Hari ini saya belajar satu hal
yang saya rasa cukup besar. Tentang arti menghakimi, pun dengan kata
instropeksi.
Ceritanya, tadi pagi saya
mendapat ‘tugas’ dari para ‘serigala’ (Dun, ganti nama grup line kita lah, alay
banget kau -____-“) untuk beli tiket bus di Terminal Cicaheum. Kami selama
liburan panjang ini berencana sowan ke rumah Kak Madun, ke sebuah negara yang
bernama Kebumen *peace coy, guyon :v
Kenapa
saya sendiri yang beli dan saya mau? (Oke, berkisah OOT sedikit). Karena Madun
dan Ucup sedang ada kuliah Studium Generale, si Faiz sedang simulasi upper frame di laptopnya, si Anu (Arif
Nugroho) sedang ada WAR DotA—ini DotA secara harfiah, bukan do TA alias
mengerjakan Tugas Akhir—sedang saya yang biasanya harus bimbingan dan dibantai
tiap Rabu pagi agak bebas. Ya, dosen pembimbing tercinta sedang umroh. Mungkin sedang
mendoakan kelancaran TA saya di depan Ka’bah :)
Oke, kembali ke cerita awal. Tersebutlah
saya sedang duduk menanti agen bus semuanya untuk studi banding harga tiket ke
Kebumen. Dalam rangka mengisi kekosongan hati, saya pun konsultasi
dengan para ‘manusia’ itu tentang harga tiket yang telah saya survey via line. Juga
nge-line yang lain sih :p
Nah, di sinilah kisah itu
bermula. Datanglah seorang adik kecil cewek yang bawa amplop lusuh bertuliskan
tentang dia yang “anak miskin, tak punya apa2, dan mengharap uang seridonya
untuk biaya beli peralatan sekolah.” Karena saya sedang mbulet dengan kawan-kawan saya tentang harga tiket, saya pun
mengacuhkan adik itu. Lalu ia datang lagi, mengambil amplopnya, namun TIDAK
PERGI. Wah, ya jadi tidak enak hati saya.
Hanya ilustrasi, tapi lihat deh wadah uang hasil mint-mintanya. Cih, kapitalisme menjijikkan! |
Kemudian ada satu hal yang lucu. Setelah itu ia datang ke warung dan beli susu kotak. Uangnya ambil dari situ. Seketika hati saya yang kotor, keras, dan kelam ini berteriak menghina,”Apa? Penipuan ini! Katanya itu duit buat beli peralatan sekolah, kok buat beli susu kotak?”
Tak disangka, adik itu datang
lagi ke dekat saya. Kali ini amplopnya dimasukkan kantong, dan ia melihat-lihat
barang-barang yang dijual pedagang asongan di dekat saya. Innocent sekali, seolah tidak berpikir bahwa saya sedang sebel sama
dia karena merasa ditipu. Namun,
melihat matanya yang mengucap terimakasih dan gayanya yang alami itu, saya jadi
berpikir. Bodoh sekali saya yang menghakiminya dengan penghakiman serendah itu.
Bahkan, darinya, saya mendapat beberapa pelajaran:
1. Anak Kecil Itu Selalu ‘Bodoh’ Dalam Urusan
Tipu-Tipu
Entropi itu selalu memiliki delta yang positif dalam ruang lingkup
semesta. Singkatnya, seiring berjalannya waktu sesuatu itu cenderung bertambah
buruk. Misal, suatu gedung yang tidak dirawat pasti akan semakin lama keadaannya bertambah buruk. Gedung itu akan
menjadi lebih jika dan hanya jika kita membersihkannya, merawatnya, dan sebagainya.
Yang artinya, kita harus memasukkan energy ke dalam sistem gedung tersebut. Yang
agak ngerti termodinamika paham lah maksudnya. Dan, begitu pula manusia…
Jika ingin melihat diri kita yang paling jujur, maka saat masih anak-anak
belum baligh-lah kita menjadi pribadi yang paling baik. Memang kita bisa
menjadi lebih baik, atau setidaknya menjaga fitrah kebaikan kita itu, namun itu
perlu energy. Misalkan dengan belajar, ibadah, dan berdoa. Bahkan saya
menganggap beribadah itu adalah preventive maintenance buat kita sendiri kok.
“Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah
(Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.”
[Lihat Fathul-Bâri, Kitab al-Janâiz III/219,
hadits no. 1358, 1359, dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma'mûn
Syiha, XVI/423 dst. Hadits no. 6697.]
Ya, anak kecil selalu bodoh dalam urusan tipu-tipu. Karena Tuhan memang merancang
mereka untuk lahir dengan fitrah kebaikan. Sebuah bukti kebesaran Tuhan bahwa
Ia Maha Baik, dan manusia sendirilah yang merusak dirinya. Lihatlah anak kecil
yang barusan, dia mengajarkan pada saya betapa tidak ahlinya seorang anak kecil
di urusan penipuan. Ia kalah dengan para bapak-bapak yang ‘di atas sana’, yang
atas nama program kesejahteraan rakyat sebenarnya hanya sedang mencari proyek
untuk ditenderkan. Ah, padahal saya berpikir bapak-bapak itu waktu kecil
pastilah dididik dengan baik, tidak dieksploitasi dengan disuruh menipu di
terminal. Namun, kenapa saat sudah gede rakusnya bukan main? Bahkan aspal jalan
raya pun mau di makan, simulator SIM pun dikunyah dengan nikmat, dan bus
transjaka*ta pun dijilati dengan asyik. Percayalah wahai bapak-bapak, anda
semua sedang memberi makan anak kalian dengan sesuatu yang haram. Dan tak akan
ada kebaikan dalam daging yang tumbuh dari barang haram, camkan itu!
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari memakan yang haram, baik itu
untuk kami, istri kami, bapak kami, ibu kami, saudara kami, dan anak-anak kami.
Aamiin…
2. Eksploitasi Anak Adalah Hal Yang Masih Ada dan
Cenderung Meningkat
Sekarang, eksploitasi anak telah mencapai garis yang sangat memiriskan
hati saya. Bahkan, betapa banya anak-anak yang dieksploitasi sedang yang
mengeksploitasi menganggap bahwa mereka sedang melakukan yang terbaik buatnya.
Nah, pusing ya?
Oke, biar saya jelaskan. Saya ini guru les privat mata pelajaran fisika
dan matematika. Sudah, itu tok. Pernah suatu ketika saya mengajar dan mendapat ‘pengakuan’
yang mengejutkan. Sekarang, anak-anak itu sekolah sampai jam 2an siang. Habis
itu ada tambahan pelajaran hingga sore. Setelah itu mereka harus ikut les ini
itu, yang waktu saya tanya beberapa menjawab itu disuruh orang tuanya. Lalu malamnya,
les mapel sama saya. Senin hingga Jum’at. Sabtu ada ekstrakurikuler di sekolah.
Minggu jalan-jalan sama keluarga karena ortunya hanya libur hari itu. Man,
lihat kan? Itu anak apa mesin pewujud ambisi ortu? Kapan mereka bisa melatih
fisik dan mental sebagai laki-laki? Kalau saya tanya, suka olahraga apa,
kebanyakan bilang olahraga itu hanya buang-buang waktu, bikin capek, kotor,
cedera, dan mengganggu akademik. Ya Allah, miris saya…
Bahkan adik saya, mau tidak mau kena sistem ini. Saya sudah ngobrol
dengan ortu untuk tidak terlalu memaksanya ikut les ini itu. Biarkan dia pilih
apa yang dia sukai. Arahkan saja yang berguna bagi agama, seperti misal ikut
ngaji setiap hari Rabu dan Jumat. Tak perlu
lah les mata pelajaran privat, karena kakaknya saja guru les privat masa
adiknya butuh les privat. Dan lagi, apa kurang waktu setengah hari di sekolah
buat belajar mapel yang banyak itu? Mata pelajaran yang saya ragukan
kegunaannya? Apalagi jika adik saya tidak berminat kuliah di jurusan teknik.
(Adik saya SD, tapi sudah dapat soal penerapan aljabar dalam masalah menghitung
waktu pertemuan dua kendaraan yang melaju pada kelajuan yang berbeda dalam arah
berlawanan, man! Goblok bener anak SD dikasih soal seperti itu)
Tapi ada satu yang mau tak mau harus dilakukan: les ke gurunya. Karena,
kebanyakan soal ulangan itu sudah dibahas waktu les itu, sehingga sangat
merugikan mereka yang tidak ikut les. Kok saya tahu? Ya tahu, karena dulu pun
saya juga begitu.
Tak ngerti lagi lah saya ini.
3. Kita Sebagai Manusia Cenderung Menjadi
Hakim Yang Buruk
Ya, kita selalu mudah menghakimi sesuatu yang sebenarnya tanpa berusaha
tahu apa yang menjadi latar belakang akan sesuatu. Hal ini tentu, tidak syar’i.
Karena dalam islam pun hukum hudud dapat ditangguhkan jika terjadi pada daerah
perang bukan?
Selain itu, kita lebih mudah memandang rendah orang lain. Hanya karena
pakaiannya tidak sebersih kita, hanya karena duit di kantongnya hanya cukup
buat beli susu kotak. Seperti saya yang—semoga Allah Mengampuni saya—sempat
memandang rendah anak itu. Padahal siapa yang mengira jika ternyata anak itu
tadi didoakan oleh para penghuni langit? Karena saat meneguk susu kotak itu ia
mengucap syukur lebih tulus daripada saya yang penuh dosa ini? Bahwa doanya akan
jauh lebih didengar daripada saya? Bahwa jika saat itu kami mati, dialah yang
akan masuk surga tanpa hisab? Ya Allah, hanya kepada-Mu kami memohon kelapangan
hati dan keadilan dalam berbuat.
Oleh karenanya saya mengambil hikmah akan adanya pengadilan di hari akhir
nanti. Di mana Hakimnya adalah Ia Yang Maha Adil. Karena di dunia ini, manusia
cenderung menghakimi dengan buruk.
Ya, itulah secuil hikmah yang Allah Ajarkan pada saya melalui si adik
kecil yang ‘bodoh’ dalam urusan tipu-tipu itu…
Doa saya buatmu dik, biarlah Allah saja yang Tahu. Sedang doa untuk
negeri ini, semoga penghuninya mengurangi kedzhalimannya pada anak-anak.
0 komentar:
Posting Komentar