Menikah. Ah, sebuah kata yang
penuh makna. Dan merupakan sebuah kata yang tak aneh lagi. Apalagi jika di sekitarmu sering sekali membahas hal-hal yang
berhubungan dengannya: Jodoh, melamar, calon, kriteria, sampai prospek kerja
sebagai penghulu(jurusan aing apa woy!!!). Bahkan kemarin bersama seorang kawan
saya tergoda untuk ikut merangkai cerita bodoh di mana kami mengajukan proposal
ke pihak yang sama, dan ternyata kami telah keduluan orang lain—dan orang lain
itu adalah kawan kami pula. Entahlah, apa ini yang sebenarnya kami
perbincangkan -_-
Begitulah, di sekitar saya
banyak sekali perbincangan tentangnya. Terakhir kemarin, ada pula seseorang yang saya tanya kenapa jadi asisten praktikum, katanya buat nabung. Nabung buat apa? Yak betul, nabung buat nikah hahaha. Tak ada yang salah sesungguhnya, saya pikir.
Mana ada sih seseorang yang dia hidup, normal, sehat, tidak gila, jomblo, dan
takut maksiat namun tak ingin menikah? Kupikir dengan statistic bisa didapatkan
bahwa dalam selang kepercayaan 97.5% akan terjawab dengan kata “TIDAK ADA”(yang
ini bercanda lagi, maklum efek praktikum metrologi industri kemarin hehe).
Namun ketika
kita membahas ‘Nikah Muda’, itu mungkin akan saya pikir-pikir dulu. Baiklah,
karena parameter muda kurang bisa kita sepakati mari kita buat definisi lebih
spesifik untuk pembahasan kali ini. Yaitu ‘Nikah Saat Kuliah’, lebih tepatnya
lagi: ‘Nikah Saat Kuliah S1’. Nikah saat sekolah tidak akan saya bahas karena
setahu saya ada peraturan bahwa murid sekolah dilarang menikah dan sejauh yang
saya tahu pula, peraturan tersebut masih berlaku(saya tidak membahas mereka
yang MBA lho).
Sebelumnya, saya akan sedikit bercerita. Dahulu, ketika awal-awal sebagai mahasiswa saya bertemu dengan suatu komunitas yang isinya anak muda yang pengen banget menikah. Mereka berkata bahwa menikah itu (seolah) begitu penting. Bahwa sumber segala kemashlahatan (seakan-akan) dari menikah. Saya, yang sudah tahu bahwa pacaran itu dekat dengan zina, waktu itu jomblo(sekarang juga masih sih :P), tentu sangat tertarik dengan gagasan itu. Kami membahas dengan semangat jika pada setiap kajian menyerempet hal tesebut. Terlihat betapa menyenangkannya bersama lawan jenis non-mahram yang kita cintai dalam suatu pergaulan yang berpahala. Pokoknya, seru banget dalam bayangan saya.
Sebelumnya, saya akan sedikit bercerita. Dahulu, ketika awal-awal sebagai mahasiswa saya bertemu dengan suatu komunitas yang isinya anak muda yang pengen banget menikah. Mereka berkata bahwa menikah itu (seolah) begitu penting. Bahwa sumber segala kemashlahatan (seakan-akan) dari menikah. Saya, yang sudah tahu bahwa pacaran itu dekat dengan zina, waktu itu jomblo(sekarang juga masih sih :P), tentu sangat tertarik dengan gagasan itu. Kami membahas dengan semangat jika pada setiap kajian menyerempet hal tesebut. Terlihat betapa menyenangkannya bersama lawan jenis non-mahram yang kita cintai dalam suatu pergaulan yang berpahala. Pokoknya, seru banget dalam bayangan saya.
Apalagi ketika mendengar cerita
tentang bagaimana Ali radhiallahu’anhu menikah pada usia 23 tahun. Lalu ada Usamah
radhiallahu’anhu yang menjadi jenderal
saat mengalahkan Persia berusia 18 tahun, dan Sultan Muhammad Al-Fatih yang
menjebol Konstantinopel pada usia 21
tahun pula. Yang dibahas lagi-lagi: bahwa mereka berdua ini telah menikah
sebelum melakukan hal spektakuler tersebut. Wow, benar-benar hebat efeknya kan
menikah muda?
Entahlah bagaimana, dari situ
saya mengambil kesimpulan bahwa menikah muda itu akan membuat seseorang lebih
meledak potensinya. Bahwa menikah ketika kuliah akan membuat kita semakin
semangat dan berhasil dalam kehidupan akademik. Bahkan saya “mencela” mentor
saya sendiri karena beliau mematok usia 25 tahun. Saya pikir,”Lha, ilmu agama
antum kan lebih dari saya, masak mau saya duluin(padahal sekarang sudah hampir
jelas bahwa beliau akan duluan hehe)?” Parahnya saya sampai segitunya, bahwa
parameter kebaikan agama adalah siapa yang lebih cepat menikah.
Tetapi, kini di tingkat tiga
saya mulai berubah pikiran. Bukan, bukan berarti saya tak mau menikah(Tetap mau
dong kalau itu). Yang saya tinjau ulang adalah pandangan saya untuk menikah
pada waktu kuliah. Kenapa?
Pertama begini kawan, memang ada
hadits yang menganjurkan untuk menikah bagi mereka yang mampu. Namun,
sebenarnya apa definisi mampu di sini? Para ulama menyepakati bahwa mampu berarti
mampu fisik, psikis, dan materi. Mampu fisik
artinya sehat, tidak sedang menderita penyakit yang akan mengurangi kemampuan
secara fisik sebagai suami(atau istri). Psikis, maksudnya adalah tentu
mukallaf, tidak gila, dan memang tahu serta siap akan tanggung jawab yang akan
datang. Dan terakhir materi, maksudnya seorang suami wajib mampu memberikan
nafkah sesuai keumumuman masyarakat di sekitarnya. Begitu yang pernah saya baca,
silahkan kalau ada yang mau menambahi atau tidak setuju.
Kedua, mengenai ayat yang isinya demikian:
Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan Memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.(QS An-Nur: 32)
Dan saya sertakan tafsirnya menurut Ibnu Abbas:
Dan saya sertakan tafsirnya menurut Ibnu Abbas:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak
laki-laki kalian dan budak-budak perempuan kalian. Jika mereka miskin, Allah
akan Memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui.
Wa angkihū (dan nikahkanlah), yakni
kawinkanlah.
Al-ayāmā mingkum (orang-orang yang masih
sendirian di antara kalian), yakni anak-anak perempuan atau saudara-saudara
perempuan kalian. Ada yang berpendapat, anak-anak kalian atau saudara-saudara
perempuan kalian yang belum mempunyai pasangan.
Wash shālihīna min ‘ibādikum (dan
orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kalian), yakni dan
nikahkanlah hamba-hamba laki-laki kalian yang saleh.
Wa imā-ikum iy yakūnū (dan budak-budak
perempuan kalian. Jika mereka), yakni jika orang-orang merdeka itu.
Fuqarā-a yughnīhimullāhu miη fadl-lih
(miskin, Allah akan Memberi mereka kecukupan dengan Karunia-Nya), yakni dengan
Rezeki-Nya.
Wallāhu wāsi‘un (dan Allah Maha Luas)
Rezeki-Nya, baik bagi orang-orang merdeka ataupun bagi para budak.
‘Alīm (lagi Maha Mengetahui) untuk memberi
mereka rezeki.
Suatu
ketika, sebelum ta’lim saya duduk-duduk mengobrol dengan ustadz yang akan mengisi
ta’lim tersebut. Beliau sudah menikah, dan terhitung pengantin baru. Ya sudah,
saya iseng-iseng tanya,”Kang, hadits kan menganjurkan untuk menikah. Dan kalau
di Qur’an kan dibilang tuh bahwa Allah akan memampukan hamba-Nya yang miskin
saat menikah kan? Lalu, bagaimana jika mahasiswa menikah?”
“Ya tidak apa-apa. Asal sudah mempunyai
penghasilan sendiri. Bukan masih nebeng sama orang tua. Intinya dia memiliki
sumber penghidupan yang mandiri bukan bergantung pada pihak lain. Begitu ane
kira.”
“Lah kalau beasiswa itu
bagaimana Kang? Atau ortunya memang kaya sekali?”
“Kalau beasiswa kan masih
bergantung sama orang lain kan? Sama saja seperti masih nebeng orang, hanya ini
bukan ortu. Lagian, beasiswa itu dirancang untuk biaya hidup sendiri sejauh
yang ane tahu. Kemudian, masalah yang kedua, jika antum begitu apa tidak malu?”
jawab beliau sambil tersenyum penuh arti.
“Oh, tapi bukankah Allah sudah
Berjanji akan memampukan hamba-Nya yang miskin?”
“Ya, benar sekali. Namun perlu
dicatat, miskin dengan tidak berpenghasilan itu berbeda. Dan lebih berbeda lagi
antara miskin dengan pengangguran.”
“Oh, iya juga ya. Wah, sip-sip
kang.”
“Yang penting itu membuka pintu
rezeki dulu. Mau dagang silahkan, karena dagang akan membuka pintu dan rezeki
Allah yang akan datang dari arah tak terduga-duga kini bisa datang karena sudah
ada pintunya. Intinya membuka pintu rezeki dulu, jangan jadi sufi yang
aneh-aneh itu: tak mau usaha tapi mengharap rezeki Allah akan datang dengan
sendirinya. Itu bukan tawakkal, tapi malas,” jawab beliau panjang lebar.
Mungkin buat mahasiswi tak
terlalu menjadi masalah—atau malah bukan suatu masalah—untuk menikah waktu
kuliah. Lah, kalau buat mahasiswa S1 yang masih pengangguran: Apa kata dunia? Hehehe.
Ketiga, sebagian besar sahabat
Rasul memang menikah pada usia yang muda. Bahkan lebih muda dari saya(20 tahun)
dan Anda. Namun satu hal yang berbeda: MEREKA BUKANLAH PENGANGGURAN! Masyarakat
saat itu sudah terbiasa bekerja(berdagang atau bertani) semenjak usia muda. Bahkan
Rasul kita sendiri semenjak remaja telah menjadi penggembala kambing, saat 12
tahun di ajak paman beliau berdagang ke Syam, dan saat berusia 20an tahun telah
menjadi pengusaha muda di bidang ekspor impor hingga saat pernikahan beliau
ketika berusia 25 tahun beliau telah sanggup memberikan mahar sebesar 10 ekor
unta!!!! Kalau zaman sekarang mungkin sama dengan 10 buah mobil Honda Jazz kali ya???
Lha kita? Man! Kita sekarang
hidup di zaman di mana seorang anak berusia di bawah 18 tahun bekerja maka akan
kena undang-undang perlindungan anak -_-
Sebenarnya saya agak gimana
juga, ketika seorang aktivis dakwah di jejaring social hanya share semua hal
tentang nikah. Nikah, nikah, dan nikah saja. Seolah tanpa nikah tak aka nada khilafah(oke,
yang ini lebay). Haloooo, ada banyak hal yang juga—perhatikan saya tidak gunakan kata “lebih”—penting selain menikah, apalagi menikah muda, apalagi
menikah saat kuliah, apalagi menikah saat kuliah S1, apalagi menikah saat
kuliah S1 dan masih sebagai pengangguran.
Bidang dakwah ini masih sangat
luas sedang umur kita terbatas, haruskah kita HANYA focus pada bidang menikah? Saya
takut, orang-orang di luar sana semakin mencemooh kalian para aktivis
dakwah(saya belum jadi aktivis dakwah soalnya hehe) bahwa seseorang yang
bertitel aktivis dakwah hanya menjadikan topic nikah muda sebagai andalannya. Dan
saya takut pula, jika orang awam melihat semakin dekat seseorang dengan dakwah
justru semakin terlihat semakin mudah galau. Duh, malu dong. Kata Ketua saya di
MPI: Ih, aktivis dakwah itu harus kuat. Kalau nggalau terus hanya tentang hal mblenyek-mblenyek gitu gimana mau mikir
umat?
Saya tak menyalahkan sebenarnya.
Karena saya tahu bahwa persegeraraan menikah itu karena kawan-kawan saya
tersebut miris melihat fenomena pacaran yang semakin tak terbatas dan jauh dari
aturan islami(emang ada pacaran islami?!). Namun, dalam hadits pula disebutkan
bahwa jika seseorang takut terjerumus zina hendaknya menikah, sedangkan jika
belum mampu ya berpuasa. Bukan tidak mampu lalu memaksakan diri untuk menikah. Apalagi
jika tak mampu lalu melegalkan pacaran suram. Dan tentu sambil terus berusaha
untuk memampukan diri.
Saya jadi teringat cerita kaprodi
saya. Beliau berkata bahwa pernah memiliki mahasiswa yang aslinya sangat cerdas
dan sudah menikah sejak tingkat satu. Alasannya, karena sejak SMA sudah pacaran
dan pacarnya juga diterima di universitas di Bandung juga. Orang tuanya
berpikir, lebih aman menikahkan mereka karena sama-sama jauh dari pantauan
orang tua. Dan ternyata, mahasiswa yang sangat cerdas sebenarnya tersebut
IP-nya sangat kecil karena harus sudah memikirkan anak dan istrinya. Hal itu
membuatnya sulit mencari pekerjaan di perusahaan untuk bersaing dengan lulusan
lainnya. Akhirnya, karena tak tega dia
dicarikan pekerjaan oleh kaprodi saya tersebut. Kini, anaknya sudah 3 dan
secara ekonomi sudah membaik.
Yang krusial sekarang adalah
sang ayah ingin membeli motor trail sedangkan mereka belum punya alat
transportasi lainnya. Menurut beliau, sang ayah belum siap berkorban. Mungkin karena
dulu saat muda belum siap psikisnya namun telah menikah. Kata beliau:
Jika
anda belum siap berkorban, maka jangan menikah!
Kenapa? Karena logikanya saja
kita pasti pernah—atau bahkan sering—bertengkar dengan adik atau kakak kita. Padahal
asalnya dari rahim yang sama, makannya sama, sejak kecil sering tidur bareng,
sudah tahu kejelekannya tapi masih saja bertengkar. Kini, saat menikah maka
orang yang kita nikahi merupakan orang yang benar-benar asing bukan? Lalu, jika
kita belum siap untuk berkorban mau bertahan berapa lama pernikahan kita? Begitu kira-kira
wejangan beliau.
Nah, itulah kira-kira sedikit
hasil pemikirannya saya mengenai pendapat nikah muda. Maaf jika ada yang kurang
berkenan, saya hanya ingin membagi isi pikiran saya. Siapa tahu akan memberikan
tambahan sudut pandang :-)
NB: nih biar galau hahaha
NB: nih biar galau hahaha
Hayo lho, hahaha |
0 komentar:
Posting Komentar