Seteguk
teh manis hangat ini sungguh nikmat sekali. Demikian nikmat, hingga seolah
beban sol-soal ujian super yang tadi kukerjakan dengan memeras otak ini terasa
menguap. Bersama dengan hangat yang melewati rongga dadaku. Sekejab, muncul
penasaranku. Jikalau seteguk teh manis saja begitu enak, bagaimana pula
kenikmatan surga nanti? Sekaligus malu, jika kualitas seseorang di hadapan
Rabb-nya adalah dari seberapa berat ujian yang dialami, maka di mana pula
derajatku di hadapan-Nya?
Lalu kuperhatikan sekelilingku. Hmm, terkadang
aku menjadi bingung. Bukankah ini tempat ibadah? Dalam pengetahuan agamaku yang
dangkal, aku hanya berpikir tidakkah seharusnya orang-orang yang datang ke sini
harus sesuai dengan tempat? Maksudku, setahuku ada aturan tertentu dalam
berpakaian, juga bersikap. Ah, mungkin ini hanya kesombongan diri ini dalam
menilai orang lain. Mungkin mereka belum tahu tentang hal itu, dan inilah
tempat mereka mencari tahu. Semoga saja mereka segera tahu, lalu esok hari aku
tak harus berburuk sangka lagi. Dzolim sekali diri ini jika menganggap
seseorang buruk, padahal ia tak tahu keadaan orang tersebut. Dan aku hanya
menghakimi tanpa memberi solusi. Justru seharusnya aku yang malu, karena
sekedar mengingatkan pun sungkan, lalu menjadi selemah-lemah iman ketika hanya
merutuki di dalam hati. Astaghfirullah…
“Assalamu’alaykum
Ya Akhi, sendirian aja nih?” Kata Akhi Muhammad mengakhiri percakapan dua pihak
imaginer di kepalaku tadi.
“Wa’alaykumsalam
warahmatullah, iya nih. Gimana lagi, orang jomblo gini,” Jawabku sekenanya.
“Hehe,
sama-sama jomblo aja kok. Lagi mau ada acara apa sore-sore gini bertafakur di
sini? Tumben gak lagi latihan?” Tanyanya lagi.
“Ya
kali mas bro ane latihan tiap hari Ini tadi baru kelar ujian dan
alhamdulillah nanti habis isya’ ada jadwal halaqah. Pas lah, buat recharge iman
dulu hehe. Batere iman ane bukan aki kering kayak punya ente yang tahan lama
mas bro.” Jawabku dengan jujur, memang jika dibandingkan dia aku bukanlah
apa-apa. Baca qur’an masih sering salah pengucapan huruf, hapalan minim, ya
gitu deh pokoknya.
“Ah,
Akhi Alif ini merendah saja kerjaannya. Ya sudah ya Akhi, saya mau ke dalam
dulu. Biasa, mau ketemu adik-adik mentee. Assalamu’alaykum, hati-hati jaga
pandangannya lho hehehe. Penyakit jomblo kayak kita itu.” Katanya setengah
menyindir.
“Wa’alaykumsalam,
nanti kita lihat siapa yang duluan gugur status jomblonya haha,” Jawabku. Jomblo
adalah sebutan bagi kami yang belum punya pendamping alias istri. Karena kami
tidak menyetujui pacaran, kecuali setelah pernikahan.
Kembali
aku sendirian. Ah, baru jam 5. Sejam menuju sholat maghrib. Tentu aku tak mau
menyia-nyiakan waktuku hanya dengan duduk-duduk minum teh di selasar ini. Ku buka
buku catatanku, dan sedikit banyak mereview materi kuliah yang besok akan
diujikan. Defleksi, torsi, combined loading, pressure vessel, ah, keren sekali.
Namun, tetap kalah keren dengan ilmu-ilmu yang akan kudapat nanti malam di
halaqah.
Sedang
khusyuk memahami, aku melihat seorang gadis di seberang sana. Gadis ini
berbeda. Jika yang lain membungkus auratnya, maka yang ini benar-benar
menutupnya. Sungguh, anggun sekali. Dalam beberapa detik aku terpana dan sempat
pula melihat wajahnya. MasyaAllah, tanpa terasa dada ini berdesir melihat
berlapisnya perisai yang melindungi izzahnya. Di bawah kerudung panjangnya ada
baju hitam terusan sampai ke kakinya. Hingga praktis yang terlihat hanya wajah
dan telapak tangannya.
Bahkan
aku sempat memerhatikan bahwa dia tengah menjinjing laptopnya. Seperti sedang
mengetik sesuatu, mungkin sebuah laporan praktikum? Atau surat untuk
harakahnya? Eh, kenapa pula memikirkannya? Sejenak kemudian aku baru tersadar
oleh sihir keanggunan gadis berhijab hitam di seberang sana. Kupalingkan wajahku
kembali ke buku, dan berkali-kali mengucap istighfar.
Lalu seolah diselamatkan,
suara adzan pun berkumandang. Bergegas aku masuk untuk mengambil air wudhu, dan
sekilas aku masih sempat meliriknya. Dia, juga bergegas menutup laptopnya dan
melangkah menjauh ke bagian akhwat-tentu juga untuk wudhu. Tanpa sengaja
hijabnya berkibar, dan aku baru menyadari bahwa perlindungan benar-benar
berlapis. Sungguh, beruntung sekali nantinya ikhwan yang bisa mendapatkan
persetujuan ayah akhwat ini untuk memilikinya.
Tanpa
sadar aku berjalan sambil tersenyum, dan lega. Ternyata di luar sana masih
banyak calon ibu yang bisa menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan aku
berharap anak-anak yang beruntung salah satunya, atau salah duanya, atau salah
tiganya, atau salah “n”-nya adalah anakku. Kini, yang harus aku lakukan hanyalah memantaskan diri
untuk menjadi imam yang adil bagi mereka(istri dan anak-anakku) yang akan
menjadi makmumku. . .
Based on true story kan ya~ hahaha
BalasHapusKomen aja soal penulisannya, ada emot-emotnya tuh, dalam cerpen gak perlulah her :3
Dan coba deh dibaca lagi, ada typo satu dua tuh. Sama penggunaan katanya diperhalus lagi yaaaa~
Ayo-ayo nulis terus her :3
True story??? Gak juga kok
HapusUdah tak bersihin, kalo mau halusin kata males banget euy hehehe