Rabu, 18 Februari 2015

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Hari ini saya belajar satu hal yang saya rasa cukup besar. Tentang arti menghakimi, pun dengan kata instropeksi.

                Ceritanya, tadi pagi saya mendapat ‘tugas’ dari para ‘serigala’ (Dun, ganti nama grup line kita lah, alay banget kau -____-“) untuk beli tiket bus di Terminal Cicaheum. Kami selama liburan panjang ini berencana sowan ke rumah Kak Madun, ke sebuah negara yang bernama Kebumen *peace coy, guyon :v

Kenapa saya sendiri yang beli dan saya mau? (Oke, berkisah OOT sedikit). Karena Madun dan Ucup sedang ada kuliah Studium Generale, si Faiz sedang simulasi upper frame di laptopnya, si Anu (Arif Nugroho) sedang ada WAR DotA—ini DotA secara harfiah, bukan do TA alias mengerjakan Tugas Akhir—sedang saya yang biasanya harus bimbingan dan dibantai tiap Rabu pagi agak bebas. Ya, dosen pembimbing tercinta sedang umroh. Mungkin sedang mendoakan kelancaran TA saya di depan Ka’bah :)


                Oke, kembali ke cerita awal. Tersebutlah saya sedang duduk menanti agen bus semuanya untuk studi banding harga tiket ke Kebumen. Dalam rangka mengisi kekosongan hati, saya pun konsultasi dengan para ‘manusia’ itu tentang harga tiket yang telah saya survey via line. Juga nge-line yang lain sih :p

                Nah, di sinilah kisah itu bermula. Datanglah seorang adik kecil cewek yang bawa amplop lusuh bertuliskan tentang dia yang “anak miskin, tak punya apa2, dan mengharap uang seridonya untuk biaya beli peralatan sekolah.” Karena saya sedang mbulet dengan kawan-kawan saya tentang harga tiket, saya pun mengacuhkan adik itu. Lalu ia datang lagi, mengambil amplopnya, namun TIDAK PERGI. Wah, ya jadi tidak enak hati saya.

Hanya ilustrasi, tapi lihat deh wadah uang hasil mint-mintanya. Cih, kapitalisme menjijikkan!

               
Kemudian ada satu hal yang lucu. Setelah itu ia datang ke warung dan beli susu kotak. Uangnya ambil dari situ. Seketika hati saya yang kotor, keras, dan kelam ini berteriak menghina,”Apa? Penipuan ini! Katanya itu duit buat beli peralatan sekolah, kok buat beli susu kotak?”

                Tak disangka, adik itu datang lagi ke dekat saya. Kali ini amplopnya dimasukkan kantong, dan ia melihat-lihat barang-barang yang dijual pedagang asongan di dekat saya. Innocent sekali, seolah tidak berpikir bahwa saya sedang sebel sama dia karena merasa ditipu. Namun, melihat matanya yang mengucap terimakasih dan gayanya yang alami itu, saya jadi berpikir. Bodoh sekali saya yang menghakiminya dengan penghakiman serendah itu. Bahkan, darinya, saya mendapat beberapa pelajaran:

1.       Anak Kecil Itu Selalu ‘Bodoh’ Dalam Urusan Tipu-Tipu

Entropi itu selalu memiliki delta yang positif dalam ruang lingkup semesta. Singkatnya, seiring berjalannya waktu sesuatu itu cenderung bertambah buruk. Misal, suatu gedung yang tidak dirawat pasti akan semakin lama  keadaannya bertambah buruk. Gedung itu akan menjadi lebih jika dan hanya jika kita membersihkannya, merawatnya, dan sebagainya. Yang artinya, kita harus memasukkan energy ke dalam sistem gedung tersebut. Yang agak ngerti termodinamika paham lah maksudnya. Dan, begitu pula manusia…

Jika ingin melihat diri kita yang paling jujur, maka saat masih anak-anak belum baligh-lah kita menjadi pribadi yang paling baik. Memang kita bisa menjadi lebih baik, atau setidaknya menjaga fitrah kebaikan kita itu, namun itu perlu energy. Misalkan dengan belajar, ibadah, dan berdoa. Bahkan saya menganggap beribadah itu adalah preventive maintenance buat kita sendiri kok.

“Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
 [Lihat Fathul-Bâri, Kitab al-Janâiz III/219, hadits no. 1358, 1359, dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma'mûn Syiha, XVI/423 dst. Hadits no. 6697.]
Ya, anak kecil selalu bodoh dalam urusan tipu-tipu. Karena Tuhan memang merancang mereka untuk lahir dengan fitrah kebaikan. Sebuah bukti kebesaran Tuhan bahwa Ia Maha Baik, dan manusia sendirilah yang merusak dirinya. Lihatlah anak kecil yang barusan, dia mengajarkan pada saya betapa tidak ahlinya seorang anak kecil di urusan penipuan. Ia kalah dengan para bapak-bapak yang ‘di atas sana’, yang atas nama program kesejahteraan rakyat sebenarnya hanya sedang mencari proyek untuk ditenderkan. Ah, padahal saya berpikir bapak-bapak itu waktu kecil pastilah dididik dengan baik, tidak dieksploitasi dengan disuruh menipu di terminal. Namun, kenapa saat sudah gede rakusnya bukan main? Bahkan aspal jalan raya pun mau di makan, simulator SIM pun dikunyah dengan nikmat, dan bus transjaka*ta pun dijilati dengan asyik. Percayalah wahai bapak-bapak, anda semua sedang memberi makan anak kalian dengan sesuatu yang haram. Dan tak akan ada kebaikan dalam daging yang tumbuh dari barang haram, camkan itu!

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari memakan yang haram, baik itu untuk kami, istri kami, bapak kami, ibu kami, saudara kami, dan anak-anak kami. Aamiin…

2.       Eksploitasi Anak Adalah Hal Yang Masih Ada dan Cenderung Meningkat

Sekarang, eksploitasi anak telah mencapai garis yang sangat memiriskan hati saya. Bahkan, betapa banya anak-anak yang dieksploitasi sedang yang mengeksploitasi menganggap bahwa mereka sedang melakukan yang terbaik buatnya. Nah, pusing ya?

Oke, biar saya jelaskan. Saya ini guru les privat mata pelajaran fisika dan matematika. Sudah, itu tok. Pernah suatu ketika saya mengajar dan mendapat ‘pengakuan’ yang mengejutkan. Sekarang, anak-anak itu sekolah sampai jam 2an siang. Habis itu ada tambahan pelajaran hingga sore. Setelah itu mereka harus ikut les ini itu, yang waktu saya tanya beberapa menjawab itu disuruh orang tuanya. Lalu malamnya, les mapel sama saya. Senin hingga Jum’at. Sabtu ada ekstrakurikuler di sekolah. Minggu jalan-jalan sama keluarga karena ortunya hanya libur hari itu. Man, lihat kan? Itu anak apa mesin pewujud ambisi ortu? Kapan mereka bisa melatih fisik dan mental sebagai laki-laki? Kalau saya tanya, suka olahraga apa, kebanyakan bilang olahraga itu hanya buang-buang waktu, bikin capek, kotor, cedera, dan mengganggu akademik. Ya Allah, miris saya…

Bahkan adik saya, mau tidak mau kena sistem ini. Saya sudah ngobrol dengan ortu untuk tidak terlalu memaksanya ikut les ini itu. Biarkan dia pilih apa yang dia sukai. Arahkan saja yang berguna bagi agama, seperti misal ikut ngaji setiap hari Rabu dan Jumat.  Tak perlu lah les mata pelajaran privat, karena kakaknya saja guru les privat masa adiknya butuh les privat. Dan lagi, apa kurang waktu setengah hari di sekolah buat belajar mapel yang banyak itu? Mata pelajaran yang saya ragukan kegunaannya? Apalagi jika adik saya tidak berminat kuliah di jurusan teknik. (Adik saya SD, tapi sudah dapat soal penerapan aljabar dalam masalah menghitung waktu pertemuan dua kendaraan yang melaju pada kelajuan yang berbeda dalam arah berlawanan, man! Goblok bener anak SD dikasih soal seperti itu)

Tapi ada satu yang mau tak mau harus dilakukan: les ke gurunya. Karena, kebanyakan soal ulangan itu sudah dibahas waktu les itu, sehingga sangat merugikan mereka yang tidak ikut les. Kok saya tahu? Ya tahu, karena dulu pun saya juga begitu.

Tak ngerti lagi lah saya ini.

3.       Kita Sebagai Manusia Cenderung Menjadi Hakim Yang Buruk

Ya, kita selalu mudah menghakimi sesuatu yang sebenarnya tanpa berusaha tahu apa yang menjadi latar belakang akan sesuatu. Hal ini tentu, tidak syar’i. Karena dalam islam pun hukum hudud dapat ditangguhkan jika terjadi pada daerah perang bukan?

Selain itu, kita lebih mudah memandang rendah orang lain. Hanya karena pakaiannya tidak sebersih kita, hanya karena duit di kantongnya hanya cukup buat beli susu kotak. Seperti saya yang—semoga Allah Mengampuni saya—sempat memandang rendah anak itu. Padahal siapa yang mengira jika ternyata anak itu tadi didoakan oleh para penghuni langit? Karena saat meneguk susu kotak itu ia mengucap syukur lebih tulus daripada saya yang penuh dosa ini? Bahwa doanya akan jauh lebih didengar daripada saya? Bahwa jika saat itu kami mati, dialah yang akan masuk surga tanpa hisab? Ya Allah, hanya kepada-Mu kami memohon kelapangan hati dan keadilan dalam berbuat.

Oleh karenanya saya mengambil hikmah akan adanya pengadilan di hari akhir nanti. Di mana Hakimnya adalah Ia Yang Maha Adil. Karena di dunia ini, manusia cenderung menghakimi dengan buruk.

Ya, itulah secuil hikmah yang Allah Ajarkan pada saya melalui si adik kecil yang ‘bodoh’ dalam urusan tipu-tipu itu…

Doa saya buatmu dik, biarlah Allah saja yang Tahu. Sedang doa untuk negeri ini, semoga penghuninya mengurangi kedzhalimannya pada anak-anak.

0 komentar:

Posting Komentar