Senin, 06 Januari 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,



             Hari Kamis kemarin, saya “terpaksa” ikut Bapak Mamak pulang kampung ke Boyolali buat silahturahim. Duh, jadi mudik kuadrat deh kalo gini. Lalu seperti biasa jika kami datang, maka seluruh saudara akan berkumpul di rumah nenek saya. Sebagian besar anak-anaknya, cucu-cunya, dan cicit-cicitnya. Dan FYI, dari 15 cucunya tinggal 6 yang masih jomblo. Dengan saya masuk ke golongan yang 6 orang itu. Karena yang 3 sudah jelas rencananya tahun ini, maka tinggallah 3 orang—saya, adik saya, dan sepupu saya yang masih kelas 3 SD. Otomatis pertanyaan tajam mengarah ke saya(padahal 6 bulan juga udah ditanya pas lebaran). Tentu, dalam Bahasa Jawa Boyolali-an.


Never Ending Question
S1: sepupu 1
S2: sepupu 2
S3: sepupu 3
S4: sepupu 4
S5: sepupu 5
B: Bapak
H: Saya

S1           : Gimana pacarnya?
H             : Kosong Bang hehehe.
S1           : Lah, kenapa? Kalo buat penyemangat ya nggak papa dong.
S2          : Jangan ding Her, sekolah yang bener dulu. Nanti kalo udah mapan juga pada datang      
                sendiri.
S3           : Lah, dia kan gak mau pacaran. Katanya prinsip, mau langsung nikah katanya.
S1           : Asal bisa jaga diri kan gak papa to yo.
S4           : Santai aja Her, memang gitu. Disuruh cepet nikah, kalo udah nikah ditanyain kapan punya 
                anak. Macam Mbakmu iki, udah nikah ditanya mulu kapan mau punya anak. Jalani saja 
               hidupmu, kan hidupmu sendiri.(Bijak bangeeeeeet :3 )
S5           : Kalau sudah mampu ya kenapa enggak?
B             : Kok pada ribut, yang diomongin cengengesan doang itu lho.
S2           : Emang mau kapan Her?
H             : Eh, masih banyak yang harus di check list Mas.
S2           : Misalnya? (Semua menanti jawaban serius, termasuk Bapak saya)
H             : *****(Nyebut merk motor) 250 cc! (Jawab saya yakin)

Semua orang bengong, lalu ketawa. What the??!! -_-

Alhamdulillah, percakapan tentang hal ini selesai. Sekali lagi saya normal kok. Saya mau, tapi kan kalo ditanya-tanya mulu gak asyik juga. Saya juga punya rencana, tapi kemarin dapat saran dari seorang senior rencana beginian baiknya disimpan saja. Yang perlu tahu cukup orang-orang terdekat saja.

Lalu percakapan beralih ke masalah kampus. Akhirnya menyerempet tentang aktivitas dakwah di kampus saya. Sangat senang saya, karena di keluarga besar saya macam-macam “aliran”-nya. Ada yang kuat sekali NU-nya, ada yang tarbiyah, dan bahkan Bapak saya sendiri dekat dengan salafy. Wah, kalau sudah diskusi gini para ibu-ibu pada undur diri, lanjut nonton sinetron. Saya yang paling muda menyimak dulu, kali aja ada yang menarik. Mulai membahas masalah qunut, demokrasi, dzikir jahr, kirim pahala, dsb. Memang seringkali kita mendiskusikan perbedaan dengan semangat mencela padahal ada demikian banyak perbedaan yang diperbolehkan. Namun ketika membahas Syi’ah, semua bersepakat: Kafir! Lalu membahas Suriah. Akhirnya saya ditanya, kalau saya gimana? Saya menjawab yang intinya saya selalu ambil positifnya. Dari NU tentang penghormatannya pada ‘Ulama dan penghargaan pada sanad. Dari Tarbiyah tentang kesabaran dan rapinya sistem kaderisasi, karena kebaikan yang tak tertata akan kalah oleh kejahatan yang tertata. Dan dari salafy tentang kehati-hatiannya pada bid’ah dan semangatnya dalam menghidupkan sunnah. Akhirnya, semua mengantuk dan pada tidur. Ada yang keluar merokok.

Esok paginya, menganggur. Tapi tidak lama karena setelah itu belajar nyetir mobil. Nyetir itu tidak susah, namun akan menjadi menegangkan jika kau lewat jalan desa yang sempit dengan cor-coran semen di dua sisi saja. Kiri kanan selokan, ditambah tiba-tiba ada nenek-nenek nyapu di belokan tajam yang langsung main sapa saja dengan sangat mendekat ke bodi mobil. Man, untung gak masuk selokan mobil Bapak saya. Namun bukan ini yang ingin saya bagi hikmahnya.

Setelah itu, mentor nyetir saya mengajak saya ke sawah buat mupuk. Katanya daripada gak ada teman. Ya sudah, saya duduk di bawah pohon, angin sepoi-sepoi memandang hijau sawah terhampar di hadapan. Mulai cerita mengalir, apalagi jika rokok sudah di bibir—sepupu saya. Saya gak ngrokok kok :)

“Sawah ini mau kena gusur pabrik dari Jakarta Her”

“Weh? Protes dong Mas, jangan mau!”

“Kenapa gak mau? Harganya 3x lipat dari harga pasaran. Dan orang-orang sini pada suka uang kayaknya.”

“Ya tapi kan ini asset Mas, kalo uang cuma disimpen bakal kena inflasi. Kan kayak kita bahas semalam, uang itu kekayaan semu Mas, asset ini kekayaan yang nyata.”

“Halah, ngomong apa to kamu. Tapi bener juga, sayang orang kita kan pikirannya gak sejauh kamu Her.”

“Lha kau sendiri mau apa Mas? Kalo udah kejual?”

“Ya mungkin nanti kegiatannya beda. Bikin kos-kosan terus mungkin jadi kayak bapakmu, usaha di bidang angkutan buat karyawan kan bisa. Yang penting itu adaptasi.”

“Sayang, orang kita pikirannya gak sejauh kamu Mas,” jawab saya dengan hati masygul. Lalu hening sejenak.

“Eh Mas, kira-kira ngolah sawah gini hasilnya gimana?”, tanya saya lagi.

                Dia lalu menyebut suatu nominal. Kami mulai berdiskusi, kira-kira total yang didapat gimana. Katanya, untuk dapat penghasilan satu juta perbulan cukup kerja 15 hari selama masa tanam. Belum lagi jika punya 2 ekor sapi yang digemukkan, sekali masa penggemukkan perbulan bisa sejuta lagi. Lalu ditambah dia yang juga bekerja di sepupu saya yang lain yang memiliki toko bahan bangunan, sehari sekitar 50 ribu. Alamaaaaak, dengan hitungan beras gak usah beli dan blablabla, betapa makmurnya orang-orang ini. Namun dia tak setuju jika orang-orang desa itu makmur.

“Orang sekarang disuruh ke sawah males, ngurus sapi gak mau. Entah gengsi apa malas. Akhirnya milih kerja di pabrik, dengan UMK sekitar 1,2 juta. Ya kalau gitu cuma habis dimakan kan? Orang desa itu kalo gak mau manfaatin yang ada ya gak maju-maju. Kerja di pabrik kan dari pagi sampai sore, kapan ke sawah? Kalau ambil shift malam, pagi mau ke sawah juga alesannya capek. Alasan gak punya sawah? Sekarang ini banyak yang punya sawah luas tapi gak ada tenaga buat menggarap. Mbah Amat(Bapaknya sepupu saya ini) saja bisa dapat penghasilan 70 ribu sehari dari menggarap tanah milik TNI AU. Padahal kerjanya juga paling 3-4 jam saja. Pulang bawa rumput buat sapid an kambing di rumah. Intinya susah kalau orang sudah malas.”

“Lha, tapi Mas X dan Mas Y (adik2nya) juga pada ke pabrik tuh, kok gak dicerahkan?”

“Si X udah mau keluar, mau ternak sama ngolah sawah dia. Sawah mertuanya kan luas. Dulu waktu bujang emang enak ke pabrik, tapi sejak punya anak istri pusing dia hahaha. Kalau si Y entahlah itu.”

                Ah, seringkali mendengar pepatah,”Bukan yang paling kuat atau pintar yang akan bertahan, namun mereka yang bisa menyesuaikan diri”. Dan kini, saya mengetahui pasti implementasi pepatah itu dari sepupu saya. Sebuah pelajaran berharga dari banyak hal yang saya dapat siang itu di tengah hamparan padi usia dua bulan sebelum bersiap ke Jum’atan. Meski Bapak saya juga mengimplementasikan pepatah itu, namun tetap seolah diigatkan kembali. Andai kalian tahu bagaimana perjuangan Bapak saya kawan :’)

0 komentar:

Posting Komentar