PEMBUKA
Alhamdulillah, akhirnya bisa
pula kembali ke rumah. Menyantap nikmatnya makanan yang dimasak Ibu tercinta,
tanpa dihantui perasaan takut akan tagihan setelahnya hehe. Selain itu, bisa
melakukan rutinitasku yang dulu-yang saat di tanah rantau entah kenapa sulit
kulakukan-membaca koran.
Nah, saat mebaca koran inilah
ada suatu artikel yang cukup menggelitik ingatanku. Artikelnya berjudul “Tuhan,
antara Persepsi dan Realitas”, ditulis oleh Saudara Bayu Prasetyo(alumnus
Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta) yang diterbitkan pada Harian Suara Merdeka bertanggal 10 Agustus
2012. Di sana, dia membahas sekitar konsep Monoteisme, agama, logika, sains,
kegaiban, dan kawan-kawannya. Jika ingin tahu semuanya, aku sarankan untuk
membaca langsung ke TKP. Aku tidak
sedang ingin mengkritisi atau mengomentari tulisan tersebut. Bukan, karena
tidak sepatutnya aku melakukan hal tersebut melihat latar belakang pendidikan
dan keilmuanku(halah, ga mudeng filsafat aja padahal :P).
AGNOSTIK
Tadi aku katakan tulisan tersebut
menggelitik ingatanku, ingatan yang mana? Jadi gini lho kawan, waktu itu aku
sedang berbincang dengan seseorang. Dia mengaku percaya pada adanya Tuhan, tapi
tak percaya akan agama yang ada sekarang. KTP sih Islam, tapi… ya gitu.
Entahlah, aku pikir banyak orang yang seperti ini, tapi aku sangat respect sama dia karena sangat sedikit
orang yang mau dengan jujur berkata,”Gua agnostic
Her”. Hmm, agnostic? What is that?
Terus, setelah beberapa lama
percakapan di akhir perbincangan dia berkata sesuatu yang sangat berharga untuk
mengerti pola pikirnya yang sebenarnya-sekedar cukup sih menurutku. Perlu
pendalaman lagi, tapi ya cukup deh(mulai deh mbingungi-nya).
”Menurut gua, agama itu sesuatu yang irrasional. Munculnya dari dalam
hati kan Her? Nah, sampai sekarang gua belum mantap tuh mana agama yang mau gua
ambil. Apalagi ada tuh orang-orang sok suci, yang belum apa-apa uda nge-judge gua salah lah, parah lah, atheis
lah! Mbok ya denger penjelasan gua dulu, hormati dong gua sebagai manusia
dewasa. Dan dari dulu sampe sekarang, menurut gua agama sama sains disandingkan
itu sama sekali gak make sense banget,”
begitu kurang lebih katanya.
Di sini aku menangkap beberapa
poin, yang insyaAllah akan aku komentari berdasar yang aku ketahui. Yaitu
mengenai agama dengan sains, agama dengan kemantapan hati, dan agama dengan
Tuhan. Wow, berat juga nih. Dan karena berat, insyaAllah aku sangat terbuka
pada kritik para pembaca dan sudah mempersiapkan beberapa kitab(buku) yang
lumayan relevan.
AGAMA DENGAN SAINS
Yang pertama, sesuatu yang sudah
sangat sering kita dengar dari mereka yang anti-agama. Agama itu mengekang ilmu
pengetahuan dan mengkerdilkan kecerdasan manusia dalam mengolah alam ini.
Sering banget bukan?? Sekarang, aku ingin balik bertanya,”Agama yang mana dulu
ini?”
Memang, ada agama(atau aku sebut
kepercayaan saja ya?) yang terkadang membuat kita bingung. Seperti kepercayaan masyarakat jahiliyah yang
menyembah patung. Bahkan kisahnya pun tefragmentasikan dengan sangat indah
dalam Al-Qur’an oleh (salah satunya) kisah Nabi Ibrahim, yaitu ketika Beliau
menghancurkan seluruh patung kecuali satu yang paling besar.
“Dia (Ibrahim) menjawab,’Sebenarnya (patung) yang paling besar itu yang
melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara. Maka
mereka kembali pada kesadan mereka dan berkata,’Sesungguhnya kamulah yang
menzalimmi (diri sendiri). Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu
berkata),’Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat
berbicara.” (QS. 21: 63-65).
Kalo agama yang macam ini dan
sebangsanya ya terang saja melawan sains. Orang patung kok disembah-,-. Dan
parahnya, mereka melakukan ini semua hanya berdasarkan-yang menurut bahasa
Al-Qur’an: “…Kami mengikuti apa yang kami
dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)…”(QS. 2:170). Hadeeeeeh, kalo moyangnya
salah ya apa mau salah terus? Gak perlu sains deh, yang nyembah aja tahu kalo
itu patung gak bisa bicara, apalagi memberi manfaat.
Atau seperti agama yang
ketika umatnya melepaskan diri dari
aturannya maka di wilayahnya timbul sesuatu yang kita sebut renaissance?
Namun, jika yang kau maksudkan
adalah Islam maka kau harus meninjau ulang pikiranmu. Sebenarnya mudah saja
bagiku untuk meng-counter pemikiran
kalian dengan sedikit keegoisan, yaitu dengan berkata,”Tunjukkan padaku bagian
agama ini yang menyalahi akal!” Agama ini-meminjam kata-kata salah satu
panglima perangnya dalam menakhlukkan Persia-“…untuk memerdekakan umat manusia dari penghambaan sesama manusia menuju
penghambaan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, membawa mereka dari kehidupan
dunia yang sempit menuju kehidupan akhirat yang lapang, dari kezaliman
agama-agama menuju keadilan Islam”. Dan memang inilah tujuan agama ini dari
rasul yang paling awal (Nabi Nuh) hingga rasul terakhir(Nabi Muhammad).
Baiklah, untuk sedikit menunjukkan
bahwa agama ini dapat bersanding dengan ilmu pengetahuan(yang benar) akan aku
sebutkan beberapa. Seperti hikmah diharamkannya babi, darah, bangkai, minuman
keras, zina, liwath, dan sebagainya.
Atau manfaat sholat, puasa, dan beberapa amalan lain bagi tubuh kita. Adakah yang
tidak masuk akal atau bertentangan dengan sains?
Lalu ada pula pembahasan tentang astronomi seperti isyarat adanya bintang
pulsar, langit dengan gugusan bintangnya, juga pengetahuan baru bahwa
sebenarnya matahari juga beredar di garis edarnya. Selain itu, ada pula
kenyataan yang baru diketahui baru-baru ini tentang adanya air tawar di dalam
lautan sana seperti yang diisyaratkan pada Al-Furqan ayat 53. Sekali lagi,
adakah yang menyalahi ilmu penetahuan? Ingat,”Ilmu tanpa agama adalah buta,
agama tanpa ilmu lumpuh”(Albert Einstein). Dan ingat, jangan terbalik. Jangan
menggunakan sains sebagai parameter kebenaran agama (Islam) karena belum tentu
sains itu benar. Sains itu berkembang, seperti atom yang ternyata bukan bagian
terkecil. Ada quark. Dan inilah
mengapa-seperti yang pernah aku dengar dalam suatu kajian-digunakan kata dzarrah. Bukan debu atau bahkan atom.
Karena memang arti kata dzarrah
adalah sesuatu yang paling kecil, seperti sebuah ungkapan keterkecilan saja.
Jadi, dapat kusimpulkan agama (Islam) akan selalu berdampingan, bahkan
mendukung dan melingkupi berkembangnya
sains(yang benar). Karena yang kupahami, tidak selalu sains itu benar. Sejarah
telah membuktikan betapa banyak teori yang terbantahkan oleh teori yang
kemudian. Sekali,jangan terbalik dalam memaknainya.
AGAMA DAN KEMANTAPAN HATI
Sekarang, pembahasan kedua mengenai agama dan kemantapan hati. Agak susah
ngomentarinnya juga, urusan hati siapa yang tahu? (Allah dan yang punya hati
doooong :D)
Tapi aku coba deh. Yang aku tahu, kemantapan hati itu bergantung pada
sedikitnya 2 hal. Aksioma dan pengetauan kita. Aksioma, kok bisa? Contoh nih,
siapa bilang 2+2=4? Oke deh, tak tambahin. Siapa bilang di ruang bilangan real 2+2=4? Aku sih paling enak
jawabnya, aksioma. Dan aku mantap akan hal itu. Nah, jika anak matematika pasti
punya pembuktiannya sendiri-yang aku dengar susah banget pembuktiannya. Bagi
mereka yang sudah membuktikan, tentunya akan lebih mantap juga meyakininya. Dan
semua iu, karena kita menjalaninya.
Begitu pula agama, ada bagiannya yang memang hanya akan terasa mantap setelah
kita menjalaninya. Kalo buatku sih, mungkin ketiadaan pertentangan antara agama
(Islam) dengan sains(yang benar) bisa menjadi salah satu factor yang
memantapkan(pengetahuan). Namun, karena kemantapan ini berhubungan erat dengan
yang namanya iman, logika menjadi kurang bermain di sini(aksioma). Buktinya,
ada juga tuh orang yang mantap-mantap aja buat nyembah patung-,-
Aku ingat kata-kata Salim A. Fillah,”Iman
melahiran keajaiban, dan keajaiban menguatkan Iman”. Ada beberapa hal di dunia
ini yang cukup kita yakini, karena akal kita memang tak sanggup menggapainya.
Maaf bila yang satu ini kurang banget pembahasannya L. Silahkan bila ada yag ingin
menambahi.
AGAMA DENGAN TUHAN
Sekarang, kita masuk ke bagian ketiga. Yaitu, mengenai agama dan Tuhan.
Orang-orang berkata,”Emangnya Tuhan beragama? Kok kamu mau nyuruh aku beragama?
Terserah aku dong gimana caraku bersikap pada-Nya!”
Logika yang lucu. SANGAT LUCU! Gini lho kawan-kawan, bayangin ada seorang
bos yang sangat berkuasa. Sangat kaya raya, dan sungguh-sungguh menggenggam
erat perusahaannya yang mengangkangi seluruh penjuru bumi. Mulai dari
perusahaan tusuk gigi sampai pesawat tempur dia punya >80% sahamnya. Lalu
dia membuat aturan, bahwa setiap karyawannya harus sudah di kantor pada pukul 7
pagi. Pertanyaanku, apa ada yang berani bilang,”Terserah gue dong mau berangkat
jam berapa aja. Orang ini badan, badan gue kok!” Wow, Mario Teguh pun pasti
ketawa melihat orang ini dipecat hahaha. (Dan asal tahu saja, tanpa semua
karyawannya, sang bos tak akan bisa menjalankan perusahaannya. Ada saling
ketergantungan di sini, tak peduli betapa tak seimbangnya.)
Begitu pula Tuhan. Dia Yang Maha Kaya, Menguasai semua yang ada, dan Tak
Bergantung pada apapun tentu Mempunyai aturan-Nya sendiri dengan cara apa Dia
ingin disembah oleh hamba-Nya. Sekali lagi, hamba. Bukan karyawan. Dan
hamba=budak. Apalah hak seorang budak kecuali hak yang telah diberikan oleh
Tuannya?
Dan agama, dalam Islam dimaknai sebagai aturan, atau jalan. Jalan dalam
meniti hidup ini untuk menuju ridho Allah. Dan Allah pulalah Yang Memutuskan
bahwa agama yang di sisi-Nya hanya Islam.
“Sesungguhnya agama di sisi Allah
ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab kecuali setelah
mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar
terhadap ayat-ayat Allah, maka sugguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”(QS.
3:19)
“Halah, itukan agama yang dibawa Nabi Muhammad doang. Nabi- nabi yang
lain mah beda, jadi mending gue dong yang netral”, ada yang berkata demikian.
Payahnya, ada orang-orang yang ngaku Islam ikut-ikutan berkata bahwa semua
agama itu baik karena para nabi pun berbeda dalam membawa ajarannya.
Kalo yang netral, saya sarankan melakukan kajian sejarah. Dan bagi yang
mengaku muslim, saya ajak membaca Al-Qur’an.
“Ibrahim bukanlah seorang yahudi
dan buka pula nashrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, muslim dan dia
tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik.”(QS. 3: 67)
“Maka ketika Isa merasakan
keingkaran mereka (Bani Israil), dia berkata,’Siapakah yang akan menjadi
penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? Para Hawariyyun menjawab,’Kamilah penolong (agama) Alla, dan
saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.”(QS. 3: 52)
“Sungguh, (agama tauhid) inilah
agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”(QS.
21: 92)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa agama para Rasul
itu satu, agama tauhid. Islam. Dan memang untuk itulah para Rasul diutus:
membimbing manusia agar tahu bagaimana Tuhan ingin disembah.
Bercerita sedikit, bangsa Arab pra-Islam sebenarnya telah mengenal kata
Allah sebagai Dia Yang Mahatinggi. Allah bukanlah termasuk salah satu dari 360
berhala yang ada di ka’bah. Dan segala berhala-berhala itu hanya sebagai sarana
mendekatkan diri pada Allah. Nah, oleh Rasul bangsa Arab dibimbing bagaimana
cara menyembah Allah yang benar, sesuai keinginan-Nya.
Memang, jika kita lihat tauhid merupakan fitrah setiap manusia. Seperti
bangsa Arab jahiliyyah itu, mereka mengakui bahwa Yang Tertinggi adalah Allah
(tauhid Rubbubiyah) namun dalam
metode beribadah dan penyembahan(tauhid Uluhiyah)
masih mengandung kesyirikan. Dan memang itulah masalah sebagian besar makhluk
yang kita sebut manusia ini.
Kembali pada permasalahan awal
kita tentang agama dengan Tuhan. Boleh tidak kuartikan (maaf), orang yang tak
beragama artinya tidak mau mengikuti aturan yang telah dibuat-Nya. Dan jika
begini, akankah Tuhan Senang?
Pernyataan kedua,”…Emangnya kamu tahu agama Tuhan?...” Logika yang aneh.
Aku balik deh,”Emang Tuhan butuh agama?” Untuk Entitas Tertinggi, Yang Tak Ada
Menyamai, masihkah butuh aturan? Kan Dia yang Bikin aturan, dan sekali lagi,
kitalah yang butuh aturan itu. Agama itu. Tuhan sama sekali Tidak Membutuhkannya.
Bahkan, sebenarnya Tuhan Tidak Membutuhkan keimanan dan amalan kita. Kita
beriman, Allah masih Tuhan. Lalu, apa ketika kita tak beriman Allah akan
bangkrut dan turun pangkat?
“Dan barang siapa berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”(QS. 29:6)
Dan aku peringatkan, jangan kita terlalu percaya diri dengan mencoba
menduga-duga tentang entitas Tuhan. Karena seperti kata Abu Nawas,”Sesuatu yang
terbatas tak mungkin dapat mengukur sesuatu yang tak terbatas. Dan Tuhan
menanamkan keterbatasan itu di otak manusia.” Gak perlulah kita tanya-tanya
agama Tuhan, karena yang perlu kita tahu pasti Tuhan Memberitahukannya. Cara
Dia ingin disembah misalnya? Yup.
PENUTUP
Sekedar renungan, dan ini yang
paling menyakitkan hatiku. Kata-kata sok suci-lah, sok benar-lah, sok alim-lah.
Dan menurutku, ini tidak murni kesalahan mereka yang mengatai seperti itu. Entahlah,
kenapa aku merasa para aktivis dakwah mempunyai GAP dengan yang didakwahi.
Sebenarnya, kita perlu tahu medan dakwah kita. Bagi pemuda yang
nongkrongnya di Salman(Masjidnya ITB), gaulnya sama anak Gamais ITB, sering
ikut kajian, dari keluarga yang religious, kebangetan kalo mereka masih
melenceng. Bukan berarti mereka tak perlu didakwahi lo ya. Hanya, sudah saatnya
mereka-yang mengaku aktivis dakwah-untuk lebih melebarkan sayapnya. Betapa banyak
masyarakat di luar sana yang masih rentan dan galau akan identitas agamanya
namun malu untuk sekedar menyapa masjid. Jika begini, bukankah para aktivis
dakwah yang harusnya menjemput bola? Sebagaimana Rasul pun berdakwah di segala
lapisan masyarakat.
Dan saat terjun, selain bekal ilmu yang kuat tentu
juga dibutuhkan manajemen emosi dan pengetahuan medan yang cukup. Yang paling
kurang menurut salah seorang mentorku dalam berdakwah adalah kemampuan
menganalisa medan. Main tabrak saja, tidak mencari tahu bagaimana kondisi yang
didakwahi. Dan cara paling mudah adalah dengan bertanya pada mereka. Jika mereka
diibaratkan pasien dan aktivis dakwah (insyaAllah) dokter, tentunya tak boleh
main memberi obat bukan? Harus tahu penyakitnya, dan metode paling mudah juga
murah adalah menanyakan apa yang mereka rasakan. Masak orang pusing dikasih kalpanax?-,- Namun memang ada saat ketia
perasaan telah tumpul, maka harus dilakukan uji darah. Orang yang kafir
misalnya.
Tentang ungkapan sok tahu, sok suci dan sebagainya sebenarnya tergantung
bagaimana kita dalam berdiskusi dengan mereka. Ada saatnya kita hanya bisa
mendengar mereka dulu. Namun ada saatnya pula kita harus memapas keraguan
mereka dengan suatu pernyataan yang tegas. Dan tak ada bahasa yang mengena
selain bahasa keteladanan. Sekali lagi, untuk mereka para aktivis dakwah. Aku? Masih
belajar :p Lagian semua ini hanya menyarikan beberapa hal
yang kudapat selama rangkaian mentoring dan sekolah mentor hehehe.
Beberapa bacaan:
1. Al-Qur’an
2. “Islam Dihujat” karya Hj. Irena Handono, et
al.
3. “Syarah Kasyfu Syubuhat” karya Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Ustaimin
4. Sirah Nabawiyah dan shahabat dari beberapa
buku seperti “Cahaya dari Bukit Shafa” dan buku-buku lainnya.
Heriii suka tulisan yang ini deh. Ada beberapa istilah baru yang nambah kosakata :D
BalasHapusTerus nulis yooo hahahaha
Dan seprti biasa, masih banyak typo :P
Hapus