Dalam ucapan ikrar perjalanan,
aku tahu apa itu rencana. Bahwa rencana haruslah cukup matang agar tak timbul
kekacauan. Namun ia juga tak boleh hebat dan detil sangat supaya tak berubah
jadi beban. Rencana tetaplah sebuah rencana. Tinggal langkah kita yang akan
menentukan, menjadi kenyataan atau sekedar wacana. Inilah yang membedakan
apakah ia sebuah cita-cita, atau hanya mimpi belaka.
Dalam setiap usaha mewujudkan
cita, aku mengerti tentang kolaborasi doa serta usaha. Bahwa setiap hal akan
bertambah manis, bukan apakah kita mencapainya atau tidak. Namun tentang usaha
dan doa tak henti yang dilakukan. Tentang betapa dedikasi mampu melebihi batas
asa, dan doa adalah sebuah penjaga. Akan hati yang saling bertaut, dalam sebuah
ikrar perjalanan menemukan diri. Meski itu berarti mengurangi waktu peja mata,
meski itu artinya berpuasa lagi. Bahwa menemukan diri bisa jadi merupakan
pertanyaan tersulit dalam hidup ini.
Dalam perjalanan merengkuhnya,
aku memahami tentang arti safar tak sekedar sebagai jalan-jalan penuh
kesenangan. Betapa banyak hal yang membuat kita lebih mengerti hakikat hidup,
bukan dari bualan penuh omong kosong di meja debat para politisi. Bukan pula
sekedar teori yang tertulis di buku tebal di pinggir perpustakaan. Bahwa hidup
ini sendiri adalah sebuah buku, dan tempat yang kita sambangi adalah
halaman-halamannya. Bahwa perjalanan layaknya diri yang sedang membuka halaman
berikutnya. Bahkan aku kini sadar, betapa sering mata melewatkan sesuatu yang
seharusnya dilihat, telinga menulikan diri terhadap sesuatu yang layak
didengar, dan hati terlalu keras untuk mengerti. Perjalanan, membuat indra
lebih peka. Bahkan satu obrolan dengan kenalan baru memberikan cakrawala paradigma
jalan agar terbuka lebih lebar, dan cerita seorang nenek di sampingmu membuat
rindu pada Ibunda membuncah. Safar, bagiku lebih mirip pelajaran serta ujian.
Dalam jauh dan panjangnya jalur pendakian
Sembalun, aku belajar arti pendakian sejati. Ini bukanlah tentang penaklukan
puncak semata, bukan pula sekedar ajang adu jumawa. Bahwa pendakian lebih dari
itu, kawan. Sebagaimana sering terucap dari mulut,”Ini adalah sebuah perjalanan
suci. Perjalanan untuk lebih mengenal diri, kemudian mengenal Yang Menciptakan
diri ini.” Sebuah perjalanan cinta, yang mengajarkan arti cinta sesungguhnya. Yang
tak seharusnya diisi hal-hal remeh semacam coklat atau untaian puisi picisan
belaka. Jauhnya perjalanan mengasah kemampuan menghitung diri, lalu melakukan
kalibrasi. Betapa sering kita mendustakan nikmat Tuhan?
Dalam sempitnya tenda yang masih
harus diisi keril seukuran tubuh sendiri, aku berusaha memahami arti berbagi. Tentang
sesuatu yang kita sebut keikhlasan dan
kejernihan hati, meski dingin dan penat mengaburkan logika diri. Lalu kau akan
belajar bersyukur, atas tempat tidur yang bisa membuat kakimu lurus membujur. Atas
selimut hangat, baju bersih, dan udara yang bersahabat. Lalu, kembali melakukan
kalibrasi diri,”Betapa beruntungnya diri ini dibanding mereka yang di luar
sana?” Karena sempitnya tenda cukup dirasa dalam hitungan hari, bagaimana
dengan mereka yang tak mampu bermimpi selain apakah aku akan bisa makan esok
hari?
Dalam jalur pendakian ke puncak
yang berkelok, aku sedang melawan diri. Antara terburu mencapai atas, atau
terlalu santai menikmati istirahat. Bahkan ujian untuk membatasi ego diri
sangat terasa, ketika kau jumawa akan kekuatan fisik semata. Ini bukan tentang
seberapa cepat kau melangkah, atau seberapa jauh kau mampu merengkuh. Ini,
lebih dari itu. Ini, tentang melangkah bersama. Tentang sumpah bahwa berangkat
bertiga, di puncak bertiga, dan sampai rumah pun bertiga. Aku, dan kalian
berdua. Dan setelah berdoa, hanya tekad dan disiplin yang mampu menjaga.
Dalam jalur pendakian turun, aku
bertarung dengan keterbatasan diri. Bahkan ia yang terkadang disebut orang
terlalu ceroboh dan berani ini, memiliki
satu keterbatasan diri: Tinggi. Ya, aku sedang melawan keengganan diri untuk
terus melangkah, dengan jurang menganga di kanan dan kiri. Namun, aku malu
untuk terlalu manja, maka aku pun terus melangkah. Dan satu, aku belajar minta
maaf, karena telah memperlambat langkah kita.
Dalam indahnya pemandangan
Segara Anak, aku semakin mengerti satu lagi. Negeri ini memanglah surga yang
tiada duanya di dunia. Tak ada negeri lain seindah Nusantara kurasa. Betapa ia
tak hanya menyimpan indahnya alam atau melimpahnya sumber daya semata. Negeri ini
menyimpan kekayaan budaya yang selalu ramah pada siapa saja. Bahwa nilai
kejujuran, kesederhanaan, serta kerendahan hati sangat terasa di alam yang
damai. Tak ada lagi jabatan, politik, atau sampah-sampah lain yang mengubah
seorang manusia menjadi serigala bagi yang lainnya. Maka, bagaimana kita bisa
menjaga negeri ini jika tak mengenalnya?
“Negeri
ini indah sekali Tuhan. Bantu kami menjaganya. Aamiin…”
-Zafran,
‘5 cm’-
Dalam perjalanan turun menembus
rimba Senaru, aku mempelajari arti ketuntasan. Bahwa setiap pekerjaan berhak
untuk diselesaikan. Bahwa naik ke puncak hanyalah seperempat perjalanan. Seperempat
yang lain adalah turun, dan separuhnya adalah mengambil pelajaran darinya. Bahwa
terkadang lari itu diperlukan untuk mengaburkan lelah, dan istirahat hanya
diperlukan di temat-tempat tertentu. Memang turun tidak seberat naik, namun
turun tetap layak mendapat focus secara sempurna. Karena, setelah sampai di
puncak tak ada jalan lain kecuali turun.
Dalam pendakian ini kawan, aku
belajar banyak hal tentang kehidupan. Bahwa perdebatan tak mesti merekahkan
persaudaraan. Bahwa kerjasama tak berarti suatu kelemahan. Dan disiplin bukan
sekedar teriakan di saat agitasi yang penuh kepalsuan. Inilah hidup yang
sesungguhnya, hidup sebagai manusia, hidup sebagai laki-laki. Terimakasih kawan,
kalian mengajarkan arti persahabatan. Kalian mengajarkan arti perjalanan. Dan
kalian mengajarkan betapa layak negeri ini untuk dicintai dan dijaga.
Rinjani, kau membuat kami sadar,
betapa kaki kami harus menjejak lebih jauh tiap jengkal tanah negeri ini. Mata
yang harus memandang lebih banyak kekayaan bangsa ini. Telinga yang harus mendengar
petuah bijak orang-orang tua negeri ini. Dan hati yang lebih banyak meresapi
hikmah yang telah Tuhan Ciptakan di atas tanah yang diberkati.
“Banyak
hal datang dan pergi, namun persahabatan haruslah abadi.”
-Heri
I. Wibowo, aku-
NB: Maaf jika temanya Rinjani lagi
:)
Gunung Rinjani ya. :)
BalasHapusKemarin mau kesana ga jadi karena kesibukan lain yang mendadak, sepertinya fun banget ya :)
He eh bang, Rinjani emang banyak bonusnya.
HapusWah, ayo bang, agendakan lagi (y)