Beberapa malam yang lalu saya
menjanjikan adik saya sesuatu agar dia mau mengerjakan PR-nya: cerita horror
nanti malam. Dan karena saya habis baca-baca jangan suka bohong sama anak
kecil—adik saya udah gede sih—akhirnya malam harinya saat Bapak dan Ibu sudah sare saya tepati janji itu. Di ruang
tamu, gelap, dan bercerita sambil memandangi jalanan depan rumah. Adik saya di
lantai dengan guling dan selimut, saya mlungker
di atas kursi. Lalu, perasaan itu muncul…
Perasaan bahwa saya nyaman di
kondisi ini. Saya tak ingin menjadi lebih tua lagi. Saya ingin selalu di usia
21 tahun dan adik saya 11 tahun, di mana permasalahan-permasalahan yang ada
begitu sederhana. Lebih tepatnya, saya takut tentang harus menjaga adik saya
nantinya. Kalau masih kecil—kurang dari 11 tahun misal—kan urusannya tinggal
masalah jangan beli es di pinggir jalan.
Namun lalu saya berpikir, benarkah
perubahan demikian menakutkan?
Masa Lalu, Sekilas Tentangnya
Pernahkah kita mencoba untuk
sedikit mengulik masa lalu kita? Buat saya sendiri, terkadang ada saat-saat di
mana mencoba menengok ke belakang. Melihat bagaimana saya saat itu, dan
tindakan-tindakan apa yang saya lakukan ketika menghadapi suatu masalah. Lalu
terpikir, seandainya saya yang sekarang kembali ke masa lalu apakah saya akan
melakukan hal yang sama?
Mencoba
mengingat masa TK ketika hidup begitu sederhana. Yang mana saya saat itu bahkan
untuk sekedar minta izin ke toilet rasanya seperti mau perang, dan akhirnya
ketika berhasil terasa menjadi anak paling keren sedunia.
Lalu SD, saat pertama kalinya
mulai tahu tentang apa itu “pacaran” (teman saya sudah pacaran padahal masih
kelas 3 SD haha). Lalu pikiran begitu polos hingga percaya bahwa bersentuhan
dengan lawan jenis bisa bikin hamil.
SMP, masa-masa mulai tidak mau
disebut anak-anak lagi. Rasanya sudah jadi laki-laki paling bijak. Yang mulai
melirik-lirik lawan jenis dengan lebih ‘serius’. Berkelahi bahkan dengan satu
regu pramuka—yah, cuma satu orang sih sebenarnya yang kontak fisik hehe.
Lalu SMA, dan lanjut ke
masa-masa awal kuliah. Terlihat kan bahwa ternyata hidup ini sangat cepat? Lalu
apa yang sebenarnya kita dapat darinya? Apakah hidup hanya begitu saja?
Ada yang bilang hidup ini
seperti naik sepeda motor. Bahwa masa lalu adalah yang dibelakang kita,
sehingga perlakuan kita pada masa lalu sebagaimana layaknya kita memperlakukan
kaca spion. Terlalu banyak menengok spion, bersiaplah untuk mencium pantat truk
:v
Masa Kini, Masa Mengambil Keputusan
Inilah masa di mana
seharusnya kita berfokus. Dan diri kita sekarang adalah hasil investasi kita di
masa lalu bukan? Kita yang sekarang lah yang “mengendalikan” hidup kita, bukan
kita yang dahulu dan bukan pula kita yang akan datang. Inilah kita yang
sebenarnya, kita yang sekarang.
Kita yang sekarang, mungkin
menyesali beberapa hal di masa lalu. Kita yang sekarang, mungkin khawatir
dengan masa depan. Salahkah? Menurut saya, dalam batas tertentu (yang tentunya
kadar setiap orang berbeda) tidak masalah.
Namun
yang harus lebih kita pahami, kesalahan-kesalahan kita pada masa lalu tidaklah
mungkin dapat kita ubah. Diri-kita-yang-lalu telah ‘mengorbankan’ dirinya untuk
berbuat kesalahan agar dapat menjadi pelajaran bagi diri kita yang sekarang. Ia
telah rela menjadikan dirinya terlihat jelek di mata diri-kita-yang-sekarang.
Maka, sungguh kasihan dan tidak etis bukan jika diri-kita-yang-lalu hanya menjadi objek yang dipersalahkan
alih-alih bukan pribadi yang diambil pelajaran darinya?
Dan
kekhawatiran kita yang sekarang akan hal-hal di masa depan selayaknya tidak
menghentikan kita untuk tetap bergerak. Karena bagaimana pun, diri kita yang di
depan adalah investasi dari perilaku-perilaku kita yang sekarang. Jika kita
banyak khawatir, jangan kaget jika diri-kita-yang-akan-datang benar-benar
menjadi seseorang yang mengkhawatirkan.
Memang
tak ada yang lebih menakutkan dibandingkan perubahan. Karena perubahan itu tak
ada yang nyaman. Namun saat kita—bukan, tepatnya saya—menengok masa lalu, maka
hanya syukur yang saya panjatkan atas perubahan-perubahan yang diberikan.
Misalnya, saya tidak tahu jika dahulu menuruti kata Bapak buat kuliah di dalam
kota saja. Saat itu kami berdiskusi semalaman, hingga beliau memberikan
izinnya. Dan kemudian 2 hari yang lalu, dengan bangga beliau bercerita ke
saudara untuk “mengusir” anak lelaki yang sudah dewasa jauh dari tempat
tinggal. Karena anak lelaki—katanya—“harus” merantau, agar tahu rasanya “pulang”.
Agar tahu bagaimana hidup yang “sesungguhnya”. Atau mungkin aslinya beliau tahu
bahwa kepergian saya mengurangi jatah beras :v
Itu
perubahan dan keputusan yang saya buat dan dahulu sebenarnya terasa sangat
menakutkan. Bahkan, sehari menjelang keberangkatan saya ke Bandung saya
menekuri kamar. Menghitung kira-kira berapa lama lagi saya bisa tidur di situ.
Bayangan bahwa hanya bisa pulang setahun 2 kali sungguh menyesakkan dada. Namun
kini saat saya melihat diri saya, saya bersyukur telah berani mengambil
keputusan itu.
Lalu
akan timbul pertanyaan lanjutan, apakah setiap perubahan itu baik? Tentu tidak,
ada hal-hal yang juga saya “sesali”. Hal-hal yang terkadang sampai pada
pemikiran,”Andai dulu gue gak ngelakuin ini, pasti tidak akan jadi begini.”
Namun sekali lagi, itu adalah pembelajaran bukan?
“Dua puluh tahun dari sekarang kau akan lebih menyesal
atas
apa-apa yang tidak pernah kau kerjakan
dibandingkan atas apa-apa yang kau kerjakan.”
-Quote
di Novelnya Tere Liye-
Seperti cerita tentang naik
sepeda motor itu juga, kita terkadang memang perlu rehat sejenak jika sudah
terasa lelah. Karena jika terus melaju sedang otak sedang down berat ya bakal mencium pantat truk juga :v
Tetapi, terlalu sering istirahat
apalagi sekedar ngecengin cewek di pinggir jalan akan membuat kita tidak ke
mana-mana kan? Padahal mungkin saja kawan yang dulu jauh tertinggal di belakang
kini sudah tiga kota di depan Anda.
Dan
ingat ini:
Di dunia ini yang tidak pernah berubah
adalah perubahan itu sendiri.
Masa Depan, Misteri Terbesar Kehidupan
Apa yang membuat kejutan selalu
tak terlupakan? Tentu, karena kita tak pernah tahu tentangnya. Dan demikian
pula masa depan, tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan tidak
mengetahui masa depan kita. Menurut saya demikian.
Omong-omong, memiliki visi yang
jelas dan menjadi seorang yang visioner tentu sangat bagus. Karena itu membuat
kita mempunyai patokan dan tujuan dalam mengambil keputusan di masa sekarang. Kalau
saya, biasanya dalam memutuskan sesuatu akan bertanya,”Apakah ini akan
mendekatkan saya pada visi, atau justru menjauhkan?” Hanya saja, akan menjadi
masalah jika kita terlalu berangan-angan tentangnya karena akan membuat buyar
jalan menuju ke sana: Masa Kini.
Seorang bijak pernah berkata,
“Penyesalanmu atas masa lalu tidak akan
mengubahnya,
Dan kekhawatiranmu pada masa depan tidak
akan membuatnya datang lebih cepat.”
Seperti cerita naik motor tadi,
berangan-angan tentang yang ada tujuan itu baik. Mungkin bisa memotivasi agar
lebih sigap dalam berkendara. Namun jika angan-angan itu terlalu “melayang”,
yang ada kita juga akan mencium pantat truk :v
Apalagi jika membayangkan yang buruk-buruk di sana. Seperti misal jika Anda dalam perjalanan ke calon mertua untuk “nembak”, dan terbayang penolakan kasar nan memalukan maka yang ada Anda akan berkendara dengan berlambat-lambat. Dan tetap, berpotensi untuk mencium pantat truk :v :v
Apalagi jika membayangkan yang buruk-buruk di sana. Seperti misal jika Anda dalam perjalanan ke calon mertua untuk “nembak”, dan terbayang penolakan kasar nan memalukan maka yang ada Anda akan berkendara dengan berlambat-lambat. Dan tetap, berpotensi untuk mencium pantat truk :v :v
Penutup
Banyak yang complain
tulisan saya sering sulit untuk disimpulkan. Nah, untuk yang ini biar saya
simpulkan:
Jalanilah
hidup dengan penuh rasa syukur
Karena
jalan yang terbentang tidaklah terukur
Biarkan
dan jadikan pelajaran yang lalu agar tidak membuat kita hancur
Perbaiki
diri yang sekarang karena inilah sebenarnya umur
Dan
jangan takut pada masa depan agar tidak jatuh kufur
0 komentar:
Posting Komentar