” fardhu kifayah. Nanti kita akan lihat.
2. Fardhu
kifayah
Fardhu kifayah
artinya bukan “bila sudah ada satu muslim yang melakukannya, maka muslim yang
lain tidak perlu melakukannya”. Definisi itu kurang tepat, yang tepat adalah “suatu
kewajiban yang harus ditunaikan oleh sebagian muslim hingga telah cukup baik
kuantitas maupun kualitasnya”.
Dalam ilmu,
misalkan suatu negeri membutuhkan ahli kesehatan. Maka wajib bagi sebagian muslim
di negeri itu untuk belajar ilmu kedokteran sampai mencukupi. Selama belum
mencukupi, kewajiban ini belum tergugurkan.
Begitu pula dalam
jihad. Wajib bagi sebagian muslim untuk berjihad. Fardhu kifayah bagi jihad adalah
bagi mereka yang tidak diserang wilayahnya(sedangkan bagi yang di serang
hukumnya jadi fardhu ‘ain). Namun, selama kuantitas maupun kualitasnya belum
mencukupi kewajiban ini belum tergugurkan. Bahkan, boleh jadi akan bisa menjadi
wajib ‘ain. Untuk masalah ini perlu pembahasan di lain waktu.
3. Sunnah
Ilmu
yang termasuk ilmu sunnah adalah selain ilmu yang di atas dan bermanfaat. Ingat
ya, BERMANFAAT. Karena Rasul pun pernah berdoa,” Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 3843).Yang termasuk ilmu
jenis ini misalnya, seorang insinyur mesin yang belajar ilmu ekonomi untuk
kemashlahatan umat. Dia tidak punya kewajiban belajar ilmu ekonomi, namun jika
dengan belajar ilmu ini ia dapat membuat sesuatu yang bisa meringnkan
penderitaan umat tentu akan sangat baik.
Demikian
sebagian yang aku dapat dari pertemuan kemarin. Untuk ilmu yang mubah, makruh,
dan haram aku belum sempat bertanya. Mungkin besok akan kutanyakan.
“Manusia
sangat berhajat pada ilmu lebih daripada hajat mereka pada makanan dan minuman,
karena manusia berhajat pada makanan dan minuman sehari sekali atau dua kali
akan tetapi manusia berhajat pada ilmu sebanyak bilangan nafasnya”.(Imam Ahmad
bin Hambal)
NB: Oh ya, ini nih situs yang sangat aku sarankan. http://bekalakhirat.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar