Ah, selalu sulit memang mencari
kalimat pembuka setiap kali Anda ingin menulis, bukan? Nah, itulah yang
sekarang sedang terjadi pada saya. Bahkan lebih berat lagi adalah
merealisasikan ide dan niat untuk menulis. Namun cita-cita untuk
mendokumentasikan setiap perjalanan dan petualangan yang telah saya lakukan
sungguh menggoda bagian-diri-saya-yang-rajin untuk bersegera menuliskannya
sebelum semakin tenggelam dalam tumpukan ide-ide aneh nan koplak di kepala. Jadi, apa yang ingin saya bagi?
Saya ingin membagi perjalanan yang
diinspirasi oleh obsesi saya pada ketinggian—salah satu dari dua fobia saya
adalah ketinggian sehingga saya sangat berhasrat untuk menaklukkannya, bersama
dengan claustrophobia—dalam Agustus ceria kemarin. Tiga puncak yang memberi
rasa yang berbeda, di tiga provinsi yang berbeda. Dan meskipun salah satunya
memang cukup tinggi, menurut saya tetap tidak akan mampu mengalahkan beratnya
pendakian saya ke Gunung Bukit Tunggul (Namanya emang bukit, tapi isi
perjalanannya yang tak terkira hahaha).
1-8-2014: Gunung Ungaran, 2050 mdpl (Jawa Tengah)
Setelah
petualangan ke Curug Benowo dan Curug Lawe (saya dokumentasikan juga di blog
ini), maka Abang mengajak saya untuk sesekali mendaki gunung di Jateng. Karena usul
itu terdengar menarik, apalagi melihat di google bahwa ketinggiannya “hanya”
2050 mdpl, maka saya pun langsung mengiyakannya. Karena saya pikir ini pasti
tak lebih berat dari Gunung Burangrang yang memiliki ketinggian sama persis. Bahkan,
saat naik Gunung Burangrang kami waktu itu benar-benar tak ada persiapan
(jangan ditiru, ini sangat berbahaya!) dan dalam waktu 3,5 jam mampu mencapai
puncak meski ransum hanya roti sobek dan air 2 L untuk 5 orang. Namun, ternyata
pemikiran saya ini salah agak total!
Waktu itu kami berangkat
berdelapan dengan mobil dari salah seorang kawan yang bernama Gunung. Beneran,
nama beliau ini Gunung. 7 orang adalah mantan teman seperjuangan saya selama 2
tahun di kelas Olimpiade dan satu orang adalah kawan si Gunung. Namanya sih
Anggoro, tapi saya masih suka memanggilnya Pohon. Enam orang lainnya adalah
Pang, Andi, Bakul, Andhika, Abang, dan tentu saya: Owner Blog ini :)
Perjalanan awalnya ingin
dilaksanakan pada Jam 2 pagi dari Semarang agar tidak terlalu panas, atau
syukur-syukur mendapat momen matahari terbit. Namun, saya tidak setuju. Entah karena
Abang mendaulat bahwa saya-lah yang mempunyai ide pendakian ini (iya sih, saya
urun ide untuk rijal only di perjalanan ini) maka jadilah rencana kedua yan
terlaksana: berangkat setelah shubuh.
Sekitar jam 7 pagi, kami memulai
pendakian. Tetapi baru sekitar 5 menit melangkah, kami ditegur oleh kakek-kakek
yang membawa rumput. Waduh, masa sudah melakukan masalah?
“Mau ke mana Mas-Mas
semua ini?”
“Naik gunung
Pak,” jawab saya bodoh.
“Eh, maksudnya
ke Puncak Pak. Ada apa ya?” jawab Bakul.
“Salah jalan
Mas, harusnya lewat sana…”
Dan kami semua pun menunduk
malu, masa baru berjalan 5 menit saja sudah salah jalan? Hahaha. Oh ya, ada
satu ternyata hikmah kami tersesat—setidaknya buat saya—saya menemukan tulisan
berikut ini:
Sebuah Cerita :) |
Sungguh, tulisan
di atas bukanlah rekayasa. Tetapi benar-benar telah tertulis begitu saja di
sana dan saya membayangkan bahwa penulisnya adalah salah satu pembaca setia
blog ini.
Baiklah, singkat cerita
perjalanan pun berlanjut. Perjalanan terasa cukup berat karena track yang
benar-benar cenderung vertical, bahkan hampir 62% track harus merangkak. Belum lagi
panas yang menyengat dan tidak tidur malamnya—mungkin gara-gara terlalu excited. Dan starting point yang cukup rendah. Atau lebaran juga bisa
dipersalahkan karena makanan-makanan enak buatan Mamak sukses membuat saya
makan dengan ukuran berlebih. Pokoknya, lelahnya tidak sesuai perkiraan saya! Bahkan,
karena ada salah satu anggota yang kurang fit akhirnya rombongan di bagi dua
kelompok. Awalnya tidak terpisah jauh, namun entah kenapa ketika mencapai
puncak kami terpisah ada sekitar 1-2 jam.
Saya dan Abang |
Bukan puncak :p |
Dan ekspektasi bahwa perjalanan
cukup 4 jam jadi molor menjadi hampir 6 jam. Sesi foto-foto sangat bisa
dipersalahkan sebenarnya hahaha. Setelah penantian yang terasa panjang akibat
tak mendapat kepastian akhirnya rombongan dua mencapai puncak. Lega rasanya,
karena jika rombongan dua memutuskan pulang duluan,”Mau naik apa kami ke
Semarang nanti??”
Sepanjang perjalanan, kami lebih
banyak membahas apa saja capaian-capaian kami selama ini. memikirkan dan
merancang visi-visi ke depan. Beberapa kali menyerempet urusan, ehem, c*nta. Yah,
begitulah jika naik gunung menjadi acara reuni :)
Yang mengejutkan, saat
perjalanan pulang ternyata salah seorang kawan sempat merasa bahwa ia melihat “mbak-mbak
berambut panjang”. Padahal waktu itu matahari bahkan belum tenggelam. Benarkah?
Entahlah…
Perjalanan pun diakhiri dengan
makan malam di warung di kaki gunung dan kepulangan dengan kaki Gunung yang
gemetar waktu menginjak kopling mobil. Sorry Bro, ane belum punya SIM A :v
5, 6, 7-8-2014: Gunung Bromo, 2329 mdpl
(Jawa Timur)
Inilah
perjalanan mendaki saya yang paling lama diwacanakan. Sebulan lebih ada
mungkin. Sebuah perjalanan yang direncanakan oleh teman-teman di Karang Praga
(Keluarga Semarang Putra Ganesha, perhimpunan mahasiswa semarang di ITB). Awalnya
saya galau akibat dana yang harus dipersiapkan yang cukup besar (menurut saya)
padahal ada rencana ingin membeli pedang. Namun, pertimbangan bahwa pedang bisa
menunggu sedang kesempatan berpetualang belum tentu hadir lagi, jadilah saya
sambar kesempatan itu. *hitung-hitung persiapan ke Mahameru
Perjalanan di mulai di Stasiun
Poncol dan menempuh 8 jam ke Kota Surabaya. Sampai di sana sekitar jam 6 sore dan
ada slot waktu hingga pukul 10 sebelum
dijemput tour guide. Maka dari
Stasiun Pasar Turi (bener kan?) kami menuju ke Tugu Pahlawan. Ingin sekedar
foto-foto. Meski ada sedikit masalah akibat masuk tanpa izin—akhirnya bisa
dilobi kok, ilmu saat jadi Agnibrata belum terlalu luntur hehe. Setelah itu
kami melakukan makan malam yang entah kenapa terasa muraaaaaaaaaaaaah sekali.
Ayam goreng yang hanya seharga 14 ribu sepiring dengan 3 potong sedang ayam. Ternyata
baru sadar, di Surabaya itu memang tidak semahal di Bandung.
Tugu Pahlawan |
Mobil elf yang menjemput pun
tiba. Karena pengemudi harus ditemani ngobrol agar terasa sopan saya pun
ditunjuk untuk duduk di depan—bersama seorang kawan yang terbukti tidur juga di
akhir-akhir perjalanan. Sungguh, hari itu saya kembali tidak tidur. Namun saya
sungguh (lagi) tidak menyesal karena ternyata sopir tersebut adalah yang punya
travel dan merupakan pengusaha jasa travel dengan asset 18 mobil berbagai
jenis. Darinya saya belajar banyak hal tentang bisnis persewaan mobil—bapak
saya pengen mengembangkan usaha di sini—dan perbincangan politik yang membuka
pikiran. Betapa sebenarnya kasus lumpur Lapindo tidak seburuk yang diberitakan.
Karena yang masih macet adalah mereka yang mengaku terkena dampak lumpur namun
tak mempunyai dokumen bukti kepemilikan property. Dan inilah quote terbaik
malam itu:
“Kalau untuk hidup, penghasilan berapa pun
seharusnya cukup.
Namun jika untuk gaya hidup, penghasilan
berapa pun tak akan pernah cukup.”
Ini menanggapi
pertanyaan saya akan keputusan beliau yang keluar dari Bank Danamon padahal
sudah berpenghasilan 8 juta/bulan (tahun 2010) untuk memulai usahanya dengan
penghasilan yang seringkali minus. Dan beliau berkata bahwa menjadi pengusaha
itu memang berat. Bagaimana harus tidur pagi tiap hari akibat menunggu mobil
yang belum pulang, mencuci mobil malam-malam, order sepi, dan tertipu. “Tapi
saya enjoy aja Mas. Ya gimana ya, mungkin gara-gara usaha punya sendiri sih. Jadi
ya semangat.”
Singkat cerita, kami tiba di
terminal jeep. Dan mulailah pendakian hepi dengan jeep menuju gardu pandang
Gunung Bromo untuk memandang matahari terbit. Beuh, rame banget di mana hampir
setengah turis adalah turis asing. Dan mulailah terpikir satu hal: “Ini sholat
shubuhnya gimana?”
Akhirnya saya putuskan untuk
sholat di pinggir jalan, bodo amat dengan bisik-bisik turis lain. Mungkin kalo
ada turis brengsek dari luar negeri dan menyerang saya akibat menganggap saya
radikal, dengan senang hati saya akan menghajarnya.
Ada kerambit kok di tas :p
Dan
inilah pemandangan sunrise itu. Orang-orang
sibuk berfoto atau memotretnya. Namun saya ingat nasihat seseorang,
”Jika
harus memilih, pilihlah untuk merekam semua momen terindah dalam memorimu. Karena
tak ada kamera yang dapat melebihi kemampuan mata, dan foto yang melebihi
kenangan di hati.”
Agak Berawan |
Udah agak terang |
Setelah itu perjalanan
dilanjutkan ke padang pasir dan padang savanna. Widih, keren sekali
pemandangannya…
Sebagian peserta Bromo Tour |
Padang pasir |
Saya cuma megangin, gak bisa main sama sekali :v |
Lalu dilanjutkan
ke kawah Gunung Bromo yang harus mendaki ratusan anak tangga. Sebenarnya bukan
panas atau lelahnya yang menantang—kaki saya masih pegal akibat naik Gunung
Ungaran sih—namun lebih pada hembusan pasir yang menerpa mata dan mulut. Dan yang
lebih heboh, pasir itu bercampur dengan pup kuda yang mengering -_-
Sempat terpikir, jika pasir di
Bromo saja sudah begini kira-kira bagaimana badai pasir di Syam sana ya? Atau,
gimana dengan Padang Mahsyar nanti?
19, 20, 21-8-2014: Gunung Ciremai, 3078
mdpl (Jawa Barat)
Sepulang
mendongeng fisika (17-8-2014), saya pun bermain ke kosan si Madun. Yah, sekedar
ngobrol-ngobrol mengusir bosan. Dan baru sampai di depan kamarnya itu orang
sudah nongol dan berkata,”Ciremai yok!”
“Kapan?”
“Tanggal 19
sampai 20. Siap? Kurang orang nih!”
“Matanyaaaaa,
yang bener ajalah persiapan dua hari doang. Yaudah lah, apa speknya?” (semua
percakapan dalam bahasa jawa semi ngapak dan semarangan)
Malam itu saya mulai bergerilya
mengumpulkan spek dengan meminjam ransel, matras, dan sleeping bag dari inventaris
kosan Pang. Juga headlamp dari Mbak Yudith.
Hari-H
pendakian gunung
tertinggi di Jabar. Yang lainnya memakai sepatu gunung (meski ada yang
pinjaman) sedang saya tetap berusaha tangguh dengan sandal gunung.
Berangkat dari
kampus sekitar pukul 5 sore dan sampai di Pos 0 pada pukul setengah 10.
Perjalanan
dengan elf dari Bandung ke Majalengka skip dulu saja. Oh ya, ternyata
baru sadar bahwa Curug Muara Jaya itu satu kompeks dengan gunung ciremai
lho.
Kami mengambil jalur pendakian
teringan yaitu Apuy. Setelah tidur semalam di gardu Pos 1 (padahal ada mushola
yang anget tapi gak keliatan gara-gara gelap -_-) dengan kedinginan, pada pukul
delapan pagi kami mulai pendakian. Tidak lupa sarapan dulu penuh karbohidrat berupa
mie rasa soto yang dibuat seperti mie goreng, nasi, dan lanting.
Hari-H
pendakian gunung
tertinggi di Jabar. Yang lainnya memakai sepatu gunung (meski ada yang
pinjaman) sedang saya tetap berusaha tangguh dengan sandal gunung.
Berangkat dari
kampus sekitar pukul 5 sore dan sampai di Pos 0 pada pukul setengah 10.
Perjalanan
dengan elf dari Bandung ke Majalengka skip dulu saja. Oh ya, ternyata
baru sadar bahwa Curug Muara Jaya itu satu kompeks dengan gunung ciremai
lho.
Kami mengambil jalur pendakian
teringan yaitu Apuy. Setelah tidur semalam di gardu Pos 1 (padahal ada mushola
yang anget tapi gak keliatan gara-gara gelap -_-) dengan kedinginan, pada pukul
delapan pagi kami mulai pendakian. Tidak lupa sarapan dulu penuh karbohidrat berupa
mie rasa soto yang dibuat seperti mie goreng, nasi, dan lanting.
Wah, jalurnya maaaaaan, jauh dan
menanjak terus. Bahkan yang menyebakan ada salah seorang yang memindahkan plang
pos 3,5 ke tempat pos 2,5. Jadilah PHP
huhu. Namun perjalanan sungguh terbayar dengan pemandangan yang di dapat
dari pos 6, tempat kami mendirikan tenda. Total waktu yang dibutuhkan sekitar 8
jam sehingga kami tiba jam 4 sore. Tidak terlalu buruk kan?
Pos V |
Menuju Pos VI |
Persimpangan dari jalur Palutungan |
Masak makan malam |
Saya (kembali) hanya melihat. Karena masakan jika terlalu banyak yang ikut campur jadi aneh rasanya (ngeles) |
Mulailah
kami menyiapkan tenda dan memasak untuk makan malam. Menunya adalah nasi, tempe
goreng, kerupuk udang, sayur sop, dan sambal kecap. Istimewa. Kalau saya
ditambah dengan beri hutan. Jadilah empat sehat: nasi, sayur, lauk, dan buah :9
Setelah matahari terbenam maka
pemandangan langit menjadi lebih menakjubkan lagi, sempurna dengan ketiadaan
kabut maupun bulan. Meski biasanya saya sangat menyukai bulan, namun
ketiadaannya saat itu justru menjadikan langit lebih puitis dengan bintang yang
bertaburan. Bahkan galaksi Bima Sakti terlihat jelas dari ketinggian 2950 mdpl
Pos 6. Senada dengan ketiadaan “bulan yang itu” karena sedang nun jauh di sana.
*abaikan
Sayang tidak bawa kamera DSLR yang
bisa mengabadikannya. Yah, jika Anda ingin mencobanya silahkan mendaki sendiri
dan bayangkan betapa kecilnya kita. Kami pun mulai saling membagi pikiran dan
bercerita mulai dari kekejaman zionis, scenario akhir zaman, Malhamah Kubra,
alien, hingga azab-azab umat terdahuu. Puas memandang langit saatnya tidur. Karena
sesuai rencana kami akan muncak untuk memandang matahari terbit.
Jam 03.00, kami terbangun dan
setelah sedikit bersiap (malamnya Pemimpin Safar membuat nutrijel dengan
potongan nanas), pendakian sesi dua pun di mulai. Tidak perlu waktu lama
ternyata, cukup setengah jam. Yang lama adalah ketika mengitari kawah untuk
mencapai spot terbaik di ujung timur kawah. Bahkan kami harus merayap—dalam
arti harfiah—di tepi kawah yang sangat rawan untuk terjatuh. Hal ini belakangan
saya sadari sangat konyol karena di sisi kanan agak ke bawah sebenarnya ada
jalan yang lebih manusiawi. Namun, setidaknya hal ini merupakan cerita yang
indah untuk dikenang apalagi jika Anda seorangyang takut ketinggian hahaha. Bahkan
pantulan cahaya bulan sabit (bulannya baru muncul ternyata) di kawah membuat
saya berpikir bahwa kawah berisi air serupa danau dengan kedalaman tak terkira
dan monster air yang menyeramkan (oke, ini lebay).
Setelah
sampai di tempat tujuan, cahaya merah mulai mengintip di ufuk timur. Kami pun
bersegera melaksanakan sholat shubuh untuk kemudian bergegas mencari tempat
paling pas menikmati momen ini. Dan jika Anda cermati maka akan nampak Gunung
Slamet (3428 mdpl) yang menjulang gagah seolah menyapa dari timur. Ah, sebuah
keindahan tak terkatakan yang sangat indah jika dinikmati dengan hati yang
tenteram dan tidak ribut dengan selfie. Dan pemimpin perjalanan—Bang Ojan—sepertinya
sudah sangat paham akan hal ini.
Sunrise feat Gunung Slamet |
Arah matahari angsung |
Sayang agak blur |
Madun gak ada, berrti dia yang motret :v |
Idem |
Kerambit dan jaket himpunan di atas awan :) |
Saya akui ini keren |
Punakawan ceritanya |
LOVE |
Kawahnya |
Berdiri, ruku', duduk, sujud :) |
Full team di puncak 3078 mdpl"Bigger, Stronger, Better" |
Ransel Deuter emang enak banget |
Selamat jalan... |
Dari terminal terlihat gagahnya 3078 mdpl |
Lalu
perjalanan pulang pun di isi dengan rasa kantuk yang mendera akibat kelelahan. Namun
satu yang saya ingat, salah seorang anggota rombongan pernah bilang,”Kau ini
kok kayak gak pernah kehabisan energy sih. Pantesan makannya paling banyak,
orang hiperaktif gitu.” Dan saya hanya tersenyum mendengarnya, mungkin benar
itu yang menyebabkan saya tidak gendut-gendut meski makannya paling banyak :)
Dan saat perjalanan turun ada satu quote dari Dhani Ndog yang cukup mengena:
NB: Buat anggota Tim Ciremai yang kemaren saya kasih nama "Jawa Coret" yaitu Bang Ojan, Madun, Dhani 'Ndog', Mbak Wira dan Mbak Anik: Menakjubkan!
NB2: Alasan penamaan itu saya ambil karena 5 anggota adalah orang Jawa (Semarang, Pati, Temanggung, dan Kebumen) sedang satu orang dari tanah seberang: Padang :)
Dan saat perjalanan turun ada satu quote dari Dhani Ndog yang cukup mengena:
"Ijazah dulu, baru 'ijab sah'!"
NB: Buat anggota Tim Ciremai yang kemaren saya kasih nama "Jawa Coret" yaitu Bang Ojan, Madun, Dhani 'Ndog', Mbak Wira dan Mbak Anik: Menakjubkan!
NB2: Alasan penamaan itu saya ambil karena 5 anggota adalah orang Jawa (Semarang, Pati, Temanggung, dan Kebumen) sedang satu orang dari tanah seberang: Padang :)
meski tidak dibaca secara rinci dan menyeluruh, aku akui hebat dah mas, tahun ini 3 gunung sekaligus :v kereen :p
BalasHapusview-nya nggak kalah keren :D
Ehm, kalo tahun ini lebih sih :\
HapusIni 3 gunung sebulan kok haha
*nyombong
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut