Hari Kamis
kemarin, saya “terpaksa” ikut Bapak Mamak pulang kampung ke Boyolali buat
silahturahim. Duh, jadi mudik kuadrat deh kalo gini. Lalu seperti biasa jika
kami datang, maka seluruh saudara akan berkumpul di rumah nenek saya. Sebagian
besar anak-anaknya, cucu-cunya, dan cicit-cicitnya. Dan FYI, dari 15 cucunya
tinggal 6 yang masih jomblo. Dengan saya masuk ke golongan yang 6 orang itu. Karena
yang 3 sudah jelas rencananya tahun ini, maka tinggallah 3 orang—saya, adik
saya, dan sepupu saya yang masih kelas 3 SD. Otomatis pertanyaan tajam mengarah
ke saya(padahal 6 bulan juga udah ditanya pas lebaran). Tentu, dalam Bahasa
Jawa Boyolali-an.
![]() |
Never Ending Question |
S1: sepupu 1
S2: sepupu 2
S3: sepupu 3
S4: sepupu 4
S5: sepupu 5
B: Bapak
H: Saya
S1 : Gimana pacarnya?
H : Kosong Bang hehehe.
S1 : Lah, kenapa? Kalo buat penyemangat
ya nggak papa dong.
S2 : Jangan ding Her, sekolah yang bener
dulu. Nanti kalo udah mapan juga pada datang
sendiri.
S3 : Lah, dia kan gak mau pacaran.
Katanya prinsip, mau langsung nikah katanya.
S1 : Asal bisa jaga diri kan gak papa to
yo.
S4 : Santai
aja Her, memang gitu. Disuruh cepet nikah, kalo udah nikah ditanyain kapan
punya
anak. Macam Mbakmu iki, udah nikah ditanya mulu kapan mau punya anak.
Jalani saja
hidupmu, kan hidupmu sendiri.(Bijak bangeeeeeet :3 )
S5 : Kalau
sudah mampu ya kenapa enggak?
B : Kok pada
ribut, yang diomongin cengengesan doang itu lho.
S2 : Emang mau
kapan Her?
H : Eh,
masih banyak yang harus di check list Mas.
S2 : Misalnya?
(Semua menanti jawaban serius, termasuk Bapak saya)
H :
*****(Nyebut merk motor) 250 cc! (Jawab saya yakin)
Semua
orang bengong, lalu ketawa. What the??!! -_-
Alhamdulillah,
percakapan tentang hal ini selesai. Sekali lagi saya normal kok. Saya mau, tapi
kan kalo ditanya-tanya mulu gak asyik juga. Saya juga punya rencana, tapi
kemarin dapat saran dari seorang senior rencana beginian baiknya disimpan saja.
Yang perlu tahu cukup orang-orang terdekat saja.
Lalu
percakapan beralih ke masalah kampus. Akhirnya menyerempet tentang aktivitas
dakwah di kampus saya. Sangat senang saya, karena di keluarga besar saya
macam-macam “aliran”-nya. Ada yang kuat sekali NU-nya, ada yang tarbiyah, dan bahkan
Bapak saya sendiri dekat dengan salafy. Wah, kalau sudah diskusi gini para
ibu-ibu pada undur diri, lanjut nonton sinetron. Saya yang paling muda menyimak
dulu, kali aja ada yang menarik. Mulai membahas masalah qunut, demokrasi,
dzikir jahr, kirim pahala, dsb. Memang seringkali kita mendiskusikan perbedaan
dengan semangat mencela padahal ada demikian banyak perbedaan yang
diperbolehkan. Namun ketika membahas Syi’ah, semua bersepakat: Kafir! Lalu
membahas Suriah. Akhirnya saya ditanya, kalau saya gimana? Saya menjawab yang
intinya saya selalu ambil positifnya. Dari NU tentang penghormatannya pada ‘Ulama
dan penghargaan pada sanad. Dari Tarbiyah tentang kesabaran dan rapinya sistem
kaderisasi, karena kebaikan yang tak tertata akan kalah oleh kejahatan yang
tertata. Dan dari salafy tentang kehati-hatiannya pada bid’ah dan semangatnya dalam
menghidupkan sunnah. Akhirnya, semua mengantuk dan pada tidur. Ada yang keluar
merokok.
Esok
paginya, menganggur. Tapi tidak lama karena setelah itu belajar nyetir mobil.
Nyetir itu tidak susah, namun akan menjadi menegangkan jika kau lewat jalan
desa yang sempit dengan cor-coran semen di dua sisi saja. Kiri kanan selokan,
ditambah tiba-tiba ada nenek-nenek nyapu di belokan tajam yang langsung main
sapa saja dengan sangat mendekat ke bodi mobil. Man, untung gak masuk selokan
mobil Bapak saya. Namun bukan ini yang ingin saya bagi hikmahnya.
Setelah
itu, mentor nyetir saya mengajak saya ke sawah buat mupuk. Katanya daripada gak
ada teman. Ya sudah, saya duduk di bawah pohon, angin sepoi-sepoi memandang
hijau sawah terhampar di hadapan. Mulai cerita mengalir, apalagi jika rokok
sudah di bibir—sepupu saya. Saya gak ngrokok kok :)
“Sawah ini mau
kena gusur pabrik dari Jakarta Her”
“Weh? Protes
dong Mas, jangan mau!”
“Kenapa gak mau?
Harganya 3x lipat dari harga pasaran. Dan orang-orang sini pada suka uang
kayaknya.”
“Ya tapi kan ini
asset Mas, kalo uang cuma disimpen bakal kena inflasi. Kan kayak kita bahas
semalam, uang itu kekayaan semu Mas, asset ini kekayaan yang nyata.”
“Halah, ngomong
apa to kamu. Tapi bener juga, sayang orang kita kan pikirannya gak sejauh kamu
Her.”
“Lha kau sendiri
mau apa Mas? Kalo udah kejual?”
“Ya mungkin
nanti kegiatannya beda. Bikin kos-kosan terus mungkin jadi kayak bapakmu, usaha
di bidang angkutan buat karyawan kan bisa. Yang penting itu adaptasi.”
“Sayang, orang
kita pikirannya gak sejauh kamu Mas,” jawab saya dengan hati masygul. Lalu hening
sejenak.
“Eh Mas,
kira-kira ngolah sawah gini hasilnya gimana?”, tanya saya lagi.
Dia lalu menyebut suatu nominal.
Kami mulai berdiskusi, kira-kira total yang didapat gimana. Katanya, untuk
dapat penghasilan satu juta perbulan cukup kerja 15 hari selama masa tanam. Belum
lagi jika punya 2 ekor sapi yang digemukkan, sekali masa penggemukkan perbulan
bisa sejuta lagi. Lalu ditambah dia yang juga bekerja di sepupu saya yang lain
yang memiliki toko bahan bangunan, sehari sekitar 50 ribu. Alamaaaaak, dengan
hitungan beras gak usah beli dan blablabla, betapa makmurnya orang-orang ini. Namun
dia tak setuju jika orang-orang desa itu makmur.
“Orang sekarang
disuruh ke sawah males, ngurus sapi gak mau. Entah gengsi apa malas. Akhirnya
milih kerja di pabrik, dengan UMK sekitar 1,2 juta. Ya kalau gitu cuma habis
dimakan kan? Orang desa itu kalo gak mau manfaatin yang ada ya gak maju-maju. Kerja
di pabrik kan dari pagi sampai sore, kapan ke sawah? Kalau ambil shift malam,
pagi mau ke sawah juga alesannya capek. Alasan gak punya sawah? Sekarang ini
banyak yang punya sawah luas tapi gak ada tenaga buat menggarap. Mbah
Amat(Bapaknya sepupu saya ini) saja bisa dapat penghasilan 70 ribu sehari dari
menggarap tanah milik TNI AU. Padahal kerjanya juga paling 3-4 jam saja. Pulang
bawa rumput buat sapid an kambing di rumah. Intinya susah kalau orang sudah
malas.”
“Lha, tapi Mas X
dan Mas Y (adik2nya) juga pada ke pabrik tuh, kok gak dicerahkan?”
“Si X udah mau
keluar, mau ternak sama ngolah sawah dia. Sawah mertuanya kan luas. Dulu waktu
bujang emang enak ke pabrik, tapi sejak punya anak istri pusing dia hahaha.
Kalau si Y entahlah itu.”
Ah, seringkali mendengar pepatah,”Bukan
yang paling kuat atau pintar yang akan bertahan, namun mereka yang bisa
menyesuaikan diri”. Dan kini, saya mengetahui pasti implementasi pepatah itu
dari sepupu saya. Sebuah pelajaran berharga dari banyak hal yang saya dapat
siang itu di tengah hamparan padi usia dua bulan sebelum bersiap ke Jum’atan.
Meski Bapak saya juga mengimplementasikan pepatah itu, namun tetap seolah diigatkan
kembali. Andai kalian tahu bagaimana perjuangan Bapak saya kawan :’)
0 komentar:
Posting Komentar