Jumat, 11 Oktober 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,


                Menikah. Ah, sebuah kata yang penuh makna. Dan merupakan sebuah kata yang tak aneh lagi. Apalagi jika di sekitarmu sering sekali membahas hal-hal yang berhubungan dengannya: Jodoh, melamar, calon, kriteria, sampai prospek kerja sebagai penghulu(jurusan aing apa woy!!!). Bahkan kemarin bersama seorang kawan saya tergoda untuk ikut merangkai cerita bodoh di mana kami mengajukan proposal ke pihak yang sama, dan ternyata kami telah keduluan orang lain—dan orang lain itu adalah kawan kami pula. Entahlah, apa ini yang sebenarnya kami perbincangkan -_-    


                Begitulah, di sekitar saya banyak sekali perbincangan tentangnya. Terakhir kemarin, ada pula seseorang yang saya tanya kenapa jadi asisten praktikum, katanya buat nabung. Nabung buat apa? Yak betul, nabung buat nikah hahaha. Tak ada yang salah sesungguhnya, saya pikir. Mana ada sih seseorang yang dia hidup, normal, sehat, tidak gila, jomblo, dan takut maksiat namun tak ingin menikah? Kupikir dengan statistic bisa didapatkan bahwa dalam selang kepercayaan 97.5% akan terjawab dengan kata “TIDAK ADA”(yang ini bercanda lagi, maklum efek praktikum metrologi industri kemarin hehe).


            Namun ketika kita membahas ‘Nikah Muda’, itu mungkin akan saya pikir-pikir dulu. Baiklah, karena parameter muda kurang bisa kita sepakati mari kita buat definisi lebih spesifik untuk pembahasan kali ini. Yaitu ‘Nikah Saat Kuliah’, lebih tepatnya lagi: ‘Nikah Saat Kuliah S1’. Nikah saat sekolah tidak akan saya bahas karena setahu saya ada peraturan bahwa murid sekolah dilarang menikah dan sejauh yang saya tahu pula, peraturan tersebut masih berlaku(saya tidak membahas mereka yang MBA lho).                

                Sebelumnya, saya akan sedikit bercerita. Dahulu, ketika awal-awal sebagai mahasiswa saya bertemu dengan suatu komunitas yang isinya anak muda yang pengen banget menikah. Mereka berkata bahwa  menikah itu (seolah) begitu penting. Bahwa sumber segala kemashlahatan (seakan-akan) dari menikah. Saya, yang sudah tahu bahwa pacaran itu dekat dengan zina, waktu itu jomblo(sekarang juga masih sih :P), tentu sangat tertarik dengan gagasan itu. Kami membahas dengan semangat jika pada setiap kajian menyerempet hal tesebut. Terlihat betapa menyenangkannya bersama lawan jenis non-mahram yang kita cintai dalam suatu pergaulan yang berpahala. Pokoknya, seru banget dalam bayangan saya.

                Apalagi ketika mendengar cerita tentang bagaimana Ali radhiallahu’anhu menikah pada usia 23 tahun. Lalu ada Usamah  radhiallahu’anhu yang menjadi jenderal saat mengalahkan Persia berusia 18 tahun, dan Sultan Muhammad Al-Fatih yang menjebol Konstantinopel  pada usia 21 tahun pula. Yang dibahas lagi-lagi: bahwa mereka berdua ini telah menikah sebelum melakukan hal spektakuler tersebut. Wow, benar-benar hebat efeknya kan menikah muda?

                Entahlah bagaimana, dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa menikah muda itu akan membuat seseorang lebih meledak potensinya. Bahwa menikah ketika kuliah akan membuat kita semakin semangat dan berhasil dalam kehidupan akademik. Bahkan saya “mencela” mentor saya sendiri karena beliau mematok usia 25 tahun. Saya pikir,”Lha, ilmu agama antum kan lebih dari saya, masak mau saya duluin(padahal sekarang sudah hampir jelas bahwa beliau akan duluan hehe)?” Parahnya saya sampai segitunya, bahwa parameter kebaikan agama adalah siapa yang lebih cepat menikah.

                Tetapi, kini di tingkat tiga saya mulai berubah pikiran. Bukan, bukan berarti saya tak mau menikah(Tetap mau dong kalau itu). Yang saya tinjau ulang adalah pandangan saya untuk menikah pada waktu kuliah. Kenapa?

                Pertama begini kawan, memang ada hadits yang menganjurkan untuk menikah bagi mereka yang mampu. Namun, sebenarnya apa definisi mampu di sini? Para ulama menyepakati bahwa mampu berarti mampu fisik, psikis, dan materi.  Mampu fisik artinya sehat, tidak sedang menderita penyakit yang akan mengurangi kemampuan secara fisik sebagai suami(atau istri). Psikis, maksudnya adalah tentu mukallaf, tidak gila, dan memang tahu serta siap akan tanggung jawab yang akan datang. Dan terakhir materi, maksudnya seorang suami wajib mampu memberikan nafkah sesuai keumumuman masyarakat di sekitarnya. Begitu yang pernah saya baca, silahkan kalau ada yang mau menambahi atau tidak setuju.

                Kedua, mengenai ayat yang  isinya demikian:

                Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.(QS An-Nur: 32)

                Dan saya sertakan tafsirnya menurut Ibnu Abbas:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kalian dan budak-budak perempuan kalian. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.
Wa angkihū (dan nikahkanlah), yakni kawinkanlah.
Al-ayāmā mingkum (orang-orang yang masih sendirian di antara kalian), yakni anak-anak perempuan atau saudara-saudara perempuan kalian. Ada yang berpendapat, anak-anak kalian atau saudara-saudara perempuan kalian yang belum mempunyai pasangan.
Wash shālihīna min ‘ibādikum (dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kalian), yakni dan nikahkanlah hamba-hamba laki-laki kalian yang saleh.
Wa imā-ikum iy yakūnū (dan budak-budak perempuan kalian. Jika mereka), yakni jika orang-orang merdeka itu.
Fuqarā-a yughnīhimullāhu miη fadl-lih (miskin, Allah akan Memberi mereka kecukupan dengan Karunia-Nya), yakni dengan Rezeki-Nya.
Wallāhu wāsi‘un (dan Allah Maha Luas) Rezeki-Nya, baik bagi orang-orang merdeka ataupun bagi para budak.
‘Alīm (lagi Maha Mengetahui) untuk memberi mereka rezeki.

                Suatu ketika, sebelum ta’lim saya duduk-duduk mengobrol dengan ustadz yang akan mengisi ta’lim tersebut. Beliau sudah menikah, dan terhitung pengantin baru. Ya sudah, saya iseng-iseng tanya,”Kang, hadits kan menganjurkan untuk menikah. Dan kalau di Qur’an kan dibilang tuh bahwa Allah akan memampukan hamba-Nya yang miskin saat menikah kan? Lalu, bagaimana jika mahasiswa menikah?”

                “Ya tidak apa-apa. Asal sudah mempunyai penghasilan sendiri. Bukan masih nebeng sama orang tua. Intinya dia memiliki sumber penghidupan yang mandiri bukan bergantung pada pihak lain. Begitu ane kira.”

                “Lah kalau beasiswa itu bagaimana Kang? Atau ortunya memang kaya sekali?”

                “Kalau beasiswa kan masih bergantung sama orang lain kan? Sama saja seperti masih nebeng orang, hanya ini bukan ortu. Lagian, beasiswa itu dirancang untuk biaya hidup sendiri sejauh yang ane tahu. Kemudian, masalah yang kedua, jika antum begitu apa tidak malu?” jawab beliau sambil tersenyum penuh arti.

                “Oh, tapi bukankah Allah sudah Berjanji akan memampukan hamba-Nya yang miskin?”

                “Ya, benar sekali. Namun perlu dicatat, miskin dengan tidak berpenghasilan itu berbeda. Dan lebih berbeda lagi antara miskin dengan pengangguran.”

                “Oh, iya juga ya. Wah, sip-sip kang.”

                “Yang penting itu membuka pintu rezeki dulu. Mau dagang silahkan, karena dagang akan membuka pintu dan rezeki Allah yang akan datang dari arah tak terduga-duga kini bisa datang karena sudah ada pintunya. Intinya membuka pintu rezeki dulu, jangan jadi sufi yang aneh-aneh itu: tak mau usaha tapi mengharap rezeki Allah akan datang dengan sendirinya. Itu bukan tawakkal, tapi malas,” jawab beliau panjang lebar.

                Mungkin buat mahasiswi tak terlalu menjadi masalah—atau malah bukan suatu masalah—untuk menikah waktu kuliah. Lah, kalau buat mahasiswa S1 yang masih pengangguran: Apa kata dunia? Hehehe.

                Ketiga, sebagian besar sahabat Rasul memang menikah pada usia yang muda. Bahkan lebih muda dari saya(20 tahun) dan Anda. Namun satu hal yang berbeda: MEREKA BUKANLAH PENGANGGURAN! Masyarakat saat itu sudah terbiasa bekerja(berdagang atau bertani) semenjak usia muda. Bahkan Rasul kita sendiri semenjak remaja telah menjadi penggembala kambing, saat 12 tahun di ajak paman beliau berdagang ke Syam, dan saat berusia 20an tahun telah menjadi pengusaha muda di bidang ekspor impor hingga saat pernikahan beliau ketika berusia 25 tahun beliau telah sanggup memberikan mahar sebesar 10 ekor unta!!!! Kalau zaman sekarang mungkin sama dengan 10 buah mobil Honda Jazz  kali ya???

                Lha kita? Man! Kita sekarang hidup di zaman di mana seorang anak berusia di bawah 18 tahun bekerja maka akan kena undang-undang perlindungan anak -_-

                Sebenarnya saya agak gimana juga, ketika seorang aktivis dakwah di jejaring social hanya share semua hal tentang nikah. Nikah, nikah, dan nikah saja. Seolah tanpa nikah tak aka nada khilafah(oke, yang ini lebay). Haloooo, ada banyak hal yang juga—perhatikan saya tidak gunakan kata “lebih”—penting selain menikah, apalagi menikah muda, apalagi menikah saat kuliah, apalagi menikah saat kuliah S1, apalagi menikah saat kuliah S1 dan masih sebagai pengangguran.

                Bidang dakwah ini masih sangat luas sedang umur kita terbatas, haruskah kita HANYA focus pada bidang menikah? Saya takut, orang-orang di luar sana semakin mencemooh kalian para aktivis dakwah(saya belum jadi aktivis dakwah soalnya hehe) bahwa seseorang yang bertitel aktivis dakwah hanya menjadikan topic nikah muda sebagai andalannya. Dan saya takut pula, jika orang awam melihat semakin dekat seseorang dengan dakwah justru semakin terlihat semakin mudah galau. Duh, malu dong. Kata Ketua saya di MPI: Ih, aktivis dakwah itu harus kuat. Kalau nggalau terus hanya tentang hal mblenyek-mblenyek gitu gimana mau mikir umat?  

                Saya tak menyalahkan sebenarnya. Karena saya tahu bahwa persegeraraan menikah itu karena kawan-kawan saya tersebut miris melihat fenomena pacaran yang semakin tak terbatas dan jauh dari aturan islami(emang ada pacaran islami?!). Namun, dalam hadits pula disebutkan bahwa jika seseorang takut terjerumus zina hendaknya menikah, sedangkan jika belum mampu ya berpuasa. Bukan tidak mampu lalu memaksakan diri untuk menikah. Apalagi jika tak mampu lalu melegalkan pacaran suram. Dan tentu sambil terus berusaha untuk memampukan diri.

                Saya jadi teringat cerita kaprodi saya. Beliau berkata bahwa pernah memiliki mahasiswa yang aslinya sangat cerdas dan sudah menikah sejak tingkat satu. Alasannya, karena sejak SMA sudah pacaran dan pacarnya juga diterima di universitas di Bandung juga. Orang tuanya berpikir, lebih aman menikahkan mereka karena sama-sama jauh dari pantauan orang tua. Dan ternyata, mahasiswa yang sangat cerdas sebenarnya tersebut IP-nya sangat kecil karena harus sudah memikirkan anak dan istrinya. Hal itu membuatnya sulit mencari pekerjaan di perusahaan untuk bersaing dengan lulusan lainnya.  Akhirnya, karena tak tega dia dicarikan pekerjaan oleh kaprodi saya tersebut. Kini, anaknya sudah 3 dan secara ekonomi sudah membaik.

                Yang krusial sekarang adalah sang ayah ingin membeli motor trail sedangkan mereka belum punya alat transportasi lainnya. Menurut beliau, sang ayah belum siap berkorban. Mungkin karena dulu saat muda belum siap psikisnya namun telah menikah. Kata beliau:

Jika anda belum siap berkorban, maka jangan menikah!


                Kenapa? Karena logikanya saja kita pasti pernah—atau bahkan sering—bertengkar dengan adik atau kakak kita. Padahal asalnya dari rahim yang sama, makannya sama, sejak kecil sering tidur bareng, sudah tahu kejelekannya tapi masih saja bertengkar. Kini, saat menikah maka orang yang kita nikahi merupakan orang yang benar-benar asing bukan? Lalu, jika kita belum siap untuk berkorban mau bertahan berapa lama pernikahan kita? Begitu kira-kira wejangan beliau.


                Nah, itulah kira-kira sedikit hasil pemikirannya saya mengenai pendapat nikah muda. Maaf jika ada yang kurang berkenan, saya hanya ingin membagi isi pikiran saya. Siapa tahu akan memberikan tambahan sudut pandang :-)

NB: nih biar galau hahaha
Hayo lho, hahaha

0 komentar:

Posting Komentar