Kamis, 13 Desember 2012

Posted by Heri I. Wibowo | File under :


                Seteguk teh manis hangat ini sungguh nikmat sekali. Demikian nikmat, hingga seolah beban sol-soal ujian super yang tadi kukerjakan dengan memeras otak ini terasa menguap. Bersama dengan hangat yang melewati rongga dadaku. Sekejab, muncul penasaranku. Jikalau seteguk teh manis saja begitu enak, bagaimana pula kenikmatan surga nanti? Sekaligus malu, jika kualitas seseorang di hadapan Rabb-nya adalah dari seberapa berat ujian yang dialami, maka di mana pula derajatku di hadapan-Nya?


                 Lalu kuperhatikan sekelilingku. Hmm, terkadang aku menjadi bingung. Bukankah ini tempat ibadah? Dalam pengetahuan agamaku yang dangkal, aku hanya berpikir tidakkah seharusnya orang-orang yang datang ke sini harus sesuai dengan tempat? Maksudku, setahuku ada aturan tertentu dalam berpakaian, juga bersikap. Ah, mungkin ini hanya kesombongan diri ini dalam menilai orang lain. Mungkin mereka belum tahu tentang hal itu, dan inilah tempat mereka mencari tahu. Semoga saja mereka segera tahu, lalu esok hari aku tak harus berburuk sangka lagi. Dzolim sekali diri ini jika menganggap seseorang buruk, padahal ia tak tahu keadaan orang tersebut. Dan aku hanya menghakimi tanpa memberi solusi. Justru seharusnya aku yang malu, karena sekedar mengingatkan pun sungkan, lalu  menjadi selemah-lemah iman ketika hanya merutuki di dalam hati. Astaghfirullah…

                “Assalamu’alaykum Ya Akhi, sendirian aja nih?” Kata Akhi Muhammad mengakhiri percakapan dua pihak imaginer di kepalaku tadi.

                “Wa’alaykumsalam warahmatullah, iya nih. Gimana lagi, orang jomblo gini,” Jawabku sekenanya.

                “Hehe, sama-sama jomblo aja kok. Lagi mau ada acara apa sore-sore gini bertafakur di sini? Tumben gak lagi latihan?” Tanyanya lagi.

                “Ya kali mas bro ane latihan tiap hari  Ini tadi baru kelar ujian dan alhamdulillah nanti habis isya’ ada jadwal halaqah. Pas lah, buat recharge iman dulu hehe. Batere iman ane bukan aki kering kayak punya ente yang tahan lama mas bro.” Jawabku dengan jujur, memang jika dibandingkan dia aku bukanlah apa-apa. Baca qur’an masih sering salah pengucapan huruf, hapalan minim, ya gitu deh pokoknya.

                “Ah, Akhi Alif ini merendah saja kerjaannya. Ya sudah ya Akhi, saya mau ke dalam dulu. Biasa, mau ketemu adik-adik mentee. Assalamu’alaykum, hati-hati jaga pandangannya lho hehehe. Penyakit jomblo kayak kita itu.” Katanya setengah menyindir.

                “Wa’alaykumsalam, nanti kita lihat siapa yang duluan gugur status jomblonya haha,” Jawabku. Jomblo adalah sebutan bagi kami yang belum punya pendamping alias istri. Karena kami tidak menyetujui pacaran, kecuali setelah pernikahan.

                Kembali aku sendirian. Ah, baru jam 5. Sejam menuju sholat maghrib. Tentu aku tak mau menyia-nyiakan waktuku hanya dengan duduk-duduk minum teh di selasar ini. Ku buka buku catatanku, dan sedikit banyak mereview materi kuliah yang besok akan diujikan. Defleksi, torsi, combined loading, pressure vessel, ah, keren sekali. Namun, tetap kalah keren dengan ilmu-ilmu yang akan kudapat nanti malam di halaqah.

                Sedang khusyuk memahami, aku melihat seorang gadis di seberang sana. Gadis ini berbeda. Jika yang lain membungkus auratnya, maka yang ini benar-benar menutupnya. Sungguh, anggun sekali. Dalam beberapa detik aku terpana dan sempat pula melihat wajahnya. MasyaAllah, tanpa terasa dada ini berdesir melihat berlapisnya perisai yang melindungi izzahnya. Di bawah kerudung panjangnya ada baju hitam terusan sampai ke kakinya. Hingga praktis yang terlihat hanya wajah dan telapak tangannya.

                Bahkan aku sempat memerhatikan bahwa dia tengah menjinjing laptopnya. Seperti sedang mengetik sesuatu, mungkin sebuah laporan praktikum? Atau surat untuk harakahnya? Eh, kenapa pula memikirkannya? Sejenak kemudian aku baru tersadar oleh sihir keanggunan gadis berhijab hitam di seberang sana. Kupalingkan wajahku kembali ke buku, dan berkali-kali mengucap istighfar.

                Lalu seolah diselamatkan, suara adzan pun berkumandang. Bergegas aku masuk untuk mengambil air wudhu, dan sekilas aku masih sempat meliriknya. Dia, juga bergegas menutup laptopnya dan melangkah menjauh ke bagian akhwat-tentu juga untuk wudhu. Tanpa sengaja hijabnya berkibar, dan aku baru menyadari bahwa perlindungan benar-benar berlapis. Sungguh, beruntung sekali nantinya ikhwan yang bisa mendapatkan persetujuan ayah akhwat ini untuk memilikinya.

                Tanpa sadar aku berjalan sambil tersenyum, dan lega. Ternyata di luar sana masih banyak calon ibu yang bisa menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan aku berharap anak-anak yang beruntung salah satunya, atau salah duanya, atau salah tiganya, atau salah “n”-nya adalah anakku. Kini, yang harus aku lakukan hanyalah memantaskan diri untuk menjadi imam yang adil bagi mereka(istri dan anak-anakku) yang akan menjadi makmumku. . .

2 komentar:

  1. Based on true story kan ya~ hahaha
    Komen aja soal penulisannya, ada emot-emotnya tuh, dalam cerpen gak perlulah her :3

    Dan coba deh dibaca lagi, ada typo satu dua tuh. Sama penggunaan katanya diperhalus lagi yaaaa~

    Ayo-ayo nulis terus her :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. True story??? Gak juga kok

      Udah tak bersihin, kalo mau halusin kata males banget euy hehehe

      Hapus