KEADILAN UMAR
Setelah pada
tulisanku yang sebelumnya mengulas
betapa sederhananya Khalifah Umar, kini akan kubagikan sedikit kisah tentang betapa
keadilan telah menjadi ciri khas pemerintahannya. Di mana semua orang dianggap
setara, yang membedakan hanya baik buruknya tingkah laku orang tersebut.
Umar pula yang
menerapkan suatu aturan yang bilamana aturan tersebut diterapkan di suatu
negeri, niscaya rakya akan cinta pada para pemimpinnya. Ketika seorang calon
pegawai akan diangkat untuk suatu jabatan, harta yang dimilikinya dihitung
dulu. Jika hartanya setelah menjabat bertambah secara tidak wajar, harta yang
bersangkutan akan di bagi dua. Separuh di serahkan pada baitul mal(kas negara) dan
separuh diserahkan pada pemiliknya. Dan aturan ini pun dijadikan undang-undang
resmi yang disebarkan ke seluruh negeri taklukannya. Sehingga rakyat yang dulu
dicekik pajak memberatkan dari kerajan Romawi dan Persia menjadi bahagia
melihat kejujuran, kesederhanaan, dan keadilan pemimpinnya.
Pernah suatu
ketika Ali melihat orang tinggi besar dan gagah yang sedang berlari cepat bagai
prajurit perang. Hanya anehnya, dia berlari di padang gembala unta. Ternyata setelah
dilihat dengan seksama dia adalah Amirul Mukmini. Segera Ali berseru,”Mau ke
mana Ya Amirul Mukminin?”
“Ada unta
sedekah yang kabur, aku berlari untuk mengejarnya!” Hal ersebut membuat Ali pun
bergumam tentang pemimpinnya,”Engkau telah membuat penggantimu kesulitan
nantinya wahai Umar.” Maksudnya, kesulitan dalam meneladani kehati-hatian dan
keadilan Umar.
Bahkan saking
hati-hatinya, Umar pernah berkata di depan majelisnya,”Demi Allah, kalau saja
ada unta mati tersesat di pinggiran sungai Eufrat, aku takut Allah akan menanyakan
tentang hal itu kepadaku!” Padahal kita tahu betapa jauhnya Sungai Eufrat
dengan Madinah, dan kala itu belum ada internet. Yah, kalau sekarang banyak pengemis
dan anak terlantar di lampu merah malah disuruh pergi jika iring-iringan
pejabat lewat. Padahal mobil, bensin(bersubsidi) dan gaji pengawalnya dari
pajak rakyat.
Kembali pada
sang Khalifah, karena adilnya dia menerapkan hukum pengambilan jizyah sesuai keadaan ekonomi perorangan
ahli dzimmah yang hidup di daerah
kekuasaan pemerintahan Islam. Pada suatu
hari Umar bertemu dengan seorang kakek-kakek pengemis. Dan terjadilah dialog
yang mengagumkan berikut.
“Siapa engkau ini?”
“Aku ini Ahli
Kitab.”
“Apa agamamu? Dan
mengapa engkau mengemis?”
“Aku Yahudi Ya
Amiul Mukminin. Aku terpaksa mengemis untuk membayar jizyah.”
Setelah itu pun
Umar menyuruh pegawainya untuk membebaskan jizyah
dari sang Yahudi tua. Dia pun segera menulis surat kepada para gubernurnya
agar membebaskan jizyah dari
orang-orang kafir yang sudah tua dan tidak mampu, bahkan memberikan mereka santunan
dari baitul mal. Jadi tidak benar jika para orientalis berkata bahwa jizyah adalah symbol penjajahan. Jizyah hanyalah pajak biasa atas
perlindungan dan kesejahteraan yang dijamin oleh pemerintahan Islam dan
seringkali besarnya lebih kecil dari zakat yang harus dibayarkan umat muslim.
Kemudian, pada suatu
ketika ada seorang perempuan hamil yang sedang ditinggalkan suaminya berperang.
Begitu rindunya perempuan ini pada sang belahan jiwa hingga kelakuannya
mengundang pembicaraan orang-orang. Umar pun mengiriminya surat dan melarang ia
dari mengulangi tindakannya tersebut. Si perempuan takut dan panic, hingga
ketika lahir bayinya langsung meninggal.
Umar yang
mendengar hal ini langsung mengundang para sahabat untuk memutuskan apa yang
harus ia lakukan. Para sahabat menganggap Umar tidak melakukan kesalahan,
karena ia hanya memberi nasihat yang baik. Namun, ada seorang sahabat yang
masih muda diam saja. Dialah Ali bin Abi Thalib. Karena penasaran, Umar pun
bertanya padanya. Dia menjawab,”Wahai Amirul Mukminin, mereka sudah mengatakan
pendapatnya. Jika mereka mengemukakan pendapatnya atas ijtihad mereka yang
sungguh-sungguh maka mereka telah melakukan tugasnya dengan baik, tetapi jika
mereka berpendapat demikian hanya untuk menenangkanmu maka mereka menipumu!
Atas masalah dosa, hanya Allah yang tahu. Namun kau tetap saja terkena denda untuk nyawa anak itu.”
“Kau benar Ali”,
kata Umar. Dan ia pun membayar denda dari harta pribadinya dengan ditambah
bantuan dari kerabatnya milik kabilah Bani Adiy.
Suatu malam yang
lain, Umar mengetuk pintu seorang sahabat yaitu Abdurrahman bin Auf.
Abdurrahman bertanya,”Ada apa tengah malam begini kau datang wahai Amirul
Mukminin? Kenapa tidak kau suruh saja orang untuk memanggilku?”
Umar menjawab,”Aku
tadi melihat serombongan orang menuju pasar. Aku takut mereka dihadang
perampok, mari kita pergi menjaga mereka.”
Ternyata,
rombongan itu selamat sampai tujuan. Setelah itu, Umar dan Abdurrahman
duduk-duduk di atas gundukan tanah dan melihat ada lampu di kejauhan. Umar pun
berkata,”Jika mereka telah tidur mengapa lampunya masih hidup?” Saat didekati
ternyata orang-orang di rumah itu sedang pesta minuman keras. “Aku sudah tahu
siapa mereka, dan kau pun menjadi saksiku. Mari kita pergi untuk istirahat dan
kita urus mereka besok pagi.”
Keesokan harinya
Umar menyidang mereka secara langsung. “Darimana Amirul Mukmini tahu?”, tanya
mereka. Umar berkata,”Dengan mata kepalaku sendiri!” Orang itu malah
mengingatkan Umar,”Bukankah Allah melarangmu untuk memata-matai orang lain?”
Umar yang merasa
disadarkan pun tidak jadi menghukumnya. Umar lebih suka tidak mencari-cari aib
orang lain kecuali Allah yang menampakkannya secara langsung di hadapan para
saksi. Demikian adilnya kau Umar.
Pernah ada orang
yang membuat irigasi dari sebuah sungai untuk mengairi tanahnya, tetapi harus
melewati tanah orang yang bernama Muhammad bin Maslamah. Ibnu Maslamah tidak
mengizinkan dan yang ingin membuat irigasi protes,”Mengapa tak kau izinkan,
padahal itu juga berguna untuk tanahmu. Kamu juga bisa mengambil airnya,
gratis. Demi kebaikan banyak orang Ya Ibnu Maslamah.”
Karena tetap
saja tak diizinkan, ia mengadu pada Khalifah. Mendengar ini Umar memanggil
Muhammad bin Maslamah meski orang ini dihormati dan disukai Umar. Namun,
setelah perundingan yang alot, Ibnu Maslamah tetap saja menolak. Umar marah dan
mengancam,”Aku bersumpah, aliran air itu akan tetap mengalir walaupun harus
melewati perutmu!” Umar tidak takut dalam mengambil keputusan yang menurut akal
dan ilmu lebih baik untuk kemaslahatan umum meski itu berarti tidak sependapat
dengan orang-orang terhormat.
Dan tentunya kita harus ingat kisah sengketa antara seorang
rakyat dengan putra Gubernur Mesir Amr bin Ash. Saat itu karena tidak terima
putra sang Gubernur mencambuk seterunya. Dan karena tidak terima pula namun
takut serta puus asa, orang tadi menghadap Khalifah. Setelah penelitian,
akhirnya diketahui bahwa yang bersalah putra Gubernur Amr. Dipanggillah mereka
berdua dan Umar pun berkata pada Gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash, yang kemudian
kata-kata itu sempat terlupakan dalam timbunan sejarah,"Bilakah engkau
memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam
keadaan merdeka!?" Dan inilah yang menjadi dasar HAM yang kita ketahui
sekarang.
Untuk tulisan selanjutnya, insyaAllah akan
dibahas tentang beberapa kebijakan Umar yang menunjukan bahwa meski tegas, dia
juga cerdas serta lembut. ;)
0 komentar:
Posting Komentar