Jumat, 21 September 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under :
                Kota ini adalah sebuah kota yang kecil yang masih kental dengan suaana gotong royong. Penduduknya saling mengenal satu sama lain, minimal dalam lingkup satu RW.
               
                Di sana tinggal dua gadis kecil yang saling bersahabat meski nasib mereka menurut orang-orang sangat bertolak belakang. Yang pertama adalah Syifa, umurnya 8 tahun. Seperti namanya, dia bagaikan penyembuh hati bagi orang tuanya yang telah merindukan kelahiran seorang anak sejak lama. Orang tua Syifa yang bernama Pak Ahmad adalah seorang sangat berkecukupan di derah itu karena beliau adalah seorang pemilik sebuah toko kelontong dengan 15 karyawan yang buka hampir 20 jam. Sedang ibunya merupakan seorang ibu rrumah tangga yang shalihah.


                Gadis kedua bernama Ifah. Nama lengkapnya pun cukup satu kata, Latifah. Usianya sekarang lebih muda 6 bulan dari Syifa. Dia sudah tak memiliki ibu karena beliau meninggal ketika melahirkan Ifah dan ayahnya yang bernama Pak Abdul “hanyalah” seorang kuli panggul di pasar. Dan karena Ifah adalah anak pertama, praktis dia menjadi anak tunggal pula. Berdua bersama ayahnya mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil di dekat masjid, sebuah tanah wakaf. Mereka dapat tinggal di situ karena Pak Abdul adalah muadzin sekaligus pengurus masjid kampung tersebut.
                Ifah tumbuh menjadi anak yang lembut, seperti doa orang tuanya yang tersirat dalam namanya. Meski hidupnya sangat berat dan keras karena sejak selesai sholat shubuh ayahnya sudah harus pergi ke pasar. Beberapa pekerjaan rumah seperti mencuci baju, menyapu, atau sekedar membuatkan teh hangat bagi ayahnya sudah biasa dia lakukan. Namun biasanya untuk memasak masih dikerjakan oleh ayahnya. Atau jika tidak ada makanan, terkadang ada tetangga yang memberi mereka sekedarnya.
               
                Rumah mereka tidak terlalu dekat sebenarnya. Tetapi karena mereka satu SD, juga satu kelas maka jadilah dua gadis kecil berjilbab itu sahabat yang tak terpisahkan. Keduanya pun sama-sama dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menjadikan islam sebagai naungan hidupnya. Hanya nasiblah yang membedakan mereka-sebeda warna putih jilbab mereka.

                Mereka bersekolah di  sebuah SD yang cukup lengkap fasilitasnya, dan anak-anak yang kurang beruntung seperti Ifah bisa sekolah di sana karena sekarang sekolah gratis dengan adanya dana BOS. Sekarang mereka sama-sama kelas 2A. Juga sama-sama pandai. Saat kelas 1 semester pertama Syifa ranking kedua sedang Ifah ranking 9. Namun di semester 2 karena sering belajar bersama, Syifa menjadi ranking 1 sedang Ifah ranking 3.

                Sekolah mereka berdua tentunya memiliki kebiasaan seperti halnya sekolah lain.  Setiap hari Kamis SD mereka mengadakan acara makan bersama. Dan semua anak membawa makanan dari rumah mereka kecuali satu anak. Ifah. Ketika ditanya oleh teman-temannya dia hanya tersenyum. Bahkan ketika ditanya oleh gurunya. Hingga karena sering ditanya dia menjadi agak risih juga dan spontan menjawab,”Sa..sa..saya lagi puasa senin kamis, maaf.” Tentu mendengar jawabannya itu tak ada yang menanyainya lagi. Setiap kali hari kamis siang, dia hanya duduk di samping Syifa sambil melihat dengan takjub apa yang ada di kotak makan siangnya. Banyak makanan yang terlihat unik, lucu, dan enak yang dia pun terkadang sering mengulang-ulang namanya ketika diberi tahu namanya.

                “Naget(nugget), sos..sis, hihihihi,” begitu dia mengucap nama yang terdengar aneh di telinganya.

                 Ifah hanya bisa membayangkan, suatu saat dia bisa mencicipinya. Dan kesempatan itu cukup sulit karena pada hari selain Kamis anak-anak pulang tengah hari sehingga tak ada yang membawa bekal. Hanya di hari Kamis lah anak-anak makan bersama sebelum berdoa pulang.

                Hingga ada suatu hari demi mendengar ada anak yang sedang puasa saat hari Kamis kepala sekolah memutuskan hari makan bersama dipindah ke hari Rabu. Tetapi, pada Rabu berikutnya ternyata Ifah tak berangkat. Syifa tentu bertanya-tanya kenapa sahabatnya tak berangkat. Sepulang sekolah ia pun ke rumah Ifah dengan di antar Pak Ahmad. Sampai di rumah Ifah mereka mengucap salam dan disambut Ifah yang sedang menyiapkan makan siang untuk ayahnya yang belum pulang. Memang, Pak Abdul selalu menyempatkan pulang siang harinya untuk mengumandangkan adzan dzuhur dan makan siang di rumah. Namun hari itu Pak Abdul harus membetulkan kran air di masjid sehingga belum pulang meski sudah satu jam sejak sholat dzuhur didirikan.

                “Ifah, kenapa kamu tak berangkat? Apa kamu sakit?” Tanya Pak Ahmad dengan lembut setelah dipersilakan masuk.

                Ifah hanya menjawab,”Eh, enggak Paman.”

                Melihat bahwa Ifah tak nyaman dia tanya, Pak Ahmad berinisiatif meninggalkan Syifa dan Ifah berdua, sedang dia ijin keluar. Mengecek motor katanya. Namun sebenarnya dia berhenti di teras rumah.

                “Kok kamu tadi tidak berangkat kenapa Fah?” Tanya Syifa.

                Lama tak ada jawaban. Namun secara mengejutkan Ifah menjawab,”Aku malu Syifa, karena aku tidak punya kotak makan. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa jika ditanya Bu Guru. Dan jika jadwal makan bersama pada hari Kamis aku menjadi tertolong karena aku dan ayahku memang puasa.”

                “Kenapa tidak minta dibelikan ayahmu?” Tanya Syifa polos.

                “Tidak apa Syif, nanti aku mau beli sendiri saja dengan tabunganku.”

                Deg, jantung Pak Ahmad terasa berhenti mendengar apa kata teman putrinya itu. Dan dia juga tahu bahwa Ifah tak punya tabungan karena memang tak pernah diberi uang saku. Ifah hanyalah tak tega jika harus meminta pada ayahnya. “Anak ini, masih kecil namun dewasa sekali pemikirannya. Sungguh halus perasaannya,” pikir Pak Ahmad. Langsung saja Pak Ahmad masuk dan mengajak pulang Syifa dengan alasan ada urusan mendadak.

                Malam harinya, setelah sholat Isya’ sebuah benda yang dibungkus kertas kado diberikan pada Syifa oleh ibunya.

                “Syifa anak Ibu, besok kamu berikan ini pada Ifah ya. Bilang saja ini hadiah dari Ibu, oke?” Kata ibunya.
               
                “Iya Bu,”Jawab Syifa.

                Esok harinya, sepulang sekolah kado itu pun diberikan ada Ifah. Dengan rasa suka cita Ifah menerimanya. Karena mereka berdua penasaran, kado itu pun dibuka saat itu juga. Setelah tahu bahwa itu adalah kotak makan yang sangat bagus-sama seperti milik Syifa-mereka pun saling berpelukan dan tertawa-tawa senang. Apalagi di dalam kotak itu ada satu set alat tulis lengkap dengan buku tulisnya. Juga ada buku kisah para Shahabat Rasul yang mengikuti Perang Badr. Tak henti-hentinya Ifah mengucap terima kasih pada Syifa. Dan sampai di rumah syifa pun memeluk kedua orang tuanya karena senang dapat membahagiakan sahabatnya.

                  Hari Rabu berikutnya, Ifah berangkat dengan senyum lebar. Sekarang dia tak perlu malu lagi karena tak bisa makan bersama. Dan saat makan bersama mereka sengaja duduk sebelahan, menunjukkan kotak makan besar mereka berdua yang sama persis.

                Namun yang membuat miris adalah ketika dibuka, isinya sangatlah berbeda. Di kotak Syifa ada nasi lengkap dengan dengan lauk ayam goreng, tempe goreng, lalapan, buah apel merah, dan sekotak susu coklat. Sedang di kotak makan Ifah hanya ada nasi putih yang itupun tak memenuhi bagian tempat nasinya dengan lauk sebuah krupuk seharga gopekan yang sebenarnya itu adalah cemilan. Ditambah lagi dia lupa bahwa makan bersama tentu harus membawa minum sendiri.

                Melihat itu Syifa berlari ke depan dan berkata pada gurunya,”Bu, apa ada pisau?” Tentu gurunya terkejut,”Buat apa Syif?” Syifa langsung menuntun tangan gurunya ke bangku mereka berdua dan menunjuk kotak makannya,”Saya ingin semua lauk dan buah ini dibagi dua sama persis, bisa kan Bu?”  

                Dengan hati bergetar karena haru gurunya membagi isi makan siang Syifa. Ifah dengan mata berbinar mengucap terimakasih berkali-kali pada sahabatnya itu. Orang tua murid yang lain pun menyaksikan pemandangan dua gadis berkeribadian langit itu. Bahkan ada beberapa ibu-ibu yang menitikkan air mata. Dan semenjak saat itu pula mereka tahu bahwa ada seorang anak yang demikian terjaga izzah-nya, bahkan untuk sekedar memiliki kotak makan siang. Dan semenjak itu pula para orang tua murid bergantian membawa pulang kotak makan untuk kemudian mengisinya sama dengan yang dibawa anak mereka masing-masing saat hari makan siang minggu berikutnya.      

***


Note: Yang ini full fiksi, jika ada hikmahnya mari kita ambil bersama-sama :)
               

0 komentar:

Posting Komentar