Jumat, 10 Agustus 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,

               
PEMBUKA
                Alhamdulillah, akhirnya bisa pula kembali ke rumah. Menyantap nikmatnya makanan yang dimasak Ibu tercinta, tanpa dihantui perasaan takut akan tagihan setelahnya hehe. Selain itu, bisa melakukan rutinitasku yang dulu-yang saat di tanah rantau entah kenapa sulit kulakukan-membaca koran.

                Nah, saat mebaca koran inilah ada suatu artikel yang cukup menggelitik ingatanku. Artikelnya berjudul “Tuhan, antara Persepsi dan Realitas”, ditulis oleh Saudara Bayu Prasetyo(alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta) yang diterbitkan pada Harian Suara Merdeka bertanggal 10 Agustus 2012. Di sana, dia membahas sekitar konsep Monoteisme, agama, logika, sains, kegaiban, dan kawan-kawannya. Jika ingin tahu semuanya, aku sarankan untuk membaca langsung ke TKP. Aku  tidak sedang ingin mengkritisi atau mengomentari tulisan tersebut. Bukan, karena tidak sepatutnya aku melakukan hal tersebut melihat latar belakang pendidikan dan keilmuanku(halah, ga mudeng filsafat aja padahal :P).


AGNOSTIK
                     Tadi aku katakan tulisan tersebut menggelitik ingatanku, ingatan yang mana? Jadi gini lho kawan, waktu itu aku sedang berbincang dengan seseorang. Dia mengaku percaya pada adanya Tuhan, tapi tak percaya akan agama yang ada sekarang. KTP sih Islam, tapi… ya gitu. Entahlah, aku pikir banyak orang yang seperti ini, tapi aku sangat respect sama dia karena sangat sedikit orang yang mau dengan jujur berkata,”Gua agnostic Her”. Hmm, agnostic? What is that? 

                Terus, setelah beberapa lama percakapan di akhir perbincangan dia berkata sesuatu yang sangat berharga untuk mengerti pola pikirnya yang sebenarnya-sekedar cukup sih menurutku. Perlu pendalaman lagi, tapi ya cukup deh(mulai deh mbingungi-nya).
”Menurut gua, agama itu sesuatu yang irrasional. Munculnya dari dalam hati kan Her? Nah, sampai sekarang gua belum mantap tuh mana agama yang mau gua ambil. Apalagi ada tuh orang-orang sok suci, yang belum apa-apa uda nge-judge gua salah lah, parah lah, atheis lah! Mbok ya denger penjelasan gua dulu, hormati dong gua sebagai manusia dewasa. Dan dari dulu sampe sekarang, menurut gua agama sama sains disandingkan itu sama sekali gak make sense banget,” begitu kurang lebih katanya.

                Di sini aku menangkap beberapa poin, yang insyaAllah akan aku komentari berdasar yang aku ketahui. Yaitu mengenai agama dengan sains, agama dengan kemantapan hati, dan agama dengan Tuhan. Wow, berat juga nih. Dan karena berat, insyaAllah aku sangat terbuka pada kritik para pembaca dan sudah mempersiapkan beberapa kitab(buku) yang lumayan relevan.

AGAMA DENGAN SAINS
                Yang pertama, sesuatu yang sudah sangat sering kita dengar dari mereka yang anti-agama. Agama itu mengekang ilmu pengetahuan dan mengkerdilkan kecerdasan manusia dalam mengolah alam ini. Sering banget bukan?? Sekarang, aku ingin balik bertanya,”Agama yang mana dulu ini?”

                Memang, ada agama(atau aku sebut kepercayaan saja ya?) yang terkadang membuat kita bingung. Seperti  kepercayaan masyarakat jahiliyah yang menyembah patung. Bahkan kisahnya pun tefragmentasikan dengan sangat indah dalam Al-Qur’an oleh (salah satunya) kisah Nabi Ibrahim, yaitu ketika Beliau menghancurkan seluruh patung kecuali satu yang paling besar.

                “Dia (Ibrahim) menjawab,’Sebenarnya (patung) yang paling besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali pada kesadan mereka dan berkata,’Sesungguhnya kamulah yang menzalimmi (diri sendiri). Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata),’Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.” (QS. 21: 63-65).

                Kalo agama yang macam ini dan sebangsanya ya terang saja melawan sains. Orang patung kok disembah-,-. Dan parahnya, mereka melakukan ini semua hanya berdasarkan-yang menurut bahasa Al-Qur’an: “…Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)…”(QS. 2:170). Hadeeeeeh, kalo moyangnya salah ya apa mau salah terus? Gak perlu sains deh, yang nyembah aja tahu kalo itu patung gak bisa bicara, apalagi memberi manfaat.

                Atau seperti agama yang ketika  umatnya melepaskan diri dari aturannya maka di wilayahnya timbul sesuatu yang kita sebut renaissance?  

                Namun, jika yang kau maksudkan adalah Islam maka kau harus meninjau ulang pikiranmu. Sebenarnya mudah saja bagiku untuk meng-counter pemikiran kalian dengan sedikit keegoisan, yaitu dengan berkata,”Tunjukkan padaku bagian agama ini yang menyalahi akal!” Agama ini-meminjam kata-kata salah satu panglima perangnya dalam menakhlukkan Persia-“…untuk memerdekakan umat manusia dari penghambaan sesama manusia menuju penghambaan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, membawa mereka dari kehidupan dunia yang sempit menuju kehidupan akhirat yang lapang, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam”. Dan memang inilah tujuan agama ini dari rasul yang paling awal (Nabi Nuh) hingga rasul terakhir(Nabi Muhammad).

                Baiklah, untuk sedikit menunjukkan bahwa agama ini dapat bersanding dengan ilmu pengetahuan(yang benar) akan aku sebutkan beberapa. Seperti hikmah diharamkannya babi, darah, bangkai, minuman keras, zina, liwath, dan sebagainya. Atau manfaat sholat, puasa, dan beberapa amalan lain bagi tubuh kita. Adakah yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan sains?

Lalu ada pula pembahasan tentang astronomi seperti isyarat adanya bintang pulsar, langit dengan gugusan bintangnya, juga pengetahuan baru bahwa sebenarnya matahari juga beredar di garis edarnya. Selain itu, ada pula kenyataan yang baru diketahui baru-baru ini tentang adanya air tawar di dalam lautan sana seperti yang diisyaratkan pada Al-Furqan ayat 53. Sekali lagi, adakah yang menyalahi ilmu penetahuan? Ingat,”Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu lumpuh”(Albert Einstein). Dan ingat, jangan terbalik. Jangan menggunakan sains sebagai parameter kebenaran agama (Islam) karena belum tentu sains itu benar. Sains itu berkembang, seperti atom yang ternyata bukan bagian terkecil. Ada quark. Dan inilah mengapa-seperti yang pernah aku dengar dalam suatu kajian-digunakan kata dzarrah. Bukan debu atau bahkan atom. Karena memang arti kata dzarrah adalah sesuatu yang paling kecil, seperti sebuah ungkapan keterkecilan saja.  

Jadi, dapat kusimpulkan agama (Islam) akan selalu berdampingan, bahkan mendukung dan melingkupi  berkembangnya sains(yang benar). Karena yang kupahami, tidak selalu sains itu benar. Sejarah telah membuktikan betapa banyak teori yang terbantahkan oleh teori yang kemudian. Sekali,jangan terbalik dalam memaknainya.

AGAMA DAN KEMANTAPAN HATI
Sekarang, pembahasan kedua mengenai agama dan kemantapan hati. Agak susah ngomentarinnya juga, urusan hati siapa yang tahu? (Allah dan yang punya hati doooong :D)

Tapi aku coba deh. Yang aku tahu, kemantapan hati itu bergantung pada sedikitnya 2 hal. Aksioma dan pengetauan kita. Aksioma, kok bisa? Contoh nih, siapa bilang 2+2=4? Oke deh, tak tambahin. Siapa bilang di ruang bilangan real 2+2=4? Aku sih paling enak jawabnya, aksioma. Dan aku mantap akan hal itu. Nah, jika anak matematika pasti punya pembuktiannya sendiri-yang aku dengar susah banget pembuktiannya. Bagi mereka yang sudah membuktikan, tentunya akan lebih mantap juga meyakininya. Dan semua iu, karena kita menjalaninya.

Begitu pula agama, ada bagiannya yang memang hanya akan terasa mantap setelah kita menjalaninya. Kalo buatku sih, mungkin ketiadaan pertentangan antara agama (Islam) dengan sains(yang benar) bisa menjadi salah satu factor yang memantapkan(pengetahuan). Namun, karena kemantapan ini berhubungan erat dengan yang namanya iman, logika menjadi kurang bermain di sini(aksioma). Buktinya, ada juga tuh orang yang mantap-mantap aja buat nyembah patung-,-

    Aku ingat kata-kata Salim A. Fillah,”Iman melahiran keajaiban, dan keajaiban menguatkan Iman”. Ada beberapa hal di dunia ini yang cukup kita yakini, karena akal kita memang tak sanggup menggapainya. Maaf bila yang satu ini kurang banget pembahasannya L. Silahkan bila ada yag ingin menambahi. 

AGAMA DENGAN TUHAN

Sekarang, kita masuk ke bagian ketiga. Yaitu, mengenai agama dan Tuhan. Orang-orang berkata,”Emangnya Tuhan beragama? Kok kamu mau nyuruh aku beragama? Terserah aku dong gimana caraku bersikap pada-Nya!”

Logika yang lucu. SANGAT LUCU! Gini lho kawan-kawan, bayangin ada seorang bos yang sangat berkuasa. Sangat kaya raya, dan sungguh-sungguh menggenggam erat perusahaannya yang mengangkangi seluruh penjuru bumi. Mulai dari perusahaan tusuk gigi sampai pesawat tempur dia punya >80% sahamnya. Lalu dia membuat aturan, bahwa setiap karyawannya harus sudah di kantor pada pukul 7 pagi. Pertanyaanku, apa ada yang berani bilang,”Terserah gue dong mau berangkat jam berapa aja. Orang ini badan, badan gue kok!” Wow, Mario Teguh pun pasti ketawa melihat orang ini dipecat hahaha. (Dan asal tahu saja, tanpa semua karyawannya, sang bos tak akan bisa menjalankan perusahaannya. Ada saling ketergantungan di sini, tak peduli betapa tak seimbangnya.)

Begitu pula Tuhan. Dia Yang Maha Kaya, Menguasai semua yang ada, dan Tak Bergantung pada apapun tentu Mempunyai aturan-Nya sendiri dengan cara apa Dia ingin disembah oleh hamba-Nya. Sekali lagi, hamba. Bukan karyawan. Dan hamba=budak. Apalah hak seorang budak kecuali hak yang telah diberikan oleh Tuannya?

Dan agama, dalam Islam dimaknai sebagai aturan, atau jalan. Jalan dalam meniti hidup ini untuk menuju ridho Allah. Dan Allah pulalah Yang Memutuskan bahwa agama yang di sisi-Nya hanya Islam.
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sugguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”(QS. 3:19)

“Halah, itukan agama yang dibawa Nabi Muhammad doang. Nabi- nabi yang lain mah beda, jadi mending gue dong yang netral”, ada yang berkata demikian. Payahnya, ada orang-orang yang ngaku Islam ikut-ikutan berkata bahwa semua agama itu baik karena para nabi pun berbeda dalam membawa ajarannya.
Kalo yang netral, saya sarankan melakukan kajian sejarah. Dan bagi yang mengaku muslim, saya ajak membaca Al-Qur’an.
“Ibrahim bukanlah seorang yahudi dan buka pula nashrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik.”(QS. 3: 67)
“Maka ketika Isa merasakan keingkaran mereka (Bani Israil), dia berkata,’Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? Para Hawariyyun menjawab,’Kamilah penolong (agama) Alla, dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.”(QS. 3: 52)
“Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”(QS. 21: 92)    

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa agama para Rasul itu satu, agama tauhid. Islam. Dan memang untuk itulah para Rasul diutus: membimbing manusia agar tahu bagaimana Tuhan ingin disembah.

Bercerita sedikit, bangsa Arab pra-Islam sebenarnya telah mengenal kata Allah sebagai Dia Yang Mahatinggi. Allah bukanlah termasuk salah satu dari 360 berhala yang ada di ka’bah. Dan segala berhala-berhala itu hanya sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah. Nah, oleh Rasul bangsa Arab dibimbing bagaimana cara menyembah Allah yang benar, sesuai keinginan-Nya.

Memang, jika kita lihat tauhid merupakan fitrah setiap manusia. Seperti bangsa Arab jahiliyyah itu, mereka mengakui bahwa Yang Tertinggi adalah Allah (tauhid Rubbubiyah) namun dalam metode beribadah dan penyembahan(tauhid Uluhiyah) masih mengandung kesyirikan. Dan memang itulah masalah sebagian besar makhluk yang kita sebut manusia ini.
 Kembali pada permasalahan awal kita tentang agama dengan Tuhan. Boleh tidak kuartikan (maaf), orang yang tak beragama artinya tidak mau mengikuti aturan yang telah dibuat-Nya. Dan jika begini, akankah Tuhan Senang?
Pernyataan kedua,”…Emangnya kamu tahu agama Tuhan?...” Logika yang aneh. Aku balik deh,”Emang Tuhan butuh agama?” Untuk Entitas Tertinggi, Yang Tak Ada Menyamai, masihkah butuh aturan? Kan Dia yang Bikin aturan, dan sekali lagi, kitalah yang butuh aturan itu. Agama itu. Tuhan sama sekali Tidak Membutuhkannya. Bahkan, sebenarnya Tuhan Tidak Membutuhkan keimanan dan amalan kita. Kita beriman, Allah masih Tuhan. Lalu, apa ketika kita tak beriman Allah akan bangkrut dan turun pangkat?
“Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”(QS. 29:6)

Dan aku peringatkan, jangan kita terlalu percaya diri dengan mencoba menduga-duga tentang entitas Tuhan. Karena seperti kata Abu Nawas,”Sesuatu yang terbatas tak mungkin dapat mengukur sesuatu yang tak terbatas. Dan Tuhan menanamkan keterbatasan itu di otak manusia.” Gak perlulah kita tanya-tanya agama Tuhan, karena yang perlu kita tahu pasti Tuhan Memberitahukannya. Cara Dia ingin disembah misalnya? Yup.

PENUTUP
                Sekedar renungan, dan ini yang paling menyakitkan hatiku. Kata-kata sok suci-lah, sok benar-lah, sok alim-lah. Dan menurutku, ini tidak murni kesalahan mereka yang mengatai seperti itu. Entahlah, kenapa aku merasa para aktivis dakwah mempunyai GAP dengan yang didakwahi.

Sebenarnya, kita perlu tahu medan dakwah kita. Bagi pemuda yang nongkrongnya di Salman(Masjidnya ITB), gaulnya sama anak Gamais ITB, sering ikut kajian, dari keluarga yang religious, kebangetan kalo mereka masih melenceng. Bukan berarti mereka tak perlu didakwahi lo ya. Hanya, sudah saatnya mereka-yang mengaku aktivis dakwah-untuk lebih melebarkan sayapnya. Betapa banyak masyarakat di luar sana yang masih rentan dan galau akan identitas agamanya namun malu untuk sekedar menyapa masjid. Jika begini, bukankah para aktivis dakwah yang harusnya menjemput bola? Sebagaimana Rasul pun berdakwah di segala lapisan masyarakat.

  Dan saat terjun, selain bekal ilmu yang kuat tentu juga dibutuhkan manajemen emosi dan pengetahuan medan yang cukup. Yang paling kurang menurut salah seorang mentorku dalam berdakwah adalah kemampuan menganalisa medan. Main tabrak saja, tidak mencari tahu bagaimana kondisi yang didakwahi. Dan cara paling mudah adalah dengan bertanya pada mereka. Jika mereka diibaratkan pasien dan aktivis dakwah (insyaAllah) dokter, tentunya tak boleh main memberi obat bukan? Harus tahu penyakitnya, dan metode paling mudah juga murah adalah menanyakan apa yang mereka rasakan. Masak orang pusing dikasih kalpanax?-,- Namun memang ada saat ketia perasaan telah tumpul, maka harus dilakukan uji darah. Orang yang kafir misalnya.

Tentang ungkapan sok tahu, sok suci dan sebagainya sebenarnya tergantung bagaimana kita dalam berdiskusi dengan mereka. Ada saatnya kita hanya bisa mendengar mereka dulu. Namun ada saatnya pula kita harus memapas keraguan mereka dengan suatu pernyataan yang tegas. Dan tak ada bahasa yang mengena selain bahasa keteladanan. Sekali lagi, untuk mereka para aktivis dakwah. Aku? Masih belajar :p  Lagian semua ini hanya menyarikan beberapa hal yang kudapat selama rangkaian mentoring dan sekolah mentor hehehe.  

Beberapa bacaan:
1.         Al-Qur’an
2.       “Islam Dihujat” karya Hj. Irena Handono, et al.
3.       “Syarah Kasyfu Syubuhat” karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Ustaimin
4.   Sirah Nabawiyah dan shahabat dari beberapa buku seperti “Cahaya dari Bukit Shafa” dan buku-buku lainnya.

2 komentar:

  1. Heriii suka tulisan yang ini deh. Ada beberapa istilah baru yang nambah kosakata :D

    Terus nulis yooo hahahaha

    BalasHapus