Senin, 04 Juni 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under :
KEADILAN UMAR

Setelah pada tulisanku yang  sebelumnya mengulas betapa sederhananya Khalifah Umar, kini akan kubagikan sedikit kisah tentang betapa keadilan telah menjadi ciri khas pemerintahannya. Di mana semua orang dianggap setara, yang membedakan hanya baik buruknya tingkah laku orang tersebut. 

Umar pula yang menerapkan suatu aturan yang bilamana aturan tersebut diterapkan di suatu negeri, niscaya rakya akan cinta pada para pemimpinnya. Ketika seorang calon pegawai akan diangkat untuk suatu jabatan, harta yang dimilikinya dihitung dulu. Jika hartanya setelah menjabat bertambah secara tidak wajar, harta yang bersangkutan akan di bagi dua. Separuh di serahkan pada baitul mal(kas negara) dan separuh diserahkan pada pemiliknya. Dan aturan ini pun dijadikan undang-undang resmi yang disebarkan ke seluruh negeri taklukannya. Sehingga rakyat yang dulu dicekik pajak memberatkan dari kerajan Romawi dan Persia menjadi bahagia melihat kejujuran, kesederhanaan, dan keadilan pemimpinnya.


Pernah suatu ketika Ali melihat orang tinggi besar dan gagah yang sedang berlari cepat bagai prajurit perang. Hanya anehnya, dia berlari di padang gembala unta. Ternyata setelah dilihat dengan seksama dia adalah Amirul Mukmini. Segera Ali berseru,”Mau ke mana Ya Amirul Mukminin?”

“Ada unta sedekah yang kabur, aku berlari untuk mengejarnya!” Hal ersebut membuat Ali pun bergumam tentang pemimpinnya,”Engkau telah membuat penggantimu kesulitan nantinya wahai Umar.” Maksudnya, kesulitan dalam meneladani kehati-hatian dan keadilan Umar.

Bahkan saking hati-hatinya, Umar pernah berkata di depan majelisnya,”Demi Allah, kalau saja ada unta mati tersesat di pinggiran sungai Eufrat, aku takut Allah akan menanyakan tentang hal itu kepadaku!” Padahal kita tahu betapa jauhnya Sungai Eufrat dengan Madinah, dan kala itu belum ada internet. Yah, kalau sekarang banyak pengemis dan anak terlantar di lampu merah malah disuruh pergi jika iring-iringan pejabat lewat. Padahal mobil, bensin(bersubsidi) dan gaji pengawalnya dari pajak rakyat.

Kembali pada sang Khalifah, karena adilnya dia menerapkan hukum pengambilan jizyah sesuai keadaan ekonomi perorangan ahli dzimmah yang hidup di daerah kekuasaan pemerintahan Islam.  Pada suatu hari Umar bertemu dengan seorang kakek-kakek pengemis. Dan terjadilah dialog yang mengagumkan berikut.  

“Siapa engkau ini?”

“Aku ini Ahli Kitab.”

“Apa agamamu? Dan mengapa engkau mengemis?”

“Aku Yahudi Ya Amiul Mukminin. Aku terpaksa mengemis untuk membayar jizyah.”

Setelah itu pun Umar menyuruh pegawainya untuk membebaskan jizyah dari sang Yahudi tua. Dia pun segera menulis surat kepada para gubernurnya agar membebaskan jizyah dari orang-orang kafir yang sudah tua dan tidak mampu, bahkan memberikan mereka santunan dari baitul mal. Jadi tidak benar jika para orientalis berkata bahwa jizyah adalah symbol penjajahan. Jizyah hanyalah pajak biasa atas perlindungan dan kesejahteraan yang dijamin oleh pemerintahan Islam dan seringkali besarnya lebih kecil dari zakat yang harus dibayarkan umat muslim.

Kemudian, pada suatu ketika ada seorang perempuan hamil yang sedang ditinggalkan suaminya berperang. Begitu rindunya perempuan ini pada sang belahan jiwa hingga kelakuannya mengundang pembicaraan orang-orang. Umar pun mengiriminya surat dan melarang ia dari mengulangi tindakannya tersebut. Si perempuan takut dan panic, hingga ketika lahir bayinya langsung meninggal. 

Umar yang mendengar hal ini langsung mengundang para sahabat untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. Para sahabat menganggap Umar tidak melakukan kesalahan, karena ia hanya memberi nasihat yang baik. Namun, ada seorang sahabat yang masih muda diam saja. Dialah Ali bin Abi Thalib. Karena penasaran, Umar pun bertanya padanya. Dia menjawab,”Wahai Amirul Mukminin, mereka sudah mengatakan pendapatnya. Jika mereka mengemukakan pendapatnya atas ijtihad mereka yang sungguh-sungguh maka mereka telah melakukan tugasnya dengan baik, tetapi jika mereka berpendapat demikian hanya untuk menenangkanmu maka mereka menipumu! Atas masalah dosa, hanya Allah yang tahu. Namun kau tetap  saja terkena denda untuk nyawa anak itu.”

“Kau benar Ali”, kata Umar. Dan ia pun membayar denda dari harta pribadinya dengan ditambah bantuan dari kerabatnya milik kabilah Bani Adiy.

Suatu malam yang lain, Umar mengetuk pintu seorang sahabat yaitu Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bertanya,”Ada apa tengah malam begini kau datang wahai Amirul Mukminin? Kenapa tidak kau suruh saja orang untuk memanggilku?”

Umar menjawab,”Aku tadi melihat serombongan orang menuju pasar. Aku takut mereka dihadang perampok, mari kita pergi menjaga mereka.”

Ternyata, rombongan itu selamat sampai tujuan. Setelah itu, Umar dan Abdurrahman duduk-duduk di atas gundukan tanah dan melihat ada lampu di kejauhan. Umar pun berkata,”Jika mereka telah tidur mengapa lampunya masih hidup?” Saat didekati ternyata orang-orang di rumah itu sedang pesta minuman keras. “Aku sudah tahu siapa mereka, dan kau pun menjadi saksiku. Mari kita pergi untuk istirahat dan kita urus mereka besok pagi.”

Keesokan harinya Umar menyidang mereka secara langsung. “Darimana Amirul Mukmini tahu?”, tanya mereka. Umar berkata,”Dengan mata kepalaku sendiri!” Orang itu malah mengingatkan Umar,”Bukankah Allah melarangmu untuk memata-matai orang lain?”

Umar yang merasa disadarkan pun tidak jadi menghukumnya. Umar lebih suka tidak mencari-cari aib orang lain kecuali Allah yang menampakkannya secara langsung di hadapan para saksi. Demikian adilnya kau Umar.

Pernah ada orang yang membuat irigasi dari sebuah sungai untuk mengairi tanahnya, tetapi harus melewati tanah orang yang bernama Muhammad bin Maslamah. Ibnu Maslamah tidak mengizinkan dan yang ingin membuat irigasi protes,”Mengapa tak kau izinkan, padahal itu juga berguna untuk tanahmu. Kamu juga bisa mengambil airnya, gratis. Demi kebaikan banyak orang Ya Ibnu Maslamah.”

Karena tetap saja tak diizinkan, ia mengadu pada Khalifah. Mendengar ini Umar memanggil Muhammad bin Maslamah meski orang ini dihormati dan disukai Umar. Namun, setelah perundingan yang alot, Ibnu Maslamah tetap saja menolak. Umar marah dan mengancam,”Aku bersumpah, aliran air itu akan tetap mengalir walaupun harus melewati perutmu!” Umar tidak takut dalam mengambil keputusan yang menurut akal dan ilmu lebih baik untuk kemaslahatan umum meski itu berarti tidak sependapat dengan orang-orang terhormat.

Dan tentunya  kita harus ingat kisah sengketa antara seorang rakyat dengan putra Gubernur Mesir Amr bin Ash. Saat itu karena tidak terima putra sang Gubernur mencambuk seterunya. Dan karena tidak terima pula namun takut serta puus asa, orang tadi menghadap Khalifah. Setelah penelitian, akhirnya diketahui bahwa yang bersalah putra Gubernur Amr. Dipanggillah mereka berdua dan Umar pun berkata pada Gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash, yang kemudian kata-kata itu sempat terlupakan dalam timbunan sejarah,"Bilakah engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka!?" Dan inilah yang menjadi dasar HAM yang kita ketahui sekarang. 

 Untuk tulisan selanjutnya, insyaAllah akan dibahas tentang beberapa kebijakan Umar yang menunjukan bahwa meski tegas, dia juga cerdas serta lembut. ;)

0 komentar:

Posting Komentar