Rabu, 27 Juni 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under :
               

                Pukul 06.30. Suasana kota Bandung di pagi hari, dengan segala kesibukannya yang mulai menggeliat kulihat dari balik jendela bus Nusantara ini. Kesibukan alami yang membuatku merenung, dan mulai merasakan dinginnya AC yang menusuk. Namun tidak sedingin perjuanganku mencapai pool dengan ngebut naik sepeda motor jam lima pagi menyusuri jalanan Kota Kembang demi mengejar bus yang kini kutumpangi
***
                “Bro, 2 tiket udah di tangan nih,”kataku lewat sms.

                “Yoi sip, maturnuwun,”balas kawanku itu.

                Beberapa saat kemudian dia sms lagi,”Wah Her, kok aku jadi ragu ya. Kalo aku pulang kasian nih teman-teman divisiku.” Dalam pikiranku, gila ini orang rasa tanggung jawabnya. Emang calon ketua yang tepat nih. Aku bales,”Lha terus ini tiket gimana?”.”Ntar aku ganti deh”,katanya. “Siiip, pikirkan lagi Bro”,aku masih berusaha membujuknya hehehe.

                Kemudian karena suatu keperluan (jurusan), aku bertemu dengan kawanku itu di kampus. “Weleh, gara-gara kamu jadinya ane juga jadi bimbang buat pulang nih,” kataku padanya. “Lah, batalkan saja gimana?”. “Hmm, divisimu kelar kapan?” tanyaku.  “Abis maghrib udah selesai nih kumpulnya, kayaknya,”  jawabnya. 

                “Ok, give me 3 minutes to think. Now,it’s 17.12 and wait ‘till 17.15,” kataku sok Inggris dan mulai menimbang apakah aku jadi pulang atau tidak.

                “I’m waiting,”  katanya.

                Aku pun berpikir keras, seluruh pertimbangan logika ku kerahkan. Dan, tepat saat 17.15 dengan sebuah tebakan harimau ke arahnya aku berkata,”BATALKAN TIKETNYA!!!” Dan aku cukup respek dengan refleksnya dalam menangkis tebakanku.

                “Ok, abis maghrib kita ke pool buat batalkan tiketnya!”

                Kemudian karena dalam pikiranku fix tak pulang, aku menuju kawan-kawan divisiku untuk mengurus beberapa hal yang tadi sempat aku tinggal untuk  membeli tiket.
***
                10 menit lamunanku dibuyarkan oleh teriakan para penjual makanan dan oleh-oleh. Dan seorang bapak-bapak penjual dodol-lah yang sukses medapat perhatianku. Aku ditawari olehnya 2 kotak dodol seharga 20 ribu. Sembari tersenyum kujawab,” Tidak Pak, yang lain aja.”

                Namun dia tetap saja memaksa bahkan hingga banting harga serendah-rendahnya. Sekarang, seandainya aku membeli akan kudapatkan dodol itu seharga empat ribu perak. Betapa drastis penurunannya, yang menurut anak-anak matematika pasti dikatakan,”Gradiennya sangat negative!”

                Lalu aku merenung, betapa sering iman kita juga terbanting harganya hanya oleh sebuah kesenangan semu. Betapa prinsip dan ilmu yang kita miliki tak bisa menjadi penahan atas kenegatifan gradient iman kita. Dan biasanya, hal itu bukan oleh serangan frontal, namun jerat-jerat halus nan manis yang dirancang oleh setan. Bukan oleh urusan makan enggak makan macam Sang Penjual Dodol tersebut.

                Mungkin kita akan marah dan siap mati jika agama kita dihina secara terang-terangan. Namun tinjau ulang deh. Pernahkah kita bertanya, di mana ilmu itu saat kita(atau hanya aku?) dihadapan lawan jenis yang (rasanya) menjadi pujaan hati? Na’udzubillah min dzalik.
                                                                                      ***
                Dalam perjalanan ke divisiku, HP-ku berdering. Kulihat, wah Bapak yang nelpon.

                “Kok tadi sms gak jadi pulang?” tanya Bapakku.

                “Iya Pak, gimana lagi. Banyak hal yang harus diselesaikan dulu nih di sini,” kataku.

                “Lha terus itu tiket gimana?”

                “Yaah, mungkin akan dibatalkan saja,” kataku lesu.

                “Gak bisa ijin apa? Bapak udah terlanjur bilang sama Ibumu kalo Heri mau pulang padahal.”

“ Heh???? Waduh! Durhaka lah kalo gak jadi pulang. Yawislah, pulang aku. Tapi mungkin perlu surat ini. Bisa bikinin kan Pak?” 

“Gampanglah itu,” jawab bapakku.

Dan entah kenapa rasa rindu itu kembali mengusik hati. Dan kini logikaku bertambah satu, dan ini membantai semua pertimbanganku. Kalo aku mengecewakan ibu, aku akan dosa. Dan ini bukan dosa yang remeh. Dosa bisa mengantarkan ke neraka. Neraka itu panasnya tak terkira, abadi lagi. Dan itu bukan hal yang kuinginkan. Jadi kusimpulkan, yang tidak kuinginkan adalah mengecewakan ibuku. Dan itu artinya aku pulang.
***
                “…buku ini adalah kamus lengkap bergambar untuk anak-anak. Bagi bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, ini adalah sebuah pilihan yang tepat. Karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang harus kita kuasai, apalagi untuk generasi penerus kita. Dilengkapi dengan penjelasan dan cara membacanya, membuatnya mudah dipahami. Anda semua dapat melihatnya dulu, baru kemudian putuskan untuk membeli atau tidak…” sepotong promosi yang diucapkan dengan wajah datar itu membuatku tahu, bahwa bapak tua yang mengatakannya sebenarnya hanya sekedar menghapal dan tidak tahu apa yang dia katakan.

                Kembali aku merenungi dua hal yang seketika itu terlintas dalam pikiranku. Pertama, akankah jika kita sekedar menghapal, nantinya kita juga akan menjadi seperti itu? Membeo tak jelas, tanpa jiwa. Dan wajah datar kita layaknya robot-robot ilmu pengetahuan membuktikan bahwa ilmu itu sekedar demi selembar ijazah, tanpa pernah masuk ke hati. “Ilmu itu untuk diresapi, dan jadikan ia bagian dari setiap helaan napasmu.” Mudah diucapkan, sulit diterapkan. Tapi aku akan berusaha, termasuk dalam meresapi setiap gerakan teknik asli Perisai Diri :)

                Kedua, aku berpikir tentang keluarga bapak penjual kamus itu. Aku memikirkan sebuah ironi, bagaimana seandainya anak seorang penjual kamus keliling di atas bus itu bahkan tak biasa membaca? Gagap dalam mengeja setiap kata yang tertulis, bahkan meski dalam bahasa negerinya sendiri? Yaaah, gimana bisa membaca, kalau sekolah berkualitas sekarang makin mahal saja. Dan mereka yang di atas sana dengan santainya berkata, “Ekonomi kita lebih baik dari Eropa!”

                Aku memang tak paham tentang ekonomi dan segala parameternya. Namun semakin banyaknya anak jalanan, dan menjamurnya perusahaan multinasional telah cukup “bersalah” dalam membentuk pendapatku tentang kondisi sekarang. Yaaah, maaf saja jika pendapatku ini salah. Dan memang, semoga aku yang salah. Serta Indonesia memang lebih makmur sekarang. Lebih maju. Bukan hanya ucapan semu. Huft, maafkan aku rakyat Indonesia. Aku belum bisa berbuat banyak untuk kalian. Namun aku akan berusaha. Kita semua akan berusaha, agar negeri ini kembali sejahtera. 

                Tak terasa 20 menit berlalu. Dan di sinilah aku. Di terminal Cicaheum, menanti sebuah perjalanan siang hari selama 12 jam menuju rumah tercinta. 


Note: seluruh percakapan di atas pada kenyataanya full pake Bahasa Jawa :P

2 komentar:

  1. Semi cerpen ya? Non fiksi juga nih kayaknya. Karena aku orangnya gak bisa ngasih banyak komentar jadi gak bisa komentar banyak kecuali--

    Perhatikan tanda baca terutama penggunaan koma, penting banget tuh, karena makna dan keasikan baca bisa beda hanya dengan tanda koma.

    Cuma itu sih her, sisanya bagus-bagus aja kok. Dan kamu selalu bisa mengambil pelajaran dari segala hal ya. Hahahaha. Salut dah--

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sih, apa kamumau bikin versi edited-nya????? :P

      Yaaah, kata seseorang hidup itu but belajar bro ....

      Hapus