Senin, 30 Juni 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,
             
 

             Abdullah bin Saba, tokok intelektual dari pendirian gerakan syi’ah kini telah memiliki sejumlah pengikut pada masa kekhalifahan Usman bin Affan radhiallahu’anhu. Bersama pengikutnya, mereka mencoba mengantongi kesalahan-kesalahan pemerintahan shahabat yang terkenal sangat pemalu ini untuk kemudian menjadikannya protes terbuka kepada khalifah (dan syubhat terbesar mereka adalah bahwa Ali merupakan titisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri—bahkan pada kadar yang paling ekstrim ada syi’ah yang menganggap Ali adalah titisan Allah). Namun, mereka tidak cukup memiliki keberanian untuk melakukannya secara terang-terangan melainkan dengan menyamarkannya sebagai ibadah umrah.

                Di suatu tempat yang bernama Juhfah, demi mencium gelagat buruk dari rombongan ini khalifah pun mengutus Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu untuk mencegah mereka memasuki kota yang diberkahi: Madinah. Agar pemikiran beracun mereka tidak menyebar di tengah-tengah penduduk yang beriman kepada Allah dan menerima secara penuh legitimasi Usman sebagai kepala negara.


                Diutusnya Ali oleh Usman tentu dengan pertimbangan yang matang yaitu Ali dikenal memiliki wawasan keislaman yang luas, pengalaman yang matang, dan merupakan orang pertama yang masuk islam dari kalangan anak-anak. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran beliau untuk menjadikan Ali sebagai tameng baginya.

“Semoga saja Ali bisa menyadarkan mereka, membuat mereka kembali ke jalan yang benar,” batin Usman.

                Ali pun keluar kota Madinah menyongsong rombongan tersesat itu dengan hanya seorang diri dan bertelanjang kaki. Ditunggunya sampai rombogan Abdullah bin Saba’ melewatinya. Ketika rombongan telah mendekat, ditegakkannya badan dan dihilangkannya senyum yang biasanya menghiasi wajah. Karena sekarang yang dibutuhkan adalah ketegasan dalam menyikapi musuh islam dari kalangan orang dalam ini. Tak ada yang lebih berbahaya daripada musuh dalam selimut. Karena pemikiran halus mereka sangat berbahaya bagi keberjalanan dakwah islam ke depannya—dan ini terbukti sekarang.

“Duhai Ali, junjungan kami, sayyid kami. Akhirnya kau datang untuk untuk mendukung kami. Sejak lama kami menginginkan kau menjadi pemimpin kami setelah berbagai prestasi yang kau tunjukkan, selaksa penderitaan yang kau jalani dengan tabah,” belum selesai ucaan mereka, tiba-tiba Ali memotongnya.

“Allah telah melaknat kalian dengan lisan Rasulullah!” kata Ali kemudian.

“Apa yang kau katakan ini wahai Ali? Kami memujamu. Kau yang paling dekat dengan Rasulullah. Seharusnya kau yang jadi pemimpin kami.”

“Bagaimana mungkin aku menjadi pemimpin sementara masih ada Abu Bakar, Umar, dan Usman? Kau jangan berlebih-lebihan memujaku, karena sikap kalian inilah kaum yahudi dilaknat Allah, seperti mereka menganggap Uzair sebagai anak Allah, atau kaum nasrani yang telah mengkultuskan Nabi Isa ‘alaihissalam,” kata Ali.

“Bahkan kami yakin, jika tidak ada Muhammad bin Abdullah, seharusnya engkaulah yang menerima wahyu dari Allah,” yang lain menambahinya.

“Allahu akbar! Terlaknat kalian! Hentikan ucapan kalian jika tak ingin kuperangi. Tetapi jika kalian masih ingin hidup, kalian kuampuni. Kalian harus mencabut semua kata-kata yang telah kalian ucapkan,” kata Ali marah.

                Segala kata-kata Ali membuat mereka terhenyak. Demikiankah balasan yang mereka dapatkan setelah mendukung, menyanjung, memujinya untuk memperlihatkan besarnya rasa cinta mereka pada Ali? Alih-alih ungkapan cinta yang semisal, justru mereka mendapatkan kutukan dan laknat darinya.

“Ali, kami sangat mencintaimu. Namun mengapa kau malah membenci kami?”

“Tutup mulut kalian! Kalian mencintaiku tapi aku tidak mencintai kalian. Aku tidak mencintai klian karena kalian mencintai dengan membabi buta. Jika kalian mencintaiku, seharusnya kalian mencintai apa yang aku cintai. Nyatanya kalian hanya mencitai sosokku. Lagipula apakah mungkin aku mencintai seseorang yang telah melakukan kejahatan besar pada Allah dan Rasul-Nya?”

“Wahai Ali, aku tidak main-main dengan perkataanku ini. Aku punya alasan kuat untuk itu,” kata salah seorang dari mereka.

“Baiklah, apa yang selama ini kalian keluhkan? Siapa tahu aku bisa memberikan penyelesaian untuk kalian,” jawab Ali.

“Mengapa khalifah menyelenggarakan pemerintahan dengan cara nepotisme? Lagipula seharusnya kaulah yang menjadi khalifah. Kau punya kecakapan khusus, keilmuanmu luas, dank au telah mendampingi Rasul sejak masih belia. Kasus lain, mengapa khalifah mengharamkan kami menyembelih hewan yang dihalalkan Allah dan RAsul-nya, yakni seekor unta? Kemudian di suatu daerah kami juga mendengar Usman membakar mushaf-mushaf. Selain itu, ketika ada suatu kaum mengadakan safar, Khalifah Usman melarang mereka meng-qashar shalatnya. Usman juga lebih mengutamakan Bani Umayyah dibandingkan bani-bani lainnya. Bahkan Usman mengangkat pemimpin yang masih muda dan miskin pengalaman. Agar bisa dijadikan boneka?” tanya salah seorang dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Mendengar hal tersebut Ali hal tersebut Ali hanya tertawa kecut. Terlihat betapa masih dangkalnya pengetahuan mereka atas hal yang mereka katakan sendiri.

“Allahu akbar! Hanya karena masalah inikah kalian hendak memberotak? Baiklah, akan kujawab satu per satu pertanyaan kalian.

Kewajiban kita hanyalah taat pada Allah dan Rasul-Nya, juga Ulil Amri (mohon pembaca mencari juga kriteia orang yang bisa disebut Ulil Amri, karena tidak setiap pemimpin memenuhi syarat-syaratnya). Itu prinsip yang harus kita pegang. Perkara khalifah mengangkat orang-orang dari pihak keluarganya, aku tidak melihat ada kedzaliman padanya. Mereka justru memimpin dengan adil dan bijaksana sehingga negeri di bawah kepemimpinannya menjadi aman dan sejahtera.

Cobalah berpikir sejenak, jika kalian disuruh memilih. Seorang sangat cakap, jujur, dan bertaqwa kepada Allah namun dia dari kalangan keluarga kalian dan yang satunya tdak becus, khianat, dan tidak bertqawa apalagi bukan dari keluarga kalian, siapakah yang akan kalian pilih?”

                Orang-orang pun terdiam…

“Kemudian masalah larangan menyembelih unta, itu hanyalah kesalahpahaman kalian. Unta-unta tersebut merupakan unta zakat dan tidak akan disembelih dahulu sampai menjadi gemuk. Adapun mengenai mushaf yang dibakar, beliau khawatir akan terjadi perbedaan dari bahasa Al-Qur’an yang diturunkan. Dan karena Usman telah menyeragamkan bahasa Al-Qur’an dengan memberikan tanda baca dan harakat agar kelak tidak terjadi perselisihan mengenai cara membacanya. Agar Al-Qur’an tidak bernasib seperti Taurat dan Injil yang telah banyak dipalsukan.

Mengenai larangan menqashar shalat, maka kalian benar-benar tidak memahami permasalahannya. Mereka ini bepergian untuk bermukim. Mereka mengajak anak dan istrinya untuk menetap di daerah perantauan. Jadi sudah seharusnyalah mereka menyempurnakan shalatnya.

Masalah mengangkat pemimpin muda, bukankah hal tersebut telah dicontohkan Rasulullah sendiri? Beliau mengangkat mereka karena dirasa mereka mampu, cakap, dan dapat bijaksana dalam mengatur urusannya. Pemimpin muda memiliki jiwa yang bersih, idealis, dan semangat yang menyala-nyala sehingga lebih mampu bekerja keras. Bukankah Rasul pernah mengangkat Attab bin Usaid yang berusia dua puluh tahun sebagai Gubernur Makkah? Atau Usamah bin Zaid yang menjadi jenderal perang padahal usianya masih delapan belas tahun. Dan pemilihan ini sangat tepat, Karena Usamah terbukti sanggup menjadi pelopor penakhlukan negeri Syam yang dikuasai Romawi pada masa Kekhilafahan Abu Bakar dan Umar. Dan Usamah ikut pula pada pembukaan serangan ke Persia hingga akhirnya ia syahid di sana.

Mengenai Usman mendahulukan Bani Umayyah, bukankah Rasul sendiri berkata tentang keutamaan Kabilah Quraisy dan Bani Umayyah merupakan bagiannya?[1]

                Demikianlah, fitnah mereka pun ditebas dengan hujjah yang sangat jelas dari Ali bin Abi Thalib. Dan mereka hanya bisa tertunduk malu atas kebodohan mereka sendiri. Namun rasa angkuh dan nafsu yang telah mendera tidak menjadikan mereka taubat. Lima puluh orang itu berbalik arah dan kalah hanya dengan seorang Ali bin Abi Thalib yang memiliki kualitas melebihi lima puluh orang dewasa. Cukup dengan lisan, mereka tak berani melawan lagi.            


[1] Sesungguhnya perkara kekhilafahan ini ada pada orang-orang Quraisy, tak ada seorangpun yg menentang mereka kecuali Allah akan menghinakannya selama mereka menegakkan agama ini. [HR. Darimi No.2409].


Disadur dari buku berjudul “Lilin Pun Dipadamkannya” tulisan Wiwid Prasetyo halaman 66-73. Saya akui, sebagian besar dialog saya ketik tanpa perubahan kecuali beberapa saja. Sedangkan gaya bercerita telah saya ubah tanpa mengubah maksud dan isinya. Dan saya akui pula buku ini pinjaman, sehingga saya berucap terimakasih pada beliau yang telah berkenan meminjamkannya :)

0 komentar:

Posting Komentar