Kota
ini adalah sebuah kota yang kecil yang masih kental dengan suaana gotong
royong. Penduduknya saling mengenal satu sama lain, minimal dalam lingkup satu
RW.
Di
sana tinggal dua gadis kecil yang saling bersahabat meski nasib mereka menurut
orang-orang sangat bertolak belakang. Yang pertama adalah Syifa, umurnya 8
tahun. Seperti namanya, dia bagaikan penyembuh hati bagi orang tuanya yang
telah merindukan kelahiran seorang anak sejak lama. Orang tua Syifa yang bernama
Pak Ahmad adalah seorang sangat berkecukupan di derah itu karena beliau adalah
seorang pemilik sebuah toko kelontong dengan 15 karyawan yang buka hampir 20
jam. Sedang ibunya merupakan seorang ibu rrumah tangga yang shalihah.
Gadis
kedua bernama Ifah. Nama lengkapnya pun cukup satu kata, Latifah. Usianya sekarang
lebih muda 6 bulan dari Syifa. Dia sudah tak memiliki ibu karena beliau
meninggal ketika melahirkan Ifah dan ayahnya yang bernama Pak Abdul “hanyalah”
seorang kuli panggul di pasar. Dan karena Ifah adalah anak pertama, praktis dia
menjadi anak tunggal pula. Berdua bersama ayahnya mereka tinggal dalam sebuah
rumah kecil di dekat masjid, sebuah tanah wakaf. Mereka dapat tinggal di situ
karena Pak Abdul adalah muadzin sekaligus pengurus masjid kampung tersebut.
Ifah
tumbuh menjadi anak yang lembut, seperti doa orang tuanya yang tersirat dalam
namanya. Meski hidupnya sangat berat dan keras karena sejak selesai sholat
shubuh ayahnya sudah harus pergi ke pasar. Beberapa pekerjaan rumah seperti
mencuci baju, menyapu, atau sekedar membuatkan teh hangat bagi ayahnya sudah biasa
dia lakukan. Namun biasanya untuk memasak masih dikerjakan oleh ayahnya. Atau jika tidak
ada makanan, terkadang ada tetangga yang memberi mereka sekedarnya.
Rumah
mereka tidak terlalu dekat sebenarnya. Tetapi karena mereka satu SD, juga satu
kelas maka jadilah dua gadis kecil berjilbab itu sahabat yang tak terpisahkan. Keduanya
pun sama-sama dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menjadikan islam sebagai
naungan hidupnya. Hanya nasiblah yang membedakan mereka-sebeda warna putih
jilbab mereka.
Mereka bersekolah di sebuah SD yang cukup lengkap fasilitasnya, dan anak-anak yang
kurang beruntung seperti Ifah bisa sekolah di sana karena sekarang sekolah gratis
dengan adanya dana BOS. Sekarang mereka sama-sama kelas 2A. Juga sama-sama
pandai. Saat kelas 1 semester pertama Syifa ranking kedua sedang Ifah ranking 9.
Namun di semester 2 karena sering belajar bersama, Syifa menjadi ranking 1
sedang Ifah ranking 3.
Sekolah mereka berdua tentunya memiliki kebiasaan seperti halnya sekolah lain. Setiap
hari Kamis SD mereka mengadakan acara makan bersama. Dan semua anak
membawa makanan dari rumah mereka kecuali satu anak. Ifah. Ketika ditanya oleh
teman-temannya dia hanya tersenyum. Bahkan ketika ditanya oleh gurunya. Hingga karena
sering ditanya dia menjadi agak risih juga dan spontan menjawab,”Sa..sa..saya
lagi puasa senin kamis, maaf.” Tentu mendengar jawabannya itu tak ada yang
menanyainya lagi. Setiap kali hari kamis siang, dia hanya duduk di samping
Syifa sambil melihat dengan takjub apa yang ada di kotak makan siangnya. Banyak
makanan yang terlihat unik, lucu, dan enak yang dia pun terkadang sering
mengulang-ulang namanya ketika diberi tahu namanya.
“Naget(nugget),
sos..sis, hihihihi,” begitu dia mengucap nama yang terdengar aneh di
telinganya.
Ifah hanya bisa membayangkan, suatu saat dia
bisa mencicipinya. Dan kesempatan itu cukup sulit karena pada hari selain Kamis
anak-anak pulang tengah hari sehingga tak ada yang membawa bekal. Hanya di hari
Kamis lah anak-anak makan bersama sebelum berdoa pulang.
Hingga
ada suatu hari demi mendengar ada anak yang sedang puasa saat hari Kamis kepala
sekolah memutuskan hari makan bersama dipindah ke hari Rabu. Tetapi, pada Rabu
berikutnya ternyata Ifah tak berangkat. Syifa tentu bertanya-tanya kenapa
sahabatnya tak berangkat. Sepulang sekolah ia pun ke rumah Ifah dengan di antar
Pak Ahmad. Sampai di rumah Ifah mereka mengucap salam dan disambut Ifah yang
sedang menyiapkan makan siang untuk ayahnya yang belum pulang. Memang, Pak
Abdul selalu menyempatkan pulang siang harinya untuk mengumandangkan adzan
dzuhur dan makan siang di rumah. Namun hari itu Pak Abdul harus membetulkan kran
air di masjid sehingga belum pulang meski sudah satu jam sejak sholat dzuhur
didirikan.
“Ifah,
kenapa kamu tak berangkat? Apa kamu sakit?” Tanya Pak Ahmad dengan lembut
setelah dipersilakan masuk.
Ifah
hanya menjawab,”Eh, enggak Paman.”
Melihat
bahwa Ifah tak nyaman dia tanya, Pak Ahmad berinisiatif meninggalkan Syifa dan
Ifah berdua, sedang dia ijin keluar. Mengecek motor katanya. Namun sebenarnya
dia berhenti di teras rumah.
“Kok
kamu tadi tidak berangkat kenapa Fah?” Tanya Syifa.
Lama
tak ada jawaban. Namun secara mengejutkan Ifah menjawab,”Aku malu Syifa, karena
aku tidak punya kotak makan. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa jika ditanya
Bu Guru. Dan jika jadwal makan bersama pada hari Kamis aku menjadi tertolong
karena aku dan ayahku memang puasa.”
“Kenapa
tidak minta dibelikan ayahmu?” Tanya Syifa polos.
“Tidak
apa Syif, nanti aku mau beli sendiri saja dengan tabunganku.”
Deg,
jantung Pak Ahmad terasa berhenti mendengar apa kata teman putrinya itu. Dan
dia juga tahu bahwa Ifah tak punya tabungan karena memang tak pernah diberi
uang saku. Ifah hanyalah tak tega jika harus meminta pada ayahnya. “Anak ini,
masih kecil namun dewasa sekali pemikirannya. Sungguh halus perasaannya,” pikir
Pak Ahmad. Langsung saja Pak Ahmad masuk dan mengajak pulang Syifa dengan
alasan ada urusan mendadak.
Malam
harinya, setelah sholat Isya’ sebuah benda yang dibungkus kertas kado diberikan
pada Syifa oleh ibunya.
“Syifa
anak Ibu, besok kamu berikan ini pada Ifah ya. Bilang saja ini hadiah dari Ibu,
oke?” Kata ibunya.
“Iya
Bu,”Jawab Syifa.
Esok
harinya, sepulang sekolah kado itu pun diberikan ada Ifah. Dengan rasa suka
cita Ifah menerimanya. Karena mereka berdua penasaran, kado itu pun dibuka saat
itu juga. Setelah tahu bahwa itu adalah kotak makan yang sangat bagus-sama
seperti milik Syifa-mereka pun saling berpelukan dan tertawa-tawa senang. Apalagi
di dalam kotak itu ada satu set alat tulis lengkap dengan buku tulisnya. Juga ada
buku kisah para Shahabat Rasul yang mengikuti Perang Badr. Tak henti-hentinya
Ifah mengucap terima kasih pada Syifa. Dan sampai di rumah syifa pun memeluk
kedua orang tuanya karena senang dapat membahagiakan sahabatnya.
Hari
Rabu berikutnya, Ifah berangkat dengan senyum lebar. Sekarang dia tak perlu
malu lagi karena tak bisa makan bersama. Dan saat makan bersama mereka sengaja
duduk sebelahan, menunjukkan kotak makan besar mereka berdua yang sama persis.
Namun
yang membuat miris adalah ketika dibuka, isinya sangatlah berbeda. Di kotak
Syifa ada nasi lengkap dengan dengan lauk ayam goreng, tempe goreng, lalapan,
buah apel merah, dan sekotak susu coklat. Sedang di kotak makan Ifah hanya ada
nasi putih yang itupun tak memenuhi bagian tempat nasinya dengan lauk sebuah
krupuk seharga gopekan yang sebenarnya itu adalah cemilan. Ditambah lagi dia
lupa bahwa makan bersama tentu harus membawa minum sendiri.
Melihat
itu Syifa berlari ke depan dan berkata pada gurunya,”Bu, apa ada pisau?” Tentu
gurunya terkejut,”Buat apa Syif?” Syifa langsung menuntun tangan gurunya ke
bangku mereka berdua dan menunjuk kotak makannya,”Saya ingin semua lauk dan
buah ini dibagi dua sama persis, bisa kan Bu?”
Dengan
hati bergetar karena haru gurunya membagi isi makan siang Syifa. Ifah dengan
mata berbinar mengucap terimakasih berkali-kali pada sahabatnya itu. Orang tua
murid yang lain pun menyaksikan pemandangan dua gadis berkeribadian langit itu.
Bahkan ada beberapa ibu-ibu yang menitikkan air mata. Dan semenjak saat itu
pula mereka tahu bahwa ada seorang anak yang demikian terjaga izzah-nya, bahkan untuk sekedar memiliki
kotak makan siang. Dan semenjak itu pula para orang tua murid bergantian
membawa pulang kotak makan untuk kemudian mengisinya sama dengan yang dibawa
anak mereka masing-masing saat hari makan siang minggu berikutnya.
***
Note: Yang ini full fiksi, jika ada hikmahnya mari kita ambil bersama-sama :)
0 komentar:
Posting Komentar