Pukul
06.30. Suasana kota Bandung di pagi hari, dengan segala kesibukannya yang mulai
menggeliat kulihat dari balik jendela bus Nusantara ini. Kesibukan alami yang
membuatku merenung, dan mulai merasakan dinginnya AC yang menusuk. Namun tidak
sedingin perjuanganku mencapai pool dengan ngebut naik sepeda motor jam lima
pagi menyusuri jalanan Kota Kembang demi mengejar bus yang kini
kutumpangi
***
“Bro,
2 tiket udah di tangan nih,”kataku lewat sms.
“Yoi
sip, maturnuwun,”balas kawanku itu.
Beberapa
saat kemudian dia sms lagi,”Wah Her, kok aku jadi ragu ya. Kalo aku pulang
kasian nih teman-teman divisiku.” Dalam pikiranku, gila ini orang rasa tanggung
jawabnya. Emang calon ketua yang tepat nih. Aku bales,”Lha terus ini tiket
gimana?”.”Ntar aku ganti deh”,katanya. “Siiip, pikirkan lagi Bro”,aku masih
berusaha membujuknya hehehe.
Kemudian
karena suatu keperluan (jurusan), aku bertemu dengan kawanku itu di kampus. “Weleh, gara-gara kamu jadinya ane juga jadi bimbang buat pulang nih,”
kataku padanya. “Lah, batalkan saja gimana?”. “Hmm, divisimu kelar kapan?”
tanyaku. “Abis maghrib udah selesai nih
kumpulnya, kayaknya,” jawabnya.
“Ok, give me 3 minutes to think. Now,it’s
17.12 and wait ‘till 17.15,” kataku sok Inggris dan mulai menimbang apakah
aku jadi pulang atau tidak.
“I’m waiting,” katanya.
Aku
pun berpikir keras, seluruh pertimbangan logika ku kerahkan. Dan, tepat saat
17.15 dengan sebuah tebakan harimau ke arahnya aku berkata,”BATALKAN TIKETNYA!!!” Dan aku cukup respek dengan
refleksnya dalam menangkis tebakanku.
“Ok,
abis maghrib kita ke pool buat batalkan tiketnya!”
Kemudian
karena dalam pikiranku fix tak
pulang, aku menuju kawan-kawan divisiku untuk mengurus beberapa hal yang tadi
sempat aku tinggal untuk membeli tiket.
***
10
menit lamunanku dibuyarkan oleh teriakan para penjual makanan dan oleh-oleh. Dan
seorang bapak-bapak penjual dodol-lah yang sukses medapat perhatianku. Aku ditawari
olehnya 2 kotak dodol seharga 20 ribu. Sembari tersenyum kujawab,” Tidak Pak,
yang lain aja.”
Namun
dia tetap saja memaksa bahkan hingga banting harga serendah-rendahnya. Sekarang,
seandainya aku membeli akan kudapatkan dodol itu seharga empat ribu perak. Betapa
drastis penurunannya, yang menurut anak-anak matematika pasti dikatakan,”Gradiennya
sangat negative!”
Lalu
aku merenung, betapa sering iman kita juga terbanting harganya hanya oleh
sebuah kesenangan semu. Betapa prinsip dan ilmu yang kita miliki tak bisa
menjadi penahan atas kenegatifan gradient iman kita. Dan biasanya, hal itu
bukan oleh serangan frontal, namun jerat-jerat halus nan manis yang dirancang
oleh setan. Bukan oleh urusan makan enggak makan macam Sang Penjual Dodol
tersebut.
Mungkin kita akan marah dan siap
mati jika agama kita dihina secara terang-terangan. Namun tinjau ulang deh. Pernahkah
kita bertanya, di mana ilmu itu saat kita(atau hanya aku?) dihadapan lawan jenis
yang (rasanya) menjadi pujaan hati? Na’udzubillah
min dzalik.
***
Dalam
perjalanan ke divisiku, HP-ku berdering. Kulihat, wah Bapak yang nelpon.
“Kok
tadi sms gak jadi pulang?” tanya Bapakku.
“Iya
Pak, gimana lagi. Banyak hal yang harus diselesaikan dulu nih di sini,” kataku.
“Lha terus itu tiket gimana?”
“Yaah,
mungkin akan dibatalkan saja,” kataku lesu.
“Gak
bisa ijin apa? Bapak udah terlanjur bilang sama Ibumu kalo Heri mau pulang
padahal.”
“ Heh???? Waduh!
Durhaka lah kalo gak jadi pulang. Yawislah,
pulang aku. Tapi mungkin perlu surat ini. Bisa bikinin kan Pak?”
“Gampanglah itu,”
jawab bapakku.
Dan entah kenapa
rasa rindu itu kembali mengusik hati. Dan kini logikaku bertambah satu, dan ini
membantai semua pertimbanganku. Kalo aku mengecewakan ibu, aku akan dosa. Dan ini
bukan dosa yang remeh. Dosa bisa mengantarkan ke neraka. Neraka itu panasnya
tak terkira, abadi lagi. Dan itu bukan hal yang kuinginkan. Jadi kusimpulkan,
yang tidak kuinginkan adalah mengecewakan ibuku. Dan itu artinya aku pulang.
***
“…buku
ini adalah kamus lengkap bergambar untuk anak-anak. Bagi bapak-bapak dan
ibu-ibu sekalian, ini adalah sebuah pilihan yang tepat. Karena bahasa Inggris
adalah bahasa internasional yang harus kita kuasai, apalagi untuk generasi
penerus kita. Dilengkapi dengan penjelasan dan cara membacanya, membuatnya
mudah dipahami. Anda semua dapat melihatnya dulu, baru kemudian putuskan untuk
membeli atau tidak…” sepotong promosi yang diucapkan dengan wajah datar itu
membuatku tahu, bahwa bapak tua yang mengatakannya sebenarnya hanya sekedar
menghapal dan tidak tahu apa yang dia katakan.
Kembali
aku merenungi dua hal yang seketika itu terlintas dalam pikiranku. Pertama,
akankah jika kita sekedar menghapal, nantinya kita juga akan menjadi seperti
itu? Membeo tak jelas, tanpa jiwa. Dan wajah datar kita layaknya robot-robot
ilmu pengetahuan membuktikan bahwa ilmu itu sekedar demi selembar ijazah, tanpa
pernah masuk ke hati. “Ilmu itu untuk diresapi, dan jadikan ia bagian dari
setiap helaan napasmu.” Mudah diucapkan, sulit diterapkan. Tapi aku akan
berusaha, termasuk dalam meresapi setiap gerakan teknik asli Perisai Diri :)
Kedua,
aku berpikir tentang keluarga bapak penjual kamus itu. Aku memikirkan sebuah
ironi, bagaimana seandainya anak seorang penjual kamus keliling di atas bus itu
bahkan tak biasa membaca? Gagap dalam mengeja setiap kata yang tertulis, bahkan
meski dalam bahasa negerinya sendiri? Yaaah, gimana bisa membaca, kalau sekolah
berkualitas sekarang makin mahal saja. Dan mereka yang di atas sana dengan
santainya berkata, “Ekonomi kita lebih baik dari Eropa!”
Aku
memang tak paham tentang ekonomi dan segala parameternya. Namun semakin
banyaknya anak jalanan, dan menjamurnya perusahaan multinasional telah cukup “bersalah”
dalam membentuk pendapatku tentang kondisi sekarang. Yaaah, maaf saja jika
pendapatku ini salah. Dan memang, semoga aku yang salah. Serta Indonesia memang
lebih makmur sekarang. Lebih maju. Bukan hanya ucapan semu. Huft, maafkan aku
rakyat Indonesia. Aku belum bisa berbuat banyak untuk kalian. Namun aku akan
berusaha. Kita semua akan berusaha, agar negeri ini kembali sejahtera.
Tak
terasa 20 menit berlalu. Dan di sinilah aku. Di terminal Cicaheum, menanti
sebuah perjalanan siang hari selama 12 jam menuju rumah tercinta.
Note: seluruh percakapan di atas pada kenyataanya full pake Bahasa Jawa :P
Semi cerpen ya? Non fiksi juga nih kayaknya. Karena aku orangnya gak bisa ngasih banyak komentar jadi gak bisa komentar banyak kecuali--
BalasHapusPerhatikan tanda baca terutama penggunaan koma, penting banget tuh, karena makna dan keasikan baca bisa beda hanya dengan tanda koma.
Cuma itu sih her, sisanya bagus-bagus aja kok. Dan kamu selalu bisa mengambil pelajaran dari segala hal ya. Hahahaha. Salut dah--
iya sih, apa kamumau bikin versi edited-nya????? :P
HapusYaaah, kata seseorang hidup itu but belajar bro ....