Pada suatu
pagi, ada sebuah acara jalan sehat. Dan seperti biasa, suatu acara begini pasti
ada yang namanya door prize. Bahkan, mungkin bukan kesehatan yang ingin dicari,
tapi hadiahnya. Lalu ketika tiket door prize akan dibagikan (sesuai tabiat
orang kita) orang-orang mulai berebut. Melupakan budaya antri dan bergegas
dorong sana dorong sini. Begitu takut tak kebagian, dan akhirnya semua hanya
kebagian rasa sakit akibat dorong-dorongan itu. Katanya sih seru berebut
seperti itu.
Sekarang
mari kita tinjau di tempat yang lain, pada waktu yang berbeda pula. Sebuah masjid
dekat kosanku, pada saat paling ramai orang-orang mau sholat ke masjid(baca: sholat
jum’at). Sudah tidak seramai jalan sehat, waktu adzan sudah berkumandang orang mah santai-santai aja. Bahkan, beberapa
orang(terkadang termasuk aku -,-) baru berangkat setelah adzan dikumandangkan. Sudah
begitu, ketika sampai di masjid mayoritas lebih memilih duduk di belakang. Menutupi
jalan. Sungguh aneh, yang datang belakangan malah dapat tempat di depan.
Ternyata
keanehan tak berhenti di situ. Ketika iqomah dilaksanakan, berdiri pun ogah-ogahan. Lalu-hey!!
Terlihat barisan shaff di depan masih kosong satu. Tapi bukannya dulu-duluan mengisi,
orang-orang malah saling mempersilahkan orang di sebelahnya untuk maju.
Sekarang
mari kita bandingkan kedua kisah di atas. Yang pertama, orang-orang begitu
semangat untuk berebut, berlomba-lomba. Yang kedua, orang-orang justru saling
mempersilahkan. Padahal, yang pertama belum tentu jelas hasilnya sedangkan yang
kedua sudah jelas pahalanya.
“Allah, tidak ada Tuhan selain
Dia. Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan
terjadinya. Siapakah yang lebih benar
perkataannya dari Allah?” (an-Nisa’,
4 : 88 )
Contoh ironi yang lain adalah pada sebuah
kisah yang diceritakan mentorku. Ketika seorang anak akan berangkat sekolah
sementara hujan begitu deras, orang tua akan melakukan segalanya agar si anak
dapat sampai sekolah dengan selamat. Jaket tebal dan diantar dengan berpayung
sampai di gerbang sekolah. Bahkan, anak akan dibujuk hingga dipaksa jika ia tak
mau berangkat sekolah.
Namun,
ketika waktu maghrib tiba dan hujan tinggal rintik-rintik orang tua justru
jadi “penggoda” dengan bilang,”Sudahlah nak, sholat di rumh saja. Daripada kamu
kehujanan lalu besok sakit gak bisa masuk sekolah. PR-mu banyak kan nak? Sini
Bapak bantu ngerjain.” Duh, kalau begini apa bukan ironi namanya? Bagaimana seorang
anak bias menjadi seorang muslim yang bangga dengan islamnya jika dari kecil
tidak diajarkan semangat perjungan demi keislamannya? Hari ini orang islam
banyak tapi tidak terasa kehebatannya. Islam sedang terpuruk.
Dari
sahabat Tsauban radhiallahu’anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shalallahu’alaihi
wassalam,
"Hampir saja bangsa-bangsa berkumpul menyerang kalian sebagaimana mereka
berkumpul untuk menyantap makanan di nampan. Salah seorang sahabat bertanya,
“Apakah karena sedikitnya jumlah kami pada saat itu?” Beliau menjawab, “Bahkan
pada saat itu jumlah kalian banyak, tetapi kalian seperti buih, buih di atas
lautan. Sungguh Allah benar-benar akan mencabut rasa takut pada hati musuh
kalian dan sungguh Allah benar-benar akan menghujamkan pada hati kalian rasa
wahn.” Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Beliau
menjawab, “Cinta kepada dunia dan takut mati”.
(Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunannya pada bab Fi Tada’al Umam alal Islam juz XI halaman 371 hadis nomor 3745. Dalam Musnadnya, Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dalam bab Wa min Haditsi Tsauban radhiallahu’anhu juz 45 halaman 378 hadis nomor 21363. Hadits ini adalah hadis shahih, marfu dari Rasulullah saw.)
Itu
baru hal-hal kecil. Bagaimana dengan hal besar semacam da’wah wal
jihad??????!!!!! Adakah yang berlomba-lomba untuk melakukannya? Padahal, jika
kita mau membuka Al-Qur’an akan kita dapati ayat berikut:
"Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan" (Al
Qashash, 28 : 77)
Ayat di atas
tentu sudah familiar di telinga kita. Sebuah ayat yang begitu jelas dan gamblang,
mudah untuk dipahami namun sulit pada aplikasi. Dan inilah yang akan melahirkan
suatu ironi. Termasuk pada diri ini.
Betapa
sebenarnya kita telah terbalik dalam bersikap. Sebuah perjalanan panjang nan
abadi terbentang di depan mata-negeri akhirat-namun kita malah seadanya dalam
mempersiapkannya. Sedangkan dunia-sebuah
permainan yang menipu-justru kita mati-matian mencarinya. Bukan berarti aku
menganjurkan untuk hidup seperti rahib yang melupakan dunia. Bukan!
Yang
ingin aku sampaikan, terutama pada diri ini adalah untuk bersikap lebih adil. Yaitu mencari akhirat dengan maksimal
dengan tetap tidak melupakan bagian kita di dunia. Sekali lagi, sekedar tidak melupakan bagian kita di dunia.
Mari
kawan, kita baca sekali lagi ayat tersebut. Dan mari kita hentikan ironi ini. Sedikit
demi sedikit. Dimulai dari diri kita terlebih dahulu. Oh ya, aku ingat sebuah
syair yang menarik:
"
Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selamanya. Dan beramallah
untuk akhiratmuseolah-olah kau akan mati besok."
0 komentar:
Posting Komentar