Abdullah bin Saba, tokok
intelektual dari pendirian gerakan syi’ah kini telah memiliki sejumlah pengikut
pada masa kekhalifahan Usman bin Affan radhiallahu’anhu. Bersama pengikutnya,
mereka mencoba mengantongi kesalahan-kesalahan pemerintahan shahabat yang
terkenal sangat pemalu ini untuk kemudian menjadikannya protes terbuka kepada
khalifah (dan syubhat terbesar mereka adalah bahwa Ali merupakan titisan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri—bahkan pada kadar yang paling ekstrim ada
syi’ah yang menganggap Ali adalah titisan Allah). Namun, mereka tidak cukup
memiliki keberanian untuk melakukannya secara terang-terangan melainkan dengan
menyamarkannya sebagai ibadah umrah.
Di suatu tempat yang bernama
Juhfah, demi mencium gelagat buruk dari rombongan ini khalifah pun mengutus Ali
bin Abi Thalib radhiallahu’anhu untuk mencegah mereka memasuki kota yang
diberkahi: Madinah. Agar pemikiran beracun mereka tidak menyebar di
tengah-tengah penduduk yang beriman kepada Allah dan menerima secara penuh
legitimasi Usman sebagai kepala negara.
Diutusnya Ali oleh Usman tentu
dengan pertimbangan yang matang yaitu Ali dikenal memiliki wawasan keislaman
yang luas, pengalaman yang matang, dan merupakan orang pertama yang masuk islam
dari kalangan anak-anak. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran beliau
untuk menjadikan Ali sebagai tameng baginya.
“Semoga saja Ali
bisa menyadarkan mereka, membuat mereka kembali ke jalan yang benar,” batin
Usman.
Ali pun keluar kota Madinah
menyongsong rombongan tersesat itu dengan hanya seorang diri dan bertelanjang
kaki. Ditunggunya sampai rombogan Abdullah bin Saba’ melewatinya. Ketika rombongan
telah mendekat, ditegakkannya badan dan dihilangkannya senyum yang biasanya
menghiasi wajah. Karena sekarang yang dibutuhkan adalah ketegasan dalam
menyikapi musuh islam dari kalangan orang dalam ini. Tak ada yang lebih
berbahaya daripada musuh dalam selimut. Karena pemikiran halus mereka sangat
berbahaya bagi keberjalanan dakwah islam ke depannya—dan ini terbukti sekarang.
“Duhai Ali,
junjungan kami, sayyid kami. Akhirnya kau datang untuk untuk mendukung kami. Sejak
lama kami menginginkan kau menjadi pemimpin kami setelah berbagai prestasi yang
kau tunjukkan, selaksa penderitaan yang kau jalani dengan tabah,” belum selesai
ucaan mereka, tiba-tiba Ali memotongnya.
“Allah telah
melaknat kalian dengan lisan Rasulullah!” kata Ali kemudian.
“Apa yang kau katakan
ini wahai Ali? Kami memujamu. Kau yang paling dekat dengan Rasulullah. Seharusnya
kau yang jadi pemimpin kami.”
“Bagaimana
mungkin aku menjadi pemimpin sementara masih ada Abu Bakar, Umar, dan Usman? Kau
jangan berlebih-lebihan memujaku, karena sikap kalian inilah kaum yahudi
dilaknat Allah, seperti mereka menganggap Uzair sebagai anak Allah, atau kaum
nasrani yang telah mengkultuskan Nabi Isa ‘alaihissalam,” kata Ali.
“Bahkan kami
yakin, jika tidak ada Muhammad bin Abdullah, seharusnya engkaulah yang menerima
wahyu dari Allah,” yang lain menambahinya.
“Allahu akbar! Terlaknat
kalian! Hentikan ucapan kalian jika tak ingin kuperangi. Tetapi jika kalian masih
ingin hidup, kalian kuampuni. Kalian harus mencabut semua kata-kata yang telah
kalian ucapkan,” kata Ali marah.
Segala kata-kata Ali membuat
mereka terhenyak. Demikiankah balasan yang mereka dapatkan setelah mendukung,
menyanjung, memujinya untuk memperlihatkan besarnya rasa cinta mereka pada Ali?
Alih-alih ungkapan cinta yang semisal, justru mereka mendapatkan kutukan dan
laknat darinya.
“Ali, kami
sangat mencintaimu. Namun mengapa kau malah membenci kami?”
“Tutup mulut
kalian! Kalian mencintaiku tapi aku tidak mencintai kalian. Aku tidak mencintai
klian karena kalian mencintai dengan membabi buta. Jika kalian mencintaiku,
seharusnya kalian mencintai apa yang aku cintai. Nyatanya kalian hanya mencitai
sosokku. Lagipula apakah mungkin aku mencintai seseorang yang telah melakukan
kejahatan besar pada Allah dan Rasul-Nya?”
“Wahai Ali, aku
tidak main-main dengan perkataanku ini. Aku punya alasan kuat untuk itu,” kata
salah seorang dari mereka.
“Baiklah, apa
yang selama ini kalian keluhkan? Siapa tahu aku bisa memberikan penyelesaian
untuk kalian,” jawab Ali.
“Mengapa
khalifah menyelenggarakan pemerintahan dengan cara nepotisme? Lagipula seharusnya
kaulah yang menjadi khalifah. Kau punya kecakapan khusus, keilmuanmu luas, dank
au telah mendampingi Rasul sejak masih belia. Kasus lain, mengapa khalifah
mengharamkan kami menyembelih hewan yang dihalalkan Allah dan RAsul-nya, yakni
seekor unta? Kemudian di suatu daerah kami juga mendengar Usman membakar
mushaf-mushaf. Selain itu, ketika ada suatu kaum mengadakan safar, Khalifah
Usman melarang mereka meng-qashar shalatnya. Usman juga lebih mengutamakan Bani
Umayyah dibandingkan bani-bani lainnya. Bahkan Usman mengangkat pemimpin yang
masih muda dan miskin pengalaman. Agar bisa dijadikan boneka?” tanya salah
seorang dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Mendengar
hal tersebut Ali hal tersebut Ali hanya tertawa kecut. Terlihat betapa masih
dangkalnya pengetahuan mereka atas hal yang mereka katakan sendiri.
“Allahu akbar! Hanya
karena masalah inikah kalian hendak memberotak? Baiklah, akan kujawab satu per
satu pertanyaan kalian.
Kewajiban kita
hanyalah taat pada Allah dan Rasul-Nya, juga Ulil Amri (mohon pembaca mencari
juga kriteia orang yang bisa disebut Ulil Amri, karena tidak setiap pemimpin
memenuhi syarat-syaratnya). Itu prinsip yang harus kita pegang. Perkara khalifah
mengangkat orang-orang dari pihak keluarganya, aku tidak melihat ada kedzaliman
padanya. Mereka justru memimpin dengan adil dan bijaksana sehingga negeri di
bawah kepemimpinannya menjadi aman dan sejahtera.
Cobalah berpikir
sejenak, jika kalian disuruh memilih. Seorang sangat cakap, jujur, dan bertaqwa
kepada Allah namun dia dari kalangan keluarga kalian dan yang satunya tdak
becus, khianat, dan tidak bertqawa apalagi bukan dari keluarga kalian, siapakah
yang akan kalian pilih?”
Orang-orang pun terdiam…
“Kemudian
masalah larangan menyembelih unta, itu hanyalah kesalahpahaman kalian. Unta-unta
tersebut merupakan unta zakat dan tidak akan disembelih dahulu sampai menjadi
gemuk. Adapun mengenai mushaf yang dibakar, beliau khawatir akan terjadi
perbedaan dari bahasa Al-Qur’an yang diturunkan. Dan karena Usman telah
menyeragamkan bahasa Al-Qur’an dengan memberikan tanda baca dan harakat agar
kelak tidak terjadi perselisihan mengenai cara membacanya. Agar Al-Qur’an tidak
bernasib seperti Taurat dan Injil yang telah banyak dipalsukan.
Mengenai
larangan menqashar shalat, maka kalian benar-benar tidak memahami
permasalahannya. Mereka ini bepergian untuk bermukim. Mereka mengajak anak dan
istrinya untuk menetap di daerah perantauan. Jadi sudah seharusnyalah mereka
menyempurnakan shalatnya.
Masalah mengangkat
pemimpin muda, bukankah hal tersebut telah dicontohkan Rasulullah sendiri? Beliau
mengangkat mereka karena dirasa mereka mampu, cakap, dan dapat bijaksana dalam
mengatur urusannya. Pemimpin muda memiliki jiwa yang bersih, idealis, dan
semangat yang menyala-nyala sehingga lebih mampu bekerja keras. Bukankah Rasul
pernah mengangkat Attab bin Usaid yang berusia dua puluh tahun sebagai Gubernur
Makkah? Atau Usamah bin Zaid yang menjadi jenderal perang padahal usianya masih
delapan belas tahun. Dan pemilihan ini sangat tepat, Karena Usamah terbukti
sanggup menjadi pelopor penakhlukan negeri Syam yang dikuasai Romawi pada masa
Kekhilafahan Abu Bakar dan Umar. Dan Usamah ikut pula pada pembukaan serangan
ke Persia hingga akhirnya ia syahid di sana.
Mengenai Usman
mendahulukan Bani Umayyah, bukankah Rasul sendiri berkata tentang keutamaan
Kabilah Quraisy dan Bani Umayyah merupakan bagiannya?[1]”
Demikianlah, fitnah mereka pun
ditebas dengan hujjah yang sangat jelas dari Ali bin Abi Thalib. Dan mereka
hanya bisa tertunduk malu atas kebodohan mereka sendiri. Namun rasa angkuh dan
nafsu yang telah mendera tidak menjadikan mereka taubat. Lima puluh orang itu
berbalik arah dan kalah hanya dengan seorang Ali bin Abi Thalib yang memiliki
kualitas melebihi lima puluh orang dewasa. Cukup dengan lisan, mereka tak
berani melawan lagi.
[1] Sesungguhnya perkara kekhilafahan ini ada pada orang-orang Quraisy, tak ada seorangpun yg menentang mereka kecuali Allah akan menghinakannya selama mereka menegakkan agama ini. [HR. Darimi No.2409].
[1] Sesungguhnya perkara kekhilafahan ini ada pada orang-orang Quraisy, tak ada seorangpun yg menentang mereka kecuali Allah akan menghinakannya selama mereka menegakkan agama ini. [HR. Darimi No.2409].
Disadur
dari buku berjudul “Lilin Pun Dipadamkannya” tulisan Wiwid Prasetyo halaman
66-73. Saya akui, sebagian besar dialog saya ketik tanpa perubahan kecuali
beberapa saja. Sedangkan gaya bercerita telah saya ubah tanpa mengubah maksud
dan isinya. Dan saya akui pula buku ini pinjaman, sehingga saya berucap
terimakasih pada beliau yang telah berkenan meminjamkannya :)
0 komentar:
Posting Komentar